Cari Berita

Potensi Pelanggaran Etik Hakim di Penggunaan AI dalam Bikin Putusan

article | Opini | 2025-04-09 17:50:56

Tren penggunaan kecerdasan buatan (AI) semakin meningkat di kalangan masyarakat. Perkembangan ini turut merambah pelayanan publik yang adaptif, termasuk di lingkungan lembaga peradilan. Sejarah mencatat, konsep kecerdasan buatan telah muncul sejak tahun 1955-1956 dengan program awal bernama Logic Theorist. Namun, adopsi masif terhadap AI baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kemunculan ChatGPT dari OpenAI. Produk ini memperkenalkan antarmuka interaktif yang mudah diakses, memungkinkan masyarakat umum merasakan langsung pengalaman berinteraksi dengan sistem AI. Berbagai pembaruan fitur membuat teknologi ini semakin menjanjikan, bahkan membuka peluang penggunaannya dalam penyusunan putusan pengadilan. Namun demikian, mengingat fungsi lembaga peradilan yang sangat prudent, analisa terhadap potensi pelanggaran etik menjadi krusial sebelum adopsi AI diterapkan dalam praktik peradilan. Bagaimana Kecerdasan Buatan Bekerja?Untuk memahami potensi pelanggaran etik, harus dipahami terlebih dahulu cara kerja kecerdasan buatan. Secara umum, teknologi ini mampu menyelesaikan persoalan menggunakan prinsip dasar logika premis jika–maka. Konsep ini menyerupai pola berpikir manusia dalam menarik kesimpulan berdasarkan kejadian tertentu. Seiring waktu, pendekatan tersebut berkembang menjadi lebih kompleks melalui penggunaan basis data yang luas dan pola-pola probabilistik. Kompleksitas ini mengaburkan batas premis sederhana dan menjadikan AI mampu menghasilkan kesimpulan yang kontekstual.Dalam konteks ChatGPT, setidaknya ada empat syarat agar AI dapat berfungsi sebagaimana mestinya:Basis data yang besar. AI dilengkapi dengan miliaran kata dari beragam sumber teks.Kemampuan memahami pola dan asosiasi antar data. AI tidak hanya menyimpan, tetapi juga memaknai konteks antar basis data.Kemampuan memahami instruksi (prompt). AI menerjemahkan pertanyaan, perintah, maupun sanggahan.Kemampuan merespons secara kontekstual dan dinamis. AI menyesuaikan jawaban dengan konteks dan dapat diperbaiki bila ada klarifikasi.Bagaimana dengan AI berbasis gambar, suara, atau animasi? Prinsip kerjanya serupa, hanya saja basis datanya berbeda. Misalnya, dalam pengolahan gambar, AI mengenali gaya (style) visual yang umum muncul. Gaya ini menjadi dasar penilaian terhadap elemen dalam gambar, seperti wajah, tubuh, atau latar belakang. Dengan demikian, instruksi seperti “hapus latar belakang” akan dieksekusi berdasarkan identifikasi pola visual. Prinsip yang sama berlaku pada AI yang memproses suara, animasi, dan lainnya. Bagaimana Hakim Menyusun Putusan?Penyusunan putusan oleh hakim dimulai dengan musyawarah untuk meneguhkan fakta hukum yang diperoleh dari pembuktian kemudian menentukan pertimbangan hukum untuk menuju pada amar putusan. Setelah musyawarah selesai, hakim menyusun putusan sesuai dengan konsep dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022. Dalam praktiknya, hakim akan memindahkan isi penting dari berita acara persidangan ke dalam konsep putusan, menuliskan pertimbangan hukum dan menuliskan amar dalam konsep tersebut. Setelah disusun, putusan direviu untuk menghindari kesalahan redaksional, lalu dibacakan dan ditandatangani. Bagaimana AI Dapat Mengambil Alih Penyusunan Putusan?AI berpotensi mengambil alih penyusunan putusan jika dipenuhi empat prasyarat tadi, dengan tambahan bahwa AI diberi akses pada data hukum dan yurisprudensi. Simulasi berikut menggambarkan skenario tersebut:Hakim mengunggah berita acara persidangan ke AI, dan AI diminta menyimpulkan fakta hukumnya. AI yang telah mempelajari alat bukti dan kekuatan pembuktian, akan menampilkan hasil berupa fakta hukum.Hakim memerintahkan AI menyusun pertimbangan dan amar putusan berdasarkan fakta tersebut. AI yang telah mempelajari berbagai dokumen hukum, akan menampilkan hasil berupa pertimbangan dan amar putusan. Hakim memerintahkan AI menyusun putusan lengkap sesuai format SK KMA. AI yang telah mempelajari konsep putusan, akan menampilkan hasil putusan yang siap dibacakan. Apakah Menyusun Putusan dengan AI Melanggar Etika?Etika hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam konteks ini, ada dua butir etika yang patut diperhatikan:Pelanggaran Etika Bertanggungjawab (Butir 6.2 KEPPH)Hakim dilarang mengungkap atau menggunakan informasi rahasia di luar tugas peradilan. Meski penyusunan putusan adalah tugas peradilan, ketika proses tersebut diserahkan pada sistem eksternal seperti ChatGPT, timbul potensi eksploitasi data. Terlebih, dalam Terms of Use ChatGPT (per-11 Desember 2024), dinyatakan bahwa input pengguna dapat digunakan untuk pengembangan layanan, termasuk kemungkinan dibaca oleh pihak manusia. Risiko kebocoran data—terutama dalam perkara asusila atau yang menyangkut rahasia negara—menjadi ancaman nyata terhadap integritas peradilan. Pelanggaran Etika Bersikap Profesional (Butir 10.4 KEPPH)Hakim wajib menghindari kekeliruan dalam membuat putusan. Namun, ChatGPT sendiri menyatakan bahwa output-nya tidak selalu akurat dan tidak dapat dijadikan sumber kebenaran tunggal. Dengan demikian, AI tidak bisa menjadi pengganti otoritas profesional hakim tanpa melanggar prinsip etik ini.Bagaimana Bersikap Adaptif terhadap AI?Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa AI memiliki keunggulan. Sikap adaptif dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:Baca Ketentuan PenggunaanKetahui batasan dan kebijakan layanan sebelum memakai AI. Jika bertentangan dengan etika hakim, sebaiknya dihindari.Gunakan Akun AnonimGunakan identitas acak agar penyedia layanan tidak mengaitkan identitas pengguna dengan data perkara. Selain itu, gunakan juga opsi pengecualian dalam melakukan perekaman data jika disediakan oleh penyedia.Hindari Mengunggah Dokumen PersidanganDokumen persidangan baik sebagian maupun seluruhnya yang dimasukkan, bisa masuk ke dalam basis data AI dan dapat muncul dalam sesi lain.Bangun AI Internal SendiriMasalah etika bukan pada teknologinya, melainkan pada siapa yang mengendalikannya. Lembaga peradilan sebaiknya membangun sistem AI sendiri, dengan jaminan keamanan dan kontrol terhadap data yang diproses. OpenLLM menjadi salah satu AI yang dapat dibangun dengan sumber daya internal.Jadikan AI Sebatas Rekan DiskusiKelebihan AI ada pada basis datanya, semakin banyak basis datanya maka semakin luas pemahamannya. Namun diantara seluruh kelebihan itu, masih dimungkinkan terdapat kekeliruan dalam pemahaman yang dirangkai oleh AI. Itu artinya, AI tidak dapat digunakan untuk menggantikan kecerdasan murni. Meskipun demikian, seluruh pemahaman yang dimiliki oleh AI dapat dimanfaatkan dalam nuansa rekan diskusi.Sebagai rekan diskusi, AI dapat digunakan untuk men-challenge logika hakim sebelum penyampaian pendapat ketika bermusyawarah. AI dapat juga digunakan untuk menjabarkan dasar hukum, itupun dengan verifikasi penuh oleh hakim. Rekan diskusi berbasis AI ini, selama anonimitas hakim terjaga, dapat menjadi gaya baru sebagai bahan musyawarah-penyusunan putusan hakim. AI secara umum tidak memiliki kepentingan untuk memberikan pendapat/penilaian, sehingga lebih netral dalam memberikan sudut pandang tertentu. PenutupAI memberikan banyak peluang untuk efisiensi kerja, namun dalam konteks penyusunan putusan oleh hakim, kehati-hatian menjadi hal yang mutlak. Etika, kerahasiaan, dan tanggung jawab profesi tetap menjadi pilar utama yang tidak boleh dikompromikan. Referensi Gugerty, Leo. (2006). Newell and Simon's Logic Theorist: Historical Background and Impact on Cognitive Modeling. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting. 50. 880-884. 10.1177/154193120605000904.Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022https://openai.com/policies/privacy-policy/https://openai.com/policies/row-terms-of-use/

Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP

article | Opini | 2025-03-19 10:30:01

RUU KUHAP saat ini menjadi perbincangan hangat, mengingat keberadaanya masuk kedalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2025, sehingga perlu untuk diikuti perkembangan dan pembahasannya baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat. Dengan segala pro dan kontra yang ada, RUU KUHAP ini didorong sebagai wujud respon dari perubahan sistem ketatanegaraan, perkembangan hukum dalam Masyarakat, dan kemajuan teknologi yang sudah tidak sesuai, sehingga diperlukan penggantian yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru.RUU KUHAP saat ini, dimana penulis menggunakan rancangan per tanggal 3 Maret 2025, Terdiri atas 20 (dua puluh) BAB dan 334 (tiga ratus tiga puluh tiga) Pasal. Salah satu hal yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan diskusi yaitu terkait dengan pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP mengenai apa saja yang diatur, dan apa perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku saat ini. Perlu diketahui, konsep Praperadilan pada dasarnya berawal dari prinsip habeas corpus yang terdapat dalam sistem Anglo Saxon. Habeas Corpus Act 1679 menuntut pejabat polisi atau jaksa mengeluarkan perintah penahanan yang sah melalui surat perintah pengadilan. Hal ini bertujuan agar memberikan jaminan fundamental terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama dalam hal-hak kemerdekaan. Dengan demikian, terhadap dasar dari lahirnya Praperadilan, timbulah suatu perdebatan apakah KUHAP saat ini sudah mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut sebagaimana dasar semangat lahirnya Praperadilan.Dengan demikian, demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana maka selanjutnya undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Dikarenakan Tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh instansi penegak hukum termasuk kedalam bagian dari pembatasan kemerdekaan atas hak asasi manusia, maka Tindakan tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Dengan demikian, diperlukan Lembaga atau proses pengawasan yang dapat mencerminkan perlindungan atas hak asasi manusia tersebut akibat dari adanya upaya paksa. Lantas, bagaimana pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP saat ini? apakah pengaturan Praperadilan sudah memenuhi prinsip perlindungan atas hak asasi manusia? Apa saja poin penting perbedaannya?RUANG LINGKUP PRAPERADILANRuang lingkup praperadilan terhadap objek yang dapat diperiksa dan diputus diatur dalam ketentuan Pasal 149 dimana telah diakomodirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana sah atau tidaknya pelaksanaan upaya paksa termasuk kedalam ruang lingkup yang dapat dimintakan Praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan upaya paksa sendiri juga diatur dalam Pasal 84 RUU KUHAP yang meliputi; (i) Penetapan Tersangka; (ii) Penangkapan; (iii) Penahanan; (iv) Penggeledahan; (v) penyitaan; (vi) penyadapan; (vii) pemeriksaan surat; dan (ix) larangan bagi Tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dimana istilah upaya Paksa tidak diatur dalam KUHAP hanya saja dapat diidentikan dengan segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun, Dimana diantaranya adalah (i) penangkapan; (ii) penggeledahan; (iii) penyitaan; (iv) dan pemeriksaan surat. Ketentuan Praperadilan dalam RUU KUHAP memberikan definisi dan ruang lingkup terhadap upaya paksa yang jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dengan demikian segala jenis upaya paksa yang terdapat dalam Pasal 84 RUU KUHAP dapat dijadikan objek praperadilan. Tidak hanya terhadap penetapan tersangka saja sebagaimana putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, melainkan juga termasuk didalamnya larangan bagi tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia dan penyadap. Akan tetapi, dalam penjelasan Pasal 149 ayat (1) RUU KUHAP terdapat pembatasan upaya paksa yaitu terhadap upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk kedalam objek praperadilan.GUGURNYA PRAPERADILANPengaturan dalam UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, didalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d dikatakan “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Hal ini ditindaklanjuti oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dimana pada pokoknya dikatakan “Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.” Artinya adalah pengaturan KUHAP saat ini mengatur gugurnya praperadilan apabila terhadap perkara pokok telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara.Hal ini berbeda dengan apa yang diatur oleh RUU KUHAP dimana terdapat pengaturan yang sebaliknya. Disebutkan dalam Pasal 154 ayat (1) RUU KUHAP huruf d bahwa selama pemeriksaaan praperadilan belum selesai maka pemeriksaan pokok perkara di pengadilan tidak dapat diselenggarakan. Artinya adalah, dibenarkan bagi penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan kemudian disidangkan oleh Pengadilan Negeri apabila terhadap permohonan Praperadilan ini belum selesai dilakukan pemeriksaan. Hal ini berbanding terbalik dengan aturan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP saat ini. Dimana dalam RUU KUHAP tidak diatur gugurnya Praperadilan melainkan sebaliknya memberikan Batasan kepada Aparat Penegak Hukum untuk tidak memeriksa pokok perkara selama proses pemeriksaan praperadilan masih berlangsung. Dengan demikian, dua perbedaan diatas merupakan perbedaan yang cukup fundamental didalam proses pemeriksaan Praperadilan Dimana terdapat 2 (dua) perbedaan yang sangat penting yaitu terkait dengan ruang lingkup atau objek praperadilan dan mengenai gugurnya praperadilan. Selanjutnya, terhadap pembaruan tersebut, Kembali pada pertanyaan dalam pendahuluan di atas, apakah pembaruan praperadilan dalam RUU KUHAP ini sudah mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana yang diperjuangkan dari konsep praperadilan? atau dirasa kurang untuk memenuhi perlindungan atas hak asasi manusia itu sendiri? Tentunya ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik didalam tataran dunia akademis dan praktis.

Menyoal Praktik Amicus Curiae dan Kebijakan Mahkamah Agung

article | Berita | 2025-03-07 10:20:25

“In criminalibus probationes bedent esse luce clariores”. Dalam perkara pidana bukti-butki harus lebih terang dari pada cahaya. Adagium ini menjelaskan bahwa untuk membuktikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana, tidaklah hanya berdasarkan persangkaan semata tetapi bukti-bukti yang yang diajukan harus jelas, terang dan akurat dalam rangka meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa adanya keraguan.Bukti dan keyakinan hakim merupakan dua unsur penting yang bersifat kumulatif dalam perkara pidana. Penuntut umum harus bisa menyajikan bukti yang menimbulkan keyakinan hakim bahwa seseorang telah bersalah melakukan tindak pidana dan harus dijatuhi hukuman. Begitupun sebaliknya, terdakwa dan/atau penasihat hukumnya harus bisa menyajikan bukti dan menyakinkan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga harus dibebaskan.Konteks pembuktian dalam perkara pidana secara universal yang berlaku di dunia khususnya di Indonesia, kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa pada dasarnya merupakan kewajiban penuntut umum. Pada sisi lain, meskipun bukan merupakan suatu kewajiban terdakwa dan/atau penasihat hukumnya juga akan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum.Beberapa tahun belakangan, dalam praktik peradilan telah terjadi perluasan konteks pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia. Disamping penunutut umum dan/atau terdakwa yang harus membuktikan dakwaan, muncul pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam perkara yang juga ikut menyajikan “bukti-bukti” kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo. Pihak ketiga tersebut lazimnya disebut Amicus Curiae (sahabat pengadilan).Eksistensi Amicus CuriaeMunculnya praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia pertama kali terjadi sekitar tahun 2008 dalam kasus Prita Mulyasari, yang diajukan pada Pengadilan Negeri Tanggerang. Praktik amicus curiae tersebut terus berlangsung setiap tahunnya. Hingga Tahun 2024 setidaknya sudah lebih dari 60 praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia. Amicus Curiae tersebut diajukan oleh berbagai kalangan, mulai dari para akademisi hingga Non Governmental Organization (NGO) seperti ICJR, Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM), YLBHI, KontraS, ELSAM, Komnas HAM, IMDLN dan beberapa NGO lainnya. Praktik amicus curiae biasanya dilakukan terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian publik. Sehingga apabila dicermati beberapa tahun belakangan ini semua perkara yang cukup menarik perhatian publik terdapat pengajuan amicus curiae didalamnya.Dasar HukumMaraknya praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia tentunya menimbulkan suatu pertanyaan besar mengenai dasar hukum pemberlakuan praktik amicus curiae tersebut. Peraturan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya tidak ada satu aturanpun yang mengatur secara expressive verbis mengenai pemberlakuan amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia. Adapun aturan yang dijadikan dasar pemberlakuan amicus curiae ialah Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Akan tetapi apabila dilihat lebih mendalam Pasal a quo hanya menjadi dasar bagi hakim dalam penerimaan pengajuan amicus curiae. Tidak adanya aturan yang mengatur secara tegas dan lengkap mengenai praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia tersebut, tentunya membawa konsekuensi kepada praktik pengajuan amicus curiae tersebut dalam suatu perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Terdapat dua bentuk pengajuan dan dua bentuk pemeriksaan amicus curiae yang berlangsung selama ini di pengadilan.Pertama, amicus curiae menyajikan bukti-bukti kepada hakim yang memeriksa perkara dengan terlebih dahulu mengirimkan permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengizinkan, barulah amicus curiae bisa menyajikan bukti-bukti dan pendapatnya di depan persidangan. Kedua, amicus curiae menyajikan bukti-bukti dan pendapatnya melalui penasihat hukum terdakwa. Dalam persidangan, penasihat hukum terdakwa akan memohon izin kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara bahwasanya terdapat organisasi yang bertindak sebagai amicus curiae dan ingin menyajikan bukti-bukti dan menyampaikan pendapatnya.Terhadap pengajuan amicus curiae tersebut terdapat dua sikap hakim dalam melakukan pemeriksaan. Pertama, Majelis Hakim akan memeriksa bukti dan pendapat amicus curiae tersebut dalam proses persidangan dan panitera pengganti mencatat hal tersebut dalam Berita Acara Persidangan. Lazimnya, praktik seperti ini terjadi ketika proses pembuktian dari penasihat hukum terdakwa. Kedua, Majelis Hakim akan memeriksa bukti dan pendapat amicus curiae diluar proses persidangan. Praktik seperti ini, hakim men-skors sidang terlebih dahulu untuk penyampaian pendapat amicus curiae dan membuka kembali apabila telah selesai. Praktik seperti ini konsekuensinya pada bukti dan pendapat yang disampaikan amicus curiae tidak dicatatkan dalam Berita Acara Persidangan.Proses pengajuan dan pemeriksaan amicus curiae tersebut pada dasarnya berbeda antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya serta antara pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lainnya. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari tidak adanya dasar pengaturan mengenai praktik amicus curiae tersebut dalam pengajuan bukti dan pendapatnya dalam perkara pidana.Perbedaan pengajuan dan pemeriksaan amicus curiae tersebut juga memberi kesempatan kepada pihak-pihak atau organisasi-organisasi yang bertindak sebagai amicus curiae untuk membenturkan praktik yang dilakukan oleh hakim pada pengadilan yang satu dengan praktik yang dilakukan oleh hakim pada pengadilan yang lainnya.Kebijakan Mahkamah AgungTidak terdapatnya aturan di Indonesia yang mengatur eksistensi amicus curiae dalam peradilan pidana di Indoesia mulai dari proses pengajuan hingga pemeriksaannya tentunya berdampak kepada “ketidakteraturan” pemeriksaan khususnya di pengadilan. Guna menjaga marwah pangadilan, agar seseorang atau sekelompok orang tidak begitu saja masuk kedalam proses persidangan pidana yang sedang berlangsung diperlukannya suatu aturan yang mengatur amicus curiae tersebut. Adanya aturan tentunya akan memformalkan dan menyeragamkan praktik amicus curiae dalam persidangan pidana.Kebijakan Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) atau bahkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum merupakan suatu alternatif yang bisa digunakan untuk mengatur praktik amicus curiae dalam persidangan perkara pidana di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa ratio kenapa Kebijakan Mahkamah Agung dalam bentuk Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum bisa digunakan sebagai alternatif untuk mengatur praktik amicus curiae dalam persidangan pidana di Indonesia.Pertama, praktik pengajuan amicus curiae dalam persidangan perkara pidana merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Akan terus ada pengajuan amicus curiae yang dilakukan oleh akademisi dan/atau NGO dalam perkara yang menarik perhatian publik. Sehingga dibutuhkan aturan yang sifatnya lebih praktis seperti Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum untuk mengatur hal tersebut. Kedua, Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya lebih mengetahui dan menguasai praktik amicus curiae yang terjadi di ruang sidang. Ketiga, Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum bisa dikeluarkan lebih cepat dibandingkan UU. Apabila menunggu KUHAP direvisi untuk dimasukkan pengaturan mengenai amicus curiae tentunya akan membutuhkan waktu yang sangat lama.Adanya Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum mengenai praktik amicus curiae tersebut, tentunya akan berdampak kepada tidak akan terjadi lagi perbedaan proses pengajuan dan pemeriksaan amicus curiae. Bahkan tidak akan terjadi lagi pembenturan antara praktik yang dilakukan oleh hakim yang satu dengan hakim yang lainnya. Keteraturan praktik persidangan tentunya akan lebih terjaga dengan adanya pengaturan mengenai praktik amicus curiae tersebut.

Nebis In Idem Dalam Perkara Pidana Perbuatan Berlanjut (Vorgezette Handling)Yang Diajukan Penuntutan Secara Terpisah

article | Opini | 2025-03-05 13:00:58

Ne Bis In Idem merupakan asas hukum, yang mana orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap, dan mengenai prinsip ini telah diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP. Adapun dasar pikiran atau ratio dari asas ini adalah: a. untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan negara); b. untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan (Barda Nawawi Arief: 2012:97).Penerapan Ne Bis In Idem dalam praktik peradilan mengacu pada beberapa syarat. Pertama, harus ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, baik berupa putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), maupun putusan pemidanaan (veroordeling) yang telah melalui tahapan pemeriksaan pokok perkara. Kedua, orang yang diadili dalam perkara sebelumnya haruslah pihak yang sama dengan perkara yang diajukan kembali. Ketiga, perbuatan yang dituntut harus identik dengan perbuatan yang telah diputus sebelumnya.Perlu diketahui, Ne Bis In Idem dalam perkara pidana juga dapat terjadi dalam hal apabila perkara yang termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) namun penuntutan diajukan secara terpisah, sedangkan dari salah satu perkara tersebut telah ada yang diputus oleh Hakim dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) itu sendiri merupakan salah satu bentuk perbarengan tindak pidana (concursus). Dalam konteks perbuatan berlanjut, penerapan asas Ne Bis In Idem menjadi semakin kompleks. Pasal 64 ayat (1) KUHP mengatur bahwa jika seseorang melakukan beberapa perbuatan yang memiliki keterkaitan erat sehingga harus dianggap sebagai satu kesatuan, maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut. Perbuatan berlanjut berbeda dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP. Adapun dalam perbuatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ancaman pidana terberat dari perbuatan yang dilakukan. Sementara itu, dalam concursus realis sistem pemidanaannya adalah absorbsi yang dipertajam, di mana ancaman hukuman tertinggi masih dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana yang berlaku.Perbedaan antara perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan kerap menimbulkan perbedaan penafsiran dalam praktik peradilan. Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketika perkara yang seharusnya dituntut sebagai satu kesatuan dalam perbuatan berlanjut justru diajukan secara terpisah. Hal ini dapat mengakibatkan terdakwa menghadapi tuntutan ganda untuk perbuatan yang secara substansi merupakan satu rangkaian tindak pidana, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan serta bertentangan dengan asas Ne Bis In Idem. Sekilas antara perbuatan berlanjut (vorgezette handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP memang terdapat kemiripan karakteristik yaitu berkaitan dengan ciri “perbarengan beberapa perbuatan”. Namun, perlu menjadi catatan bahwa salah satu karakteristik dalam perbuatan berlanjut adalah perbuatan-perbuatan itu haruslah ada hubungan sedemikian rupa. Terkait dengan “hubungan sedemikian rupa”, MvT telah memberikan tiga kriteria, yaitu: 1. Harus ada suatu keputusan kehendak, 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis, dan 3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.Menilik dari praktik putusan pengadilan, terdapat beberapa putusan pidana baik itu putusan pada tingkat judex fakti dan putusan pada tingkat judex juris berkaitan dengan Ne Bis In Idem dalam perbuatan berlanjut (vorgezette handling) yang diajukan penuntutan secara terpisah, di antaranya:1. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 6/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 15 Januari 2012 dan 16 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor Nomor 5/Pid.B/2012/PN Pky, namun kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 15 Januari 2012. Dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mempertimbangkan bahwa perkara tersebut termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dalam putusannya kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/hapus karena Ne Bis In Idem;2. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 9/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 25 Januari 2012 dan 30 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 25 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 8/Pid.B/2012/PN Pky. Kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 30 Januari 2012.  Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/ hapus karena Ne Bis In Idem;3. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 2/Pid.B/2019/PN Spn;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian dari kurun waktu 20 Maret 2018 sampai dengan 27 Maret 2018, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 27 Maret 2018 tersebut terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 58/Pid.B/2018/PN Spn. Kemudian penuntutan terhadap terdakwa kembali diajukan berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang juga dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 20 Maret 2018. Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem;4. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 7/Pid.Sus/2024/PN Pts;Putusan ini merupakan putusan perkara pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mana terdakwa pada kurun waktu bulan Juni 2023 sampai dengan bulan Agustus tahun 2023, telah melakukan tindak pidana melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia secara perseorangan tanpa izin dari pihak berwenang, atas perbuatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 tersebut terdakwa telah diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kemudian Penuntut Umum kembali mengajukan terdakwa dalam persidangan sehubungan dengan perkara yang serupa terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan pada bulan Juni 2023. Atas hal tersebut kemudian dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mengkualifikasikan bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah merupakan rangkaian perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diadili dan diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts. Sehingga dalam putusannya, kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem. Terhadap putusan tersebut telah dilakukan upaya hukum banding dan pada tingkat banding putusan tingkat pertama telah dikuatkan sebagaimana putusan nomor 142/Pid.Sus/2024/PT Ptk, kemudian pada tingkat kasasi/judex juris melalui putusan Nomor 6975 K/Pid.Sus/2024 Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan pertimbangan yang pada pokoknya putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;Dengan melihat berbagai putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka penuntutan seharusnya dilakukan secara bersamaan dalam satu perkara. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan penerapan hukuman yang berlebihan serta memberikan perlindungan hukum bagi terdakwa dari risiko tuntutan ganda. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep perbuatan berlanjut dan perbedaannya dengan concursus realis menjadi kunci dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penuntutan, aparat penegak hukum perlu menelaah secara cermat hubungan antara setiap perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan, hak-hak terdakwa tetap terlindungi, dan prinsip Ne Bis In Idem dapat diterapkan secara konsisten sesuai dengan asas kepastian hukum.

Menelisik Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian

article | Opini | 2025-03-03 13:20:29

Perceraian tidak hanya mengakhiri hubungan perkawinan antara suami dan istri, tetapi juga membawa implikasi hukum yang signifikan, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah kewajiban nafkah anak yang harus tetap dipenuhi oleh ayah pasca-perceraian. Sayangnya, dalam praktiknya banyak mantan suami yang mengabaikan kewajiban ini, sehingga ibu atau wali anak terpaksa mengajukan gugatan nafkah anak di Pengadilan Negeri untuk memastikan hak anak tetap terpenuhi.Konstitusi dan berbagai peraturan nasional telah menegaskan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pendidikan, dan kesejahteraan anak meskipun telah bercerai. Bahkan, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan, tempat tinggal, serta pendidikan yang memadai meskipun orangtuanya bercerai.Kewajiban orang tua untuk (ayah) tetap memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian juga ditegaskan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa ayah tetap berkewajiban menanggung pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai dengan kemampuannya. Sementara itu, Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memperkuat bahwa orang tua, meskipun telah bercerai, tetap wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, ibu atau wali anak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri agar hak anak tetap terlindungi.Dalam konteks hukum acara, gugatan nafkah anak dapat diajukan baik bersamaan dengan gugatan perceraian maupun sebagai gugatan terpisah jika perceraian telah diputus tetapi ayah tidak menjalankan kewajibannya. Meskipun tidak ada aturan tegas mengenai waktu pengajuan gugatan nafkah anak, yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1020/K/Pdt/1986 tanggal 29 September 1987 menyatakan bahwa tuntutan biaya nafkah harus diajukan secara tersendiri, dan tidak dapat digabung dengan gugatan perceraian.Proses pengajuan gugatan nafkah anak dimulai dengan mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan menyertakan dokumen pendukung seperti salinan putusan cerai, akta kelahiran anak, dan bukti pengeluaran biaya hidup anak maupun bukti penghasilan ayah. Setelah itu, pengadilan akan melakukan pemanggilan para pihak, yang kemudian dilanjutkan dengan proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti dan saksi untuk menentukan besaran nafkah yang harus dibayar oleh ayah sesuai dengan kemampuannya. Jika ayah tidak mematuhi putusan secara sukarela, pengadilan dapat melakukan eksekusi berdasarkan permohonan ibu atau wali anak dengan menyita aset atau memerintahkan pemotongan gaji.Bagi ayah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdapat mekanisme khusus untuk menjamin pembayaran nafkah anak pasca perceraian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyatakan bahwa seorang PNS pria yang bercerai wajib menyerahkan 1/3 dari gajinya kepada mantan istri dan anaknya. Demikian pula, aturan serupa berlaku bagi anggota Polri dan TNI melalui Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017. Dalam Permenpan Nomor 54 Tahun 2018 mewajibkan pranata keuangan (bendahara) melakukan pemotongan hak keuangan PNS yang bercerai supaya terpenuhinya kewajiban nafkah anak sesuai putusan Pengadilan.Bebrapa contoh putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan nafkah anak dengan pertiimbangan Majelis Hakim sebagai berikut:1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 219/Pdt.G/2013/PN Jkt-Sel, dalam amar Putusan, Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak-anak, biaya pendidikan, kesehatan secara terus menertus kepada anak-anaka sebesar lima juta rupiah secara tunai setiap bulannya melalui Penggugat setiap tanggal 01 terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap samapai anak tersebut dewasa dan telah menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya setingkat Universitas. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan besaran biaya nafkah anak dalam perkara dari tuntutan Penggugat sebesar sepuluh juta rupiah menjadi lima juta rupiah ini menyesuaikan dengan penghasilan Tergugat dengan mempertimbangkan kepantasan dan rasa keadilan berdasarkan bukti-bukti surat yang dihadirkan Tergugat seperti Fotocopi slip gaji, Fotokopi harta benda milik Tergugat maupun kewajiban pinjaman Bank yang ditanggung oleh Tergugat.2. Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 4/Pdt.G/2021/PN Pts, dalam amar Putusan, Majelis Hakim memerintahkan kepada Tergugat melalui bendahara kantor Tergugat bekerja untuk melakukan pembagian besaran gaji Tergugat pada setiap bulannya kepada Penggugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya dan anak-anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya. Adapun pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berlaku pemotongan 1/3 (sepertiga) bagian penghasilan PNS yang bercerai oleh bendahara untuk diberikan sebagai nafkah anak.Meskipun berbagai regulasi telah mengatur dengan jelas kewajiban nafkah anak, dalam praktik masih terdapat kendala seperti ketidakpatuhan mantan suami terhadap putusan pengadilan, kesulitan eksekusi bagi ayah yang bekerja di sektor informal dan penghasilan tetap yang tidak mudah untuk ditelusuri, serta kurangnya kesadaran hukum di masyarakat untuk memperjuankan hak nafkah anak melalui jalur hukum. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kebijakan, termasuk penerapan sanksi pidana bagi ayah yang lalai membayar nafkah, seperti yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengancam pidana bagi pelaku penelantaran anak. Sebagai langkah lanjutan, pemerintah perlu memperkuat mekanisme pemotongan gaji bagi PNS yang bercerai oleh bendahara, mengoptimalkan prosedur persidangan dengan memanfaatkan teknologi digital (E-Litigasi, Mediasi Online, pemeriksaan Saksi secara online dsb), serta meningkatkan edukasi hukum bagi masyarakat agar para ibu dan wali anak lebih memahami hak mereka dalam menuntut nafkah anak. Dapat juga dirumuskan bentuk sanksi pemblokiran layanan publik, kependudukan dan perbankan sebagaimana pendapat Prof. Amran Suadi. Dengan berbagai perbaikan ini, diharapkan hak-hak anak tetap terlindungi dan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian dapat lebih efektif ditegakkan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung prinsip keadilan.

Perubahan Data Paspor : Haruskah Dengan Penetapan Pengadilan?

article | Berita | 2025-02-27 09:00:42

Paspor adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat berwenang yang menjadi salah satu persyaratan bagi seseorang yang hendak melakukan perjalanan ke negara lain, lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian), paspor adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada warga Negara Indonesia untuk melakukan perjalanan antarnegara yang berlaku selama jangka waktu tertentu. Paspor berisi informasi tentang identitas pemegang paspor yang terdiri dari foto, nama lengkap, kewarganegaraan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, nomor paspor, tanggal penerbitan dan berakhirnya paspor, instansi yang menerbitkan, tanda tangan pemegang paspor dan informasi lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Keimigrasian paspor terdiri atas paspor diplomatik, paspor dinas dan paspor biasa. Sedangkan untuk mengajukan penerbitan paspor, seorang warga negara Indonesia wajib memenuhi persyaratan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor) Permohonan paspor biasa diajukan kepada Menteri atau pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kantor imigrasi dengan persyaratan sebagai berikut; a) kartu tanda penduduk b) kartu keluarga c) akta kelahiran, akta perkawinan atau buku nikah, ijazah atau surat baptis d) surat pewarganegaraan Indonesia bagi orang asing yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan atau penyampaian pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e) surat penetapan ganti nama dari pejabat yang berwenang bagi yang telah mengganti nama, dan f) paspor biasa lama bagi yang telah memiliki paspor biasa. Setelah diajukan permohonan paspor oleh pemohon, permohonan akan diperiksa kelengkapan berkasnya oleh petugas dan diproses pembuatan serta penerbitannya setelah memenuhi semua persyaratan. Namun adakalanya, setelah paspor (biasa) terbit terdapat perbedaan data yang tercantum pada paspor pemohon dan dokumen kependudukan lainnya yang dimiliki oleh pemohon. Sehingga terhadap perbedaan data tersebut diperlukan perubahan, yang mana terhadap perubahan tersebut seringkali membuat masyarakat bingung, apakah perubahan data dilakukan oleh instansi yang menerbitkan paspor ataukah memerlukan penetapan Pengadilan. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Perkara PermohonanKewenangan Pengadilan Negeri secara umum diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”. Sedangkan kewenangan Pengadilan Negeri terkait perkara permohonan diatur lebih lanjut dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Edisi 2007 Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2012 (disingkat Buku II), adapun jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri antara lain: a) Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa, b) Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, c) Permohonan pewarganegaraan (Naturalisasi), d) Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mendapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, e) Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, f) Permohonan pembatalan perkawinan, g) Permohonan pengangkatan anak, h) Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalan akta catatan sipil, i) Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa), j) Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir atau dinyatakan meninggal dunia, dan k) Permohonan agar ditetapkan sebagai wali/kuasa untuk menjual harta warisan. Selain itu pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan) terkait pencatatan peristiwa penting lainnya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan, peristiwa penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri untuk dicatatkan pada instansi pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.Ketentuan Terkait Perubahan Data pada PasporBerdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Keimigrasian paspor terdiri atas ; a) paspor diplomatik b) paspor dinas dan c) paspor biasa, adapun perubahan data paspor yang dimaksud disini terkait dengan perubahan paspor biasa. Apabila dilihat peraturan terkait perubahan data paspor dapat ditemukan pada Pasal 24 ayat (1) PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor menyebutkan “Dalam hal terjadi perubahan data identitas diri pemegang paspor biasa yang meliputi nama, tempat tanggal lahir atau jenis kelamin, pemohon dapat mengajukan penggantian paspor biasa kepada Kepala Kantor Imigrasi atau Pejabat Imigrasi”. Dari pasal tersebut dapat diketahui apabila terjadi perubahan data pemegang paspor, maka penggantian paspor biasa diajukan kepada Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat Imigrasi. Lebih lanjut terkait prosedur perubahan data paspor diatur pada Pasal 24 ayat (2) “Prosedur perubahan data Paspor Biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 melalui tahapan: a) pengajuan permohonan penggantian paspor; b) penelaahan pejabat imigrasi; c) persetujuan Kepala Kantor atau Pejabat Imigrasi; d) persetujuan Direktur Jenderal Imigrasi; dan e) penerbitan paspor”.Praktik di PengadilanBerdasarkan praktik pengadilan, terdapat Penetapan yang mengabulkan permohonan perubahan data paspor, menyatakan permohonan perubahan data paspor tidak dapat diterima dan menolak permohonan perubahan data paspor. Sebagai contoh, untuk penetapan yang mengabulkan permohonan data paspor Penetapan Nomor 264/Pdt.P/2023/PN Blb. Dalam pertimbangannya, Hakim mengacu pada Pasal 24 Permenkumham Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, dalam pasal tersebut diatur soal prosedur perubahan data di paspor biasa. Dalam aturan tersebut, perubahan data pemegang paspor biasa yang meliputi perubahan nama atau perubahan alamat dapat mengajukan permohonan perubahan data paspor biasa kepada kepala kantor Imigrasi atau pejabat imigrasi. Selain itu dalam tata persyaratan perubahan data paspor ada 7 poin yakni ; 1) mengajukan Surat Permohonan mengenai ganti/tambah nama tersebut kepada Konsulat Jenderal RI, 2) Paspor RI, 3) Mengisi formulir Perdim 14, 4) 2 (dua) buah foto ukuran 2×2 inci 5) Menyerahkan copy Akte Kelahiran (jika ingin menambahkan nama orangtua), 6) Menyerahkan copy Surat Nikah (jika ingin menambahkan nama suami) dan 7) menyerahkan copy Surat Keterangan Ganti Nama dari pengadilan di Indonesia (jika ingin mengganti dengan nama lain). Adapun pada poin 7 tersebut, Penetapan Pengadilan perihal ganti nama dijadikan salah satu syarat dalam perubahan data paspor kepada kepala Kantor Imigrasi atau Pejabat Imigrasi. Kemudian dapat juga dilihat Penetapan Nomor 179/Pdt.P/2018/PN Srg, dalam pertimbangannya Hakim menyebutkan Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Selain itu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan bertujuan memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting lainnya yang dialami oleh penduduk dan warga negara Indonesia. Sedangkan untuk Penetapan yang menyatakan permohonan perubahan data pada paspor tidak dapat diterima dapat dilihat pada Penetapan Nomor 641/Pdt.P/2019/PN Jkt.Utr. dalam pertimbangan hukumnya termuat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dan PP Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 telah diatur tentang tata cara dan persyaratan pemberian, pembatalan dan pencabutan serta penggantian dokumen perjalanan yang dilakukan oleh Menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk. Serta mengacu pada ketentuan pasal 24 Permenkumham Nomor 8 Tahun 2014. Dalam peraturan tersebut tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan untuk memberikan ijin kepada seseorang untuk melakukan perubahan identitas pada paspor, maka pengadilan harus menyatakan diri tidak berwenang. Selain itu ada juga Penetapan Nomor 3/Pdt.P/2020/PN Bon dengan pertimbangan mengacu Pasal 24 ayat (1) Permenkumham Nomor 8 Tahun 2014, bahwa apabila terjadi perubahan data pemegang paspor meliputi perubahan nama atau perubahan alamat, pemohon dapat mengajukan permohonan perubahan data paspor biasa kepada Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat imigrasi. Adapun prosedur dan tahapan mengacu pada Pasal 24 ayat (2) Permenkumham tersebut. Selain itu masih dalam pertimbangan hukumnya, Hakim menilai perubahan nama di paspor tidak dapat disamakan dengan perubahan nama/ganti nama dalam persyaratan dokumen Pasal 4 ayat (1) huruf f Permenkumham Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Paspor Biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor yang mensyaratkan penetapan ganti nama, dimana perubahan nama dalam pasal tersebut terkait perubahan nama dalam dokumen kependudukan, yangmana berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri.Adapun untuk permohonan perubahan data paspor yang menolak dapat ditemukan pada Penetapan Nomor 20/Pdt.P/2023/PN Tjt terkait permohonan perubahan tempat tanggal lahir pemohon dan Penetapan Nomor 5/Pdt.P/2025/PN Tjt terkait perubahan nama pemohon. Dalam pertimbangannya Hakim menyebutkan ketentuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan terkait jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri, yangmana permohonan perubahan data paspor tidak termasuk di dalamnya. Kemudian juga menyebutkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, yangmana pada pasal tersebut dapat diketahui apabila terjadi perubahan data pemegang paspor meliputi nama, tempat tanggal lahir atau jenis kelamin, maka penggantian paspor biasa diajukan kepada pejabat yang berwenang yakni Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat Imigrasi. Berdasarkan hal tersebut, diperoleh informasi bahwa ada Penetapan Hakim yang mengabulkan permohonan perubahan nama pada paspor, Penetapan Hakim yang menyatakan permohonan perubahan data pada paspor tidak dapat diterima dan menolak permohonan perubahan data pada paspor dengan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut diatas. Adanya perbedaan tersebut merupakan bentuk independensi Hakim dalam memutus perkara, yang telah dijelaskan lengkap dalam pertimbangan hukumnya. Franken ahli hukum Belanda, sebagaimana dikutip J. Djohansjah, menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu 1) Independensi konstitusional (Constitutionele onafhankelijkheid); 2) Independensi fungsional (Zakelijke of functionele onafhankelijkheid); 3) Independensi personal hakim (Persoonlijke of rechtspositionele onafhankelijkheid); dan 4) Independensi praktis yang nyata (Praktische of feitelijke onafhankelijkheid). Independensi konstitusional (Constitutionele onafhankelijkheid) adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politika dengan system pembagian kekuasaan menurut Montesquieu. Independensi fungsional (Zakelijke of functionele onafhankelijkheid) berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Sedangkan Independensi personal hakim (Persoonlijke of rechtspositionele onafhankelijkheid) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. ndependensi praktis yang nyata (Praktische of feitelijke onafhankelijkheid) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Pertimbangan dalam putusan Hakim merupakan salah satu bentuk independensi fungsional yang berkaitan dengan kebebasannya dalam memutus perkara karena dihadapkan dengan adanya suatu permasalahan.PenutupApabila mengacu kepada jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan ke Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum pada Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan dan ketentuan PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor maupun sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 UU Administrasi Kependudukan. Maka permohonan perubahan nama, tempat tanggal lahir atau jenis kelamin pada paspor tidak termasuk di dalamnya. Dari pasal 24 ayat (1) PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, dapat diketahui apabila terjadi perubahan data pemegang paspor berupa nama, tempat tanggal lahir atau jenis kelamin, maka penggantian paspor biasa diajukan kepada Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat Imigrasi. Lebih lanjut terkait prosedur perubahan data paspor diatur pada Pasal 24 ayat (2) PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor. Namun demikian praktiknya di Pengadilan ada Penetapan yang mengabulkan permohonan perubahan data paspor, menyatakan permohonan perubahan data paspor tidak dapat diterima dan menolak permohonan perubahan data paspor.Dengan adanya peraturan terkait perubahan data paspor tersebut, permohonan perubahan nama pada paspor cukup melalui instansi sebagaimana disebut dalam PERMENKUM HAM tentang Paspor Biasa Dan Surat Perjalanan Laksana Paspor. Sebagaimana dalam peribahasa latin, interpretatio cessat in claris, jika redaksi undang-undang sudah terang-benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Hal itu untuk memberikan kemudahan dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat yang akan melakukan perubahan data pada paspor. Masyarakat tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk berperkara di Pengadilan guna memperoleh Penetapan sebagai salah satu syarat mengajukan perubahan data paspor. Masyarakat tinggal mengajukan perubahan data paspor kepada Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat Imigrasi melalui prosedur yang telah diatur.

Hakim di Era AI: Menuju Badan Peradilan Yang Agung dan Modern Indonesia

article | Opini | 2025-02-25 09:25:17

Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau dalam KBBI disebut sebagai Akal Imitasi, kini telah merambah sistem peradilan global. Sebagai seorang Hakim di lingkungan Badan Peradilan Umum Indonesia, kami mengamati bagaimana Estonia telah menerapkan inovasi berupa "AI Judge" untuk menangani perkara-perkara perdata kecil, sementara itu Tiongkok juga berhasil mengimplementasikan "Smart Court" dalam membantu proses pengambilan keputusan di pengadilannya. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu teknologi domestik, melainkan telah menjadi realitas yang mengubah paradigma cara kerja sistem peradilan modern secara global.Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam pidato Laporan Tahunan 2024 Ketua Mahkamah Agung RI, YM Bapak Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., mencatat lebih dari 30.000 perkara yang harus ditangani setiap tahunnya. Beban kerja yang tinggi ini belum termasuk jumlah perkara-perkara di tingkat pertama dan banding. Warga peradilan khususnya para Hakim di Indonesia harus melihat peluang dan potensi besar penggunaan AI untuk membantu mengatasi penumpukan perkara tersebut. Namun, perlu disadari bahwa penggunaan AI dalam pengambilan keputusan hukum membutuhkan pertimbangan yang matang karena menyangkut nasib para pencari keadilan.Program transformasi digital peradilan oleh Mahkamah Agung RI melalui e-Court dan e-Litigation, telah membuka peluang integrasi AI di masa depan. Para Hakim harus siap menghadapi tantangan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi AI dalam meningkatkan efisiensi kinerja, tanpa harus mengalienasi aspek kemanusiaan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan terdapat wajah-wajah para pencari keadilan (justicia bellen) yang datang dengan harapan. Mereka bukan sekadar nomor perkara atau data yang bisa diproses algoritma—mereka adalah manusia dengan berbagai kisah dan konteks yang unik. Di sinilah muncul pertanyaan mendasar tentang sejauh mana teknologi AI dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum, serta batasan-batasan yang diperlukan untuk memastikan keadilan substantif tetap tegak dan berpihak pada kemanusiaan.Sistem peradilan Indonesia memang telah mengalami perubahan signifikan semenjak implementasi e-Court dan e-Litigation. Sebagai Hakim yang mengalami langsung transformasi digital ini, kami melihat bagaimana teknologi telah membantu mempercepat proses administrasi perkara yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari menjadi lebih sangkil dan mangkus (efektif dan efisien). Perlu disadari bersama bahwa efektivitas dan efisiensi dalam administrasi peradilan sangat krusial dalam memberikan akses keadilan yang lebih baik.Teknologi AI diharapkan dapat membuka peluang baru dalam pengelolaan dan analisis yurisprudensi secara lebih efektif. Di Indonesia sendiri, Direktori Putusan Mahkamah Agung telah menerapkan sistem pencarian yang memungkinkan pencarian putusan berdasarkan kata kunci tertentu, meskipun menurut penulis masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk mengintegrasikan kemampuan AI dalam menganalisis putusan. Teknologi AI berpotensi membantu mengidentifikasi pola-pola pertimbangan hukum, meningkatkan kemudahan akses terhadap informasi putusan, dan untuk mendorong konsistensi putusan dalam kasus-kasus yang memiliki corak serupa sebagaimana amanat yang dituangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan  2010-2035 Mahkamah Agung RI.Namun, di tengah berbagai potensi tersebut, aspek yang perlu digaris bawahi adalah batasan-batasan hukum dan etis dalam penggunaan AI pada sistem peradilan di Indonesia. Keseimbangan antara pemanfaatan teknologi untuk efisiensi dan penegakan keadilan substantif menjadi pertaruhan penting dalam upaya modernisasi peradilan. Realitas ini membawa kita pada serangkaian risiko dan tantangan yang harus dihadapi dalam mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan Indonesia.Pengalaman sebagai Hakim dalam mengadopsi berbagai teknologi baru di pengadilan telah memberikan pembelajaran berharga tentang risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Setidaknya, teknologi AI, menurut penulis, membawa tiga aspek krusial yang memerlukan perhatian khusus. Pertama aspek teknis, kedua aspek hukum, dan ketiga aspek etis. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat dalam praktik peradilan sehari-hari.Bias dalam algoritma menjadi persoalan teknis yang mungkin akan kami hadapi di lapangan. Database berupa dokumen putusan pengadilan yang menjadi basis pembelajaran bagi kami dalam menggunakan AI sering kali mencerminkan kondisi sosial tertentu yang tidak sama. Putusan-putusan perceraian di wilayah perkotaan, misalnya, memiliki konteks yang sangat berbeda dengan dinamika hukum keluarga di masyarakat adat daerah. Ketergantungan pada teknologi juga menciptakan kerentanan baru dalam sistem peradilan, terutama dalam hal keamanan data para pencari keadilan.Tidak hanya itu, sistem peradilan Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam aspek pertanggungjawaban hukum ketika AI mulai diintegrasikan dalam proses pengadilan. Sebagai Hakim, kami harus memastikan bahwa setiap putusan tetap mencerminkan independensi dan imparsialitas peradilan, terlepas dari bantuan teknologi yang digunakan. Sudah saatnya para Hakim mendiskusikan ini untuk menyoroti perlunya keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan prinsip-prinsip fundamental peradilan yang harus tetap terjaga.Di balik semua tantangan teknis dan hukum tersebut, aspek kemanusiaan dalam penegakan keadilan juga tidak boleh luntur oleh mekanisasi proses peradilan. Ragam macam perkara yang kami tangani, seperti sengketa hak asuh anak dalam perceraian maupun sengketa hak atas tanah, memiliki kandungan dimensi emosional dan dampak sosial yang tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa algoritma. Keadilan substantif sering kali terletak pada kepekaan nurani terhadap konteks sosio-kultural khas Indonesia. Sebab Hakim manusia sebagai pemegang palu putusan Hakim, tidak akan tergantikan AI selama memegang teguh etika, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, YM Bapak Prof. Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., dalam acara Talkshow Kampung Hukum Mahkamah Agung Tahun 2024 (Selasa, 18/2/2024) yang lalu.Dari sisi substantif, tidak semua jenis perkara dapat diserahkan pada bantuan AI. Perkara-perkara seperti Gugatan Sederhana mungkin dapat memanfaatkan AI untuk membantu proses administrasi dan analisis awal (dismissal process). Namun, perkara-perkara yang kompleks seperti Tindak Pidana Korupsi atau kejahatan terorganisir lainnya membutuhkan pertimbangan mendalam yang hanya dapat dilakukan oleh Hakim. AI hanya dapat dilibatkan dalam tahapan-tahapan tertentu seperti pengecekan kelengkapan berkas atau penjadwalan sidang.Berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, penulis berpendapat sudah saatnya sistem hukum di Indonesia memerlukan kerangka regulasi yang komprehensif untuk mengatur penggunaan AI. Upaya merumuskan batasan yang mencakup aspek substantif dan prosedural perlu diatur secara sistematis dan jelas sebagai langkah penting dalam memastikan teknologi tetap menjadi alat bantu yang efektif bagi penegakan hukum dan keadilan.Mahkamah Agung RI dapat berkolaborasi dengan Kementerian terkait, untuk menyusun kerangka regulasi yang jelas dan komprehensif guna mengatur penggunaan AI dalam sistem peradilan di Indonesia. Seperti contoh dalam implementasi e-Court dan e-Litigation, standardisasi mutu menjadi fondasi penting dalam mengadopsi teknologi baru. Standar pengembangan AI untuk peradilan harus mencakup tidak hanya aspek teknologi, tetapi juga prinsip-prinsip perlindungan hak para pencari keadilan terlebih pasca terbitnya UU Perlindungan Data Pribadi pada tahun 2022 silam.Protokol keamanan data dan mekanisme audit algoritma menjadi komponen yang tak kalah krusial dalam kerangka regulasi ini. Sebagai Hakim di pengadilan, kami memahami betapa sensitifnya data para pihak yang berperkara dan pentingnya menjaga integritas sistem peradilan. Standar keamanan yang ketat harus diterapkan untuk melindungi tidak hanya data pribadi, tetapi juga kredibilitas putusan Hakim.Pengembangan infrastruktur pendukung lainnya juga menjadi prasyarat keberhasilan implementasi AI. Para Hakim dan pegawai peradilan nantinya harus membutuhkan pelatihan khusus untuk memahami dan mengoperasikan sistem teknologi berbasis AI. Sistem monitoring dan evaluasi secara berkala dan responsif juga harus dibangun untuk menjaga akuntabilitas penggunaan teknologi di lingkungan peradilan. Semua hajat ini hanya bisa dilaksanakan bila seluruh stakeholder terkait saling berkolaborasi untuk mengisi demi terwujudnya badan peradilan yang agung dan modern.Implementasi AI dalam sistem peradilan Indonesia diharapkan membuka babak baru dalam upaya modernisasi pengadilan. Keberhasilan inisiatif ini akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam menyeimbangkan inovasi teknologi tanpa mengesampingkan nurani demi tegaknya keadilan yang sejati. Pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan peran Hakim dalam memberikan pertimbangan dan pengambilan keputusan.

Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?

article | Opini | 2025-02-23 14:40:45

Beberapa waktu lalu, peradilan di Indonesia digemparkan oleh insiden kericuhan dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan Razman Nasution sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kericuhan terjadi saat Razman meluapkan emosinya dan berusaha menghampiri Hotman Paris, yang saat itu memberikan kesaksian. Ketegangan semakin memuncak ketika salah satu anggota tim kuasa hukum Razman bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja persidangan, menginjaknya, dan melontarkan kata-kata kasar. Kejadian tersebut terekam kamera media dan kemudian viral di media sosial.Mahkamah Agung (MA) dalam konferensi pers menanggapi insiden tersebut dengan tegas. MA mengecam keras kericuhan yang terjadi dalam persidangan karena tindakan tersebut dinilai tidak pantas dan tidak tertib. Lebih lanjut, MA menyatakan bahwa peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court. MA menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi, siapa pun pelakunya harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik secara pidana maupun etik.Menindak lanjuti hal tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Kemudian selanjutnya pada 11 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten mengeluarkan penetapan untuk membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat atas nama Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo. Tindakan Pembekuan BAS Advokat tersebut tidak dilakukan secara gegabah oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada 8 Februari 2025, KAI merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat M. Firdaus Oiwobo. Dukungan juga datang dari organisasi advokat PERADIN pada 13 Februari 2025. PERADIN adalah organisasi advokat yang menaungi Razman Arif Nasution, menyatakan dalam suratnya bahwa penindakan tersebut bagian dari penindakan tata tertib dan pembebanan etika bagi advokat sudah tepat dan benar oleh karenanya dengan ini mengucapkan ribuan terimakasih. Keputusan pembekuan BAS Advokat tersebut kemudian menimbulkan diskursus mengenai keabsahan serta dampaknya terhadap profesi advokat secara keseluruhan. Hal ini menarik untuk dikaji secara mendalam dalam dinamika hukum di Indonesia.Kekuatan Hukum Sumpah AdvokatSumpah advokat merupakan salah satu tahapan wajib bagi seseorang yang ingin menjalankan profesi sebagai advokat di Indonesia. Pelaksanaan sumpah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan harus dilakukan di hadapan pengadilan tinggi.  Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal tersebut dalam perkembangannya kemudian diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat tertentu seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Maka implikasi hukumnya, sumpah advokat adalah syarat seorang Advokat dapat menjalankan profesinya yang dibuktikan dengan BAS.Mewujudkan Tujuan HukumGustav Radburch dalam Introduction to Jurisprudence seperti yang dikutip Satjipto Rahardjo bukunya Ilmu Hukum menyebutkan setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Apabila hukum yang ada di masyarakat telah memenuhi ketiga unsur tersebut maka dapat dikatakan tujuan hukum telah tercapai. Ketiganya bersinergi untuk menciptakan hukum yang ideal.Jika dikaji dari perspektif kepastian hukum, memang sampai saat ini belum ada aturan hukum yang tegas yang menyatakan adanya aturan terkait pembekuan BAS Advokat sehingga menimbulkan konsekuensi kepada Advokat untuk menjalankan profesinya. Namun, jika dikaji dalam kerangka hukum yang lebih luas, dalam hal ini Negara juga sudah mengatur mengenai hal tersebut. Sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berkesinambungan juga dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) Pasal 2 ayat (2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.Perbuatan membuat kegaduhan di ruang persidangan dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang tidak beradab dan juga MA yang bertanggungjawab dalam terselengaranya peradilan Negara mempunyai kewenangan terhadap menerapkan dan juga menegakkan hal tersebut. Ini memberikan konsekuensi logis bahwa MA mempunyai hak untuk menegakkan sanksi kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang tidak beradab dalam peradilan Negara khususnya dalam persidangan. Kemudian disebutkan pula pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal senada juga dijumpai dalam Pasal 218 jo. 232 ayat (2) dan (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa setiap orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.Peristiwa contempt of court tersebut adalah tindakan yang mengakibatkan hambatan dan rintangan dengan cara tidak menunjukan sikap hormat dan bahkan menganggu jalannya persidangan sehingga peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan tidak tercapai. Aturan hukum tersebut kemudian juga menjadi pertimbangan dan kewenangan MA dalam menerbitkan penetapan pembekuan BAS Advokat kedua oknum tersebut. Jika dikaji perspektif Hukum Admistrasi Negara terdapat asas contrarius actus,  yang dapat diartikan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), juga berwenang untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya keputusan tersebut. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Sehingga dari asas tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat. Dikutip dari artikel di dandapala.com penulis Dr Tri Cahya Indra Permana yang berjudul Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya.Jika dikaji dari perspektif kemanfaatan hukum, penerbitan penetapan pembekuan BAS Advokat tersebut juga mendapat dukungan masif dari profesi advokat sendiri. Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa organisasi advokat PERADIN yang merekomendasikan yang notabene juga adalah organisasi dimana salah satu oknum advokat tersebut bernaung. Beberapa waktu lalu puluhan advokat juga berbondong-bondong ke pengadilan memberikan dukungan simbolik untuk pembekuan BAS advokat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari fenomena para Advokat se Banyumas Raya yang memberikan dukungan kepada insan peradilan dengan melakukan aksi keprihatinan di halaman Pengadilan Negeri Purwokerto.Dikutip dari dandapala.com pada tanggal 13 Februari 2025, puluhan advokat dari berbagai organisasi di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar aksi dukungan moral di depan Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Mereka menyampaikan aspirasi agar Mahkamah Agung dan institusi terkait mengambil langkah tegas terhadap siapa pun yang melecehkan simbol-simbol keadilan negara. Advokat adalah profesi yang mulia dan harus menjaga integritas serta kewibawaan peradilan.Dalam dinamika sosial media juga terlihat banyak komentar positif juga terkait pembekuan BAS Advokat tersebut. Dalam hal ini kepentingan masyarakat adalah memiliki penegak hukum yang menjunjung tinggi adab dan moralitas. Penindakan tegas terhadap oknum advokat tersebut dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak dapat dimungkinkan oknum advokat yang tidak bermoral beraktivitas dunia peradilan.Jika dikaji dari perspektif keadilan dan moralitas, keadilan bukan hanya konsep yuridis, melainkan pada hakikatnya merupakan konsep etis dan moral. Sebagai konsep moral, keadilan bertujuan mengusahakan perbaikan bagi semua orang. Menurut Sidharta dalam bukunya Aliran Hukum Kodrat, moralitas merupakan keseluruhan norma, nilai, dan sikap yang dianut oleh seseorang atau masyarakat, sedangkan moral adalah dasar untuk menentukan benar atau salah atas tindakan manusia.Hal ini kemudian dapat dikorelasikan dalam penyumpahan di Pengadilan Tinggi, advokat melafalkan sumpah advokat yang antara lain berbunyi:"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta ahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;."Dari pengertian tentang keadilan dan moralitas yang dikaitkan dengan pelafalan sumpah advokat, terkandung makna bahwa advokat harus menegakkan moralitas serta menjaga tingkah laku dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan peristiwa penghinaan terhadap pengadilan/ contempt of court tersebut, tindakan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan mencederai sumpah yang telah dilafalkan oleh advokat itu sendiri. Hal ini menjadi dasar pijakan bagi Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan sanksi berupa pembekuan BAS Advokat sebagai bentuk perwujudan asas keadilan dan menjaga nilai moralitas dalam peradilan khususnya dalam persidangan.Dapat disimpulkan bahwa, jika dikaji dari ketiga asas hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat tersebut telah memenuhi ketiga unsur tersebut. Dalam hal ini, perlu dimaknai bahwa langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung sudah tepat dan terukur sehingga perlu diapresiasi bersama.Pembekuan BAS Bukanlah Ancaman Terhadap Independensi AdvokatAdvokat sebagai penegak hukum yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan harus independen dan bebas dari intervensi. Jika dikaji secara ontologis yang tertera dalam bagian konsideran pertimbangan UU Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi  Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Dengan adanya independensi, maka advokat dapat membela masyarakat (public defender) dan memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan tekanan dari pihak manapun juga. Kebebasan profesi advokat (independence of the legal profession) merupakan syarat mutlak terciptanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) dengan tetap bertanggungjawab terhadap etik profesi. Namun seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa independensi tersebut kemudian tentunya harus berdasarkan etika dan profesi yang berlaku. Dengan dibuktikan adanya surat dari organisasi advokat yang menyatakan bahwa kedua oknum advokat telah melanggar etik. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan kewenangan dari organisasi advokat pada Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.Dalam kerangka ini perlu dimaknai bahwa independensi tersebut tentunya dibatasi dengan etika profesi sehingga Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi atas hal tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab moral untuk menegakkan hal tersebut sesuai dengan sumpah advokat yang dilafalkan di Pengadilan Tinggi. Selain itu juga hal tersebut juga dimaknai bahwa penetapan pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tersebut bukanlah tindakan yang sewenang-wenang yang dapat mengancam independensi advokat. Sehingga tentunya para Advokat tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat. Justru jika disikapi secara arif dan bijaksana ini tentunya hal ini dapat memberikan perlindungan bagi para advokat yang senantiasa menegakan moral dan etika. Hal tersebut karena memberikan rasa aman kepada advokat yang sedang beracara karena akan memungkinkan untuk tidak bertemu atau berhadapan dengan advokat yang tidak bermoral dan tidak beradab sehingga kedepan akan meminimalisir dampak kerugian yang terjadi.Demi mewujudkan Cita Luhur Negara dan KeadilanTentunya hal ini dapat dimaknai secara positif bahwa bagian dari mewujudkan cita luhur dari Advokat yaitu profesi terhormat (officium Nobile). Dinamika terkait multibar organisasi advokat yang kemudian menciptakan celah hukum bagi para advokat yang sudah dihukum dan dikeluarkan oleh Organisasi Advokat namun karena masih banyak pilihan organisasi advokat yang lain. Hal tersebut kemudian Oknum advokat masih dapat menjalankan profesinya karena berpindah organisasi advokat yang lain. Celah hukum tersebut akhirnya mencederai peradaban hukum yang perlu dibangun bersama. Meskipun begitu, dalam pembekuan BAS Advokat juga tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (UPB), yaitu setidak-tidaknya menerapkan asas kecermatan, asas kehati-hatian dan asas kemanfaatan. Sehingga sudah selayaknya terhadap Advokat yang melanggar sumpah Advokat dan/atau melakukan contempt of court dilakukan Pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tentunya dapat menjadi solusi atas kebuntuan permasalahan tersebut. Dalam salah satu isi sumpahnya, advokat wajib menjaga tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai Advokat. Dengan demikian, dalam hal ditemukannya adanya pelanggaran sumpah dan jabatan Advokat dalam proses persidangan atau perbuatan advokat yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan atau perbuatan yang mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim, aparatur pengadilan dan masyarakat pencari keadilan atau perbuatan yang menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan atau perbuatan tercela lainnya yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan, maka sanksi Pembekuan BAS Advokat dapat diterapkan.Jika disimpulkan bahwa penetapan pembekuan BAS advokat selain telah memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai perwujudan tujuan hukum, perlu juga dimaknai bahwa pembekuan BAS bukanlah tindakan sewenang-wenang yang mengancam independensi advokat, melainkan bentuk perlindungan bagi advokat yang telah menjunjung etika profesi advokat. Sehingga tentunya para advokat di Indonesia tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat yang diucapkan di Pengadilan Tinggi.  Peristiwa ini menjadi momen penting bagi dunia peradilan bahwa penghinaan terhadap pengadilan bukan hanya merendahkan wibawa lembaga peradilan, tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh Bangsa dan Negara yang kita cintai.

Mencapai Tipping Point dan Mendorong Perubahan di Pengadilan

article | Opini | 2025-02-21 20:55:35

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu buku yang menarik untuk dibahas ketika berbicara mengenai perubahan sosial adalah buku Malcolm Gladwell yang berjudul Tipping Point. Di dalam buku tersebut Gladwell menjelaskan dengan ringkas dan sistematis bagaimana mendorong suatu perubahan di dalam suatu komunitas dengan waktu yang relatif cepat dan berdampak secara signifikan menuju ke arah yang lebih baik. Buku ini menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada 3 aspek yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai Tipping Point. Tipping Point di dalam buku Gladwell adalah suatu kondisi yang mana suatu perubahan terjadi dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi bukan suatu kebetulan namun dipengaruhi oleh 3 hal yang sangat menentukan.Pertama, Law of the Few. Dalam hal ini, Galdwell menjelaskan bahwa inisiasi perubahan lahir dari orang-orang yang sedikit. Hal ini sejalan dengan pandangan Arnold Toynbee tentang Creative Minorities yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa orang-orang yang sedikit atau minoritas di dalam suatu komunitas yang mempunyai kemampuan atau kapabilitas di atas rata-rata dapat mendorong terciptanya perubahan sosial dengan lebih cepat. Hal ini didasarkan pada tesis dari Gladwell sendiri bahwa 80 % suatu pekerjaan pada faktanya bisa diselesaikan oleh 20% orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Tesis ini didasarkan pada prinsip efisiensi Pareto.Menurut Gladwell, orang-orang di atas rata-rata ini harus membagi perannya menjadi 3 yaitu: (1) Penghubung (Connector); (2) Mavens; (3) Salesman/Persuaders. Penghubung (connector) pada umumnya merupakan orang-orang yang mempunyai banyak teman di berbagai circle pertemanan. Selain itu, pada umumnya seorang penghubung itu mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan supel dalam pergaulan sehingga mempunyai banyak teman. Selanjutnya, Mavens pada umumnya adalah orang-orang yang suka mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya ke khalayak umum. Bisa dikatakan orang dengan karakter mavens adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan suka dengan gagasan-gagasan baru yang inovatif. Selain itu, orang dengan karakter Mavens pada umumnya senang menyelesaikan suatu permasalahan. Sementara itu, Salesman/Persuaders adalah orang dengan karakter yang senang bernegosiasi untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain.Kemudian, faktor kedua untuk mendorong suatu perubahan adalah Stickiness Factor atau faktor pelekat. Di dalam buku ini Gladwell menjelaskan bahwa gagasan atau ide akan mempunyai faktor pelekat apabila ide tersebut mudah diingat, menyentuh secara psikologis atau emosional, dapat diterapkan, dan mempunyai hook. Gladwell mencontohkan di dalam bukunya bagaimana serial anak-anak di Amerika Serikat yaitu Sesame Street dan Blue’s Clues mempengaruhi anak-anak di Amerika Serikat pada masanya.Selanjutnya yang ketiga adalah Power of Context. Menurut Gladwell dalam mendorong perubahan lingkungan atau konteks yang mendukung sangat mempengaruhi bagaimana cepat atau lambatnya perubahan tersebut. Lingkungan eksternal sangat mempengaruhi bagaimana tingkah laku seseorang berubah. Apabila lingkungan eksternal mendorong terciptanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik, maka tingkah laku orang-orang yang berada di dalam lingkungan tersebut akan menyesuaikan ke arah yang lebih baik.Pengadilan yang bersih dan bermartabat            Sebagai seseorang yang bekerja di pengadilan, penulis melihat pengadilan bisa menjadi institusi yang bersih dan bermartabat apabila menerapkan 3 hal ini. Pertama, pimpinan pengadilan harus menjadi teladan baik di pusat ataupun di daerah dalam menjaga kualitas dan integritas. Keteladanan ini harus dimulai dari atas bukan dari bawah. Sebagai pimpinan institusi keteladanan yang baik secara tidak langsung akan menyebarkan pengaruh yang baik kepada para jajaran di bawahnya. Para pimpinan harus menjadi the few sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell yang mampu menginspirasi para jajaran di bawahnya. Oleh sebab itu, tidak mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menjaga integritas tanpa disertai dengan keteladanan dari para pimpinan untuk menjaga integritas. Selain itu, proses pemilihan pimpinan pengadilan harus mampu menempatkan orang-orang yang mampu menjaga integritasnya menjadi pimpinan pengadilan. Hal ini dikarenakan pimpinan pengadilan adalah motor apabila pengadilan tersebut ingin menjadi bersih.Kedua, menciptakan lingkungan yang anti-suap dan gratifikasi baik di pengadilan maupun di lingkungan Mahkamah Agung. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa context atau lingkungan sangat berpengaruh dalam mendorong suatu perubahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong terciptanya lingkungan yang anti suap dan gratifikasi adalah dengan memberikan hukuman yang tegas bagi aparatur pengadilan yang melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi. Upaya ini harus dilakukan tanpa pandang bulu tidak melihat latar belakang atau hubungan saudara.            Kemudian, yang ketiga adalah memberikan insentif bagi para aparatur pengadilan yang menjaga integritasnya dengan baik. Para aparatur pengadilan yang mampu menjaga integritasnya harus diapresiasi oleh institusi. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa dibutuhkan faktor pelekat untuk mendorong suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Apresiasi atau insentif dapat menjadi faktor pelekat kepada para aparatur pengadilan untuk terus menjaga integritasnya yang nantinya apabila jumlah aparatur pengadilan yang bersih menjadi banyak dan dominan sehingga dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan menjadikan pengadilan sebagai institusi yang bersih dan bermartabat.  

Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy

article | Opini | 2025-02-20 16:40:29

PendahuluanMahkamah Agung memiliki peran strategis dalam membentuk arah dan kebijakan sistem peradilan di Indonesia. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan inklusif. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan paradigma global yang menekankan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup menjadikan isu ini bagian integral dari fungsi dan tanggung jawab peradilan.Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim. Dalam banyak kasus, akar permasalahannya terletak pada lemahnya penegakan hukum lingkungan, minimnya kapasitas kelembagaan, dan ketidakadilan ekologis yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan. Hal ini mendorong perlunya sistem peradilan yang tidak hanya tegas terhadap pelanggaran hukum lingkungan tetapi juga proaktif dalam mengadvokasi keberlanjutan.Sebagai wujud respons terhadap tantangan tersebut, Mahkamah Agung seyogyanya sebagai bentuk kepemimpinan hijau juga melakukan kebijakan untuk memastikan, bahwa peradilan merupakan peradilan hijau dalam arti mendukung adanya penegakan hukum lingkungan yang substantif. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dianalisis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mahkamah Agung untuk memastikan adanya hal tersebut.Tantangan Lingkungan dan Kesenjangan Penegakan HukumIndonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi juga termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi dan pencemaran lingkungan tertinggi. Berdasarkan data, sekitar 1,47 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan. Pencemaran sungai dan laut, terutama oleh limbah industri dan plastik, semakin memperparah kondisi ekosistem. Dampak kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka.Namun, sistem hukum yang ada sering kali belum cukup responsif untuk menghadapi persoalan ini. Beberapa tantangan utama yang dihadapi sistem peradilan antara lain:Kurangnya Kapasitas dan Keahlian SpesifikBanyak aparat penegak hukum, termasuk hakim, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Akibatnya, banyak kasus lingkungan yang tidak ditangani dengan optimal atau menghasilkan putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan ekologis.Minimnya Penegakan Hukum yang EfektifPelanggaran hukum lingkungan sering kali tidak mendapatkan sanksi yang sepadan. Banyak pelaku kejahatan lingkungan, seperti korporasi besar, berhasil menghindari tanggung jawab hukum melalui celah-celah regulasi atau praktik korupsi.Ragam Penafsiran Penegakan HukumTerdapat ragam penafsiran atas norma-norma hukum lingkungan yang ada. Hal ini, karena masih terdapat beberapa aturan yang multitafsir satu dengan yang lain.Komitmen Mahkamah Agung: Menuju Peradilan HijauDalam manifesto kepemimpinannya, Mahkamah Agung menggarisbawahi pentingnya transformasi sistem peradilan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Konsep peradilan hijau yang diusung bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang:Responsif terhadap Isu LingkunganSistem peradilan harus dapat merespons isu-isu lingkungan secara cepat dan efektif, memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum lingkungan mendapatkan penanganan yang serius.Berbasis pada Prinsip KeberlanjutanPutusan-putusan pengadilan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan, masyarakat, dan generasi mendatang.Menghormati Hak Ekologis MasyarakatHak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat harus diakui dan dilindungi secara hukum.Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung sebagai upaya “menghijaukan” pengadilan mengambil beberapa kebijakan yang mendukung penegakan hukum lingkungan secara substantif antara lain:Pendidikan dan Pelatihan BerkelanjutanMahkamah Agung menekankan pentingnya peningkatan kapasitas hakim dan aparat peradilan lainnya melalui pelatihan khusus di bidang hukum lingkungan. Pendidikan ini akan mencakup pemahaman tentang isu perubahan iklim, kejahatan lingkungan lintas batas, serta mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, dalam Pasal 4  ayat (3) ditegaskan “Perkara lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadili oleh majelis Hakim Lingkungan Hidup atau minimal salah seorang hakim majelis yang merupakan Hakim Lingkungan Hidup. Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan  “Dalam hal belum ada Hakim Lingkungan Hidup, ketua/wakil ketua atau kepala/wakil kepala pengadilan karena jabatannya berwenang untuk mengadili perkara lingkungan hidup atau menunjuk hakim senior untuk mengadili perkara lingkungan hidup.”Sebelum lahirnya Perma 1/2023 tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Sertifikasi hakim lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup di pengadilan sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan hidup serta pemenuhan rasa keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim, sebagaimana Pasal 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut: a. Persyaratan administrasi; b. Persyaratan kompetensi; c. Mengikuti pelatihan; d. Dinyatakan lulus oleh Tim SeleksiPenguatan Kerangka RegulasiMelalui kerja sama dengan legislator dan pemangku kepentingan lainnya, Mahkamah Agung perlu mendorong revisi atau penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan. Hal ini mencakup peningkatan sanksi bagi pelanggaran hukum lingkungan serta penguatan mekanisme perlindungan bagi masyarakat terdampak.Aturan terbaru yang dibuat oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara lingkungan hidup agar dapat menghasilkan putusan yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan, memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang hak lingkungan hidup, dan menjamin terwujudnya keadilan lingkungan hidup serta keadilan iklim, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Perma ini. Mencakup pedoman untuk mengadili perkara lingkungan hidup di pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.Meskipun perlindungan terhadap korban/pemerhati lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU PPLH namun gugatan maupun laporan polisi terus terjadi. Berbagai modus yang digunakan SLAPP-er untuk melawan korban/pegiat lingkungan hidup, yaitu gugatan Perbuatan Melanggar  Hukum (Pasal 1365 BW) dan Penghinaan (Pasal 310 KUHP) dan pasal-pasal lain. Hal itu dimaksudkan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut agar masyarakat tidak lagi menyatakan  keberatan/mengkritisi/membuat pengaduan atas kegiatan usaha mereka yang diduga/telah menimbulkan pencemaran lingkungan. Karenanya perlindungan hukum perdata dan pidana terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup telah diatur dalam ketentuan Perma 1/2023.  Perlindungan hukum perdata diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 Perma 1/2023. Demikian juga, perlindungan hukum terhadap pejuang hak-hak atas lingkungan hidup yang menjadi terdakwa di depan persidangan diatur dalam ketentuan Pasal 76 sampai dengan Pasal 78 Perma 1/2023.Pasal 76 ayat (4) Perma 1/2023 disebutkan dalam hal terdakwa dan/atau penasihat hukum dapat membuktikan bahwa Terdakwa adalah pejuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah mendengar tanggapan dari penuntut umum, hakim mengambil putusan akhir yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa harus memeriksa pokok perkara. Dalam ayat (5) disebutkan, terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi.Pasal 77 Perma 1/2023, menyebutkan “Dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.”Perma 1/2023 telah memberikan arahan, bahwa tanggapan dalam eksepsi atau pembelaan tentang gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pelapor adalah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (perdata) dan/atau pembelaan dalam perkara pidana. Sebelumnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Perma ini lahir, untuk menyahuti ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Bagaimana tata cara penggugat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan/atau tuntutan pelaksanaan tindakan tertentu yang bertujuan untuk memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.Menerbitkan Landmark Decision sebagai PercontohanMahkamah Agung menerbitkan landmark decision terkait lingkungan hidup sebagai percontohan bagi hakim-hakim dalam mengambil sikap terkait sengketa lingkungan. Hal ini, misal dapat dilihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 yang merupakan landmark decision pilihan Mahkamah Agung di Laporan Tahun 2023. Di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 kaidah hukumnya: “Kondisi penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana, namun hanya menjadi pertimbangan untuk meringankan perbuatan Terdakwa.” Hal ini muncul karena adanya dualisme mengenai status pemidanaan terdakwa ketika penempatan limbah B3 sudah diperbaiki saat akan pemeriksaan setempat. Melalui kaidah hukum ini, dapat dipahami, bahwa meskipun penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana.Kolaborasi dengan Pemangku KepentinganMahkamah Agung akan membangun kemitraan dengan pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat implementasi hukum lingkungan. Kolaborasi ini juga akan mencakup pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik dari negara lain yang telah sukses menerapkan peradilan hijau. Hal ini, misal dapat dilaksanakannya konvergensi internasional yang terselenggara atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) serta didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.Melalui manifesto kepemimpinannya, 4 (empat kebijakan ini bisa dianggap sebagai Tetra Policy Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau. 4 (empat) kebijakan ini adalah kerangka strategis yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan hijau. Manifesto ini mencerminkan komitmen institusional untuk menjadikan Mahkamah Agung sebagai motor penggerak reformasi peradilan dalam mendukung keadilan lingkungan yang berkelanjutan. PenutupManifesto ini diharapkan dapat menjadi pendorong perubahan yang signifikan dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan mengadopsi Tetra Policy ini, Mahkamah Agung tidak hanya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam perlindungan lingkungan. Kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung yang visioner akan menjadi landasan bagi terciptanya keadilan ekologis yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manifesto ini mencerminkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat untuk menegakkan keadilan bagi manusia, tetapi juga bagi bumi dan seluruh ekosistemnya.

Tes Urin Negatif Narkotika, Bisakah Dipenjara di Bawah Minimum Khusus?

article | Opini | 2025-02-17 15:45:09

Penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dalam perkara narkotika dimungkinkan bagi Terdakwa yang terbukti sebagai Penyalah Guna, meskipun Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Sebagai pedoman, Hakim dapat merujuk pada SEMA Nomor 3/2015 dan SEMA Nomor 1/2017 yang mengatur bahwa penerapan pidana di bawah minimum khusus dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria penting: terdakwa terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, barang bukti yang ditemukan jumlahnya relatif kecil, dan dalam hal tertangkap tidak sedang memakai narkotika namun ditemukan barang bukti kecil serta hasil tes urine positif. Ketentuan ini menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara narkotika dengan memperhatikan aspek keadilan dan kemanusiaan.Perkembangan terbaru, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 3/2023 memberikan rumusan yang lebih komprehensif. Adapun dalam salah satu poin rumusan SEMA Nomor 3/2023 menyebutkan dalam hal Terdakwa didakwa Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dengan barang bukti sesuai ketentuan SEMA Nomor 4/2010 jo. SEMA Nomor 3/2015 jo. SEMA Nomor 1/2017, hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus. Namun demikian, pidana dendanya tetap harus sesuai dengan ancaman dalam pasal tersebut. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum namun tetap dalam koridor kepastian hukum.Persoalan menarik muncul ketika hasil tes urine terdakwa negatif, sementara fakta persidangan justru menunjukkan bahwa maksud terdakwa membeli, memiliki, dan menguasai narkotika adalah untuk dipakai sendiri. Dalam praktik peradilan, Penuntut Umum seringkali hanya mendakwakan Pasal 112 atau 114 tanpa mendakwakan Pasal 127 ayat (1) huruf a, meskipun barang bukti yang ditemukan relatif kecil dan tidak ditemukan bukti adanya tujuan pengedaran. Alasan utama Penuntut Umum tidak mendakwakan pasal penyalah guna narkotika adalah karena hasil tes urine terdakwa yang negatif, meskipun indikasi-indikasi lain mengarah pada penyalahgunaan untuk diri sendiri.Mahkamah Agung telah memberikan beberapa preseden penting melalui putusannya. Putusan MA Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal 3 Agustus 2011 menjadi tonggak penting karena memutus perkara narkotika yang pada tingkat penyidikan tidak dilakukan tes urine terhadap Terdakwa. Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena tindakan penguasaan atau kepemilikan narkotika oleh Terdakwa dalam jumlah relatif kecil dan ditujukan untuk digunakan sendiri, maka lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.Putusan lain yang menerapkan pidana penjara dengan menyimpagi pidana penjara minimum khusus meskipun tes urine terdakwa negatif dapat dilihat dalam Putusan PN Putussibau Nomor 14/Pid.Sus/2021/PN Pts dan Nomor 25/Pid.Sus/2021/PN Pts yang keduanya dikuatkan hingga tingkat kasasi. Kedua putusan ini memperlihatkan bahwa penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dapat diterapkan meski hasil tes urine negatif, sepanjang dalam persidangan benar terbukti bahwa narkotika yang dimiliki terdakwa relatif kecil sesuai SEMA Nomor 7/2009 jo. SEMA Nomor 4/2010, tujuannya untuk dipakai sendiri, dan tidak ada bukti keterlibatan dalam peredaran narkotika. Putusan-putusan ini memperkuat prinsip bahwa penegakan hukum harus memperhatikan aspek keadilan substantif, tidak semata-mata pada aspek formal prosedural.Dalam mempertimbangkan hasil tes urine negatif, Hakim harus benar-benar menilai secara kasuistis berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa seringkali terdakwa ditangkap pada saat baru menerima pesanan narkotika dan belum sempat memakainya, atau jangka waktu pemakaian sebelumnya sudah terlampau lama sehingga hasil tes urine menjadi negatif. Oleh karena itu, demi terciptanya kebenaran materiil dan mengedepankan asas keadilan hukum faktor waktu dan kondisi penangkapan ini juga sepatutnya menjadi pertimbangan penting dalam menilai status terdakwa sebagai penyalah guna.SEMA Nomor 3/2023 memberikan angin segar dalam perkembangan hukum perkara narkotika dengan tidak lagi menjadikan hasil tes urine positif sebagai syarat untuk dapat menerapkan pidana penjara menyimpangi minimum khusus. Namun demikian, hakim tetap wajib mempertimbangkan jumlah barang bukti sesuai ketentuan SEMA yang berlaku. Hal ini mencerminkan evolusi pemikiran hukum yang lebih progresif dalam memandang perkara narkotika, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana yang tidak semata-mata mengedepankan aspek pembalasan, tetapi juga memperhatikan aspek pembinaan dan pemulihan bagi pelaku tindak pidana narkotika, khususnya bagi mereka yang terbukti sebagai penyalah guna.