Nrima ing pandum (aksara
Jawa: ꦤꦿꦶꦩꦲꦶꦁꦥꦤ꧀ꦢꦸꦩ꧀;
ejaan tidak baku: nrimo ing pandum Dalam
khazanah budaya Jawa, falsafah Nrima Ing Pandum memiliki makna mendalam, frasa
ini dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “menerima apa yang menjadi bagian
kita.”
Namun lebih dari sekadar pasrah pada nasib, narimo ing pandum adalah ajaran hidup yang menuntun seseorang untuk menerima dengan lapang dada segala ketentuan yang diberikan oleh Tuhan, tanpa menghilangkan ikhtiar dan tanggung jawab pribadi. Dalam kehidupan seorang hakim, falsafah ini menghadirkan sebuah lensa moral sekaligus pegangan spiritual untuk menjalani profesi yang sarat beban etis, psikologis, dan sosial.
Konsep
Nrima Ing Pandum berakar dari pandangan hidup masyarakat agraris Jawa yang
sejak lama meyakini keseimbangan antara ikhtiar manusia dan kehendak Ilahi.
Pada masa Jawa Kuno, ajaran ini terhubung erat dengan filosofi harmoni kosmos
yang diyakini penting bagi kelangsungan hidup bersama.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
Seorang
petani bekerja keras mengolah sawah, namun tetap sadar bahwa hasil panen
ditentukan pula oleh hujan, hama, dan takdir. Dari sinilah lahir sikap batin
untuk menerima hasil akhir dengan ikhlas, tanpa mengeluh berlebihan, sembari
terus memperbaiki cara bercocok tanam di musim berikutnya.
Falsafah
ini kemudian bertransformasi dalam ranah sosial, etika, dan bahkan pemerintahan
Jawa tradisional. Para raja dan pejabat diingatkan untuk tidak berlebihan dalam
mengejar ambisi pribadi, sebab jabatan dan kedudukan adalah titipan yang harus
dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Bagi
seorang hakim, narasi ini relevan hingga hari ini: putusan yang dijatuhkan
harus lahir dari nurani yang bersih, tanpa dipengaruhi tekanan kekuasaan, opini
publik, atau kepentingan pribadi.
Hakim Sebagai Penjaga Keadilan
Profesi hakim bukan sekadar pekerjaan
administratif. Ia adalah panggilan moral. Seorang hakim dituntut untuk
menegakkan hukum dengan adil, jujur, dan tanpa pandang bulu. Namun, dalam
praktiknya, hakim kerap dihadapkan pada dilema etis: antara keadilan
substantif, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.
Dalam situasi seperti ini, Nrima Ing Pandum mengajarkan hakim untuk menerima bahwa tidak semua pihak akan merasa puas dengan putusan. Yang terpenting adalah menjaga hati tetap jernih dan meyakini bahwa keputusan yang diambil telah melalui pertimbangan hukum yang matang.
Beban Psikologis dan
Spiritualitas Hakim
Seorang hakim memikul beban yang unik.
Putusannya dapat mengubah hidup seseorang secara drastis - membebaskan,
menghukum, atau bahkan menentukan hak hidup seseorang dalam kasus pidana berat.
Tekanan psikologis itu tidak jarang memunculkan rasa bersalah atau penyesalan.
Dalam konteks inilah, Nrima Ing Pandum
berfungsi sebagai katarsis: sebuah cara untuk menerima bahwa hakim hanya bisa
memutus berdasarkan fakta dan alat bukti, sementara hasil akhirnya diserahkan
kepada Yang Maha Kuasa.
Di sisi lain, Nrima Ing Pandum mencegah hakim dari kesombongan moral. Meskipun putusannya dijunjung tinggi, seorang hakim diajak untuk tetap rendah hati—tidak merasa dirinya penguasa hidup dan mati orang lain, melainkan pelayan keadilan yang mengemban mandat konstitusi.
Kaitan Dengan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim
Jika dikaitkan dengan salah satu dari
sepuluh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim irisan paling mendalam ada di Kode
Etik Berintegritas Tinggi, menuntut hakim untuk jujur, adil, dan bersih dari
konflik kepentingan.
Filosofi narimo ing pandum menjaga hakim
agar tidak tamak. Dengan kesadaran bahwa rezeki dan kedudukan adalah titipan,
hakim lebih mampu menolak suap, gratifikasi, atau bentuk penyalahgunaan
wewenang. Sikap batin yang ikhlas ini juga mencegah munculnya rasa iri terhadap
kolega atau berambisi berlebihan mengejar posisi, karena yakin bahwa semua
telah ada bagiannya.
Kaitan Nrima Ing Pandum dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menjadikan profesi hakim bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi juga laku spiritual. Hakim bukan hanya pelaksana hukum, tetapi juga penjaga keseimbangan sosial dan moral. Mereka bekerja dengan keyakinan bahwa:
“Aku memutus seadil-adilnya, selebihnya aku serahkan kepada Tuhan.”
Kesadaran spiritual ini membuat hakim tetap
waras di tengah badai kritik publik, menjaga etika dalam pergaulan, dan tidak
kehilangan empati terhadap para pencari keadilan.
Dalam
sejarah peradilan Indonesia, banyak hakim pendahulu yang secara eksplisit
maupun implisit menghidupi filosofi ini. Kisah-kisah tentang hakim yang tetap
teguh menjatuhkan putusan adil meski menghadapi ancaman atau godaan, adalah
cerminan dari penerapan nilai Nrima Ing Pandum. Mereka sadar bahwa risik
keamanan, isolasi sosial, atau tekanan publik mungkin akan datang, tetapi itu
adalah “bagian” dari pengabdian.
Di
tengah modernisasi dan digitalisasi peradilan, hakim kini dihadapkan pada
tantangan baru: keterbukaan informasi, pengawasan publik yang semakin ketat,
dan ekspektasi tinggi dari masyarakat. Nrima Ing Pandum bukan berarti pasif
terhadap kritik atau perkembangan zaman, melainkan tetap bersikap tenang dan
fokus pada esensi tugas. Hakim di era ini dituntut untuk profesional,
transparan, dan akuntabel, namun tetap mampu menjaga ketenangan batin agar
tidak larut dalam hiruk pikuk opini publik.
Pada
akhirnya, Nrima Ing Pandum bukanlah seruan untuk menyerah, tetapi ajakan untuk
berjiwa besar. Bagi seorang hakim, ia menjadi pegangan spiritual yang
mengingatkan bahwa hukum hanyalah alat untuk mencari keadilan, sedangkan kebenaran
sejati ada di tangan Tuhan. Dengan menerima segala konsekuensi profesinya baik
penghargaan maupun kritik hakim dapat terus menjalankan perannya dengan
integritas, tanpa kehilangan ketenangan batin.
Baca Juga: Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy
Dengan
demikian, Nrima Ing Pandum bukan sekadar warisan budaya, tetapi pilar moral
yang menguatkan sendi-sendi hidup sebagai seorang hakim, mengajarkan bahwa
hidup sebagai hakim adalah sebuah perjalanan panjang: bekerja dengan
sungguh-sungguh, memutus dengan hati nurani, dan menerima segala hasilnya dengan
ikhlas. Dengan demikian, Nrima Ing Pandum bukan sekadar warisan budaya, tetapi
pilar moral yang menguatkan sendi-sendi perjalanan hidup sebagai seorang hakim.
(ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI