article | Serba-serbi | 2025-10-02 12:30:42
Nama Federal Circuit and Family Court of Australia (FCFCOA) semakin dikenal di kalangan praktisi peradilan Indonesia, terlebih setelah kehadiran ketiga kalinya dalam forum diskusi bersama Mahkamah Agung RI dan AIPJ3 pada Rabu 25 September 2025. Pembentukan lembaga ini menunjukkan bagaimana Australia melakukan terobosan penting dalam sistem peradilan keluarga dan federal yang menarik untuk dipelajari.Sejak berlakunya Federal Circuit and Family Court of Australia Act 2021, struktur peradilan federal Australia ditata ulang menjadi dua divisi utama. Division 1 merupakan kelanjutan dari Family Court of Australia (1975). Sebagai pengadilan tingkat tinggi (superior court of record), divisi ini menangani perkara keluarga yang kompleks, termasuk banding, dengan 35 hakim spesialis di bawah kepemimpinan Chief Justice dan Deputy Chief Justice. Sementara itu, Division 2 adalah penerus Federal Circuit Court of Australia (2000). Dengan status sebagai pengadilan menengah (intermediate court of record), yurisdiksinya lebih luas, mencakup perkara keluarga, imigrasi, ketenagakerjaan (fair work), kepailitan, kekayaan intelektual, hingga hukum administrasi. Divisi ini memiliki 87 hakim dengan kepemimpinan seorang Chief Judge dan dua Deputy Chief Judges.Reformasi 2021 melahirkan pendekatan baru yang berlandaskan prinsip risk, responsiveness, and resolution. Inovasinya antara lain deteksi risiko sejak awal untuk melindungi anak dan pihak rentan, dorongan mediasi agar lebih hemat biaya dan minim konflik, serta sistem single entry point yang membuat administrasi perkara lebih sederhana. Mekanisme banding juga diatur dengan jelas sehingga hak para pihak untuk menempuh upaya hukum tetap terjamin.Salah satu praktik menonjol dari FCFCOA adalah penataan sistem eksekusi putusan perkara keluarga yang lebih sederhana dan responsif. Isu eksekusi, khususnya terkait hak asuh anak, diakui sebagai tantangan besar karena sering kali tidak dilaksanakan secara sukarela. Untuk itu, FCFCOA memiliki prosedur khusus yang memastikan kepatuhan terhadap putusan, termasuk melibatkan kepolisian bila diperlukan. Bahkan, pengadilan dapat mengeluarkan Enforcement Warrant, yaitu perintah eksekusi dengan menunjuk enforcement officer untuk menyita atau menjual aset pihak yang tidak patuh baik melalui aparat kepolisian maupun otoritas keuangan setempat.Model ini memberi inspirasi berharga bagi peradilan Indonesia, mengingat eksekusi masih menjadi hambatan serius dalam perkara perdata maupun keluarga. Dengan mekanisme serupa, hakim tidak hanya berhenti pada menjatuhkan putusan, tetapi juga turut menjamin efektivitas pelaksanaannya di masyarakat.Selain itu, FCFCOA menempatkan pemanfaatan teknologi sebagai prioritas dalam memperluas akses keadilan. Pendaftaran perkara dapat dilakukan secara daring hanya dengan menggunakan Digital ID. Berbeda dengan KTP di Indonesia, Digital ID di Australia terhubung lintas kementerian/lembaga. Artinya, ketika sebuah putusan seperti misalnya perceraian atau dispensasi kawin telah dijatuhkan, data tersebut langsung terintegrasi dengan lembaga terkait untuk penerbitan akta perkawinan, dokumen kependudukan, atau administrasi lainnya tanpa perlu prosedur tambahan.Langkah serupa kini juga mulai dikembangkan di Indonesia. Badilum telah bergerak ke arah integrasi antarinstansi, seperti kerja sama dengan PT Pos Indonesia untuk pemanggilan surat tercatat dan dengan Kementerian Luar Negeri untuk sistem rogatori. Ke depan, kerja sama dengan Dukcapil, Kepolisian, maupun lembaga keuangan sebagaimana praktik di Australia akan menjadi lompatan penting. Dengan begitu, pengadilan di Indonesia dapat semakin berperan sebagai simpul utama dalam menghadirkan keadilan yang cepat, transparan, dan efektif.Kerja sama antara FCFCOA dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) MA RI telah terjalin sejak 2004 dan terus diperbarui melalui nota kesepahaman. Fokusnya adalah memperkuat akses keadilan bagi perempuan dan anak. Dalam lima tahun terakhir, kolaborasi diarahkan pada penerapan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam perkara dispensasi kawin serta perlindungan hak perempuan dalam perceraian. Implementasinya mencakup dialog yudisial, pertukaran praktik baik, hingga pelatihan e-learning bagi hakim dengan dukungan AIPJ2/AIPJ3.Kerja sama ini berkembang menjadi platform kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Beberapa inisiatif yang lahir antara lain penyusunan panduan perlindungan anak, pelatihan daring implementasi PERMA No. 5 Tahun 2019, serta survei nasional tentang kepemimpinan hakim perempuan. Bagi Indonesia, pengalaman FCFCOA memberi rujukan berharga untuk reformasi peradilan keluarga, khususnya dalam manajemen perkara, mediasi, integrasi antar lembaga, dan pemanfaatan teknologi demi peradilan yang lebih humanis dan efisien. (Gillang Pamungkas/al/fac)Referensi:- Federal Circuit and Family Court of Australia. Official Website. Diakses pada 26 September 2025 dari https://www.fcfcoa.gov.au- Australia Indonesia Partnership for Justice 2. (2025, Februari 21). Kerangka Acuan Dialog Yudisial FCFCOA dan Ditjen Badilum MA-RI: Penerapan Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian. Mahkamah Agung Republik Indonesia.