Cari Berita

Jaksa Tuntut Jaksa Terdakwa Korupsi Barang Bukti Rp 11 M Selama 4 Tahun Penjara

article | Sidang | 2025-06-17 17:55:23

Jakarta- Sidang kasus korupsi pengembalian barang bukti robot trading Fahrenheit yang menyita perhatian publik memasuki babak baru dengan agenda pembacaan tuntutan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa Azam Akhmad Akhsya, Oktavianus Setiawan, dan Bonifasius Gunung dengan hukuman penjara dan denda.Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, JPU menyatakan terdakwa Azam Akhmad Akhsya terbukti melanggar Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor sebagaimana tercantum dalam dakwaan ketiga yaitu menerima suap untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Jaksa menuntut terdakwa Azam dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta dengan pidana kurungan 3 bulan."Terdakwa Azam Akhmad Akhsya secara sah dan meyakinkan telah terbukti menerima pemberian atau janji sesuai dengan dakwaan ketiga," ujar JPU dalam tuntutannya di Gedung PN Jakpus, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Selasa (17/6/2025).Sementara itu, terdakwa Oktavianus Setiawan dan Bonifasius Gunung dituntut dengan hukuman yang sama yaitu 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta dengan pidana kurungan 3 bulan. Keduanya didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Tuntutan ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan kasus korupsi serupa, khususnya kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang melibatkan hakim Erintuah Damanik dan Mangapul. Dalam kasus tersebut, yang juga menyita perhatian publik pada awal tahun ini, jaksa menuntut kedua hakim dengan hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 750 juta, namun akhirnya diputus oleh majelis hakim dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta."Kami menilai ada disparitas dalam tuntutan ini. Padahal nominal suap dalam kasus Robot Trading Fahrenheit mencapai Rp 11,7 miliar, jauh lebih besar dari kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang totalnya sekitar Rp 4,7 miliar," ujar pengamat hukum yang hadir di persidangan.Kasus ini bermula ketika terdakwa Azam yang menjabat sebagai jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Barat melakukan manipulasi dalam proses pengembalian barang bukti pada perkara investasi bodong robot trading Fahrenheit. Dalam dakwaan disebutkan, terdakwa Azam menerima total sekitar Rp 11,7 miliar dari Oktavianus Setiawan, Bonifasius Gunung, dan Brian Erik First Anggitya.Dalam persidangan sebelumnya, saksi Yulianisa Rahmayanti dan Khoirunnisa membenarkan bahwa terdapat manipulasi dalam pengembalian barang bukti, di mana uang yang dikembalikan kepada korban hanya sekitar 20,53% dari nilai kerugian sebenarnya. Dari perhitungan matematika, pola pengembalian 20,53% ini konsisten di berbagai kelompok korban.Setelah pembacaan tuntutan, majelis hakim memberi kesempatan kepada para terdakwa untuk mengajukan pembelaan (pledoi) pada sidang berikutnya yang dijadwalkan pekan depan.(end/asp)

Jaksa Azam Didakwa Korupsi Barang Bukti Rp 11 M, Istri Ngaku Buat Umroh Dll

article | Sidang | 2025-05-28 21:10:34

Jakarta- Jaksa Azam Akhmad Akhsya duduk di kursi terdakwa dengan dugaan korupsi barang bukti Rp 11 miliar lebih. Yaitu terkait penanganan kasus robot trading Fahrenheit. Istri Azam, Tiara Andini mengakui pernah diberi Rp 8 miliar dari suaminya. Lalu buat apa saja uang itu?Hal itu terungkap dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (27/5/2025) kemarin. Kepada majelis hakim yang diketuai Sunoto, Tiara Andini membenarkan seluruh aliran dana sebagaimana tercantum dalam dakwaan. Termasuk pembelian asuransi, deposito, properti, dan biaya perjalanan umroh.Berikut penggunaan uang Rp 8 miliar yang dipakai Tiara Andini sebagaimana dakwaan jaksa terhadap jaksa Azam:Rp 8 miliar dipindahkan ke  rekening Tiara Andini  (istri terdakwa) digunakan untuk:-Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) untuk membayar Asuransi BNI Life.-Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) disimpan dalam Deposito BNI.-Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) untuk membeli tanah dan bangunan rumah.-Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk umroh, jalan-jalan ke luar negeri, sumbangan ke pondok pesantren dan lain-lain.Selain itu, salah satu yang kecipratan adalah staf honorer Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kejari Jakbar), Andi Rianto. Ia mengakui telah mengetik draf Berita Acara atas perintah Azam, namun mengaku tidak mengetahui bahwa isinya berbeda. "Saya hanya ketik untuk buat draf," ujar Andi Rianto.Andi juga membenarkan bahwa rekening atas namanya digunakan oleh Azam. Ketika ditanya Hakim Ketua, Andi mengatakan bahwa Azam memintanya untuk ‘silent aja ya’ terkait penggunaan rekening tersebut. Ia mengaku hanya menerima Rp 15 juta.Dalam sidang itu, total dihadirkan tujuh saksi kunci dan istri terdakwa untuk memberikan kesaksian. Salah satu saksi, Ketua Paguyuban Solidaritas Investor Fahrenheit (SIF) Saksi Davidson Willy Arguna, yang juga pelapor kasus ini, mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses pengembalian barang bukti. Ia menegaskan bahwa dirinya yang melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Agung."Saya menemukan adanya kejanggalan dalam proses pengembalian barang bukti dan melaporkannya," ujar Willy di hadapan majelis hakim.Namun, kesaksian Willy mendapat bantahan dari terdakwa Oktavianus Setiawan yang menyatakan bahwa laporan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sakit hati. Dalam persidangan terungkap bahwa Willy merupakan mantan rekan kerja Oktavianus."Saksi dulu adalah mantan anak buah saya yang saya pecat," bantah Oktavianus dalam interupsinya.Perdebatan sengit terjadi ketika kuasa hukum Bonifasius Gunung meminta kepada Hakim Ketua untuk menunjukkan bukti Berita Acara (BA-20). Menurut kuasa hukum tersebut, berdasarkan BA yang dipegang kliennya, uang yang diterima hanya sekitar Rp 6 miliar, sementara BA-20 yang dipegang jaksa menunjukkan angka berkisar Rp 8 miliar.Dalam sesi ini, kuasa hukum dan jaksa beradu bukti di depan majelis hakim. Jaksa Penuntut Umum menunjukkan BA-20 yang menyatakan bahwa uang yang ditransfer kepada Bonifasius Gunung sebesar Rp 8.436.578.310 sedangkan kuasa hukum Bonifasius menyodorkan bukti BA yang menyebutkan nominal sekitar Rp 6 miliar. Menanggapi perbedaan tersebut, Hakim Ketua Sunoto langsung mengkonfirmasi kepada saksi Yulianisa Rahmayanti dan Khoirunnisa yang merupakan bendahara penerima di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat."Berapa jumlah sebenarnya yang ditransfer?" tanya Hakim Ketua.Kedua saksi dengan tegas menyatakan bahwa uang yang ditransfer adalah sesuai BA-20 yang dipegang Jaksa."Yang benar adalah sesuai dengan BA-20 yang dipegang jaksa, Pak Hakim. Kami telah memastikan transfer dana senilai Rp 8.436.578.310,- kepada terdakwa Bonifasius dan Rp 53.757.954.626,- (lima puluh tiga miliar tujuh ratus lima puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh empat ribu enam ratus dua puluh enam rupiah) kepada terdakwa Oktavianus," tegas Yulianisa.Dua saksi lainnya, Soeryo Sadewo dan Sandanu, keduanya ASN di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, menerangkan peran mereka sebagai petugas barang bukti. Ketika ditanya oleh Hakim Ketua mengenai dugaan penerimaan uang Rp 150 juta, Soeryo membantah tuduhan tersebut. Namun, ia mengakui menerima uang Rp 60 juta dari terdakwa Azam yang diklaim untuk operasional pengeluaran barang bukti mobil dan kegiatan lainnya."Saya tidak menerima Rp 150 juta, tapi benar ada Rp 60 juta yang digunakan untuk operasional pengeluaran barang bukti mobil dan kegiatan lainnya," terang Soeryo.Kesaksian Brian Erik First Anggitya, kuasa hukum 60 korban asal Jawa Timur, memperkuat dakwaan jaksa. Brian membenarkan telah memberikan fee kepada terdakwa Azam sebesar 15% dari bagian fee yang diterimanya sebagai bentuk terima kasih, dan hal tersebut telah disetujui oleh kliennya.Hakim Ketua juga mengonfirmasi kepada para saksi terkait dugaan aliran dana sebagaimana tercantum dalam dakwaan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa dari total Rp 11,7 miliar yang diterima terdakwa Azam, sekitar Rp 1,3 miliar ditukarkan ke mata uang dolar Singapura dan didistribusikan kepada beberapa pejabat, di antaranya Rp 300 juta kepada Dodi Gazali (Plh. Kasi Pidum/Kasi BB Kejari Jakarta Barat), Rp 500 juta kepada Hendri Antoro (Kajari Jakarta Barat), dan Rp 500 juta kepada Iwan Ginting (mantan Kajari Jakarta Barat).Selain itu, dalam dakwaan juga disebutkan adanya transfer Rp 450 juta kepada Sunarto (mantan Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat), Rp 300 juta kepada M. Adib Adam (Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat), Rp 200 juta kepada Baroto (Kasubsi Pratut Kejari Jakarta Barat), serta Rp 150 juta kepada staf. Namun, ketika dikonfirmasi di persidangan, para saksi yang hadir menyatakan tidak mengetahui adanya aliran dana tersebut.Sebelum menutup persidangan, Hakim Ketua Sunoto menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum mengenai agenda sidang berikutnya."Untuk sidang selanjutnya, apakah pihak Jaksa masih akan menghadirkan saksi-saksi lain?" tanya Hakim Ketua.Jaksa Penuntut Umum, Neldy Denny, menyatakan bahwa mereka akan memanggil saksi-saksi lanjutan pada persidangan berikutnya."Ya, Yang Mulia. Kami masih akan menghadirkan beberapa saksi lanjutan untuk memperkuat dakwaan dalam kasus ini," jawab Jaksa Penuntut Umum.  

Sidang Kasus Korupsi Bukti Rp 11 M, ASN Kejari Jakbar Akui Kecipratan Rp 60 Juta

article | Sidang | 2025-05-28 08:25:30

Jakarta- Sidang lanjutan kasus korupsi pengembalian barang bukti investasi robot trading Fahrenheit dengan terdakwa jaksa Azam Akhmad Akhsya kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tujuh saksi kunci dan istri terdakwa untuk memberikan kesaksian. Salah satu saksi mengaku mendapatkan Rp 60 juta. Untuk apa?Sidang tersebut digelar pada Selasa (27/5/2025) kemarin. Salah satu saksi, Ketua Paguyuban Solidaritas Investor Fahrenheit (SIF) Saksi Davidson Willy Arguna, yang juga pelapor kasus ini, mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses pengembalian barang bukti. Ia menegaskan bahwa dirinya yang melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Agung."Saya menemukan adanya kejanggalan dalam proses pengembalian barang bukti dan melaporkannya," ujar Willy di hadapan majelis hakim.Namun, kesaksian Willy mendapat bantahan dari terdakwa Oktavianus Setiawan yang menyatakan bahwa laporan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sakit hati. Dalam persidangan terungkap bahwa Willy merupakan mantan rekan kerja Oktavianus."Saksi dulu adalah mantan anak buah saya yang saya pecat," bantah Oktavianus dalam interupsinya.Perdebatan sengit terjadi ketika kuasa hukum Bonifasius Gunung meminta kepada Hakim Ketua untuk menunjukkan bukti Berita Acara (BA-20). Menurut kuasa hukum tersebut, berdasarkan BA yang dipegang kliennya, uang yang diterima hanya sekitar Rp 6 miliar, sementara BA-20 yang dipegang jaksa menunjukkan angka berkisar Rp 8 miliar.Dalam sesi ini, kuasa hukum dan jaksa beradu bukti di depan majelis hakim. Jaksa Penuntut Umum menunjukkan BA-20 yang menyatakan bahwa uang yang ditransfer kepada Bonifasius Gunung sebesar Rp 8.436.578.310 sedangkan kuasa hukum Bonifasius menyodorkan bukti BA yang menyebutkan nominal sekitar Rp 6 miliar. Menanggapi perbedaan tersebut, Hakim Ketua Sunoto langsung mengkonfirmasi kepada saksi Yulianisa Rahmayanti dan Khoirunnisa yang merupakan bendahara penerima di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat."Berapa jumlah sebenarnya yang ditransfer?" tanya Hakim Ketua.Kedua saksi dengan tegas menyatakan bahwa uang yang ditransfer adalah sesuai BA-20 yang dipegang Jaksa."Yang benar adalah sesuai dengan BA-20 yang dipegang jaksa, Pak Hakim. Kami telah memastikan transfer dana senilai Rp 8.436.578.310,- kepada terdakwa Bonifasius dan Rp 53.757.954.626,- (lima puluh tiga miliar tujuh ratus lima puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh empat ribu enam ratus dua puluh enam rupiah) kepada terdakwa Oktavianus," tegas Yulianisa.Dua saksi lainnya, Soeryo Sadewo dan Sandanu, keduanya ASN di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, menerangkan peran mereka sebagai petugas barang bukti. Ketika ditanya oleh Hakim Ketua mengenai dugaan penerimaan uang Rp 150 juta, Soeryo membantah tuduhan tersebut. Namun, ia mengakui menerima uang Rp 60 juta dari terdakwa Azam yang diklaim untuk operasional pengeluaran barang bukti mobil dan kegiatan lainnya."Saya tidak menerima Rp 150 juta, tapi benar ada Rp 60 juta yang digunakan untuk operasional pengeluaran barang bukti mobil dan kegiatan lainnya," terang Soeryo.Kesaksian Brian Erik First Anggitya, kuasa hukum 60 korban asal Jawa Timur, memperkuat dakwaan jaksa. Brian membenarkan telah memberikan fee kepada terdakwa Azam sebesar 15% dari bagian fee yang diterimanya sebagai bentuk terima kasih, dan hal tersebut telah disetujui oleh kliennya.Andi Rianto, pegawai honorer Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, mengakui telah mengetik draf Berita Acara atas perintah Azam, namun mengaku tidak mengetahui bahwa isinya berbeda. "Saya hanya ketik untuk buat draf," ujarnya.Andi juga membenarkan bahwa rekening atas namanya digunakan oleh Azam. Ketika ditanya Hakim Ketua, Andi mengatakan bahwa Azam memintanya untuk ‘silent aja ya’ terkait penggunaan rekening tersebut. Ia mengaku hanya menerima Rp 15 juta.Sidang mencapai klimaks ketika Tiara Andini, istri terdakwa Azam, memberikan kesaksian. Ia membenarkan seluruh aliran dana sebagaimana tercantum dalam dakwaan, termasuk pembelian asuransi, deposito, properti, dan biaya perjalanan umroh.Hakim Ketua juga mengonfirmasi kepada para saksi terkait dugaan aliran dana sebagaimana tercantum dalam dakwaan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa dari total Rp 11,7 miliar yang diterima terdakwa Azam, sekitar Rp 1,3 miliar ditukarkan ke mata uang dolar Singapura dan didistribusikan kepada beberapa pejabat, di antaranya Rp 300 juta kepada Dodi Gazali (Plh. Kasi Pidum/Kasi BB Kejari Jakarta Barat), Rp 500 juta kepada Hendri Antoro (Kajari Jakarta Barat), dan Rp 500 juta kepada Iwan Ginting (mantan Kajari Jakarta Barat).Selain itu, dalam dakwaan juga disebutkan adanya transfer Rp 450 juta kepada Sunarto (mantan Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat), Rp 300 juta kepada M. Adib Adam (Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat), Rp 200 juta kepada Baroto (Kasubsi Pratut Kejari Jakarta Barat), serta Rp 150 juta kepada staf. Namun, ketika dikonfirmasi di persidangan, para saksi yang hadir menyatakan tidak mengetahui adanya aliran dana tersebut.Sebelum menutup persidangan, Hakim Ketua Sunoto menanyakan kepada Jaksa Penuntut Umum mengenai agenda sidang berikutnya."Untuk sidang selanjutnya, apakah pihak Jaksa masih akan menghadirkan saksi-saksi lain?" tanya Hakim Ketua.Jaksa Penuntut Umum, Neldy Denny, menyatakan bahwa mereka akan memanggil saksi-saksi lanjutan pada persidangan berikutnya."Ya, Yang Mulia. Kami masih akan menghadirkan beberapa saksi lanjutan untuk memperkuat dakwaan dalam kasus ini," jawab Jaksa Penuntut Umum.Hakim Ketua kemudian mengetuk palu tiga kali, menandakan sidang ditutup dan akan dilanjutkan pada pekan depan. Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan seorang jaksa dalam dugaan korupsi pengembalian barang bukti investasi robot trading Fahrenheit yang nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.(end/asp)

Di Dakwaan, Kajari Jakbar dkk Disebut Kecipratan Uang Hasil ‘Nilep’ Rp 11 M

article | Sidang | 2025-05-15 19:05:45

Jakarta- Penuntut Umum mendakwa jaksa Azam Akhmad Akhsya dan dua pengacara Bonifasius Gunung dan Oktavianus Setiawan melakukan korupsi ‘nilep’ barang bukti Rp 11 miliar di kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit. Lalu ke mana larinya uang itu?Berdasarkan data yang dihimpun DANDAPALA, Kamis (15/5/2025), JPU membacakan dakwaan yang menyatakan bahwa Azam, yang saat itu menjabat sebagai Kasubsi Penuntutan, Eksekusi dan Eksaminasi pada Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, telah memanipulasi pengembalian barang bukti nomor 1611 sampai 1641 senilai total Rp 88,7 miliar yang seharusnya dibagikan kepada 1.449 korban investasi bodong.Berdasarkan dakwaan, manipulasi pertama dilakukan terhadap pengacara Bonifasius Gunung yang mewakili 68 korban. Terdakwa Azam memaksa Bonifasius untuk mengubah jumlah pengembalian dari yang seharusnya Rp 39,35 miliar menjadi Rp 49,35 miliar. Dari kelebihan Rp 10 miliar tersebut, terdakwa Azam mendapatkan bagian Rp 3 miliar.Manipulasi kedua dilakukan bersama pengacara Oktavianus Setiawan yang mewakili 761 korban dari kelompok Solidaritas Investor Fahrenheit (SIF). Terdakwa dan Oktavianus bersekongkol menciptakan kelompok korban fiktif ‘Kelompok Bali’ yang seolah-olah berjumlah 137 orang dengan nilai kerugian sekitar Rp 80 miliar. Kelompok fiktif ini seolah-olah menerima pengembalian sekitar Rp 17,8 miliar, yang kemudian dibagi dua dengan terdakwa Azam menerima Rp 8,5 miliar.Manipulasi ketiga dilakukan terhadap pengacara Brian Erik First Anggitya yang mewakili 60 korban dari Jawa Timur. Terdakwa Azam meminta fee sebesar 15% dari jumlah pengembalian yang diterima para korban tersebut, yaitu sekitar Rp 250 juta, namun akhirnya disepakati Rp 200 juta.Fakta mengejutkan dalam dakwaan adalah bahwa uang hasil korupsi yang diterima oleh Azam tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga disetor kepada atasannya di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Sebagaimana terungkap dalam dakwaan poin 19, dari total Rp 11,7 miliar yang diterima, terdakwa menyalurkan dana ke sejumlah pejabat Kejaksaan, di antaranya:1.   Hendri Antoro (Kajari Jakarta Barat) sebesar Rp 500 juta2.   Iwan Ginting (mantan Kajari Jakarta Barat) sebesar Rp 500 juta3.   Dody Gazali (Plh. Kasi Pidum/Kasi BB) sebesar Rp 300 juta4.   Sunarto (mantan Kasi Pidum) sebesar Rp 450 juta5.   M. Adib Adam (Kasi Pidum) sebesar Rp 300 juta6.   Baroto (Kasubsi Pratut) sebesar Rp 200 juta7.   Beberapa staf kejaksaan lainnya sebesar Rp 150 jutaSisa dari uang tersebut digunakan terdakwa untuk berbagai keperluan pribadi, termasuk membeli asuransi senilai Rp 2 miliar, deposito Rp 2 miliar, dan membeli tanah dan bangunan rumah senilai Rp 3 miliar.Menurut dakwaan, perbuatan terdakwa Azam menerima uang sekitar Rp 11,7 miliar bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum, termasuk Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 194 KUHAP tentang pengembalian barang bukti, serta Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Atas perbuatannya, terdakwa Azam diancam dengan dakwaan primair Pasal 12 huruf e UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta. Sementara terdakwa Bonifasius dan Oktavianus didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 250 juta. Adapun hari ini, agenda sidang adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari dua terdakwa pengacara itu. Tapi keduanya tiba-tiba mengurunkan niatnya."Kami tidak mengajukan eksepsi dan siap menghadapi pemeriksaan pokok perkara," ujar kuasa hukum Bonifasius di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Sunoto dengan anggota Denni Arsan dan hakim ad hoc Mulyono Dwi Purwanto di Ruang Subekti, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Jalan Bungur Raya, Kamis (15/5/2025). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh kuasa hukum Oktavianus Setiawan. Kedua pengacara korban tersebut didakwa terlibat dalam manipulasi pengembalian barang bukti kasus Robot Trading Fahrenheit yang dilakukan bersama terdakwa Azam Akhmad Akhsya.Sementara terdakwa jaksa Azam Akhmad Akhsya pada persidangan sebelumnya dengan tegas telah menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi dan siap melanjutkan ke pokok perkara. Usai menerima pernyataan para terdakwa, ketua majelis hakim Sunoto menyatakan sidang berikutnya adalah pembuktian dengan agenda pemeriksaan saksi. "Sidang ditunda hingga Kamis, 22 Mei 2025. JPU diinstruksikan untuk menghadirkan saksi-saksi pada persidangan mendatang," ujar Sunoto sebelum mengetuk palu sidang. (OTO/JP)

Jaksa Didakwa Korupsi Barang Bukti Rp 11 M, 2 Terdakwa Tiba-tiba Urung Eksepsi

article | Sidang | 2025-05-15 18:30:35

Jakarta- Dua terdakwa kasus korupsi ‘nilep’ barang bukti Rp 11 miliar di kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit, tiba-tiba tidak mengajukan eksepsi. Keduanya yaitu Bonifasius Gunung dan Oktavianus Setiawan.Padahal, rencananya agenda sidang hari ini adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari dua terdakwa itu."Kami tidak mengajukan eksepsi dan siap menghadapi pemeriksaan pokok perkara," ujar kuasa hukum Bonifasius di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Sunoto dengan anggota Denni Arsan dan hakim ad hoc Mulyono Dwi Purwanto di Ruang Subekti, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Jalan Bungur Raya, Kamis (15/5/2025). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh kuasa hukum Oktavianus Setiawan. Kedua pengacara korban tersebut didakwa terlibat dalam manipulasi pengembalian barang bukti kasus Robot Trading Fahrenheit yang dilakukan bersama terdakwa Azam Akhmad Akhsya.Sementara terdakwa jaksa Azam Akhmad Akhsya pada persidangan sebelumnya dengan tegas telah menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi dan siap melanjutkan ke pokok perkara. Usai menerima pernyataan para terdakwa, ketua majelis hakim Sunoto menyatakan sidang berikutnya adalah pembuktian dengan agenda pemeriksaan saksi."Sidang ditunda hingga Kamis, 22 Mei 2025. JPU diinstruksikan untuk menghadirkan saksi-saksi pada persidangan mendatang," ujar Sunoto sebelum mengetuk palu sidang.Seperti diberitakan sebelumnya, dalam sidang perdana pada 8 April 2025, JPU membacakan dakwaan yang menyatakan bahwa Azam, yang saat itu menjabat sebagai Kasubsi Penuntutan, Eksekusi dan Eksaminasi pada Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, telah memanipulasi pengembalian barang bukti nomor 1611 sampai 1641 senilai total Rp 88,7 miliar yang seharusnya dibagikan kepada 1.449 korban investasi bodong.Berdasarkan dakwaan, manipulasi pertama dilakukan terhadap pengacara Bonifasius Gunung yang mewakili 68 korban. Terdakwa Azam memaksa Bonifasius untuk mengubah jumlah pengembalian dari yang seharusnya Rp 39,35 miliar menjadi Rp 49,35 miliar. Dari kelebihan Rp 10 miliar tersebut, terdakwa Azam mendapatkan bagian Rp 3 miliar.Manipulasi kedua dilakukan bersama pengacara Oktavianus Setiawan yang mewakili 761 korban dari kelompok Solidaritas Investor Fahrenheit (SIF). Terdakwa dan Oktavianus bersekongkol menciptakan kelompok korban fiktif ‘Kelompok Bali’ yang seolah-olah berjumlah 137 orang dengan nilai kerugian sekitar Rp 80 miliar. Kelompok fiktif ini seolah-olah menerima pengembalian sekitar Rp 17,8 miliar, yang kemudian dibagi dua dengan terdakwa Azam menerima Rp 8,5 miliar.Manipulasi ketiga dilakukan terhadap pengacara Brian Erik First Anggitya yang mewakili 60 korban dari Jawa Timur. Terdakwa Azam meminta fee sebesar 15% dari jumlah pengembalian yang diterima para korban tersebut, yaitu sekitar Rp 250 juta, namun akhirnya disepakati Rp 200 juta.Fakta mengejutkan dalam dakwaan adalah bahwa uang hasil korupsi yang diterima oleh Azam tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga disetor kepada atasannya di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Sebagaimana terungkap dalam dakwaan poin 19, dari total Rp 11,7 miliar yang diterima, terdakwa menyalurkan dana ke sejumlah pejabat Kejaksaan, di antaranya:1.   Hendri Antoro (Kajari Jakarta Barat) sebesar Rp 500 juta2.   Iwan Ginting (mantan Kajari Jakarta Barat) sebesar Rp 500 juta3.   Dody Gazali (Plh. Kasi Pidum/Kasi BB) sebesar Rp 300 juta4.   Sunarto (mantan Kasi Pidum) sebesar Rp 450 juta5.   M. Adib Adam (Kasi Pidum) sebesar Rp 300 juta6.   Baroto (Kasubsi Pratut) sebesar Rp 200 juta7.   Beberapa staf kejaksaan lainnya sebesar Rp 150 jutaSisa dari uang tersebut digunakan terdakwa untuk berbagai keperluan pribadi, termasuk membeli asuransi senilai Rp 2 miliar, deposito Rp 2 miliar, dan membeli tanah dan bangunan rumah senilai Rp 3 miliar.Menurut dakwaan, perbuatan terdakwa Azam menerima uang sekitar Rp 11,7 miliar bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum, termasuk Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 194 KUHAP tentang pengembalian barang bukti, serta Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Atas perbuatannya, terdakwa Azam diancam dengan dakwaan primair Pasal 12 huruf e UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta. Sementara terdakwa Bonifasius dan Oktavianus didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 250 juta. Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyeret pejabat tinggi di lingkungan Kejaksaan dan menambah daftar panjang penyimpangan perilaku dalam penegakan hukum di Indonesia. (OTO/JP)

PN Jakpus Mulai Adili Jaksa Azam, Didakwa Korupsi Barang Bukti Rp 11,7 Miliar

article | Sidang | 2025-05-09 08:15:24

Jakarta- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengadili jaksa Azam Akhmad Akhsya yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kejari Jakbar). Di mana Azam didakwa korupsi barang bukti perkara investasi bodong robot trading Fahrenheit senilai Rp 11,7 miliar. “Bahwa Terdakwa Azam Akhmad Akhsya (Terdakwa), selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara selaku Kasubsi Penuntutan, Eksekusi dan Eksaminasi pada Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, pada waktu-waktu tertentu antara bulan Oktober 2023 sampai dengan Desember 2023 atau setidak-tidaknya pada Tahun 2023, bertempat di Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,” demikian bunyi dakwaan jaksa yang dikutip DANDAPALA dari SIPP PN Jakpus, Jumat (9/5/2025). Sidang perdana itu digelar pada Kamis (8/5) kemarin. Jaksa mengatakan uang itu diterima Azam dari tiga orang penasihat hukum korban investasi robot trading Fahrenheit saat eksekusi perkara tersebut. Mereka ialah Oktavianus Setiawan, Bonifasius Gunung dan Brian Erik First Anggitya. "Uang digunakan terdakwa untuk dipindahkan ke rekening istri Terdakwa maupun pihak lain dan ditukarkan ke mata uang asing," ujar jaksa.Azam didakwa melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 12B ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 Undang-Undang Tipikor. Di kasus ini, Oktavianus dan dan Bonifasius Gunung juga duduk sebagai terdakwa.“Bahwa Terdakwa BONIFASIUS GUNUNG, SH (Terdakwa) selaku Pengacara Kantor Hukum Bonifasius Gunung (KHBG) bersama-sama dengan Oktavianus Setiawan (dilakukan penuntutan dalam berkas perkara secara terpisah) pada waktu-waktu tertentu antara bulan Oktober 2023 sampai dengan Desember 2023 atau setidak-tidaknya pada Tahun 2023, bertempat di Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Jalan Kembangan Raya No.1, RT.5/RW.2, Kembangan Utara, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat, Propinsi Daerah Khusus Jakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya sesuai Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 183/KMA/XII/2010 tanggal 28 Desember 2010, telah melakukan atau turut serta melakukan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya,” demikian bunyi dakwaan itu.(asp/asp)