Cari Berita

Di Balik Sifat Manusia yang Suka Mengeluh dan Tidak Bersyukur

article | Opini | 2025-06-20 08:05:54

Assalamualaykum Warohmatullahi Wabarokatuhu,SAHABAT sekalian Secara naluriah, manusia pada dasarnya memang dipenuhi oleh sifat serakah, enggan bersyukur, berkeluh kesah, tidak perduli terhadap sesama. Dalam ranah science pada lingkup ilmu jiwa ada suatu teori fenomenal yang dikekukakan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan psikoanalisa. Teori tersebut memberikan suatu deskripsi bahwa manusia prinsip dasarnya adalah selalu mencari kesenangan atau kenikmatan dan menghindari ketidaknikmatan. Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya membagi jiwa manusia ke dalam tiga lapisan yakni ;-       Lapisan pertama, Das Es atau Id ; Bagian primitif dan tidak sadar yang didorong oleh dorongan insting dan keinginan. -       Lapisan kedua Das Ich atau Ego ; Bagian kepribadian yang beroperasi pada tingkat kesadaran dan bertindak sebagai perantara antara id dan dunia luar. -       Lapisan ketiga Das Ueber Ich atau Superego : Bagian kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dari masyarakat. Dalam menjalan kehidupan di dunia nyata, jika hanya lapisan paling dasar dari jiwa manusia atau Id ini yang mendominiasi dirinya, maka keperibadiannya manusia diprediksi berada pada derajat yang nyaris sama dengan binatang. Pada lapisan jiwa berikutnya, Ego, berdasarkan teori tersebut terdapat aspek psikis berupa kepribadian manusia yang berhubungan dengan realitas dunia luar, sehingga ketika dia berinteraksi manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dia mulai merasa malu melakukan suatu perbuatan yang bersifat tercela atau perbuatan-perbuatan dosa karena adanya lapisan psikis pada lapis ke dua dari jiwanya itu. Dalam konteks Ilahiah  yang dimaksud dosa berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim no 2553 Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam bersabda “dosa adalah apa yang mengganjal dalam dirimu dan kamu tidak ingin manusia mengetahuinya”. Lalu Pada lapisan jiwa terluar atau ketiga, Superego terdapat lagi aspek sosiologis dimana kepribadian yang terbentuk dari diri seseorang memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai moral. Hal ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh pendidikan yang diberikan kepada manusia, baik pendidikan yang didapat dari lingkungan social hingga pendidikan agama. Pembahasan science yang dimunculkan oleh seorang psikolog pada abad ke 20 awal itu, jika kita renungkan dan dielaborasi,  kandungannya telah banyak diungkap oleh Al Qur’an, kitabullah yang merupakan sumber kebenaran dan tuntutan hidup bagi umat manusia. Sayangnya manusia jarang menyadari dan menggali kebenaran ilmiah yang tersirat di dalam Alqur’an. Disebutkan di dalam surat Al Ma’arij ayat 19 Allah berfirman : “Innal insaana khuliqa halu ‘aa..”, yang artinya,sungguh manusia diciptakan suka mengeluh..disambung ayat ke 20 hingga ke 22 idza massahu Syarru jazuu ‘aa” wa idza massahul khoyru manuu ‘aa.. illal mushollin…(apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah), dan apabila mendapat kebaikan dia (harta) jadi kikir, kecuali bagi orang-orang yang shalat.Lalu Allah melanjutkan firmannya pada ayat ke 23 hingga 30 : Alladziina huum ‘alaa sholatihiim daaaa’ imuun…walladzinaa fii amwalihim haqqum ma’luum…Lissaaaa ili na walmahruum… walladzîna yushaddiqûna biyaumid-dîn…walladzîna hum min ‘adzâbi rabbihim musyfiqûn…Inna ‘adzâba rabbihim ghairu ma'mûn… walladzîna hum lifurûjihim ḫâfidhûn.. Illâ ‘alâ azwâjihim au mâ malakat aimânuhum fa innahum ghairu malûmîn..Artinya “yang selalu setia mengerjakan salatnya…yang di dalam hartanya ada bagian tertentu…untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta-minta…yang memercayai hari Pembalasan…dan yang takut terhadap azab Tuhannya…sesungguhnya tidak ada orang yang merasa aman dari azab Tuhan mereka…. (Termasuk orang yang selamat dari azab adalah) orang-orang yang menjaga kemaluannya… kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).    Firman Allah di dalam surat Al Ma’arij “Illal Mushollin” (kecuali yang mengerjakan shalat) sepatutnya menjadi reminder dalam konteks beribadah dan menuntun hidup kita menjadi lebih berkualitas dan lebih bermakna  baik dalam hubungan kita kepada Allah maupun kepada sesama manusia (habblum minanas). Karena shalat adalah tiang agama dan menjadi instrumen yang menjadi kontrol atau pengendali guna terhindar dari perbuatan dosa. Di dalam surat al an kabut ayat 45 Allah berfirman Aqimisshalat Innashalata tanha anil fahsyaa I wal munkar (dirikanlah shalat, karena shalat mencegah perbuatan keji dan munkar). Dengan mendirikan shalat dan setia terhadap shalatnya sebagaimana firman-firman Allah di dalam Alqur’an sesungguhnya merupakan jaminan agar manusia tercegah dari perbuatan keji dan munkar, agar manusia tidak selalu berkeluh kesah, agar manusia mampu menahan hawa nafsunya dan agar manusia senantiasa menjaga kesucian dirinya sebagaimana firman Allah di dalam surat al ‘ala “Qad af lahaman ta zakka wa dzakarasma rabbihi fasholla”Sungguh beruntung orang yang menjaga kesucian dirinya dan senantiasa mengingat Tuhannya dengan shalat.Sahabat sekalianJika kita mencoba mengambil suatu benang merah yang menghubungkan aspek kejiwaan dengan berbagai penemuan ilmu-ilmu empiris secara objektif maka sesungguhnya tidak akan ada pertentangan antara science dengan kandungan-kandungan yang terdapat di dalam Alqur’an. Sebaliknya, justeru temuan-temuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang memiliki korelasi dengan kandungan-kandungan Alqur’an. Alqur’an jika ditadaburi sesungguhnya akan menjadi pemandu dalam pengembangan science termasuk menyangkut aspek-aspek kejiwaan yang akan menemukan kenormatifannya dengan menggali dan memahami lebih jauh tanda-tanda yang ditunjukkan di dalam Alqur’an. Konsep dasar jiwa manusia yang primitif dan dipenuhi oleh instinc untuk semata-mata mencari kenikmatan dan menghindari ketidaknimatan pada akhirnya menemukan jalannya dengan kita lebih jauh memahami mengenai diri kita dan untuk apa kita diciptakan dan kemana kita pada akhirnya akan kembali. Sahabat sekalian   Betapa seiringnya kita mendengar ungkapan nyinyir, sarkatis yang menyatakan sholat terus maksiat jalan. Betapa sering kita mendengar ungkapan yang mengatakan “Mereka shalat tetapi juga melakukan korupsi”. Adanya ungkapan tersebut sesungguhnya tidak perlu ditanggapi dengan penuh emosional, namun kembali lagi kita bertanya kepada diri kita apabila kita telah rajin mengerjakan shalat namun masih terjerumus dalam lembah maksiat dan dosa perlu dipertanyakan “ada apa gerangan dengan shalatku”. Apakah hanya sekedar semata-mata menggugurkan kewajiban tanpa memaknai arti shalat yang sebenarnya ? Marilah kita perbaiki shalat kita, komunikasi kita kepada Allah Tabaraka wa ta’ala, memahami makna shalat berikut bacaan-bacaan shalat seraya menghayati dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata kita sebagai seorang muslim  Fastabiqul Khoyrot IBNU MAZJAH(Hakim Ad Hoc Tipikor PN Manado)

Menjaga Marwah Persidangan dan Etika Seorang Hakim dalam Memutus Perkara

article | Berita | 2025-04-03 13:05:22

Persidangan adalah rangkaian proses dan tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan. Persidangan harus dijaga marwah dan martabatnya, karena persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim adalah perbuatan yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada hukum, para pihak, masyarakat umum, dan diri seorang hakim, tetapi juga dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya, hakim adalah profesi yang unik dan mulia, satu-satunya profesi yang mencantumkan kalimat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam lembar kerjanya berupa putusan.Seorang Hakim atau Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan memegang peranan penting karena sebagai figur sentral dalam proses peradilan. Meski demikian, hakim bagaikan ikan dalam aquarium, ia harus menjaga ketat dalam menegakkan 10 Nilai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) baik dalam maupun luar kedinasan atau minimal mengejawantahkan Panca Brata Hakim yang terdiri dari Kartika (percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa), Cakra (mampu memusnahkan segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan), Candra (bersifat bijaksana dan berwibawa), Sari (berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela), dan Tirta (jujur) dalam laku kehidupannya.Persidangan adalah arena sakral, karena mekanisme yang dipimpin oleh Hakim Tunggal atau Majelis Hakim adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri seorang hakim yang dapat dikatakan merupakan perpanjangan tangan Tuhan.Hakim kerap dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, karena atas dasar tugas perintah jabatannya yaitu mengadili yang berarti menurut Pasal 1 Angka 9 KUHAP bahwa “mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”Pada konteks mekanisme persidangan di pengadilan terdapat 2 jenis mekanisme persidangan yaitu terbuka untuk umum dan tertutup untuk umum. Perbedaan mendasarnya adalah bahwa persidangan yang dilakukan secara tertutup untuk umum adalah untuk perkara yang mengenai Terdakwanya adalah anak (penyebutan dalam SPPA adalah Anak Berhadapan dengan Hukum) dan perkara yang mengenai kesusilaan sebagaimana Pasal 153 KUHAP menyebutkan bahwa “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” dan secara khusus juga diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menyatakan bahwa “Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.”Urgensitas atau pentingnya mekanisme persidangan yang dilakukan secara terbuka atau tertutup adalah menyangkut kekuatan putusan hakim setelah diucapkan. Tidak semua perkara pidana dinyatakan terbuka untuk umum. Teruntuk perkara tertentu, Hakim atau Majelis Hakim menyatakan bahwa sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Jika ketentuan ini dilanggar, maka dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan sebagai berikut:Pasal 13 Ayat (1) “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”Pasal 13 Ayat (2)“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”Pasal 13 Ayat (3)“Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum”Betapa pentingnya pemahaman mengenai sidang terbuka dan tertutup untuk umum, kembali ke prinsip tujuan hukum acara pidana yang salah satunya untuk melindungi Hak Asasi Manusia, bagaimanapun juga harkat dan martabat manusia harus dilindungi dan dihormati. Tidak mungkin kesusilaan yang seharusnya dijaga, sehingga dianggap tidak perlu dipertontonkan secara umum. Selain itu, tak kalah penting yang sebenarnya telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, manakala adanya pelanggaran hukum acara terhadap mekanisme sidang terbuka untuk umum maupun tertutup untuk umum, maka berimbas putusan batal demi hukum yang berarti putusan dianggap tidak pernah ada sejak dinyatakan batal demi hukum.Seiring dengan perkembangan hukum yang ada, dalam rangka menjaga ketertiban di ruang persidangan, Mahkamah Agung RI sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan yang secara khusus diperuntukkan untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan wibawa persidangan salah satunya lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2020 Jo Perma Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan yang secara khusus diatur dalam Bab II Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan mengatur ketentuan mengenai sifat terbuka untuk umum, kecuali ditentukan undang-undang, pembatasan jumlah pengunjung sidang, larangan membawa senjata tajam/api, kewajiban menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan, etika pengambilan dokumentasi, larangan makan dan minum selama persidangan, larangan membuat gaduh, masuk keluar ruangan tanpa izin, harus mengenakan pakaian yang sopan dan pantas, larangan melakukan perbuatan yang membahayakan keselamatan Hakim/Majelis Hakim, keharusan memelihara ketertiban di persidangan, dan sejumlah ketentuan lainnya yang pada intinya bertujuan menciptakan suasana yang aman bagi Hakim, Aparatur Pengadilan, dan masyarakat pencari keadilan demi terwujudnya peradilan yang berwibawa.Demikian halnya secara teknis dalam persidangan perkara perdata misalnya, secara tegas telah disebutkan dalam SK KMA Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik pada halaman 21 huruf j yang menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan setempat menunjuk seorang Panitera Pengganti tanpa menggunakan atribut untuk mengawasi ketertiban persidangan yang dilaksanakan dengan prasarana pada pengadilan tempat saksi dan/atau memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan pembuktian dengan acara pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang dapat dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi audio visual.Alih-alih demikian persidangan dianggap sebagai arena sakral karena hubungannya dengan keadilan seseorang. Keadilan adalah hubungan paling mendasar antar umat manusia, dalam berkehidupan tidak dapat dipungkiri bisa terjadi adanya pelanggaran hukum ataupun benturan kepentingan antar perorangan. Oleh karena itulah lembaga pengadilan hadir sebagai jawaban atas antisipasi chaosnya tata kehidupan masyarakat atau yang kerap disebut main hakim sendiri. Dalam hal ini secara praktis, apabila terdapat permasalahan hukum atau sengketa yang ada dalam tengah masyarakat, maka diajukan ke Pengadilan.Beban seorang Hakim itu sangatlah berat, karena setiap orang yang berperkara di Pengadilan bergantung pada putusan Hakim. Pengadilan dianggap sebagai tempat terakhir bagi para pencari keadilan. Putusan seorang Hakim adalah cermin Pengadilan. Maksudnya, Hakim yang telah menjatuhkan putusan atas nama Tuhan dan lembaganya, berarti ia telah berusaha dalam mewujudkan keadilan yang menurut hati nurani, peraturan perundang-undangan dan keadilan yang diharapkan masyarakat.Lihatlah sejenak pemberitaan yang ada pada sosial media atau televisi dan sebagainya, betapa pentingnya putusan hakim dituntut harus benar-benar adil bagi para pihak, minimalnya memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan sosial (social justice).Hakim dituntut harus mempunyai mata yang tersembunyi, yang artinya harus mampu melihat kebenaran yang senyatanya, keadilan yang lahir dari ketajaman mata batin atau kepekaan hati nurani. Karena bisa jadi, putusan yang telah dijatuhkan oleh Hakim Tunggal atau Majelis Hakim bisa berbanding terbalik pada kemudian hari dengan kebenaran yang ada, karena ada hal yang tidak terungkap di persidangan, dalam perkara pidana misalnya adanya kesaksian palsu dan Terdakwa tidak menyampaikan yang sebenarnya. Meskipun pada akhirnya ada upaya hukum Peninjauan Kembali, namun apalah artinya manakala Terpidana telah selesai menjalani masa pidananya. Belum lagi, dalam perkara perdata yang benar-benar harus membutuhkan prinsip kehati-hatian dan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) secara berimbang kepada para pihak yang bersengketa dalam perkara.Kredo korps hakim adalah profesi yang sunyi adalah benar adanya. Hakim bekerja dalam 3 ruang kerja yaitu akal pikiran, hati nurani, dan meja persidangan. Tatkala hakim pulang dari kantor, ia masih dibebani tugas untuk memikirkan nasib dan hak seseorang. Akal pikirannya terus bekerja untuk terus belajar, membuka berbagai literatur bacaan dan hatinya terus berbisik kemana arah putusannya nanti. Selaras dengan hal tersebut, oleh karenanya ada sebuah pertanyaan dasar atau empat kriteria dasar bagi Hakim sebelum maupun sesudah memutuskan perkara sebagai bentuk kehati-hatian yaitu:Benarkah putusanku?Jujurkah putusanku?Adilkah putusanku?Bermanfaatkah putusanku?Ada beberapa etika dalam khazanah agama islam khususnya bagi seorang Hakim sebelum memutus perkara dalam kitab Fathul Qorib pada bagian kitab yang menjelaskan hukum-hukum pengadilan dan kesaksian menyebutkan sebagai berikut:Seorang Qadhi atau hakim menjauhi, yakni makruh melakukan mengqadha (memutuskan suatu hukum) dalam 10 keadaan, sebagian menurut keterangan dengan menggunakan istilah 10 keadaan, yaitu:“Ketika sedang marah. Menurut sebagian keterangan dalam keadaan marah. Sebagian ulama berkata bahwa jika sikap marah itu mengeluarkan hakim dari konsentrasi penuh. Maka ketika hakim dalam keadaan demikian, diharamkan memutuskan suatu hukum. Dalam keadaan sangat lapar kenyang dahaga syahwat (sangat kuat), susah senang dan sakit yang parah. Menahan dua hadas, yaitu kencing dan berak. Sedang kantuk, udara sangat panas atau dingin”Begitu juga dalam konteks kebudayaan, ada sebuah etika khusus bagi seorang hakim sebelum memutus perkara menurut budaya bugis Sulawesi Selatan. Dalam konteks adat istiadat kebudayaan Bugis Sulawesi Selatan, manakala merujuk salah satu sumber pada Kitab Lontara Wajo Abad XV-XVI suatu penggalian sejarah terpendam Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa:“Narékko engka bicara muoloi, ajaq mutimbangngi narékko engka baraq mengkaiko. Séuani cakkarudduko, Maduanna mawesso sennakko, Matellunna malupuko, Maeppana malasao, Malimanna marioko, Maennenna mabacciko, Mapitunna labuni essoé, Sorokko rioloq muannawa-nawa madécéng esso baja, esso sangadi, muoloi paimeng. Narékko baraq séunna mangkaiko ajaq muretteqi napusolangngi matuq wija-wijammu lattuq ri paddimunrinna enrengngé waramparammu, narékko temmapaccingngi muretteqi. Narékko mapaccingmui muretteqi, ianaritu riaseng bicara tongettellu. Masėmpo dalléq manengngi to ri wawamu, malampéi sungeqmu.”Terjemahan:Jika engkau menghadapi peradilan, menimbang apabila ada salah satu dalam dirimu. Pertama, mengantuk. Kedua, engkau terlalu kenyang Ketiga, engkau lapar. Keempat, engkau sedang sakit. Kelima, senang. Keenam, engkau sedang jengkel. Ketujuh, matahari tenggelam (senja). Mundurlah terlebih dahulu berpikir baik besok lusa, kemudian hadapi kembali peradilan. Apabila ada salah satunya dalam dirimu, janganlah memutus perkara (sebab) akan merusak keturunanmu dan hartamu, apabila tidak bersih hatimu engkau memutus perkara. Apabila hatimu telah bersih kemudian memutus perkara, itulah yang disebut peradilan tongeng tellu. Murah rezki orang dibawahmu dan panjang umurmu.Lebih lanjut mengenai kondisi pabbicara/pakkatenni adeq (Hakim) yang harus dihindari sebelum memulai persidangan maupun sebelum memutuskan perkara, dapat dilihat pada bagan dibawah ini sebagai berikut:Kondisi Yang Harus Dihindari Sebelum Peradilan Atau Memutuskan PerkaraNo.KondisiTranskripsiTerjemahan1Lupu (Lapar)Naiya riasengnge lupu, tojengngé pabbéré-béré ri to engkaé bicarannaAdapun yang dimaksud "lapar" adalah yang menunggu pemberian dari orang yang diadili. Maksud lainnya adalah meskipun Hakim sedang mengalami keterbatasan uang atau membutuhkan uang yang cukup banyak, jangan sampai mengharapkan apalagi mendapat pemberian dari pihak yang diadili.2Esso (Kenyang)Naiya riasengngé esso, méngngerangengni pappéwerreq pura lalona tauéAdapun yang dimaksud "kenyang" adalah mengingat kebaikan masa lalu (orang yang diadili) yang membuatnya berat hati/segan. Hal ini sebenarnya telah diatur dalam KUHAP maupun KEPPH sebisa mungkin Hakim harus mundur dari Majelis Hakim demi menghindari benturan kepentingan.3Bacci (Benci)Naiya riasengngé bacci, naengngerangngi narékko pura sísala tavé, pura aréggi naillau tulungi natiyaAdapun yang dimaksud dengan "benci" adalah mengingat perselisihannya atau pernah meminta tolong tetapi tidak dibantu (oleh orang yang diadili). Kembali ke prinsip dasar, bahwa Hakim datang ke meja persidangan dengan membawa hati nurani dan harus memandang segala sesuatu secara obyektif.4Rio (Senang)Naiya rioé, ripakarajal pabbicaraé, ripakalebbii, ripuji-pujiwi nanapojiwi aléna nallupaini ureqna bicaraéAdapun yang dimaksud dengan "senang" adalah dihormati dan dimuliakan hakim, dipuji sehingga senang dan melupakan asas peradilan.Adapun masih terdapat tiga poin yang tidak terlalu dibahas yaitu meliputi:cakkaruddu (mengantuk)malaso (sakit), danlobu esso (senja)Ketiga kondisi tersebut tentang mengantuk dan sakit, berkaitan dengan fisik pemutus perkara. Sedangkan senja, berkaitan dengan pemahaman orang Bugis terdahulu bahwa makhluk gaib akan turun dan dapat mengganggu manusia.Adapun maksud dari makna merusak keturunan dan hartamu adalah hubungan sebab-akibat dari sebuah tindakan yang tidak berintegritas, sehingga tak hanya merugikan pada nama dirinya sendiri, namun juga anak, keturunan, keluarga, hartanya, bahkan dapat meruntuhkan nama lembaga yang telah dibangun oleh para pendahulu leluhur bangsa Indonesia. Lain halnya dengan cara memutus perkara memang dilandasi hati nurani yang bersih, bebas dari pengaruh dan intervensi bentuk apapun, maka secara tidak langsung banyak orang yang mendoakan, para penghuni langit dan penghuni bumi mendoakan, hingga tibalah saatnya rezeki kesehatan, kekayaan, kekuatan, dan lain sebagainya turut serta menghampiri dirinya.Pada akhirnya, tugas menjaga marwah dan martabat persidangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama, bukan tugas hakim semata. Hakim yang bertugas memimpin jalannya persidangan hanya menjalankan amanah jabatan dan perintah undang-undang, sedangkan masyarakat pencari keadilan adalah pihak yang tengah memperjuangkan kebenaran dan keadilan di meja persidangan.

Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

article | Opini | 2025-03-11 17:00:33

PengantarSeorang hakim bukan hanya sekadar profesi Yang Mulia, tetapi sebuah amanah moral dan spiritual yang mengemban tugas suci dalam menegakkan keadilan. Di dalam sistem hukum modern, hakim terikat oleh kode etik yang mengatur integritas, independensi, hingga profesionalitasnya. Namun, jika kita melihat lebih dalam melalui perspektif agama Hindu, konsep etika hakim dapat diperkaya dengan tiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu Tattwa (filsafat kebenaran), Etika (susila dan moralitas), dan Upacara (ritual dan pengabdian).Dalam agama Hindu, tugas seorang hakim dapat disamakan dengan peran seorang Dharmaraja, yang bertugas menegakkan hukum berdasarkan dharma (kebenaran dan keadilan). Seperti yang dicontohkan dalam kisah Raja Yudhistira dalam Mahabharata, seorang pemimpin harus menjunjung tinggi kebenaran dan tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi. Hakim yang bertindak sesuai dengan prinsip agama Hindu tidak hanya melaksanakan hukum positif, tetapi juga menyeimbangkan hukum dengan kebijaksanaan dan nilai-nilai dharma.Pembahasan1. Tattwa: Hakim dan Hakikat KebenaranDalam agama Hindu, Tattwa merupakan dasar filsafat yang mengajarkan tentang hakikat kebenaran dan realitas. Dalam konteks profesi hakim, hal ini berarti seorang hakim harus mampu memahami esensi dari keadilan itu sendiri. Bhagavad Gita (Bab 4. Sloka 7-8) menegaskan bahwa Tuhan akan selalu hadir untuk menegakkan dharma dan melenyapkan adharma (ketidakadilan). Dengan demikian, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus memiliki kesadaran spiritual bahwa setiap keputusan yang ia buat harus berlandaskan pada kebenaran sejati, bukan sekadar aturan hukum tertulis.Dalam sistem peradilan modern, seorang hakim sering dihadapkan pada dilema antara hukum positif dan nilai keadilan yang lebih tinggi. Agama Hindu mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya bersifat legalistik, tetapi juga moral dan kosmis. Oleh karena itu, seorang hakim yang memahami Tattwa akan selalu mencari keseimbangan antara aturan dan hati nurani dalam menjatuhkan putusan.2. Susila: Kode Etik Hakim dan Moralitas Agama HinduKonsep Etika dan Susila dalam agama Hindu mengacu pada standar moral yang harus dijalankan oleh setiap individu, terutama mereka yang memegang posisi penting dalam masyarakat. Seorang hakim dituntut untuk memiliki karakter yang jujur (Satya), tidak memihak (Nyaya), tanpa kekerasan (Ahimsa), dan penuh kebijaksanaan (Viveka).Dalam Manusmṛti atau dikenal dengan Manawa Dharmasastra, kitab hukum agama Hindu tertua, disebutkan bahwa seorang hakim atau raja yang memutuskan perkara dengan tidak adil akan mengalami penderitaan dalam kehidupannya maupun setelah kematian. Sloka VIII-18 dalam Manawa Dharmasastra menyebutkan: “Keputusan yang salah karena ketidakadilan oleh hakim, seperempat bagian dari kesalahan menimpa yang melakukan kejahatan, seperempat bagian kepada yang memberikan kesaksian palsu, seperempat bagian kepada semua hakim, seperempat bagian kepada raja (kepala negara)”. Ini selaras dengan prinsip kode etik hakim yang menekankan pentingnya kejujuran, integritas, berdisiplin tinggi dan profesional agar hakim terhindar dari kesalahan dalam mengambil putusan.Jika dikaitkan dengan profesi hakim saat ini, prinsip Etika menegaskan bahwa seorang hakim tidak boleh: 1) Memihak dalam suatu perkara karena tekanan politik atau ekonomi; 2) Menerima suap atau gratifikasi yang dapat memengaruhi putusan; dan 3) Menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Seorang hakim yang berpegang pada Etika akan menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah laku spiritual, di mana setiap keputusan yang dibuat adalah bentuk persembahan kepada kebenaran itu sendiri.3. Upacara: Ritual dan Pengabdian sebagai HakimBagian terakhir dari tiga kerangka agama Hindu adalah Upacara, yang mencerminkan bentuk pengabdian dan ritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks hakim, Upacara bisa dimaknai sebagai disiplin, dedikasi, dan keterikatan pada tugas dengan penuh kesadaran.Dalam tradisi agama Hindu, seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan benar dianggap sedang melakukan Yadnya, yaitu pengorbanan suci tulus ikhlas untuk kesejahteraan banyak orang. Seorang hakim yang menjunjung tinggi kode etik dan menjalankan tugasnya tanpa pamrih juga dapat dikategorikan sebagai Yadnya dalam bentuk keadilan.Pengabdian seorang hakim tidak hanya terbatas pada ruang sidang, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya. Dalam Bhagavad Gita (Bab 3 Sloka 21), yang menyebutkan “Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia”. Laksana Krisna mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi contoh moral bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus menjaga kehormatannya, baik dalam tugasnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Sebuah putusan hukum yang dibuat dengan kesadaran spiritual akan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar menyelesaikan perkara.KesimpulanKode etik hakim dalam perspektif agama Hindu bukan sekadar seperangkat aturan yang mengatur perilaku profesional, tetapi merupakan bagian dari jalan Dharma yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Melalui Tattwa, seorang hakim memahami bahwa hukum bukan sekadar aturan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang lebih dalam. Dengan Etika, hakim menjunjung tinggi moralitas dan tidak terjebak hanya dalam kepentingan duniawi. Sementara Upacara menegaskan bahwa profesi ini adalah bentuk pengabdian yang harus dijalankan dengan disiplin dan penuh rasa tanggung jawab.Dalam dunia yang semakin kompleks dan dinamis, nilai-nilai agama Hindu ini dapat menjadi pedoman bagi para hakim untuk tetap berada di jalur kebenaran dan keadilan. Seorang hakim yang bekerja dengan kesadaran Dharma bukan hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga penjaga keseimbangan moral dan spiritual dalam masyarakat. Dengan demikian, keadilan yang ditegakkan bukan hanya berlaku di dunia ini, tetapi juga sejalan dengan hukum kosmis yang mengatur semesta. IKAW