Cari Berita

Pengadilan, Rule of Law dan Kesejahteraan

article | Opini | 2025-04-04 09:00:46

Di tahun 2024 panitia hadiah nobel ekonomi memberikan hadiah nobel ekonomi kepada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson atas kontribusinya yang menjelaskan bagaimana peran institusi terhadap kesejahteraan di suatu negara. Penjelasan mengenai hubungan institusi terhadap kesejahteraan dibahas dengan lugas di dalam buku Why Nations Fail yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Pada intinya, buku ini mencoba mematahkan anggapan umum bahwa kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh posisi geografis (berhubungan dengan sumber daya alam) dan kultur (berhubungan dengan agama atau etos kerja) negara tersebut. Di dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson berpandangan bahwa institusi yang inklusif mendorong terciptanya kesejahteraan di dalam suatu negara (lead to prosperity) dibandingkan dengan institusi yang ekstraktif yang hanya menciptakan kesejahteraan di kalangan para elit dan tersentralisasinya kekuasaan oleh segelintir orang (lead to poverty). Institusi yang ekstraktif hanya akan menjadikan suatu negara menjadi negara yang gagal. Dalam hal ini, ciri-ciri dari institusi yang inklusif yaitu institusi yang mendorong partisipasi yang demokratis, mendorong supremasi hukum dan keadilan, dan mampu melindungi hak milik. Sementara itu, institusi yang ekstraktif yaitu institusi yang dikuasai oleh segelintir elit, tidak ada partisipasi yang demokratis, dan tidak bisa menyediakan insentif untuk inovasi dan investasi. Pengadilan dan Rule of LawSalah satu aspek yang menjadi sorotan dalam menghasilkan institusi yang inklusif adalah bagaimana penegakan hukum atau rule of law diberlakukan di masyarakat. Perihal institusi ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa eropa di abad ke-15. Di dalam praktiknya, bangsa eropa melakukan dua jenis pendekatan terhadap negara atau wilayah yang dijajah. Pertama, pendekatan ekstraktif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi masyarakat lokal dan sumber daya alam demi keuntungan negara penjajah. Kedua, pendekatan inklusif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan tujuan jangka panjang karena wilayah tersebut nantinya akan dijadikan tempat tinggal oleh bangsa eropa. Pengadilan sebagai salah satu cabang kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu pada praktiknya selalu dimarjinalkan dalam pembangunan institusi. Hal ini terlihat ketika bangsa Belanda menjajah nusantara ide-ide revolusioner yang salah satunya adalah ide pemisahan kekuasaan sebagaimana yang diterapkan di Perancis tidak pernah diterapkan secara komperhensif di tanah jajahan. Sebagaimana yang dituliskan oleh Sebastiaan Pompe di dalam buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung bahwa upaya pemerintah kolonial untuk menerapkan doktrin pemisahan kekuasaan secara formal diawali dengan Laporan Nederburgh tahun 1803. Pada prinsipnya Laporan Nederburgh menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan otoritas politik terhadap jalannya peradilan dan campur tangan administratif hanya diperbolehkan untuk hal-hal tertentu saja. Namun, dalam praktiknya kolonialisme selalu ingin tampil dominan dibandingkan doktrin pemisahan kekuasaan. Gubernur Jenderal sebagai penguasa tanah kolonial seringkali menggunakan kewenangannya secara sepihak tidak melibatkan peran pengadilan. Bahkan, seorang Gubernur Jenderal mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang berbahaya atau tidak bagi ketertiban umum secara sepihak tanpa ada proses yudisial. Kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal secara eksplisit memang tidak mengubah doktrin pemisahan kekuasaan namun membuat peran pengadilan menjadi kerdil dan terbatas. Peran pengadilan yang kerdil dan terbatas kemudian terus berlanjut setelah kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Baru pada era setelah reformasi, kekuasaan yudisial diperkuat secara struktural dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang kekuasaan yudisial, dan sistem satu atap di Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengatur para hakim yang berada di badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kondisi yang secara struktur sudah ideal namun di dalam praktiknya masih terdapat kendala. Salah satu fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah dengan adanya prasangka kekuasaan yudisial digunakan oleh kekuasaan eksekutif untuk melegitimasi kebijakan kekuasaan eksekutif yang dirasa bermasalah oleh publik. Padahal, seharusnya kekuasaan yudisial menjadi kekuasaan yang mengoreksi kebijakan kekuasaan eksekutif apabila bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai keadilan. Fenomena ini secara signifikan berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap penerapan rule of law atau supremasi hukum di Indonesia. Memperkuat Institusi Kekuasaan YudisialSalah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar penerapan rule of law atau supremasi hukum dapat berjalan dengan baik adalah dengan memperkuat institusi kekuasaan yudisial. Bagaimana pun institusi kekuasaan yudisial adalah institusi yang terbuka bagi seluruh warga negara. Hanya di pengadilan seorang warga negara bisa menggugat kebijakan atau perbuatan negara yang dirasa merugikan warga negara dan menang. Hal ini dikarenakan secara historis dan filosofis institusi kekuasaan yudisial lahir untuk melindungi warga negara dan menegakan hak asasi manusia. Upaya penguatan yang bisa dilakukan terhadap kekuasaan yudisial yaitu: 1. Menjamin kemerdekaan kekuasaan yudisial baik secara fungsi, organisasi, maupun finansial/anggaran. Dalam hal ini secara fungsi dan organisasi kekuasaan yudisial di Indonesia sudah terlepas dari kekuasaan eksekutif namun belum untuk finansial. Institusi kekuasaan yudisial masih harus meminta anggaran kepada kekuasaan eksekutif yang mana hal tersebut secara tidak langsung membuka ruang untuk intervensi kepada kekuasaan yudisial.2. Meningkatkan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Apabila menggunakan pendekatan sistem yaitu input, process, dan output maka hakim yang berkualitas sudah bisa diperoleh dari sisi hulu yaitu rekrutmen hakim. Dari sisi input harus ada upaya yang dapat dilakukan agar para sarjana hukum terbaik di fakultas hukum terkemuka di Indonesia tertarik menjadi hakim. Faktanya, para sarjana hukum terbaik di Indonesia lebih memilih menjadi advokat dibandingkan menjadi hakim; 3. Evaluasi berkala terhadap hakim. Bagaimana pun profesi hakim dijalankan oleh manusia yang tidak bebas dari kesalahan. Oleh sebab itu, perlu dibuat mekanisme yang objektif, transparan, dan akuntabel dalam menilai kinerja seorang hakim. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah eksaminasi putusan. Putusan hakim yang merupakan produk pemikiran dari seorang hakim harus bisa dijadikan dasar dalam menilai apakah hakim ini berkompeten atau tidak.

Mirisnya Tunjangan Panitera Pengganti Rp 300 Ribu, Ini Daftar Lengkapnya

article | Berita | 2025-03-14 10:10:10

Jakarta- Dirjen Badilum Mahkamah Agung (MA) Bambang Myanto mengungkap di depan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR kesejahteraan hakim dan aparatur pengadilan masih minim. Salah satunya adalah tujuangan jabatan Panitera Pengganti sebesar Rp 300 ribuan.“Tunjangan PP Rp 300 ribu,” kata Dirjen Badilum Mahkamah Agung (MA), Bambang Myanto.Hal itu disampaikan dalam RDP Sekretaris dan Dirjen Badilum MA dengan DPR di Gedung Komisi III DPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakpus, Kamis (12/3) kemarin. Panitera pengganti bertugas menyiapkan persidangan, berkas hingga membuat berita acara.“Adapun Panitera Muda (Panmud) tunjangannya Rp 360 ribu. Sedangkan untuk Panitera Rp 540 ribu,” ujar Bambang Myanto.Tunjangan Panitera Pengganti diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 124/2022 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 24/2007 tentang Tunjangan Panitera. “Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan Tunjangan Panitera adalah tunjangan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Panitera pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi pasal 1.Berikut daftar lengkap tunjangannya:PANITERA PENGGANTIPengadilan Tingkat Pertama Kelas II sebesar Rp 300 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IB sebesar Rp 340 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA sebesar Rp 360 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Khusus sebesar Rp 375 ribuPengadilan Tingkat Banding sebesar Rp 450 ribuPengadilan Tingkat Banding Tipe A sebesar Rp 460 ribuPANITERA MUDAPengadilan Tingkat Pertama Kelas II sebesar Rp 360 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IB sebesar Rp 400 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA sebesar Rp 440 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Khusus sebesar Rp 470 ribuPengadilan Tingkat Banding sebesar Rp 530 ribuPengadilan Tingkat Banding Tipe A sebesar Rp 540 ribuWAKIL PANITERAPengadilan Tingkat Pertama Kelas II sebesar Rp 490 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IB sebesar Rp 540 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA sebesar Rp 980 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Khusus sebesar Rp 980 ribuPengadilan Tingkat Banding sebesar Rp 1.260.000Pengadilan Tingkat Banding Tipe A sebesar Rp 1.260.000PANITERAPengadilan Tingkat Pertama Kelas II sebesar Rp 540 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IB sebesar Rp 980 ribuPengadilan Tingkat Pertama Kelas IA sebesar Rp 1.260.000Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Khusus sebesar Rp 2.025.000Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp 2.025.000Pengadilan Tingkat Banding Tipe A sebesar Rp 3.250.000Selengkapnya dapat diakses melalui: https://drive.google.com/file/d/1hVEpKl9DDgjmV3uIsiEvNtbc1W0-DBlq/view?usp=sharing

Miris! Tunjangan Jabatan Panitera Pengganti Hanya Rp 300 Ribu

article | Berita | 2025-03-13 10:50:25

Jakarta- Di balik kesuksesan persidangan, ada peran vital panitera pengganti (PP) yang biasa duduk di belakang meja hakim. Tapi siapa nyangka, tunjangan PP hanya Rp 300 ribu.“Tunjangan PP Rp 300 ribu,” kata Dirjen Badilum Mahkamah Agung (MA), Bambang Myanto.Hal itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Sekretaris dan Dirjen Badilum MA dengan DPR di Gedung Komisi III DPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakpus, Kamis (12/3/2025). Panitera pengganti bertugas menyiapkan persidangan, berkas hingga membuat berita acara.“Adapun Panitera Muda (Panmud) tunjangannya Rp 360 ribu. Sedangkan untuk Panitera Rp 540 ribu,” ujar Bambang Myanto.Besaran tunjangan itu sudah bertahun-tahun tidak naik. Akibat kesejahteraan panitera yang tidak mencukupi, maka banyak Sarjana Hukum (SH) yang memilih lowongan calon hakim.“Sehingga banyak yang tidak berminat (menjadi PP). Kami kekurangan 6.090 panitera. Banyak pengadilan yang tidak mempunyai PP. Banyak Panmud yang merangkap PP,” ungkap Bambang Myanto yang pernah jadi Ketua PN Jaksel.Kekurangan SDM juga terjadi di Ditjen Badilum.“Sekarang di Ditjen Badilum, personelnya 130 orang. Dua tiga tahun lalu, jumlahnya dua kali itu. Mengapa? karena tidak ada formasi untuk itu,” beber Bambang Myanto.Hingga berita ini diturunkan, RDP masih berlangsung.