Cari Berita

Indonesia Pernah Ubah Irah-Irah Putusan, Ini Sejarahnya!

article | History Law | 2025-03-18 10:35:40

Kepala atau irah-irah putusan saat ini berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Namun, apakah Dandafellas mengetahui kepala putusan saat ini ternyata sebelumnya tidak berbunyi demikian dan merupakan hasil penyesuaian beberapa kali?Begini sejarahnya!Sebagaimana dikutip dari Buku berjudul “Hukum Acara Pidana” (1983) karya Bismar Siregar, tercatat pengadilan pernah beberapa kali menggunakan kepala putusan. Mulai dari “Atas Nama Raja/Ratu”, “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir  menggunakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sudikno Mertokusumo dalam Disertasinya: “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak 1942”, menyebutkan sebelum Indonesia merdeka, terlebih dahulu Indonesia menggunakan Irah-Irah Putusan “Atas Nama Raja/Ratu”. Dalam terjemahan Belanda, Iran-Irah tersebut berbunyi “In naam der Koningin”. Dapat dimaklumi mengapa bunyinya demikian. Dikarenakan, saat itu Nusantara masih sebagai Negara Hindia Belanda.Namun kemudian setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Irah-Irah tersebut tidak digunakan lagi. Kepala putusan setelah itu berubah menjadi “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Penyesuaian beberapa kali kepala putusan ini, tampaknya sangat kental dipengaruhi politik hukum perumusan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman.Coba ditengok,Pada tahun 1948 Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 (UU 19/1948) Tentang Susunan dan Badan-Badan Kehakiman. Di dalam Beleid tersebut, diatur bahwa peradilan di seluruh daerah Negara dilaksanakan “atas nama Negara Republik Indonesia”. Kemudian berselang 2 (dua) tahun pada tahun 1950 saat Indonesia memasuki fase Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusan fundamental ini diubah.  Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU 1/1950) disebutkan Peradilan di Indonesia bukan lagi dilaksanakan atas nama Negara Republik Indonesia, tetapi dilaksanakan “Atas nama Keadilan”. Baru setelah itu, hingga saat ini akhirnya Kepala Putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut terkandung di dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku saat ini.Patut disyukuri, setelah mengalami beberapa kali penyesuaian kepala putusan, Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan Bangsa Ini dimana setiap putusan-putusannya diharuskan dilaksanakan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Namun penting diketahui Insan Peradilan, apa makna hakiki kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ini?Bismar Siregar menuturkan makna Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini begitu sakral. Ia menyebut irah-irah tersebut mengandung makna sumpah dan pertanggungjawaban seorang hakim dalam setiap memutus suatu perkara. Apabila didengungkan kira-kira bunyi kata-kata sumpah tersebut seperti ini:“Aku bersumpah atas Nama Keadilan-Mu Ya Tuhan Yang Maha Esa dalam memutuskan perkara ini!”Sehingga atas setiap sumpah yang diucapkan seorang hakim itu, tentu akan selalu diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan Yang Maha Esa.Oleh karena begitu sakralnya, setiap ucapan sumpah hakim saat hendak memutuskan perkara, maka hendaknya seorang hakim untuk selalu berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum memutuskan perkara. Lalu menumbuhkan kesadaran diri dan selalu berusaha memperbaiki diri untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga putusan atau penetapannya tersebut tidak terjebak kepada putusan yang berdasarkan “kepentingan uang”, “kepentingan golongan” atau “kepentingan hawa nafsu”.Referensi:Mengenang Bismar: Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah (www.hukumonline.com)Keadilan Atas Nama Siapa? (www.hukumonline.com).

‘Dunia Lain’ di Gedung PN Makassar, Berani Uji Nyali?

article | History Law | 2025-03-18 09:00:15

Makassar- Dibangun tahun 1915, Gedung Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi salah satu saksi bisu sejarah perjalanan bangsa. Namun, gedung itu memiliki ‘dunia lain’ saat malam perlahan naik. “Nda seseram dulu mi Pak, ini kantor. Dulu eddhh ka dari luar mentong seram keliatan. Tapi sekarang kuliat bagus mi. Rapi. Baru bisa maki juga jalan jalan liat kantor kalau lagi libur” ucap tukang becak yang biasa mangkal depan kantor, Daeng Kulle, dengan logat Makassar kentalnya saat DANDAPALA bertanya bagaimana menurutnya PN Makassar hari ini.PN Makassar berada di Jalan RA Kartini Nomor 18/23, Kelurahan Baru, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulsel yang terhitung sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).  Menurut catatan sejarah, bangunan ini didirikan pada tahun 1915 dengan nama Raad van Justitia. Selain di Makassar, Raad van Justitia ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Padang dan Medan.Bangunan bergaya arsitektur neo klasik Eropa campuran Renaissance ini dulunya menghadap tiga jalan, yaitu Juliana Weg di utara (sekarang jalan Kartini), Hospital Weg di timur (sekarang jalan Sudirman), dan Justitia Laan di selatan (sekarang Jalan Ammanagappa). Tapi kini hanya pintu masuk dari arah Jalan Kartini dan Jalan Ammanagappa yang difungsikan.Bangunan seluas 48,4 x 44,9 meter persegi ini pernah menjadi sarana perlakuan diskriminasi yang diterapkan kolonial Belanda terhadap pribumi. Bangunan pengadilan saat itu terbagi menjadi dua fungsi yakni Raad van Justitia yang merupakan pengadilan untuk orang-orang Tionghoa dan orang pribumi keturunan bangsawan, serta Landraad yang merupakan pengadilan untuk orang-orang pribumi letaknya di bagian selatan bangunan. Lazimnya bangunan tua, kisah kisah mistis juga terserak di antara kenangan terutama bagi mereka yang berinteraksi didalamnya. Dg. Eppe –sebut saja demikian- salah satu sekuriti PN Makassar yang selalu mengambil shift malam, berujar bahwa gangguan mistis kadang muncul entah berupa suara dari koridor yang menuju tahanan. Seringkali dari toilet lantai atas bahkan tak jarang dari ruang sidang.“Biasa itu Pak, seperti ada orang berbaris di depan pintu ruang sidang, tapi pas kami liat ehhh, nda adaji orang di sana,” tutur Dg. Eppe.Lain lagi yang dialami oleh Nirwan, salah satu pegawai di PN Makassar.“Kalo saya pak pernahka waktu terlambat pulang kantor karena banyak sidang, kuliat perempuan pakai baju kuning dekat ruang tahanan. Padahal itu hari jam sepuluh lewat mi. kupikir keluarga tahanan yang menunggu, Tapi begitu jalan ka mau dekati nda tau kmana mi” tuturnya.Meski demikian Dg. Ical salah satu pegawai senior dan telah lebih dari dua puluh tahun dinas di pengadilan punya pandangan unik.“Kalau masalah cerita mistis pak saya yakin dimanapun akan ada. Apalagi bila dikaitkan dengan bangunan yang tua dan antik seperti ini. Tapi bagi kami, begitu menyenangkan bekerja di sebuah bangunan tua tapi terawat yang telah memberikan begitu banyak kenangan, pelajaran sekaligus kenyataan akan keadilan,” lugasnya. Saat ini PN Makassar eksis sebagai sebagai pengadilan wisata. Artinya, pada hari libur masyarakat umum dapat berkunjung dan berkeliling PN. Makassar sebagai wadah edukasi dan histori terhadap proses pengadilan tempoe doeloe sampai saat ini.Seiring berjalannya waktu, PN Makasssar adalah memorabilia kenangan yang berkelindan dari masa ke masa. Dan seperti tutur ‘Sang Bung’; Sejarah, sekali lagi tak boleh dilupakan, tapi belajarlah darinya.(MT, RS dan ASP)

Mengenal Sri Widoyati, Hakim Agung Perempuan Pertama di Indonesia

article | History Law | 2025-03-10 09:35:27

Jakarta- Amerika Serikat baru memiliki hakim agung perempuan di tahun 1981. Sedangkan Indonesia sudah memiliki tahun 1968. Siapa srikandi pengadilan itu?Sejarah mencatat, terdapat perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung RI, sejak Agustus 1968. Sosok tersebut, Sri Widoyati Wiratmo Soekito yang lahir di Kendal, tanggal 29 September 1929. Sri Widoyati Wiratmo menamatkan pendidikan Sarjana Hukumnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 1955. Pernah menjabat sebagai hakim tingkat pertama di beberapa Pengadilan, antara lain Pengadilan Negeri Demak, Kendal, Purwodadi, Salatiga dan Semarang. Sebagai sosok hakim perempuan yang dikenal jenius, Sri Widoyati Wiratmo dipercaya menjabat sebagai pimpinan Pengadilan Negeri, antara lain Ketua Pengadilan Negeri Kudus, Jepara dan Semarang. Kehebatannya memimpin pengadilan tingkat pertama, membawanya promosi menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1962 sampai dengan 1968. Selanjutnya tahun 1968, Sri Widoyati Wiratmo diangkat menjadi Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia. Pengangkatannyaa sebagai Hakim Agung RI perempuan, mengalahkan negara maju dan adidaya yang baru memiliki Hakim Agung perempuan di medio tahun 1980an, ambil contoh Amerika Serikat mengangkat Sandra Day O’Connor sebagai Hakim Agung perempuan pada tahun 1981. Sri Widoyati Wiratmo selain memiliki pengetahuan hukum yang cemerang, dirinya dikenal juga sebagai hakim yang menjaga integritasnya. Bahkan hasil riset seorang peneliti hukum asal Belanda Sebastian Pompe, bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah hakim perempuan yang hidupnya sederhana dan menolak untuk memperkaya diri, untuk menjaga kedudukan serta kewibawaan Mahkamah Agung RI. Demikian juga apresiasi lahir dari advokat senior Adnan Buyung Nasution yang memberikan testimoni bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah seorang pejuang hukum dan keadilan yang pernah dimiliki Indonesia. Karirnya sebagai hakim, tidak menyurutkan keaktifannya dalam berbagai organisasi profesi dan sarjana, antara lain menjadi pengurus pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), tahun 1963-1964, pengurus pusat Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Di internal organisasi Mahkamah Agung RI, di mana Sri Widoyati Wiratmo pernah didapuk sebagai Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang  Jakarta Raya tahun 1966-1967 dan Ketua Sekretariat Bersama Pengabdi  Hukum Tahun 1967-1971. Demikian juga, semasa hidupnya Sri Widoyati Wiratmo aktif dalam mendorong pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan antara lain UU Hak Cipta, UU Perkawinan dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, bersama sarjana dan tokoh hukum lainnya menginisiasi pembentukan Universitas Semarang tahun 1956.  Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia dimaksud, juga aktif memprakasai dan mengadvokasi perempuan Indonesia untuk berkarya dalam bentuk menulis berbagai karya sasta, yang kemudian dirangkum dalam satu buku berjudul Anak dan Wanita dalam Hukum yang diterbitkan LP3ES. Sosok perempuan hebat tersebut, wafat tanggal 20 Februari 1982, saat berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya dari tahun 1980.Sumber referensi :1.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sri_Widoyati2. https://www.hukumonline.com/berita/a/ia-yang-pertama-perempuan--terlupakan--menyimpan-pujian-lt640f1bf6221d1/3. https://www.hukumonline.com/berita/a/3-kisah-pilihan-hakim-agung-dan-hakim-konstitusi-inspiratif-lt6596592e06952/?page=24. https://www.kompas.id/artikel/kepemimpinan-hakim-perempuan

Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 12:20:14

Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, jauh sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang jaminan fidusia, eksistensi dari lembaga fidusia telah diakui. Ini berangkat dari adanya perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya adanya kebutuhan yang mendesak dari para pedagang, pengusaha kecil dan pengecer yang mengingingkan fasilitas kredit untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Namun adanya kebutuhan tersebut, haruslah juga diimbangi dengan adanya jaminan bagi kreditur yang akan memberikan pinjaman modal. Dalam kondisi seperti itu pada masa itu, lembaga hipotik tidak menjadi pilihan yang tepat, dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah sebagai jaminan.Pada masa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, ada lembaga hukum yang disebut dengan Voorraad Pand yang dibentuk untuk menampung kebutuhan fidusia. Akan tetapi dalam praktiknya kurang populer, dikarenakan kepemilikan dari debitur terhadap benda objek jaminan sangat kuat. Dalam sejarah hukum di negara kita, lembaga fidusia pertama yang diakui oleh yurisprudensi di zaman Hindia Belanda adalah melalui putusan Hooggerechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932.Duduk perkaranya secara singkat sebagai berikut:Pedro Clygnett selanjutnya disebut Clygnett meminjam uang dari Bataafse Petrolium Maatschappy selanjutnya disebut: B.P.M. dan sebagai jaminan ia telah menyerahkan hak miliknya atas sebuah mobil. Mobil tersebut tetap ada dalam penguasaan Clygnett, tetapi selanjutnya bukan sebagai pemilik tetapi sebagai peminjam pakai. Jadi ada penyerahan secara constitutum possessorium. Dalam perjanjian disepakati, bahwa pinjam pakai itu akan diakhiri antara lain, kalau Clygnett wanprestasi dan dalam hal demikian Clygnett wajib untuk menyerahkan mobil tersebut kepada B.P.M. Ketika Clygnett benar-benar wanprestasi, maka pihak B.P.M. mengakhiri perjanjian pinjam pakai tersebut di atas dan menuntut penyerahan mobil jaminan, yang ditolak oleh pihak Clygnett dengan mengemukakan sebagai alasan, bahwa mobil tersebut bukan milik B.P.M. dan perjanjian yang ditutup antara mereka adalah perjanjian gadai. Karena mobil jaminan tetap dibiarkan dalam penguasaan dirinya, maka perjanjian gadai itu adalah batal. Ketika perkara itu sampai pada Hooggerechtshof Batavia, maka HGH menolak alasan Clygnett dan mengatakan, bahwa perjanjian penjaminan Itu adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Sejak keputusan tersebut, fidusia mendapatkan pengakuannya secara jelas dalam yurisprudensi di Indonesia.Sejak ada putusan B.P.M. tersebut, semakin banyak putusan pengadilan baik pada Mahkamah Agung di zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung dan juga pengadilan di bawahnya di zaman Indonesia merdeka yang telah mengikuti putusan B.P.M. tersebut. Berikut beberapa putusan pengadilan yang telah mengakui adanya lembaga fidusia yaitu:Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22 Maret 1951 dalam perkara antara Algemene Volkscrediet Bank di Semarang melawan The Gwan Gee dan Marpuah).Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971 dalam perkara antara BNI Unit Semarang melawan Lo Ding Siang).Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya, tetapi hanya sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika utang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500 K/Sip/1978, tanggal 2 Februari 1980).Bahwa dalam praktik sehari-hari lembaga fidusia ternyata telah memberikan peranan penting dalam perkembangan perekonomian, terutama dalam menjamin pemberian kredit yang ada. Dalam pelaksanaannya, fidusia tidak hanya dipergunakan untuk menjamin kredit-kredit, melainkan juga untuk menjamin pelunasan suatu jual beli yang dilakukan tidak secara tunai.Walupun lembaga fidusia telah menjadi jalan keluar sebagai jaminan kredit berupa benda bergerak di samping gadai, tetapi dalam pelaksanaannya masih menimbulkan persoalan yang baru, misalnya: terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, terdapat celah bagi pemberi fidusia untuk menjaminkan benda yang telah dibebani fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Selain itu pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanya terbatas pada benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Sementara berdasarkan perkembangan yang ada, objek jaminan fidusia bisa saja meliputi pada benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Dengan adanya persoalan tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Adanya cikal bakal pengaturan lembaga fidusia di negara kita yang berawal dari yurisrudensi, menunjukkan kalau eksistensi putusan hakim dapat menjadi jalan keluar dalam mengisi kekosongan hukum. Sehingga tidak selamanya hukum harus jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat.   Sumber Referensi:Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, J. Satrio, S.H, Bandung, 2005Tinjauan Sejarah Lembaga Fidusia di Indonesia, Andhika Desy Fluitahttps://www.kompas.com/stori/image/2023/10/03/170000479/kebijakan-jalan-tengah

Arsip Pengadilan 1974: Korupsi Rp 13 Juta Dihukum 5 Tahun Penjara

article | History Law | 2025-03-08 10:00:36

Jakarta- Korupsi dilakukan dengan berbagai modus dan di berbagai sektor. Nilainya korupsinya pun bervariatif. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1974 yang terjadi di Dinas Pendidikan Agama  Kabupaten Liot, Muara Enim. Bagaimana ceritanya?Kasus Asnawi tertuang dalam arsip pengadilan yang dikutip DANDAPALA dari website direktori Putusan MA, Jumat (7/3/2025). Di kasus itu, duduk 5 orang sebagai terdakwa yaitu:1. Kepala Dinas Pendidikan Agama Kabupaten Liot, Muara Enim, Asnawi.2. Bendahara Dinas Pendidikan Agama, Muchsin.3. Pemilik pendidikan, Imron.4. Pemilik pendidikan, Djupni.5. Pegawai Dinas Pendidikan Agama, Sjaifuddin.Didakwakan kasus itu bila peristiwa itu terjadi pada tahun 1968-1970. Mereka membuat rapel gajian untuk 334 orang guru agama. Lalu dimintakan uang ke Kantor BKN Palembang sebanyak Rp 13,5 juta. Ternyata, sejumlah nama-nama guru agama itu fiktif. Kalaupun tidak fiktif, ada juga yang uangnya tidak sampai ke para guru agama. Atas perbuatannya, kelimanya dimintai pertanggungjawaban pidana di depan hakim. Pengadilan Negeri (PN) Muara Enim menjatuhkan hukuman sebagai berikut:1. Asnawi dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 1 1 tahun kurungan.2. Muchsin dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 1 tahun kurungan.3. Imron dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.4. Djupni dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.5. Sjaifuddin dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.Pada 18 Februari 1971, putusan itu diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi (PT) Palembang menjadi:1. Asnawi divonis bebas.2. Muchsin dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 6 bulan kurungan.3. Imron divonis bebas.4. Djupni divonis bebas.5. Sjaifuddin dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari penuntut kasasi Muchsin,” demikian amar putusan yang diketok oleh ketua majelis Prof Oemar Seno Adji dengan anggota DH Lumbanradja dan Busthanul Arifin. Oemar Seno Adji belakangan terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) 1974-1982.Adapun panitera pengganti pada putusan kasasi yang diketok pada 14 Mei 1974 itu adalah Karlinah P Soebroto. Berikut alasan majelis menolak kasasi tersebut:Mengenai Keberatan ke-1:
Bahwa keberatan ini tidak dapat diterima karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan dan putusannya sudah tepat. Oleh sebab itu diputuskan dan dituduhkan adalah tindak pidana korupsi yang diancam Pasal 16, 17 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960. Sedangkan Pasal 16,17 tersebut menunjuk pada Pasal 1 ayat 1 dan b.Mengenai Keberatan ke-2:Bahwa keberatan ini juga tidak dapat diterima oleh karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya dan putusannya sudah tepat. Oleh sebab yang dijadikan dasar penuntutan dan putusan adalah pasal 16 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960 yang tidak menunjuk bagi pemidanaannya kepada pasal 1 ayat d.Mengenai Keberatan ke-3:Bahwa keberatan ini juga tidak dapat diterima karena ancaman hukumannya adalah hukuman penjara dan/atau denda. Jadi pasal tersebut selain daripada memberikan kepada hakim untuk memilih antara hukuman tersebut, hakim dapat pula memberikan hukuman yang kumulatif sifatnya ialah hukuman badan dan denda.

Begini Penampakan Toga Hakim di Era Penjajahan Belanda di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 09:00:23

Sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah berdiri. Termasuk di antaranya hakim sudah eksis. Lalu bagaimana penampakan toga hakim kala itu?Foto tampak sidang 'Landraad' di Indramayu pada tahun 1920-an yang sedang mengadili seorang penduduk pribumi yang diketuai oleh Regent van Indramajoe. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.Toga atau jubah untuk hakim adalah atribut wajib yang harus dikenakan hakim selama proses pengadilan. Di Indonesia sendiri, aturan mengenai atribut hakim ini bahkan sudah tertulis dalam undang-undang.Jubah hakim adalah salah satu perlengkapan wajib dalam pengadilan yang memiliki aturan tersendiri. Jika sekarang warna jubah hakim identik dengan merah dan hitam. Pada masa lalu, di masa kolonial Hindia Belanda, pengadilan negeri bernama landraad ("dewan negeri"). Warna jubah hakim didominasi berwarna Hitam. Doc. Henri Edmund Boissevain, hakim Bangil pada tahun 1924Setelah Indonesia merdeka, istilah Landraad diganti dengan istilah Pengadilan Negeri atribut toga hakim tetap berwana hitam di seluruh pakaiannya masih dikenakan hakim pada kala itu, kemudian dengan berjalannya waktu toga yang kita kenakan sekarang tertuang dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang aturan berpakaian bagi hakim dalam persidangan. Pada pasal tersebut tercantum aturan bahwa hakim beserta staff wajib memakai pakaian yang lengkap dalam persidangan, yakni toga, simare dan juga bef dan warna jubah hakim berwarna merah dan hitam untuk pengadilan negeri.

Soekardjo Wirjopranoto, Dari Hakim, Pejuang Kemerdekaan hingga Dubes RI untuk PBB

article | History Law | 2025-03-06 19:25:07

Jakarta- Raden Soekardjo Wirjopranoto menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Dubes RI untuk PBB saat sidang perebutan Papua dari Belanda. Siapa nyana, Soekardjo ternyata mempunyai latar belakang hakim Landraad (Pengadilan Negeri).Hal itu sebagaimana DANDAPALA kutip dari Buku ‘Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia’, Jumat (6/3/2025). Buku itu diterbitkan Depdikbud tahun 1993. Soekardjo Wirjopranoto lahir pada 5 Juni 1903 dan merupakan anak mandor Staatsspoor (Jawatan Kereta Api). Masa kecil hingga besar ia habiskan di tempat kelahirannya, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah.Sekolahnya dimulai di Europasche Lagere School (ELS) di Kota Cilacap. Ia bisa sekolah di ELS karena kakek Soekardjo Wirjopranoto adalah pegawai Keraton Surakarta. Soekardjo Wirjopranoto lalu menempuh ujian Klein Ambtenaar Examen, yaitu tamatan HIS yang ingin bekerja sebaagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.Pada 1917, Soekardjo Wirjopranoto lulus ELS dan melanjutkan sekolah di Rechtschool di Jakarta. Soekardjo Wirjopranoto juga mahir bermain musik dan kerap mengadakan pertunjukan di sekolahnya.Pada 1923, Soekardjo Wirjopranoto selesai menempuh pendidikan di Rechtschool. Ia kembali ke kampung halamannya sebagai pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.Tiga tahun setelahnya, Soekardjo Wirjopranoto pindah tugas ke PN Magelang. Namun hanya 10 hari dinas di PN Magelang. Pangkalnya, ia berselisih dengan Ketua PN Magelang yang orang Belanda. Selisih itu bermula saat Ketua PN Magelang itu menuduh Soekardjo Wirjopranoto tidak menganggukan kepala saat berpapasan. Soekardjo Wirjopranoto tidak terima dengan tuduhan itu."Kalau tuan tidak percaya, istri saya boleh dipanggil. Bahkan waktu itu istri saya bertanya, mengapa saya menghormat Tuan?" kisah Soekardjo Wirjopranoto.Akhirnya Soekardjo Wirjopranoto pidah tugas di Landraad Lumajang. Pada 1929, Soekardjo Wirjopranoto dipromosikan menjadi hakim anggota majelis (lid Van de Landraad) di Landraad Malang. “Sebagai anggota majelis hakim, Soekardjo Wirjopranoto bekerja sangat tekun dan teliti, dan walaupun pangkatnya tetap tinggi tetapi ia tidak sombong.Dalam menilai orang lain ia selalu menghubungkan dengan dirinya. Ia pun menyadari bahwa sebagai pegawai negeri, harus bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, yakni pemerintah yang menjajah negerinya. “Untuk itu ia selalu memikirkan nasib rakyatnya yang sedang dijajah, bahkan dengan keadaannya sekarang ia tidak bebas bergerak. Karena itu setelah masa dinas di Pengadilan Negeri berakhir, ia mengajukan permohonan untuk ke luar dari dinas pemerintahan. Permohonannya itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,” kisahnya.Usai melepas toga hakim, Soekardjo Wirjopranoto menjadi advokat dengan mendirikan kantor hukum ‘Wijnoe’. Dengan profesi baru ini, Soekardjo Wirjopranoto semakin bisa bebas bergerak membela kebenaran dengan turun langsung membela rakyat.“Kalau dulu sebagai anggota Majelis Hakim Soekardjo menjatuhkan vonis atau hukuman, maka selaku pengacara Soekardjo berdiri di hadapan hakim untuk membela rakyat yang lemah dalam mempertahankan kebenaran.”Tidak hanya sebagai advokat,  Soekardjo Wirjopranoto masuk gelanggang politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia memimpin Boedi Oetomo cabang Malang.“Pada tahun 1931 Soekardjo diangkat menjadi anggota Volksraad mewakili Boedi Oetomo. Untuk keperluan tugasnya ia bertempat tinggal di Jakarta. Sesekali ia menengok keluarganya di Malang,” kisahnya.Di Volksraad, ia bergabung di Fraksi Nasional bersama-sama Moehammad Hoesni Thamrin, R. Oto Iskandar Di Nata, R. Pandji Soeroso, Mochtar bin Prabu, Abdoel Rasjid, Jahja, Wiwoho, Soangkoepoen, dan Moehammad Noor.  Di luar Volksraad, Soekardjo juga aktif di dunia pers. Pada 1941, ia menjabat pemimpin surat kabar Berita Oemoem di Jakarta. Dalam permulaan masa pendudukan Jepang, Soekardjo menjabat pemimpin surat kabar Asia Raya. Ia juga menjabat anggota panitia Adat dan Tata Negara, di samping menjadi anggota Tjhuo Sangi-in. Pandangan Soekardjo soal kemerdekaan pers dapat dilihat dari sikapnya yaitu:. . . . . . Pers dengan pergerakan rakjat itoe , tidak boleh dipandang ringan sebagai bahasa jang satoe dengan jang lain mempoenjai perhoeboengan djalan sadja, akan tetapi didalam hakekatnja Pers dengan pergerakan rakjat itoe adalah satoe badan belaka. Maka soedahlah mendjadi kewadjiban kita kaoem pergerakan seoemoemnja oentoek berdaja oepaja sekeras-kerasnja dengan segala kekoeatan dan kepandaian jang ada pada kita oentoek melawan Oendang-Oendang jang menjempitkan kemerdekaan Pers itoe. Hanja Pers jang ada ditangan kaoem pergerakan sadja jang dapat menjoearakan soeara ‘Indonesia Merdeka’.Lewat berbagai kegiatan selepas keluar dari hakim, Soekardjo Wirjopranoto terus melakukan langkah-langkah politik agar Indonesia merdeka.  Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia menjadi jubir negara. Pada 1950, Soekardjo diangkat sebagai Dubes RI untuk Vatikan dan Italia. 7 Tahun setelahnya, ia menjadi Dubes RI untuk RRC dan tiga tahun setelahnya menjadi Dubes RI untuk PBB dengan agenda tunggal memasukkan Irian ke Republik Indonesia. Tugasnya itu diemban dengan sempurna hingga Papua masuk menjadi wilayah Republik pada 15 Agustus 1962.Namun dua bulan setelahnya atau 23 Oktober 1962, Sukardjo mendapat serangan jantung dan meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, beberapa hari setelahnya.

Operasi Kikis, Ini 7 Langkah Ketua MA Mudjono Kurangi Tunggakan Perkara

article | History Law | 2025-03-06 09:55:04

Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., dalam laporan tahunan 2025 melaporkan bahwa dari jumlah keseluruhan perkara yang diminutasi dan dikirim ke pengadilan pengaju yaitu 31.162 perkara, sebanyak 30.070 perkara diantaranya diselesaikan dalam tenggang waktu kurang dari 3 bulan atau 96,50%. Ketepatan waktu minutasi perkara tahun 2024 meningkat 6,18% dari tahun 2023 yang berjumlah 90,32%. Capaian ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah Mahkamah Agung. Keberhasilan Mahkamah Agung saat ini merupakan buah dari jalan panjang upaya Mahkamah Agung dalam menyelesaikan tunggakan perkara.Bila kembali ke sejarah, sebenarnya pada awal tahun 1980an, Mahkamah Agung mengalami tunggakan perkara sebesar 10.425 perkara. Menurut catatan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dalam bukunya Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, jumlah tersebut merupakan peningkatan tunggakan perkara 3 kali lipat, dimana di akhir tahun 1970an, tunggakan perkara masih sekitar 2.914 perkara.Atas permasalahan tunggakan perkara tersebut, Ketua Mahkamah Agung Mudjono yang baru menjabat saat itu, mengatakan kepada Majalah Tempo edisi 1 Agustus 1981, “ayam mengeram boleh ditunggu. Tapi bila perkara mengeram, sampai kapan boleh ditunggu?.” Mudjono, yang berlatar belakang militer, sampai menyatakan bahwa jika diperkenankan, Ia akan membawa tank dan buldoser untuk membereskan tunggakan perkara di Mahkamah Agung.Menurut Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung menuliskan bahwa permasalahan tunggakan perkara tersebut mendorong Mudjono yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung sejak 18 Februari 1981 hingga 14 April 1984, membuat terobosan yang dinamakan sebagai Operasi Kikis, atau OPSKIS. Dalam perspektif OPSKIS, beban kerja, terutama tunggakan perkara, harus diatasi dengan peningkatan jumlah personel dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 mengenai organisasi internal Mahkamah Agung. OPSKIS terdiri dari tiga perubahan besar: peningkatan jumlah hakim Mahkamah Agung hingga tiga kali lipat, pembuatan struktur hierarkis dan pembentukan struktur baru pembidangan berdasarkan garis-garis yurisdiksional.Secara rinci, Sebastiaan Pompe mencatat terobosan Operasi Kikis Mudjono sebagai berikut:Pertama, penambahan jumlah hakim agung. Saat awal Mudjono menjabat, Hakim Agung saat itu masih berjumlah 17 hakim agung. Kemudian setelah 15 bulan menjabat, jumlah hakim agung bertambah menjadi 24 hakim agung. Penambahan hakim agung ini belum mengubah secara signifikan kondisi tunggakan perkara di MA. Mudjono kembali menginginkan penambahan jumlah hakim agung. Sebelum genap 1 tahun Ia menjabat, jumlah hakim agung kembali bertambah menjadi 51 Hakim Agung.Kedua, membuat jabatan Ketua Muda. Mudjono meresmikan jabatan ketua muda untuk mendelegasikan tugas dan kewenangan Ketua Mahkamah Agung. Untuk menangani tunggakan perkara, 3 ketua muda ditunjuk khusus untuk menangani: satu untuk hukum perdata tertulis, satu untuk hukum perdata tak tertulis (adat), dan satu untuk hukum pidana.Ketiga, membuat konsep Rapat Pimpinan dan Rapat Pleno. Kepemimpinan kolegial Mahkamah Agung membuat rapat mingguan dalam sebuah “rapat pimpinan” (Rapim). Rapat pimpinan yang terdiri dari ketua Mahkamah Agung, wakil ketua, dan enam ketua muda merupakan organisasi pembuat kebijakan paling penting di Mahkamah Agung. Selain fungsi manajemen, rapim juga dibuat untuk memastikan penerapan undang-undang dengan seragam. Sedangkan rapat pleno dapat dibuat jika terdapat perdebatan diantara para ketua dan para ketua tersebut dapat membawa masalah penting ke sidang pleno untuk diperdebatkan.Keempat, pembuatan Tim dan Bidang. Penambahan jumlah Hakim Agung pada tahun 1982 memungkinkan Mudjono merekonstruksi tim penanganan perkara Mahkamah Agung. Para hakim dibagi menjadi ke dalam delapan tim, dipimpin oleh semua ketua. Nama tim tersebut diurutkan sesuai abjad dari A sampai H yaitu: Alap-alap, Buraq, Cendrawasih, Dadali, Elang, Falcon, Garuda, Hantu, masing-masing huruf mewakili nama burung Indonesia . Kemudian tim tersebut dibagi lagi ke dalam bidang-bidang, masing-masing satu untuk ketua dan wakil ketua, dan satu atau dua untuk masing-masing ketua muda.  Kelima, membuat Sistem Kuota. Tujuan utama pembaruan Opskis yang dibuat oleh Mudjono adalah penyelesaian tunggakan perkara. Program ini juga memberlakukan kuota minimum per bulan untuk masing-masing bidang. Perkara-perkara dibagikan kepada masing-masing tim tanpa memperhitungkan pengembangan keahlian hukum masing-masing. Perkara pidana biasanya dianggap perkara yang mudah dan merupakan cara untuk mencapai target yang tinggi. Hakim agung yang memiliki keahlian perdata banyak menerima perkara perdata, meskipun juga menangani perkara pidana. Spesialisasi hakim agung saat itu hanya berlaku untuk sejumlah kecil perkara agama dan militer, tidak untuk perkara perdata dan pidana yang merupakan beban kerja Mahkamah Agung.Keenam, membuat sistem pengawasan yaitu Hakim Pengawas Mahkamah Agung untuk daerah. Hakim Agung baru yang diangkat pada 1981 ditunjuk menjadi pengawas Pengadilan Tinggi. Para hakim agung yang ditunjuk sebagai pengawas secara berkala akan mengunjungi daerah kerja, dengan perjalanan yang dibiayai pemerintah. Hakim pengawas daerah tersebut merupakan hal penting dan berpengaruh bagi pimpinan Mahkamah Agung dalam urusan manajemen sumber daya manusia.Ketujuh, mengenalkan konsep asisten Hakim Agung dan pembatasan waktu penanganan perkara. Para hakim agung untuk menyelesaikan perkara dibantu para asisten hakim agung. Para asisten tersebut dipersiapkan untuk menangani administrasi maupun teknis peradilan dan diangkat dari hakim-hakim di daerah. Mudjono juga membuat target dan pembatasan waktu penanganan perkara di Mahkamah Agung. Target penanganan perkara adalah lima puluh perkara yang dikerjakan setiap tim per bulan.  Sedangkan jangka waktu penanganan perkara di Mahkamah Agung adalah 1 bulan.Operasi Kikis Mudjono ini cukup efektif karena pada akhir jabatan Mudjono tunggakan perkara di MA hampir tidak ada. Selain karena kontribusi dari program OPSKIS, Mudjono sendiri merupakan pribadi yang tekun bekerja. Dalam obituarinya di Majalah Tempo 21 April 1984, Mudjono kerap masih bergelut dengan pekerjaannya sampai dini hari dan paginya pada pukul 07.00 secara mengejutkan Ia sudah ada kembali di ruangannya. Pada tahun 1984, Mudjono melaporkan kepada Presiden bahwa tunggakan perkara di Mahkamah Agung sudah diselesaikan. Ia meninggal dunia beberapa pekan kemudian tepatnya pada 14 April 1984. 

5 Fakta yang Jarang Diketahui dari Wakil Ketua MA R Satochid Kartanegara

article | History Law | 2025-03-06 09:25:10

Jakarta- Meski tidak setenar tokoh politik kemerdekaan, nama R Satochid Kartanegara cukup melegenda di kalangan praktisi hukum, khususnya dunia peradilan. Satochid Kartanegara yang menduduki puncak karier sebagi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) itu ternyata memiliki sejumlah fakta yang jarang diketahui nan patut dijadikan keteladanan.Berikut 5 fakta seputar Satochid Kartanegara sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Kamis (6/3/2025). Fakta ini dikumpulkan dari buku ‘Prof Dr Satochid Kartanegara SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya’ yang ditulis Poliman. Buku ini diterbitkan oleh Depdikbud, Juni 1981.:1. SederhanaSatochid lahir pada 21 Januari 1899. Ayahnya seorang Bupati Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng) kala itu, Kadis Kartanegara. Namun, saat Satochid berusia 3 tahun, ayahnya wafat di usia 40 tahun.Selapas ayahnya wafat, Satochid diboyong ibunya ke kampung halamannya di Banyumas, Jawa Tengah. Untuk kehidupan sehari-hari, kehidupan Satochid dan saudara-saudaranya, dibantu pamannya, Pangeran Ganda Subroto.Sejak kecil, Satochid terbiasa hidup priyatin. Seperti saat kuliah di Leiden, Belanda, Satochid serius belajar dan tidak sempat untuk menikmati wisata di seputaran Belanda. Alhasil, Satochid sangat berhemat dan serius kuliah.“Satochid tak pernah beliau berpesta-pesta maupun pergi berlibur ke negeri tetangga seperti halnya yang dilakukan oleh kawan-kawan Indonesia lainnya.”Tabungannya sebagai hakim hanya cukup membeli kapal untuk berangkat ke Belanda. “Lima tahun menjadi hakim, tabungannya hanya cukup membeli ongkos naik kapal ke Belanda,” kisahnya.2. Tetap HumbleMeski anak priyadi dan dibesarkan di lingkungan bangsawan, Satochid menjadi lelaki yang tetap humble/rendah hati. Sejak kecil, ia gemar melucu dengan teman-temannya, jujur dan sopan kepada siapa pun. Begitu juga saat beranjak dewasa.“Karena sifatnya yang tidak rendah diri dan terpuji kepada orang-orang Belanda, Satochid juga dapat menyamai kepandaian orang-orang Belanda dalam bidang ilmu pengetahun,” ujarnya.Setelah menjadi hakim agung dan mengajar di Universitas Indonesia (UI), ia juga dekat dengan para mahasiswanya. “R Satochid Kartanegara mudah dikenal dan cepat akarab dengan mahasiswa-mahasiswanya. Pelajaran yang beliau berikan mudah pula dimengerti, sehingga pelajaran yang beliau berikan itu berjalan dengan lancar.”3. Hakim Tiga ZamanSatochid menjadi salah satu hakim yang hidup di tiga zaman. Pertama zaman penjajahan Belanda, kedua zaman penjajahan Jepang dan ketiga zaman Kemerdekaan. Pengalaman lintas zaman itu membuatnya banyak makan asam garam dalam menggeluti hukum. Di zaman penjajahan Belanda, ia berdinas di Landraad Purbalingga, Surabaya, Malang dan Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi Ketua Landraad Jakarta dan Landraad Pontianak. Di zaman penjajah Jepang menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Dan di zaman kemerdekaan menjadi hakim agung/Wakil Ketua MA.“Setelah Bapak Kusumah Atmaja meninggal dunia, Satochid diangkat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung,” kisahnya.4. Teguh Menjaga IntegritasKeteladanan yang patut dicontoh lainnya adalah Satochid teguh menjaga integritasnya. Salah satunya saat ia menjadi Kepala Landraad (Pengadilan Negeri) Pontianak di zaman Belanda. Padahal dengan jabatan tersebut di era Belanda, peluang melakukan perbuatan koruptif sangatlah besar.Selama menjadi hakim, Satochid tidak luput dari cobaan dan godaan yang dapat dianggap menyelewengkan hukum. Seperti ditawari uang sogok, uang semir dan lain sebagainya.“Seorang tetangga telah mengirimkan makanan kepada ibu Satochid Kartanegara. Satochid saat tiba di rumah pulang dari kerja, dan mengerti dari mana datangnya kiriman itu, seketika itu pula memerintahkan istrinya untuk memulangkannya,” tulisnya.Istrinya pada waktu itu pula tidak tahu maksud dari suaminya. “Tetapi kemudian diketetahui duduk persoalannya, karena tetangga yang memberikan makanan adalah orang yang sedang kena perkara. Kebetulan Satochid yang akan memutuskan perkaranya di Pengadilan,” kisahnya.5. Akademisi UlungSatochid kerap ditawari masuk dunia politik oleh teman-temannya. Namun ia menolak secara halus dan memilih aktif mengajar di luar pekerjaanya di Mahkamah Agung.Satochid akif mengajar di berbagai kampus. Dengan belajar langsung ke Belanda awal abad ke-20, membuatnya menjadi ahli pidana dan ahli hukum acara pidana yang sangat mumpuni. Baik secara teori dan praktik.Satochid menjadi guru besar di bidang hukum di Universitas Indonesia dan PTIK. Selain juga aktif di berbagai kampus seperti Ketua Dewan Pengurus Universitas Krisnadwipayana dan Universitas Tarumanegara.Satochid tidak sempat membuat buku karena kesibukannya. Alasan lain, ia enggan membuat buku karena khawatir mahasiswanya tidak aktif kuliah lagi. Namun mahasiswanya berinisiatif mengumpulkan berbagai seri kumpulan kuliahnya menjadi buku dan kini menjadi buku bacaan wajib mahasiswa yang mengambil hukum pidana.Satochid juga ikut menggagas agar KUHP diperbaharui dan baru terwujud dengan lahirnya UU Nomor 1/2023, jauh setelah Satochid wafat pada 1971.

Arsip Pengadilan 1922: Malam-malam Napi Dikeluarkan Kalapas untuk Mencuri

article | History Law | 2025-03-01 17:30:45

Jakarta- Landraad, kini Pengadilan Negeri, menjadi salah satu saksi sejarah Indonesia pra kemerdekaan. Salah satunya soal kasus pencurian yang ternyata dilakukan oleh napi yang sedang mendekam di dalam penjara. Kok bisa?Hal ini terungkap dalam buku 'Kebebasan Hakim-Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman' karya Arbijoto seperti dikutip DANDAPALA, Sabtu (1/3/2025). Hakim agung 1998-2006 ini menceritakan kasus pencurian di Trenggalek, Jawa Timur (Jatim) yang diadili di Landraad setempat pada 1922.Dalam persidangan era kolonial ini, seorang saksi korban memberikan keterangan di bawah sumpah yaitu melihat pelaku mencuri di rumahnya. Kesaksiannya itu disampaikan di bawah sumpah Al Quran.Saksi korban mengaku melihat dengan jelas karena lampu petromak sangat terang. Apalagi, si pelaku juga teman satu desa pemilik rumah sehingga ingat muka pencuri tersebut.Tapi apa alibi terdakwa atas kesaksian itu?"Terdakwa lalu mengajukan alibi bahwa pada malam terjadinya pencurian, dia sedang berada di penjara Trenggalek," cerita Arbijoto dalam bukunya.Setelah dicek di sana-sini, pengakuan pencuri ini benar adanya. Menurut catatan jaksa setempat, pelaku saat kejadian sedang di dalam penjara karena sedang menjalani masa hukuman untuk kasus lain.Akhirnya, alibi terdakwa itu diamini oleh majelis hakim. Akhirnya sang pencuri divonis bebas. Lalu bagaimana dengan saksi korban/pemilik rumah? Apes! Si saksi korban giliran duduk di kursi pesakitan dengan delik 'sumpah palsu'.Atas fakta yang bertentangan itu maka majelis hakim yang harus membongkar apakah kesaksian korban yang benar atau alibi pencuri yang salah. Setelah melalui persidangan pelik, dalam sidang  kasus ’sumpah palsu' terungkap fakta yang menggemparkan.Ternyata di pencuri dikeluarkan malam-malam oleh Kepala Penjara untuk mencuri."Terdakwa pencurian pada malam kejadian sengaja dikeluarkan oleh Kepala Penjara dengan suatu perjanjian bahwa pada jam 20.00 WIB hingga jam 05.00 WIB, terdakwa diperkenankan keluar rumah penjara untuk menjalankan pencurian yang hasilnya dibagi di antara kedua orang itu," kisah Arbijoto.Akhirnya si pencuri tidak jadi bebas, dan pemilik rumah lolos dari tuduhan sumpah palsu. Sementara Kepala Penjara harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Arsip 1986: Kartu Advokat Adnan Buyung Nasution Dibekukan Gegara Protes Sidang

article | History Law | 2025-02-28 16:40:06

Jakarta- Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pernah dibekukan kartu advokatnya oleh pengadilan pada 1986. Pangkalnya, ia protes saat hakim sedang membacakan putusan. Bagaimana kisahnya?Kasus ini berawal ketika Adnan Buyung Nasution menjadi pembela terdakwa kasus subversi HR Dharsono. Di mana HR Dharsono yang merupakan seorang militer yang dituduh berkomplot dengan AM Fatwa yang melakukan pemboman gedung BCA di Jakarta. Latar belakang Dharsono yang cukup mentereng yakni mantan Panglima Kodam Siliwangi, Sekjen ASEAN dan Anggota Petisi 50 membuat kasus ini sempat menjadi perhatian seantero negeri.Sejak 8 Januari 1986 pagi, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sudah ramai dengan simpatisan Dharsono. Suasana ruang sidang juga dipadati media dan pendukung Darsono. Agenda hari itu adalah pembacaan putusan hakim dengan susunan majelis, Soedijono, sebagai hakim ketua, Ali Budiarto dan Achmad Intan,m sebagai hakim anggota. Pada saat Majelis Hakim membacakan putusan, Buyung tiba-tiba merasa tersinggung dengan uraian hakim di dalam pertimbangan putusan yang menyebutkan Buyung tidak etis. Serta merta Adnan Buyung berdiri dan menyambar pengeras suara. “Saya protes kata-kata Majelis itu – siapa yang tidak etis?”. Mendengar protes Buyung seketika massa yang ada di dalam ruang sidang menjadi semakin ricuh meneriaki hakim. Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif akhirnya hakim ketua Soedijono menghentikan pembacaan putusan dan menskor sidang saat itu. Perlu pembaca ketahui bahwa ruang sidang yang terletak di lantai tiga PN Jakpus itu sudah dipadati ratusan orang. Dharsono yang juga anggota petisi 50, menjadi magnet bagi para aktivis anti Orba dan mantan pejabat penting untuk hadir di ruang sidang. Di antaranya ada Ali Sadikin (mantab Gubernur Jakarta), Hoegeng Iman Santoso (Mantan Kapolri) dan anggota petisi 50 lainnya. Setelah hakim keluar dari ruang sidang, masuklah para petugas kepolisian untuk mengamankan suasana. Melihat hal ini kemudian Buyung mengusir polisi dengan mengatakan. “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!”.Kejadian ini kemudian oleh Soedijono dilaporkan kepada Ketua PN Jakpus. Seobandi yang kemudian diteruskan kepada induk badan peradilan yang waktu itu adalah Departemen Kehakiman. Merespon kejadian ini, pada 11 Mei 1986, Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan pembekuan atau pencabutan izin sementara Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara. Pencabutan izin ini berlaku selama satu tahun yang membuat Buyung tidak bisa beracara di seluruh pengadilan yang ada di Indonesia. Di dalam konsiderannya Adnan Buyung dianggap telah menghina atau merendahkan martabat lembaga peradilan. Selain itu Menkeh dalam jumpa pers juga menyatakan “Menteri Kehakiman yang mengangkat (sumpah) dan memberhentikan advokat, jadi yang berwenang menjatuhkan tindak administrasi adalah Menteri Kehakiman”.Tidak tinggal diam Adnan Buyung sempat menggugat SK Menteri Kehakiman tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Buyung mendalilkan perbuatan Menkeh Ismail Saleh merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berdasar. Oleh sebab itu Buyung meminta agar Menkeh dinyatakan PMH, membayar ganti rugi sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) dan merehabilitasi nama baik serta kehormatan Buyung sebagai advokat. Dalam perkara gugatan ini Menkeh diwakili oleh dua pengacara yang juga guru besar yakni Prof Oemar Senoadji dan Prof Sudargo Gautama. Menurut dua begawan hukum ini, tindakan Menkeh Ismail Saleh sudah benar. Keputusan Menkeh masih dalam kewenangannya dalam mengawasi penasihat hukum(advokat). Wewenang ini lahir dari UU Mahkamah Agung dan Peradilan Umum yang identik dengan pengawasan advokat yang sudah ada sejak era Rechtelijke Organisatie yang berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848. Selain itu kasus Adnan Buyung ini tidak termasuk perkara pidana ataupun perdata, melainkan perkara administratif. Majelis Hakim yang saat itu diketuai Sakir Ardiwinata serta hakim anggota Reni Retnowati dan LO Siahaan dalam putusan menyatakan bahwa skorsing Buyung sudah dilakukan dengan proses administrasi yang baik. Hal ini sebab sudah melalui proses panjang termasuk meminta keterangan dari Organisasi Advokat IKADIN. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Dewan Kehormatan IKADIN juga sudah menyatakan bahwa perbuatan Buyung melanggar kode etik advokat. Pada akhirnya gugatan Buyung dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim dan ia dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 47.500,00(empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Arsip Pengadilan Den Haag 1928: Gemuruh Pledoi Bung Hatta Indonesie Vrij

article | History Law | 2025-02-28 09:20:28

Jakarta- Sebentar lagi umat muslim di dunia akan memasuki bulan Ramadhan. Muslim memaknai Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan dan pengampunan dari sang pencipta. Namun Ramadhan bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai moment yang dirayakan umat Islam, akan tetapi banyak sejarah Indonesia lahir pada bulan tersebut,.Sebagai contoh Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tepat bersamaan dengan Ramadhan, 1364 Hijriah. Demikian juga upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda ke 1 di tahun 1947, tepat pada bulan Ramadhan 1366 Hijriah.Selain dua peristiwa tersebut, ada satu catatan sejarah nasional yang lahir bersamaan dengan bulan Ramadhan. Tinta sejarah bangsa Indonesia tersebut, berupa penyampaian cita-cita Indonesia Merdeka oleh cendikiawan muda Bumiputra di ruang sidang Pengadilan Den Haag, Belanda, tahun 1928. Bahkan cita-cita tentang tanah nusantara yang merdeka, menjadi sorotan dunia karena disampaikan pada persidangan yang terbuka oleh terpelajar yang didakwakan melakukan perbuatan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Intelektual muda yang lantang menyampaikan tanah Indonesia yang merdeka di ruang sidang Pengadilan Den Haag tersebut adalah Drs. Mohammad Hatta (kelak menjadi Wakil Presiden RI pertama) seorang pelajar Bumiputera yang saat itu menempuh pendidikan di negeri Kincir Angin. Aktivitasnya sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeeniging) di Belanda bersama dengan Mr. Ali Sastroamidjojo (kelak salah satu Perdana Menteri RI), Mr. Mohammad Nazir Pamoentjak (kelak duta besar Indonesia untuk beberapa negara asing), Sutan Sjahrir (kelak Perdana Menteri RI Pertama), Iwa Koesoema Soemantri (menteri era orde lama dan Rektor pertama Unpad)  dan beberapa tokoh nasional lainnya. Selain menyelesaikan pendidikannya, Mohammad Hatta aktif melakukan pergerakan dan penyuaraan kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan kritik terhadap kolonialisme di tanah Hindia Belanda serta menerangkan kondisi rakyat tanah jajahan yang menderita akibat perbuatan semena-mena penjajah Belanda, kritiknya disampaikan baik secara lisan dalam berbagai forum atau pertemuan yang dihadirinya maupun melalui tulisan di berbagai media kabar internasional dalam beberapa Bahasa, membuatnya berurusan dengan penegak hukum di negeri Belanda. Salah satu tulisannya, yang memberikan tamparan kepada penjajah dan membuka mata dunia terhadap kolonialisme di Belanda yakni mengenai ketidakadilan penetapan harga sewa tanah rakyat bumiputera yang digunakan untuk perkebunan milik orang Belanda. Tulisannya tersebut dimuat Majalah Hindia Poetra, tahun 1923.Puncaknya Mohammad Hatta menjadi orator dalam pertemuan Konfrensi Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan, di Kota Gland Swiss. Mohammad Hatta memaparkan orasi menggunakan bahasa Prancis dengan judul L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Problematika Kemerdekaan). Penyampaian orasi tersebut, berdampingan dengan Pandit Jawaharlal Nehru tokoh nasional India (kelak menjadi Perdana Menteri India) Tahun 1947. Tepat setelah pulang dari Konfrensi Wanita Internasional dimaksud, Mohammad Hatta ditangkap bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamoentjak dan Abdul Majid Djojodiningrah, selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Kerajaan Belanda.Mohammad Hatta dan rekan-rekannya, akhirnya dihadapkan pertama ke persidangan di Pengadilan Den Haag, Belanda tanggal 8 Maret 1928 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta didampingi oleh Mr. Duys seorang pengacara yang juga anggota DPR Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat Mr. Mobach dan Mr. Weber.Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta dituntut 3 tahun penjara oleh Penuntut Umum (opsir justisi). Terhadap tuntutan tersebut, di mana Mohammad Hatta menyampaikan nota pembelaan dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Pembelaan tersebut, bukan hanya berisikan kemarahan atas penjajahan Belanda, akan tetapi memaparkan perjuangan rakyat Hindia Belanda untuk menggapai kemerdekaannya. Demikian juga Mohammad Hatta, menyakini cepat atau lambat bangsa Indonesia yang terjajah akan merebut kemerdekaanya karena itulah hukum sejarah dunia. Selain itu, disampaikan bahwa yang dilakukan Mohammad Hatta bukanlah tindakan kriminal, melainkan untuk membela keyakinan dan cita-cita tentang negeri Indonesia yang merdeka dan diakhir pembelaannya Hatta menyampaikan kata-kata Rene de Clerq yang fenomenal “Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku”. Setelah menyampaikan pembelaannya, dimana Tim Penasihat Hukum menyampaikan kembali pembelaan dari segi hukumnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kerajaan Belanda.Persidangan dan pembelaan Mohammad Hatta tersebut, membukakan mata dunia akan cita-cita dan perjuangan suatu bangsa jajahan yang terletak di ujung Asia meraih kemerdekaan. Satu hari sebelum hari raya Idul Fitri tanggal 22 Maret 1928, Mohammad Hatta dan tiga orang sahabatnya divonis bebas dari dakwaan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Putusan bebas atas Mohammad Hatta tersebut, merupakan bentuk penghargaan atas kebebasan berpendapat dan beraktivitas atau berorganisasi secara bebas sebagaimana Konstitusi Kerajaan Belanda. Namun kebebasan berpendapat tersebut, tidak ada di negeri-negeri jajahan Belanda, seperti Indonesia. Contohnya 2 tahun setelah peristiwa persidangan Mohammad Hatta, dkk di Den Haag, Belanda, Ir Soekarno dihadapkan ke persidangan pada tahun 1930. Dalam persidangan tersebut, dikenal pembelaan Ir. Soekarno yang menggelegar, berjudul Indonesia Menggugat. Demikian juga, Mohammad Hatta setelah pulang dari Belanda ditangkap oleh Kepolisian Hindia Belanda, tahun 1934 dan menjalani pembuangan bersama Sutan Sjahrir di Boven Digul, Papua.

Arsip Pengadilan 2010: Korupsi BBM Rp 6 M, Kepala Depot Pertamina Dibui 4 Tahun

article | History Law | 2025-02-27 12:10:46

Jakarta- Kepala Depot PT Pertamina Persero Maos Cilacap Pertamina UPMS IV Budi Darmawan dihukum 4 tahun penjara karena korupsi. Modusnya yaitu mengalihkan BBM subsidi sehingga negara merugi Rp 6,6 miliar.Hal itu tertuang dalam salinan putusan kasasi Nomor 1683 K/Pid.Sus/2009 yang dikutip DANDAPALA, Kamis (27/2/2025). Kasus itu terjadi pada 2001 saat ia menjadi Kepala depot Pertamina Sorong.Di mana seharusnya BBM disalurkan ke PT Satria Saka Perdana yang akan diteruskan ke 41 kapal nelayan. Namun kenyatannya disalurkan ke Kapal MT Top dan MT Yoto. “Bahwa kegiatan mengalihkan BBM Solar ke kapal-kapal asing yang dilakukan oleh Yoseph Renyut dan Yudistira, diketahui dengan Terdakwa yang pada saat itu menduduki jabatan sebagai Kepala Depot Pertamina Sorong, tetapi Terdakwa tidak mencegah atau tindakan bahkan Terdakwa sempat mengawasi penyaluran BBM Solar bersama dengan Agus Putranto Gambar selaku Petugas Pengawas penerimaan, penimbunan dan penya- luran, selain itu Terdakwa meminta agar proses bungker tersebut dialihkan ke kapal MT Yoto dan kapal MT Top,” demikian urai Penuntut Umum dalam dakwannya.Akibatnya, negara merugi hingga Rp 6,6 miliar sebagaimana audit BPKP Papua pada 24 Oktober 2005. Atas perbuatannya, Budi Darmawan diproses hingga pengadilan.Pada 6 Agustus 2007, Budi Darmawan dinyatakan bersalah berbuat korupsi dan dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta dan subsidair 6 bulan kurungan. Putusan itu dikuatan di tingkat banding pada 2 April 2008. Masih tidak terima, Budi Darmawan mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut,” demikain bunyi amar kasasi yang diketok oleh ketua majelis Mansyur Kartayasa dengan anggota Imam Harijadi dan Timur Manurung pada 22 Juni 2010.Mengapa MA menolak kasasi Budi? MA beralasan, argumen kasasi tidak dapat dibenarkan judex facti tidak salah menerapkan hukum karena sudah tepat dalam pertimbangan hukum dan putusannya. ‘Terdakwa selaku Kepala Depot Pertamina telah melakukan korupsi dalam penyaluran BBM ke kepal MT Yoto dan MT. Top padahal seharusnya ke kapal-kapal nelayan milik PT Satria sebanyak 41 kapal,” ucap majelis dengan panitera pengganti Emilia Djajasubagia.

Arsip Pengadilan 1928: 7 Fakta Sadisnya Pembunuhan 7 Orang Sekeluarga di NTT

article | History Law | 2025-02-26 20:50:37

Larantuka- 97 tahun lalu, terjadi kasus pembunuhan sadis nan biadab pernah terjadi di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Satu keluarga yang berjumlah 5 orang dibunuh secara kejam oleh satu orang. Arsip pengadilan menceritakan secara detail.Berikut 5 fakta yang dikutip dari salinan putusan pengadilan sebagaimana dihimpun DANDAPALA, Rabu (26/2/2025):1. Raja di Flores Timur Jadi HakimSaat itu Larantuka masih dipimpin oleh seorang raja yang bernama A.B.de Rozari dan pengadilan di bawah pemerintahan Belanda baru saja terbentuk, setidaknya beberapa tahun sebelumnya. Kisah ini diambil dari arsip berkas perkara dari Pengadilan Negeri Larantuka yang bersampul “No. 23/1928  Raad Van Landshoofden te Larantoeka”.  Di beberapa buku sejarah tentang kota Larantuka salah satunya yang ditulis oleh Felix Fernandez (Bupati Flores Timur 2000-2005), pengadilan di Larantuka dikenal dengan nama pengadilan Swapradja. Sewaktu Belanda datang pengadilan ini diberi nama Raad Van Landshoofden atau RVL. Uniknya di tempat lain, contohnya di Kalimantan RVL ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikhususkan untuk mereka bangsa timur asing atau Tionghoa.Kenapa Felix menjelaskan bahwa pengadilan sebagai swapradja ? karena waktu itu hakim-hakim yang bertugas adalah para raja yang menguasi wilayah Kabupaten Flores Timur. Kita kembali kepada kasus No. 23/1928, duduk sebagai majelis hakim:Voorzitter: A.B.de Rozari radja van LarantoekaLeden: Kapitan Poera radja van TrongGorang Solang kapitan van Lewo ToloAdviseur: Bapa Ana kapitan van AdoenaraLeider: W.J.Houwing fd Controleur van Oost Flores2. Didakwa Membunuh 7 Orang SekeluargaBelang Tewololong dkk dituduh dengan Pasal 340 WvS. Yaitu pada suatu hari sekitar pukul 08.00 pagi dalam bulan Februari tahun 1927, tanggal pastinya sudah tidak diingat lagi, dengan sengaja dan direncanakan sebelumnya telah menghilangkan nyawa Doea Basa dan istrinya, Somi Nogo, serta tiga anaknya yang bernama Kasihan Doea, Dai Doea, dan Ola Does, yang berada di ladang milik Doea Basa di bagian Kampung Lemaniat, Gemeente, dan landschap Adonara. Selain itu, terdakwa juga membunuh dua anak lainnya, yakni Killa Doea dan Lesoe Doea, di dekat pohon-pohon nira milik Doea Basa di sekitar ladangnya, yang juga terletak di bagian Kampung Lamaniat, Gemeente, Adonara.3. Alasan Membunuh: Sihir (Soeanggi)Di muka persidangan diperiksa lima orang saksi yang bernama Saksi Waleng Boli, Saksi Bastian Dian, Saksi Mello Fernandez dan Saksi Kopong Barek. Dari pemeriksaan hakim menyimpulkan telah memperoleh fakta hukum:Terdakwa Belang Tewololong pada suatu pagi di bulan Februari 1927, pada tanggal yang tidak lagi diketahui, telah memanggil anggota keluarganya, yaitu Bala Tewololong, Hering Tewololong, Bela Sengadji, dan Kene Ola Laba, ke rumah kecilnya di luar kampung Lamaniat. Di sana, ia memberi tahu mereka bahwa Doca Basa beserta istri dan anak-anaknya pasti menjadi penyebab kematian istrinya. Hal ini karena pada pagi hari saat istrinya mengalami persalinan yang sangat sulit, Terdakwa Belang Tewololong telah menampar wajah Somi Nogo karena ia telah mencuri jagungnya. Dengan kata lain, Terdakwa percara bahwa istrinya telah disihir (Soeanggi) oleh keluarga Somi Nogo tersebut, sehingga istrinya meninggal dunia tiga hari setelah melahirkan.Setelah kejadian itu, Belang Tewololong membujuk para terdakwa lainnya untuk membunuh seluruh keluarga Soeanggi tersebut. Para terdakwa lainnya, yang percaya bahwa keluarga itu adalah penyebabnya, menerima usul tersebut dan bersama Belang Tewololong pergi ke rumah ladang Doca Basa, masing-masing membawa parang. 4. Pembunuhan yang Sadis Nan BiadabSesampainya di lokasi kejadian, Belang Tewololong dan Bala Sengadji memasuki rumah ladang Doca Basa, sementara Bala Tewololong, Hering Tewololong, dan Kene Ola Laba berjaga di luar rumah.Setelah masuk, Belang Tewololong langsung menebas leher Somi Nogo dengan parangnya hingga hampir putus, sehingga wanita tersebut langsung meninggal dunia. Pada saat yang bersamaan, Bala Sengadji menebas leher Doca Basa dengan parangnya hingga kepalanya terpenggal sepenuhnya.Sementara itu, tiga anak kecil yang juga berada di dalam rumah melarikan diri ke luar. Namun, Hering Tewololong mengejar dan langsung menebas punggung anak bernama Kasihan Doea, sehingga anak tersebut langsung tewas. Pada saat yang sama, Bala Tewololong menebas leher anak bernama Emi Doea, yang juga langsung meninggal dunia. Kene Ola Laba menebas leher anak bernama Ola Doea hingga kepalanya terpenggal.Terdakwa mengetahui bahwa Doca Basa memiliki lima orang anak, sehingga mereka mencari dua anak lainnya. Akhirnya, mereka menemukan kedua anak tersebut di dekat pohon-pohon milik Doca Basa. Hering Tewololong, yang paling cepat berlari untuk menangkap salah satu anak, menebas punggung anak bernama Kia Doea hingga anak itu langsung meninggal. Secara bersamaan, Bala Sengadji menebas pinggul kiri anak bernama Lesos Doen hingga mengenai tulang belakangnya, menyebabkan anak tersebut langsung tewas.5. Korban Dimakamkan PelakuLima hari kemudian, para terdakwa menguburkan mayat-mayat tersebut. Jasad Doca Basa, Somi Nogo, Kasihan Doea, Emi Doea, dan Ola Doea dikuburkan dalam satu lubang di dekat rumah ladang mereka, sedangkan Kia Doea dan Lesos Doea dikuburkan di lubang lain di dekat pohon-pohon milik Doca Basa.6. Pertimbangan HakimMenimbang bahwa dari pengakuan para terdakwa dapat dipastikan adanya unsur kesengajaan dan perencanaan, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pembunuhan. Namun, sebagai faktor yang meringankan, harus diperhitungkan keyakinan kuat para terdakwa terhadap keberadaan Soeanggi (sihir), sebagaimana diyakini oleh seluruh penduduk di pulau-pulau ini.7. Amar PutusanBerdasarkan adat yang berlaku, dalam kasus seperti ini, para terdakwa sebenarnya tidak akan dituntut atas pembunuhan terhadap Soeanggi (sihir), tetapi atas pelanggaran terhadap adat. Sebab, adat telah menetapkan bahwa Soeanggi (sihir) harus dipindahkan ke pulau lain dalam wilayah ini, bukan dibunuh. Oleh karena itu, para terdakwa dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup ke pulau lain dalam wilayah ini.