Cari Berita

Di Balik Sifat Manusia yang Suka Mengeluh dan Tidak Bersyukur

article | Opini | 2025-06-20 08:05:54

Assalamualaykum Warohmatullahi Wabarokatuhu,SAHABAT sekalian Secara naluriah, manusia pada dasarnya memang dipenuhi oleh sifat serakah, enggan bersyukur, berkeluh kesah, tidak perduli terhadap sesama. Dalam ranah science pada lingkup ilmu jiwa ada suatu teori fenomenal yang dikekukakan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan psikoanalisa. Teori tersebut memberikan suatu deskripsi bahwa manusia prinsip dasarnya adalah selalu mencari kesenangan atau kenikmatan dan menghindari ketidaknikmatan. Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya membagi jiwa manusia ke dalam tiga lapisan yakni ;-       Lapisan pertama, Das Es atau Id ; Bagian primitif dan tidak sadar yang didorong oleh dorongan insting dan keinginan. -       Lapisan kedua Das Ich atau Ego ; Bagian kepribadian yang beroperasi pada tingkat kesadaran dan bertindak sebagai perantara antara id dan dunia luar. -       Lapisan ketiga Das Ueber Ich atau Superego : Bagian kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dari masyarakat. Dalam menjalan kehidupan di dunia nyata, jika hanya lapisan paling dasar dari jiwa manusia atau Id ini yang mendominiasi dirinya, maka keperibadiannya manusia diprediksi berada pada derajat yang nyaris sama dengan binatang. Pada lapisan jiwa berikutnya, Ego, berdasarkan teori tersebut terdapat aspek psikis berupa kepribadian manusia yang berhubungan dengan realitas dunia luar, sehingga ketika dia berinteraksi manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dia mulai merasa malu melakukan suatu perbuatan yang bersifat tercela atau perbuatan-perbuatan dosa karena adanya lapisan psikis pada lapis ke dua dari jiwanya itu. Dalam konteks Ilahiah  yang dimaksud dosa berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim no 2553 Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam bersabda “dosa adalah apa yang mengganjal dalam dirimu dan kamu tidak ingin manusia mengetahuinya”. Lalu Pada lapisan jiwa terluar atau ketiga, Superego terdapat lagi aspek sosiologis dimana kepribadian yang terbentuk dari diri seseorang memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai moral. Hal ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh pendidikan yang diberikan kepada manusia, baik pendidikan yang didapat dari lingkungan social hingga pendidikan agama. Pembahasan science yang dimunculkan oleh seorang psikolog pada abad ke 20 awal itu, jika kita renungkan dan dielaborasi,  kandungannya telah banyak diungkap oleh Al Qur’an, kitabullah yang merupakan sumber kebenaran dan tuntutan hidup bagi umat manusia. Sayangnya manusia jarang menyadari dan menggali kebenaran ilmiah yang tersirat di dalam Alqur’an. Disebutkan di dalam surat Al Ma’arij ayat 19 Allah berfirman : “Innal insaana khuliqa halu ‘aa..”, yang artinya,sungguh manusia diciptakan suka mengeluh..disambung ayat ke 20 hingga ke 22 idza massahu Syarru jazuu ‘aa” wa idza massahul khoyru manuu ‘aa.. illal mushollin…(apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah), dan apabila mendapat kebaikan dia (harta) jadi kikir, kecuali bagi orang-orang yang shalat.Lalu Allah melanjutkan firmannya pada ayat ke 23 hingga 30 : Alladziina huum ‘alaa sholatihiim daaaa’ imuun…walladzinaa fii amwalihim haqqum ma’luum…Lissaaaa ili na walmahruum… walladzîna yushaddiqûna biyaumid-dîn…walladzîna hum min ‘adzâbi rabbihim musyfiqûn…Inna ‘adzâba rabbihim ghairu ma'mûn… walladzîna hum lifurûjihim ḫâfidhûn.. Illâ ‘alâ azwâjihim au mâ malakat aimânuhum fa innahum ghairu malûmîn..Artinya “yang selalu setia mengerjakan salatnya…yang di dalam hartanya ada bagian tertentu…untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta-minta…yang memercayai hari Pembalasan…dan yang takut terhadap azab Tuhannya…sesungguhnya tidak ada orang yang merasa aman dari azab Tuhan mereka…. (Termasuk orang yang selamat dari azab adalah) orang-orang yang menjaga kemaluannya… kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).    Firman Allah di dalam surat Al Ma’arij “Illal Mushollin” (kecuali yang mengerjakan shalat) sepatutnya menjadi reminder dalam konteks beribadah dan menuntun hidup kita menjadi lebih berkualitas dan lebih bermakna  baik dalam hubungan kita kepada Allah maupun kepada sesama manusia (habblum minanas). Karena shalat adalah tiang agama dan menjadi instrumen yang menjadi kontrol atau pengendali guna terhindar dari perbuatan dosa. Di dalam surat al an kabut ayat 45 Allah berfirman Aqimisshalat Innashalata tanha anil fahsyaa I wal munkar (dirikanlah shalat, karena shalat mencegah perbuatan keji dan munkar). Dengan mendirikan shalat dan setia terhadap shalatnya sebagaimana firman-firman Allah di dalam Alqur’an sesungguhnya merupakan jaminan agar manusia tercegah dari perbuatan keji dan munkar, agar manusia tidak selalu berkeluh kesah, agar manusia mampu menahan hawa nafsunya dan agar manusia senantiasa menjaga kesucian dirinya sebagaimana firman Allah di dalam surat al ‘ala “Qad af lahaman ta zakka wa dzakarasma rabbihi fasholla”Sungguh beruntung orang yang menjaga kesucian dirinya dan senantiasa mengingat Tuhannya dengan shalat.Sahabat sekalianJika kita mencoba mengambil suatu benang merah yang menghubungkan aspek kejiwaan dengan berbagai penemuan ilmu-ilmu empiris secara objektif maka sesungguhnya tidak akan ada pertentangan antara science dengan kandungan-kandungan yang terdapat di dalam Alqur’an. Sebaliknya, justeru temuan-temuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang memiliki korelasi dengan kandungan-kandungan Alqur’an. Alqur’an jika ditadaburi sesungguhnya akan menjadi pemandu dalam pengembangan science termasuk menyangkut aspek-aspek kejiwaan yang akan menemukan kenormatifannya dengan menggali dan memahami lebih jauh tanda-tanda yang ditunjukkan di dalam Alqur’an. Konsep dasar jiwa manusia yang primitif dan dipenuhi oleh instinc untuk semata-mata mencari kenikmatan dan menghindari ketidaknimatan pada akhirnya menemukan jalannya dengan kita lebih jauh memahami mengenai diri kita dan untuk apa kita diciptakan dan kemana kita pada akhirnya akan kembali. Sahabat sekalian   Betapa seiringnya kita mendengar ungkapan nyinyir, sarkatis yang menyatakan sholat terus maksiat jalan. Betapa sering kita mendengar ungkapan yang mengatakan “Mereka shalat tetapi juga melakukan korupsi”. Adanya ungkapan tersebut sesungguhnya tidak perlu ditanggapi dengan penuh emosional, namun kembali lagi kita bertanya kepada diri kita apabila kita telah rajin mengerjakan shalat namun masih terjerumus dalam lembah maksiat dan dosa perlu dipertanyakan “ada apa gerangan dengan shalatku”. Apakah hanya sekedar semata-mata menggugurkan kewajiban tanpa memaknai arti shalat yang sebenarnya ? Marilah kita perbaiki shalat kita, komunikasi kita kepada Allah Tabaraka wa ta’ala, memahami makna shalat berikut bacaan-bacaan shalat seraya menghayati dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata kita sebagai seorang muslim  Fastabiqul Khoyrot IBNU MAZJAH(Hakim Ad Hoc Tipikor PN Manado)

Imparsial Sejak Dalam Pikiran

article | Opini | 2025-05-29 10:05:00

INDONESIA adalah negara hukum (rechtsstaat) secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD NRI tahun 1945 yang sebelum amandemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945. Mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berlandaskan konstitusi bukan negara kekuasaan yang otoriter. Hukum menjadi dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Negara hukum, konstitusi, dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan menuju sebuah bangunan  negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi dan demokrasi yang berdasarkan kepada hukum.Definisi yang memberikan penjelasan mengenai unsur dan definisi negara hukum terus berkembang. Dari masa klasik ke modern bahkan masa kontemporer terdapat dua elemen yang selalu muncul dan menunjukkan peran serta fungsi pengadilan yaitu: perlindungan terhadap hak-hak individu dan  adanya proses peradilan yang setara dan imparsial yang dijalankan oleh pengadilan yang independen yang bisa diakses setiap warga negara yang ingin memulihkan dan menikmati hak-haknya yang mungkin dilanggar oleh pihak lain-termasuk jika dilanggar oleh negara. Selain kedua elemen tersebut, terdapat elemen hukum dan undang-undang yang memuat jaminan hak-hak individu serta pembatasan dan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, yang umumnya dimuat dalam konstitusi.Pengadilan sebagai pemegang cabang kekuasaan negara di bidang yudikatif, sebagaimana cabang kekuasaan negara lainnya merupakan pemegang kewajiban (duties bearer) terhadap individu atau warga negara sebagai pemegang hak (rights holder) hak asasi manusia. Kewajiban tersebut baik berupa menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) pemenuhan hak asasi manusia. Apabila pada cabang kekuasaan lainnya, tanggung jawab terhadap hak asasi manusia secara proaktif, langsung dan aktif, maka berbeda dengan pengadilan. Tanggungjawab pengadilan baru dapat dijalankan ketika suatu permasalahan hukum diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.Pengadilan yang Independensi dan ImparsialPengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya mengadili perkara haruslah terbebas dari kekuasaan atau campur tangan dari kekuasaan lainnya. Kebebasan atau independensi pengadilan menjadi prasyarat untuk mampu menjadi penyeimbang dan pembatas dari lembaga-lembaga negara dalam cabang kekuasaan yang lain. Terutama, ketika pengadilan harus menguji atau mengadili tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan negara, atau terhadap seseorang atau sekelompok warga negara.Dari berbagai instrumen dan referensi, setidaknya terdapat empat aspek yang menjadi perasyaratan bagi indepensi peradilan. Pertama, pengaturan prosedur dan kualifikasi pengangkatan hakim dalam undang-undang. Kedua, Jaminan yang terkait dengan masa masa kerja, usia pensiun wajib dan alasan-alasan berakhirnya masa jabatan hakim. Ketiga, mengenai pengaturan proses promosi, mutasi, penangguhan dan penghentian fungsi Hakim, dan keempat adalah independensi peradilan dari campur tangan politik oleh badan eksekutif dan legislatif.Independensi peradilan menjadi salah satu semangat Era Reformasi dengan melakukan pembaharuan lembaga pengadilan. Pengalihan kewenangan aspek administrasi, organisasi, dan finansial dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung menjadi tonggak berlakunya manajemen kehakiman “satu atap”. Sejak saat itu, Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, dalam manajemen satu atap mengurus seluruh hal, termasuk aspek organisasi, administrasi dan keuangan serta hal teknis yudisial. Pentingnya indepensi peradilan disoroti oleh Jimly Asshiddiqie sebab tanpa adanya peradilan bebas, tidak ada negara hukum dan demokrasi. “Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law, tetapi rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.”Selain independen, hal yang dituntut untuk dapat memenuhi fungsi peradilan dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia adalah imparsial atau tidak memihak. Pentingnya peradilan independen dan imparsial juga ditegaskan dalam berbagai instrumen. Ketentuan-ketentuan internasional mengenai hal itu dapat ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), Vienna Declaration and Programme of Action (1993), Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990), Beijing Statement of Principle of Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1995), The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), dan lain-lain.Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan internasional tersebut memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Universal Declaration of Human Rights (1948) (Pasal 10), International Covenant on Civil and Political Rights (1976) (Pasal 14), dan Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) adalah ketentuan-ketentuan internasional yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).Meski tidak secara khusus dan detail mengatur, masuknya ketentuan mengenai independensi peradilan dalam UDHR dan ICCPR memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Hal itu karena berhubungan erat dengan aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Sedangkan instrumen dari PBB yang secara komprehensif mengatur tentang peradilan yang independen dan imparsial adalah Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985).Pentingnya peradilan merdeka dan tidak memihak di atas, menarik menyoroti Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002). Ketiganya menyebut bahwa independensi dan imparsialitas peradilan tidak hanya dilekatkan pada peradilan secara institusional, tetapi juga diberikan kepada hakim secara individual. Universal Declaration on the Independence of Justice (1983) menyebut ketentuan bahwa “Hakim harus bebas secara individual”, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982) juga menyebut bahwa “Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence”. Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), khususnya bagian tentang independensi kehakiman, juga terdapat ketentuan serupa yang menyebut bahwa “A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects”.Ketentuan tersebut menunjukkan independensi kekuasaan kehakiman seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai independensi kekuasaan kehakiman secara institusional, tetapi juga mencakup independensi kekuasaan kehakiman secara personal. Meskipun tidak ada intervensi eksternal dari kekuasaan lembaga negara lain terhadap peradilan, independensi dan imparsialitas peradilan sulit dapat diwujudkan jika hakim secara personal tidak memiliki ruang leluasa untuk melaksanakan tugasnya secara merdeka dan tidak memihak. Menurut Mikuli, imparsialitas mengacu kepada keadaan pikir atau sikap batin ketika menghadapi perkara. Berbeda dengan independensi berupa kondisi bebas dari tekanan pemerintah atau kekuasaan negara lainnya. Lebih lanjut menurut Mikuli imparsialitas adalah turunan dari independensi, baru akan muncul ketika independensi peradilan telah ada.Imparrsialitas pengadilan masih akan tergantung pada imparsialitas hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebagaimana disampaikan MacDonald dan Kong mengungkapkan bahwa '(bisa jadi) peradilan pada prinsipnya mungkin independen, tetapi dalam kasus tertentu, seorang hakim mungkin tidak imparsial, artinya, dapat menunjukkan favoritisme terhadap satu pihak'.Dari hal di atas, terlihat bahwa alam berpikir dan perilaku hakim sangat menentukan tercapainya imparsialitas yang diharapkan dari pengadilan. Lahirnya prinsip-prinsip hukum acara yang memandu agar hakim dapat tampak bersikap imparsial/netral, dalam persidangan. Prinsip audi et alteram partem dalam hukum acara perdata, misalnya. Berikutnya muncul instrumen-instrumen universal yang mengatur soal perilaku hakim agar imparsial. Misalnya, Bangalore Principles of Judicial Conduct (terakhir diperbarui tahun 2002).Dalam Bangalore Principles, ketidakberpihakan diperlakukan sebagai salah satu nilai penting bagi peradilan selain dari integritas, kepatutan, kesetaraan, dan kompetensi/ketekunan. Dokumen tersebut menyatakan bahwa ketidakberpihakan 'berlaku tidak hanya untuk keputusan itu sendiri tetapi juga untuk proses di mana keputusan itu dibuat.' Bangalore Principle juga menekankan perlunya untuk mengamati kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mewujudkan ketidakberpihakan hakim. Misalnya, memastikan hakim melaksanakan tugasnya tanpa memperoleh bantuan dari pihak lain, bias, atau prasangka.Disimpulkan, imparsialitas berkaitan erat dengan pola pikir dan cerminannya dalam perilaku hakim. Sebagaimana diungkapkan Gonera yang dikutip oleh Mikuli, karakter pribadi hakim yang kuat dan teguh adalah yang paling diharapkan. Hal ini meliputi antara lain menjaga perilaku agar senantiasa memenuhi etika, baik dalam lingkup tugas sebagai hakim maupun saat tidak bertugas, keberanian moral menjalankan independensi peradilan, kecerdasan, kebijaksanaan, kecermatan dalam berbahasa, kemampuan untuk berefleksi secara luas, keyakinan dalam pengambilan keputusan, rasa keadilan dan hati nurani yang sensitif. Hal itu pula yang menyebabkan nobility menjadi karakter utama yang melekat pada hakim.Bias Personal dalam Mengadili PerkaraHakim merupakan pemangku dan pelaksana kekuasaan kehakiman. Dipersonifikasikan dalam sosok manusia terpilih yang disebut “kadi”, digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas. Tidak akan menengok ke kanan atau kiri atau bermain mata dengan salah satu pihak yang berperkara. Dalam ajaran filsafat hukum klasik, hakim itu harus lurus mengikuti “kewajiban tak bersyarat” tanpa boleh ada niat untuk berpikiran culas. Maka itu, menurut Montesquie, hakim hanya berperan sebagai la bouche qui prononce les paroles des lois (sebatas corong yang membunyikan kata-kata undang-undang) semata.Dengan melihatnya dalam struktur organisasi dan secara mekanis, hal itu menjadikan hakim sebagai orang yang bebas nilai dan bersih dari kepentingan. Dlepaskan dari segala yang bersifat manusiawi dan terhindar sama sekali dari pengaruh lingkungan. Persoalannya adalah bagaimana mungkin hakim dapat bekerja menganalisis kasus dengan hanya ”murni” mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku. Dalam realitasnya, hakim adalah juga manusia yang sangat dipengaruhi oleh identitas yang beragam. Sejarah kehidupan, etnisitas, dan tradisi kultural, kelas, keyakinan agama, pandangan politis, kelas, gender, bahkan ideologi keilmuan. Dengan demikian, putusan “yuridis-normatif” sebenarnya juga mengandung klaim “sosiologis-kultural” sejalan dengan keberagaman dan tumpang tindih identitas dalam diri seorang hakim. Hakim adalah seorang manusia.Hakim juga produk dari masyarakat. Pergeseran nilai dan sikap permisif terhadap perbuatan yang melanggar hukum langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi hakim, termasuk dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, mengadili perkara.Imparsialitas hakim dalam mengadili perkara, sangat terkait dengan prinsip hak asasi manusia. Kesetaraan, dimana pada situasi yang sama manusia harus diperlakukan sama, dan pada situasi yang berbeda manusia diperlakukan secara berbeda pula. Sedangkan prinsip berikutnya adalah non diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yagn tidak secara seperti inequality before the law, inequality of treatment, or education opportunity. Dalam konteks menjalankan persidangan, imparsialitas hakim harus terwujud baik dalam proses persidangan maupun putusan yang dihasilkannya. Imparsialitas hakim harus didasarkan pada kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.Personal bias dilarang muncul dan diminta untuk dihindari oleh hakim agar bisa bersikap imparsial dan objektif dalam mengadili suatu perkara. Namun secara alami setiap manusia memiliki bias. Karena sifatnya unik, maka kebanyakan orang tidak menyadari atau tidak merasa dirinya memiliki bias sebagaimana orang-orang lainya. Personal bias dapat diartikan sebagai kecenderungan, preferensi, favoritisme yang berpotensi menimbulkan keperpihakan yang disebabkan pengaruh yang bersifat internal dan personal. Usia, generasi, agama, nilai-nilai, pola asuh dan berbebagai latar belakang hakim dapat mempengaruhi personal bias. Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum menunjukkan hal tersebut.  Meski hukum acara maupun kode etik dan pedoman perilaku yang digunakan sama, ternyata dalam implementasinya terdapat bias personal diantara hakim dalam mengadili perkara sejenis. Diperlukan pedoman untuk menghindarkan hakim dari personal bias dan menjamin imparsialitas hakim.Selain personal bias, dikenal pula unconscious bias. Kondisi dimana penilaian atau keputusan diambil berdasarkan pengalaman sebelumnya, pola pikir mendalam pribadi, asumsi atau interpretasi yang tidak disadari. Cenderung percaya bahwa telah menjadi yang terbaik dan tidak berprasangka buruk dibanding yang lain. Dalam praktek persidangan, masih sering terjadi personal bias maupun unconscious bias tanpa disadari. Pengajuan pertanyaan yang menyebutkan tindak pidana kepada terdakwa telah menempatkan seolah hakim telah menggangap terbuktinya kesalahan. Atau dalam keadaan tertentu, hakim menasehati terdakwa, jika berlebihan tentu akan dapat mengganggu imparsialitas hakim. Baik personal bias maupun unconscious bias harus dapat dihindari oleh hakim ketika menjalankan tugasnya. Hakim dituntut dapat menunjukkan bahwa pertimbangan hukum atau penafsiran hukum ataupun putusan yang diambil dalam perkara yang disidangkannya bukan sekedar pandangan subyektif. Hakim harus obyektif dan netral tanpa pandangan/indeologi politik. Hakim  dan pengadilan adalah cold neutrality. Pentingnya Pemahaman Hak Asasi Manusia bagi HakimMenjadi menarik, ketika personal bias dan unconscious bias adalah hal yang alami, sedangkan hakim selalu menjaga netralitasnya. Untuk menjamin sikap imparsial, hakim dapat melakukan pendekatan secara psikologi sebagaimana yang disampaikan Frith.Merenungkan kembali dengan meluangkan waktu untuk melihat apakah proses berpikir telah mempengaruhi obyektifitas pengambilan keputusan. Secara tidak sadar manusia, termasuk hakim, mendiskriminasi dengan lebih mendukung hal-hal yang terasa ‘alami’ dan ‘benar’ dibanding hal yang kurang familiar. Hakim harus lebih waspada (alert) ketika menemui hal-hal yang bersifat asing ketika mengadili perkara. Memotivasi diri dan meningkatkan pengetahuan tentang kelompok lain dapat menjadi jalan untuk mengurangi diskriminasi yang muncul di alam bawah sadar.Dalam pengambilan keputusan hakim dapat meningkatkan kualitas jika memiliki komitmen untuk mempertanyakan stereotip budaya.  Musyawarah majelis hakim dapat dipergunakan untuk mendeteksi bias yang mungkin muncul dan saling mengujinya secara obyektif diantara hakim. Dalam konteks ini, persepektif dan pengetahuan hakim yang memadai mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan cara-cara yang dapat digunakan oleh hakim, dengan kewenangannya, untuk mengakomodir prinsip-prinsip tersebtu menjadi penting. Mengurangi dan meminimalisir personal bias maupun unconscious bias dalam proses penilaian fakta, penafsiran hukum dalam pengambilan keputusan.Pada akhirnya, ketika hakim telah bertindak imparsial, bahkan sejak dalam pikiran saat menjalankan tugasnya mengadili akan melahirkan lingkungan ideal bagi perlindungan hak asasi manusia di pengadilan. Melengkapi prasyarat penting berupa independensi dan imparsialitas pengadilan dalam proses persidangan dan memutus perkara secara fair. Hakim telah menjalankan tugas negara, menjadi duty bearer dalam perlindungan hak asasi manusia. Semoga.

Ketua PN Palangkaraya Harap Siapa pun Jangan Hubungi Hakim Terkait Perkara

article | Pembinaan | 2025-05-27 18:00:46

Palangkaraya- Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya, Kalteng Dr Diah Sulastri Dewi dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, Ricky Fardinand bersama-sama menindaklanjuti pesan Ketua MA RI tentang integritas dan kualitas aparatur pengadilan. Hal itu terkait Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Sunarto yang menyampaikan 5 pesan penting kepada seluruh aparat pengadilan pada Jumat (23/5) kemarin. Yaitu soal gaya hidup sederhana, kepatuhan terhadap Perma 1/2020, mutasi berbasis kapasitas, kepatuhan terhadap kode etik dan kode perilaku dan menjaga kepercayaan publik. Menindaklanjuti pesan Ketua MA RI tersebut, Ketua PT Palangkaraya bersama-sama Wakil Ketua PT Palangkaraya, Hakim Pengawas Daerah, Hakim Tinggi, Panitera dan Sekretaris melakukan pembinaan di PN Palangkaraya, Selasa (27/5/2025) siang. Dengan suara yang terbata-bata menahan tangis, Ketua PT Palangkaraya menyampaikan keprihatinannya terhadap penangkapan hakim dan panitera di beberapa Pengadilan Negeri, yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Peradilan. Meski demikian, Bunda Dewi (panggilan Ibu Ketua PT Palangkaraya) tetap bersemangat menyambut upaya terus menerus yang dilakukan oleh Ketua MA untuk memulihkan nama baik lembaga yudikatif. Ada 6 pesan penting Ketua MA yang diteruskan kepada seluruh aparatur PN Palangkaraya hari ini: 1.     Kita semua harus mengingat kembali tujuan dibentuknya Lembaga Peradilan yaitu untuk ikut mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana disebut dalam Pembukaan UUD 1945.2.     Kepercayaan publik  yang tereduksi akibat perbuatan judicial corruption oleh segelintir orang.3.     Kita harus memegang teguh pedoman yang telah digariskan dalam visi MA untuk terwujudnya Lembaga Peradilan yang agung.  4.     Kita harus memberikan layanan yang transendental. 5.     Para Hakim wajib menjunjung tinggi etika profesi sebagaimana termuat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.6.     Rotasi, mutasi promosi tidak didasarkan atas kapabilitas dan integritas, bukan senioritas.“Semua hakim dan aparat pengadilan lainnya harus menghentikan praktik pelayanan yang transaksional. Jangan sampai ada aparatur pengadilan di Kalimantan Tengah yang kena OTT,” tutup Ketua PT Palangkaraya.  Selanjutnya, Wakil Ketua PT Palangkaraya mengingatkan penerapan Perma 1/2020 dalam perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan Hakim Pengawas menyampaikan bahwa hakim harus menjaga etika, baik di ruang sidang maupun di luar persidangan. Sementara itu, Ricky Fardinand, sebelum membuka sidang Tipikor, mengingatkan para pihak agar tidak menghubungi dan mempengaruhi hakim terkait perkara. “Percayakan kepada hakim, agar majelis hakim memutus perkara seadil-adilnya, tanpa dipengaruhi oleh apapun. Kita sama-sama menjaga komitmen agar persidangan berjalan secara fair,” pesan Ricky Fardinand. 

Kode Etik Hakim: Ibarat Perahu Di Tengah Badai

article | Opini | 2025-03-26 07:30:58

Officium Nobile adalah istilah Latin yang berarti "profesi yang mulia" atau "tugas yang mulia." Dalam konteks hukum, istilah ini sering merujuk pada profesi hukum yang dianggap memiliki tanggung jawab etis dan moral yang tinggi dalam menjalankan tugas mereka.Profesi ini disebut "nobile" (mulia) karena fungsinya yang tidak hanya berurusan dengan aturan hukum semata, tetapi juga dengan keadilan, kebenaran, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Mereka yang berada dalam profesi ini diharapkan untuk menjaga integritas, bertindak adil, dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.Salah satu profesi yang menyandang gelar Officium Nobile ini adalah Hakim. Profesi hakim memiliki sejarah panjang yang berakar pada perkembangan sistem hukum dan peradaban manusia. Pada masa peradaban awal, peran hakim sering kali dijalankan oleh pemimpin komunitas, kepala suku, atau tokoh agama yang dihormati. Di bumi Nusantara, pada masa kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya, raja atau pejabat kerajaan bertindak sebagai hakim tertinggi. Hukum adat menjadi dasar peradilan. Memasuki masa penjajahan Belanda, sistem peradilan di Indonesia mulai diatur secara formal oleh pemerintah kolonial. Hakim berasal dari pejabat kolonial dan pribumi yang dilatih. Setelah merdeka, Indonesia membangun sistem peradilan nasional sendiri.Sebagai salah satu profesi tertua di dunia, Hakim memiliki peran penting dalam sistem peradilan. Hakim bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum yang berlaku.Setelah Perang Dunia II, profesi hakim mulai memiliki kode etik yang diakui secara internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) pada Pasal 10 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak. Hal ini menekankan perlunya hakim yang berintegritas.Bangalore Principle yang terbentuk pada tahun 2001 menjadi panduan internasional bagi hakim dan terdiri dari enam prinsip utama. Perumusan prinsip ini dapat diterapkan di berbagai sistem hukum, baik common law maupun civil law. Enam prinsip utama yang dirancang untuk menjaga martabat Hakim dan Peradilan itu adalah independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepatutan (propriety), kesetaraan (equality), serta kompetensi dan ketekunan (competence and diligence). Di Indonesia, keenam prinsip ini berkembang menjadi 10 (sepuluh) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang diatur didalam Keputusan Bersama KMA dan Ketua KY No : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang berlaku sejak tanggal 8 April 2009. Di tahun 2012 Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang diatur didalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 –02/PB/P.KY/09/2012 yang berlaku sejak tanggal 27 September 2012.Sepuluh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut adalah berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap professional.Menjadi hakim ideal dan profesional bukan perkara mudah. Hakim dihadapkan pada berbagai tantangan seperti intervensi pihak luar, kritik masyarakat dan pengaruh media sosial. Terutama juga harus menghadapi perkembangan hukum di tengah kemajuan teknologi pada masa digital saat ini. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam satu genggaman tangan dengan sekali klik, dibantu dengan berbagai aplikasi, artificial intelligence, dan sistem.Tampaknya asas res judicata pro veritate habetur atau putusan Hakim harus dianggap benar, sudah bergeser maknanya dimasa kini. Hakim memang tidak boleh mengomentari putusannya sendiri maupun putusan Hakim lainnya, tetapi tidak ada larangan untuk masyarakat dalam memberikan komentar terhadap putusan Hakim. Oleh karena itu menjadi Hakim bukanlah tugas yang mudah, selain menghadirkan keadilan, Hakim melalui putusannya juga harus mengedukasi masyarakat yang belum tentu semuanya memahami hukum. Di masa kini, masyarakat dapat dengan mudahnya salah paham terhadap putusan Hakim yang dinilainya tidak benar, padahal belum tentu seperti itu kenyataannya. Walaupun Hakim adalah profesi yang hebat, Hakim juga manusia, harus terus belajar agar bisa berkembang menjadi lebih baik. Gelar Wakil Tuhan hanya sebagai kompas moral bagi Hakim, petunjuk arah dan pengingat bagi Hakim dalam berjalan menyeberangi lautan perkara, membawa lentera keadilan untuk menerangi gelapnya ketidakadilan yang terjadi. Lautan perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim itu bukanlah lautan yang selalu tenang, terkadang akan ditemukan badai-badai besar seperti kritikan masyarakat, tekanan dan ancaman dari luar, godaan-godaan dari berbagai pihak yang ingin mengguncang integritas dan menguji keteguhan hati seorang Hakim. Oleh karena itu untuk mengantarkan lentera keadilan itu, diperlukan perahu yang kokoh agar Hakim bisa menyelesaikan tugas-tugas beratnya dengan selamat, perahu itu adalah kode etik. Kode etik Hakim yang pertama adalah berperilaku adil. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan. Kode etik Hakim yang kedua adalah berperilaku jujur. Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).Kode etik Hakim yang ketiga adalah berperilaku arif dan bijaksana. Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.Kode etik Hakim yang keempat adalah bersikap mandiri. Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Kode etik Hakim yang kelima adalah berintegritas tinggi. Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.Kode etik Hakim yang keenam adalah bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.Kode etik Hakim yang ketujuh adalah menjunjung tinggi harga diri. Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.Kode etik Hakim yang kedelapan adalah berdisiplin tinggi. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.Kode etik Hakim yang kesembilan adalah berperilaku rendah hati. Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.Kode etik Hakim yang kesepuluh adalah bersikap professional. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.Menjadi Hakim, merupakan suatu profesi terhormat dan sulit dicapai. Kode etik ini tentunya harus selalu diingat agar dapat menjadi standar dan motivasi dalam bekerja. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui siapapun, penulis pun masih harus banyak belajar, hanya karena kode etik ini merupakan aturan yang bersifat tetap dan melekat pada profesi, maka boleh untuk terus diingat dan disosialisasikan. Tulisan ini merupakan kerangka berpikir dan niatnya sebagai pembangkit semangat dan motivasi bersama untuk terus belajar dan memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan di tengah kondisi apapun baik dalam kondisi yang tenang maupun dalam kondisi ada badai yang menerpa. Sebagai penutup, sebuah quotes dari Sydney Smith: “nations fall when judges are injust, because there is nothing which multitude thing worth defending” -  Bangsa akan runtuh manakala Hakim bertindak tidak adil, karena tidak ada lagi yang layak untuk menjadi pelindung. (FAC, AAR, IPS)*Calon Hakim PN Jambi