Cari Berita

Nrima Ing Pandum Hidup Sebagai Hakim

Bintoro Wisnu Prasojo - Dandapala Contributor 2025-09-23 09:00:41
Ilustrasi Aksara Jawa. https://melihatindonesia.id/.

Nrima ing pandum (aksara Jawa: ꦤꦿꦶꦩꦲꦶꦁꦥꦤ꧀ꦢꦸꦩ꧀; ejaan tidak baku: nrimo ing pandum Dalam khazanah budaya Jawa, falsafah Nrima Ing Pandum memiliki makna mendalam, frasa ini dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “menerima apa yang menjadi bagian kita.”

Namun lebih dari sekadar pasrah pada nasib, narimo ing pandum adalah ajaran hidup yang menuntun seseorang untuk menerima dengan lapang dada segala ketentuan yang diberikan oleh Tuhan, tanpa menghilangkan ikhtiar dan tanggung jawab pribadi. Dalam kehidupan seorang hakim, falsafah ini menghadirkan sebuah lensa moral sekaligus pegangan spiritual untuk menjalani profesi yang sarat beban etis, psikologis, dan sosial.

Konsep Nrima Ing Pandum berakar dari pandangan hidup masyarakat agraris Jawa yang sejak lama meyakini keseimbangan antara ikhtiar manusia dan kehendak Ilahi. Pada masa Jawa Kuno, ajaran ini terhubung erat dengan filosofi harmoni kosmos yang diyakini penting bagi kelangsungan hidup bersama.

Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

Seorang petani bekerja keras mengolah sawah, namun tetap sadar bahwa hasil panen ditentukan pula oleh hujan, hama, dan takdir. Dari sinilah lahir sikap batin untuk menerima hasil akhir dengan ikhlas, tanpa mengeluh berlebihan, sembari terus memperbaiki cara bercocok tanam di musim berikutnya.

Falsafah ini kemudian bertransformasi dalam ranah sosial, etika, dan bahkan pemerintahan Jawa tradisional. Para raja dan pejabat diingatkan untuk tidak berlebihan dalam mengejar ambisi pribadi, sebab jabatan dan kedudukan adalah titipan yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Bagi seorang hakim, narasi ini relevan hingga hari ini: putusan yang dijatuhkan harus lahir dari nurani yang bersih, tanpa dipengaruhi tekanan kekuasaan, opini publik, atau kepentingan pribadi.

Hakim Sebagai Penjaga Keadilan

Profesi hakim bukan sekadar pekerjaan administratif. Ia adalah panggilan moral. Seorang hakim dituntut untuk menegakkan hukum dengan adil, jujur, dan tanpa pandang bulu. Namun, dalam praktiknya, hakim kerap dihadapkan pada dilema etis: antara keadilan substantif, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.

Dalam situasi seperti ini, Nrima Ing Pandum mengajarkan hakim untuk menerima bahwa tidak semua pihak akan merasa puas dengan putusan. Yang terpenting adalah menjaga hati tetap jernih dan meyakini bahwa keputusan yang diambil telah melalui pertimbangan hukum yang matang.

Beban Psikologis dan Spiritualitas Hakim

Seorang hakim memikul beban yang unik. Putusannya dapat mengubah hidup seseorang secara drastis - membebaskan, menghukum, atau bahkan menentukan hak hidup seseorang dalam kasus pidana berat. Tekanan psikologis itu tidak jarang memunculkan rasa bersalah atau penyesalan.

Dalam konteks inilah, Nrima Ing Pandum berfungsi sebagai katarsis: sebuah cara untuk menerima bahwa hakim hanya bisa memutus berdasarkan fakta dan alat bukti, sementara hasil akhirnya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa.

Di sisi lain, Nrima Ing Pandum mencegah hakim dari kesombongan moral. Meskipun putusannya dijunjung tinggi, seorang hakim diajak untuk tetap rendah hati—tidak merasa dirinya penguasa hidup dan mati orang lain, melainkan pelayan keadilan yang mengemban mandat konstitusi.

Kaitan Dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Jika dikaitkan dengan salah satu dari sepuluh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim irisan paling mendalam ada di Kode Etik Berintegritas Tinggi, menuntut hakim untuk jujur, adil, dan bersih dari konflik kepentingan.

Filosofi narimo ing pandum menjaga hakim agar tidak tamak. Dengan kesadaran bahwa rezeki dan kedudukan adalah titipan, hakim lebih mampu menolak suap, gratifikasi, atau bentuk penyalahgunaan wewenang. Sikap batin yang ikhlas ini juga mencegah munculnya rasa iri terhadap kolega atau berambisi berlebihan mengejar posisi, karena yakin bahwa semua telah ada bagiannya.

Kaitan Nrima Ing Pandum dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menjadikan profesi hakim bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi juga laku spiritual. Hakim bukan hanya pelaksana hukum, tetapi juga penjaga keseimbangan sosial dan moral. Mereka bekerja dengan keyakinan bahwa:

“Aku memutus seadil-adilnya, selebihnya aku serahkan kepada Tuhan.”

Kesadaran spiritual ini membuat hakim tetap waras di tengah badai kritik publik, menjaga etika dalam pergaulan, dan tidak kehilangan empati terhadap para pencari keadilan.

Dalam sejarah peradilan Indonesia, banyak hakim pendahulu yang secara eksplisit maupun implisit menghidupi filosofi ini. Kisah-kisah tentang hakim yang tetap teguh menjatuhkan putusan adil meski menghadapi ancaman atau godaan, adalah cerminan dari penerapan nilai Nrima Ing Pandum. Mereka sadar bahwa risik keamanan, isolasi sosial, atau tekanan publik mungkin akan datang, tetapi itu adalah “bagian” dari pengabdian.

Di tengah modernisasi dan digitalisasi peradilan, hakim kini dihadapkan pada tantangan baru: keterbukaan informasi, pengawasan publik yang semakin ketat, dan ekspektasi tinggi dari masyarakat. Nrima Ing Pandum bukan berarti pasif terhadap kritik atau perkembangan zaman, melainkan tetap bersikap tenang dan fokus pada esensi tugas. Hakim di era ini dituntut untuk profesional, transparan, dan akuntabel, namun tetap mampu menjaga ketenangan batin agar tidak larut dalam hiruk pikuk opini publik.

Pada akhirnya, Nrima Ing Pandum bukanlah seruan untuk menyerah, tetapi ajakan untuk berjiwa besar. Bagi seorang hakim, ia menjadi pegangan spiritual yang mengingatkan bahwa hukum hanyalah alat untuk mencari keadilan, sedangkan kebenaran sejati ada di tangan Tuhan. Dengan menerima segala konsekuensi profesinya baik penghargaan maupun kritik hakim dapat terus menjalankan perannya dengan integritas, tanpa kehilangan ketenangan batin.

Baca Juga: Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy

Dengan demikian, Nrima Ing Pandum bukan sekadar warisan budaya, tetapi pilar moral yang menguatkan sendi-sendi hidup sebagai seorang hakim, mengajarkan bahwa hidup sebagai hakim adalah sebuah perjalanan panjang: bekerja dengan sungguh-sungguh, memutus dengan hati nurani, dan menerima segala hasilnya dengan ikhlas. Dengan demikian, Nrima Ing Pandum bukan sekadar warisan budaya, tetapi pilar moral yang menguatkan sendi-sendi perjalanan hidup sebagai seorang hakim. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI