Cari Berita

Lintasan Sejarah Pengawasan Hakim (Judicial Scrutiny) dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

article | Berita | 2025-06-26 12:00:31

“Paling penting mekanisme pengawasan melalui judicial scrutiny. Bagaimana pengadilan melakukan mekanisme pengawasan.” Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Profesor Harkristuti Harkrisnowo saat menjadi narasumber dalam Webinar Sosialisasi RUU KUHAP: Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil dan Terpadu, pada 28 Mei 2025, sebagaimana dikutip dari Hukumonline pada 2 Juni 2025. Prof. Tuti, begitu beliau biasa dipanggil, juga menambahkan bahwa pengawasan terhadap aparat penegak hukum menurut dapat dilakukan dengan 4 sistem yakni horizontal, vertikal, eksternal, dan internal. Pengawasan horizontal tidak dapat diandalkan karena sesama aparat di lembaga yang sama sehingga sulit menegakkan aturan. Pengawasan vertikal dilakukan atasan, tapi sangat dependen dengan kualitas individu atasan itu sendiri dalam mengawasi bawahannya. Menurutnya pengawasan eksternal sangat penting, yang dapat dilakukan lembaga lain. Atau malah pengawasan internal. Senada dengan hal tersebut, Dr. Febby Mutiara Nelson, yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, juga menyatakan bahwa konsep judicial scrutiny merupakan hal yang penting karena setiap tindakan upaya paksa (tindakan yang membatasi hak) oleh penegak hukum harus diperiksa dan diuji oleh forum yang terbuka dan berimbang. Dalam forum tersebut, penegak hukum dan orang yang dibatasi haknya dapat berkontestasi secara terbuka dan kemudian pada akhirnya diputuskan oleh hakim sebagai pihak yang diposisikan independen. Hal tersebut disampaikan Dr. Febby dalam diskusi “Tantangan dan Peluang Peran Hakim dalam Mekanisme Checks and Balances Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dalam R-KUHAP” yang diadakan Forum Kajian Dunia Peradilan (FKDP) pada Minggu, 22 Juni 2025. Menurutnya, keberadaan hakim dalam konsep judicial scrutiny ini dapat menjamin Hak Asasi Manusia, karena tindakan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut umum dapat dikontrol dan diawasi oleh Hakim. Dalam sejarah di Indonesia, pengawasan hakim ini sudah muncul dari tahun 1954. Daniel S. Lev dalam tulisannya berjudul Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman mencatat bahwa Persatuan Jaksa pernah mengirimkan surat kepada Ikatan Hakim pada 22 September 1954 mengenai pengawasan oleh hakim. Jaksa saat itu berdalih bahwa tugas menghakimi dan menuntut adalah fungsi yang berbeda dalam proses yang sama, kedua-duanya penting dan setara dalam pembagian kerja. Di sisi lain, para hakim berpendapat bahwa hakim memiliki kekuasaan pengawasan tertentu sebagai pihak ketiga yang obyektif antara jaksa dan terdakwa. Para hakim menyatakan bahwa subordinasi penuntut kepada hakim dapat dilihat dari kenyataan bahwa hakim bertanggung jawab dalam pemberian izin untuk melakukan penggeledahan rumah (Herzien Inlandsch Reglement (HIR) pasal 77-78), perpanjangan penahanan Terdakwa (HIR pasal 83c/4) dan penentuan kapan pemeriksaan pendahuluan harus diselesaikan (HIR pasal 83d/1). Diskursus ini mengemuka saat Hukum Acara Pidana hendak diubah melalui perubahan HIR dan Undang-Undang mengenai Organisasi Kehakiman. Namun, hal ini tidak pernah selesai dibahas. Perubahan hukum acara pidana dan pengawasan hakim muncul kembali dalam perdebatan saat penyusunan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 1970. Daniel S. Lev dalam tulisannya yang lain Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum: Sebuah Sketsa Politik menuliskan bahwa Pengadilan memperoleh perhatian lebih besar daripada masa sebelumnya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai simbol adanya perubahan pandangan terhadap negara hukum. Pandangan yang sangat menekankan pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas kekuasaan politik. Pandangan ini adalah esensi perdebatan mengenai UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 14/1970). Penguatan posisi pengadilan ini didukung oleh para advokat, mahasiswa, cendekiawan liberal, beberapa partai politik dan kalangan pengusaha yang tidak dekat dengan lingkaran kekuasaan. Dukungan dan perhatian terhadap perubahan hukum acara pidana pada UU 14/1970 dititikberatkan pada penghormatan atas hak-hak perseorangan dalam hukum acara pidana. Lebih lanjut, bagi kalangan advokat kepentingan dan hak-hak perseorangan akan lebih dilindungi bila kekuasaan penguasa dikurangi dan kekuasaan pengadilan ditingkatkan. Terutama jika Pengadilan benar-benar bekerja sesuai dengan ketentuan formal atau dengan kata lain jika badan kehakiman dibedakan secara tajam dari birokrasi pemerintahan. Badan kehakiman dianggap sebagai lembaga yang paling menguntungkan (least unfavourable institution) yang harus dihadapi individu. Dukungan ini datang karena Pengadilan dianggap merupakan forum pembelaan diri yang obyektif. Saat tahun 1969, dimana tindak pidana subversi banyak menjerat masyarakat, seseorang dapat ditahan untuk jangka waktu yang lama tanpa diadili. Namun demikian, Pengadilan menyediakan forum untuk membela diri bagi mereka yang didakwa melakukan kejahatan politik. Pengadilan juga acapkali menjatuhkan pidana yang ringan jika hakim-hakim yang menangani perkara tersebut tergolong berani. Daniel S. Lev juga mencatat bahwa kelompok Hak Asasi Manusia yang mulai tumbuh pada akhir 1960 dan 1970an menginginkan terlindungnya hak-hak individu saat berhadapan dengan kekuasaan pemerintah. Mereka menginginkan adanya pengadilan yang lebih kuat, dan menginginkan perlindungan yang lebih besar bagi Terdakwa. Kelemahan dalam sistem peradilan, sangat erat berkait dengan buruknya perlindungan hak-hak perseorangan. Para advokat dan kelompok HAM sudah lama mengeluh bahwa jaminan hak asasi manusia sangat terbatas diberikan oleh hukum acara pidana dan aparat penegak hukum pun kerap mengesampingkan hal tersebut. Saat itu Hakim bersimpati dengan usaha-usaha memperbaiki hukum acara pidana. Pada akhirnya, UU 14/1970 yang diundangkan mengakui hak-hak terdakwa, namun pengakuan tersebut sangatlah lemah. UU 14/1970 dalam Pasal 7 melarang semua penangkapan, penahanan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan tanpa adanya perintah tertulis atau bertentangan dengan prosedur. Pasal 9 juga membebankan tanggung jawab ke pundak pemerintah untuk penahanan dan pemidanaan yang tidak sesuai aturan karena abus de pouvoir (penyalahgunaan kekuasaan) pejabat dalam proses pidana. Hak untuk memperoleh penasihat hukum juga termaktub dalam Pasal 35. Pasal 36 juga menyatakan bahwa seorang tersangka dapat didampingi oleh penasihat hukum sejak saat penangkapan atau penahanan. Namun, dalam praktiknya yang terjadi adalah sebaliknya. Hak-hak individual atau tersangka dalam hukum acara pidana kerap dilanggar oleh aparat penegak hukum. Penyebabnya adalah pengaturan dalam UU 14/1970 terkait hukum acara pidana memerlukan adanya peraturan tambahan tersendiri. Daniel S. Lev juga menuliskan bahwa tersangka kerap tidak diizinkan bertemu dengan Penasihat Hukum saat penyelidikan dan penyidikan karena haknya tersebut sangat tergantung dengan perkenan dari pejabat yang memeriksa tersangka. Pada tahun 1981, isu-isu tersebut yakni perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama bagi tersangka/terdakwa, dan profesionalitas penegakan hukum dalam konteks hukum acara pidana juga diperbincangkan secara intensif dalam perumusan sistem hukum acara pidana Indonesia yang baru melalui KUHAP, yang disahkan dan berlaku pada 31 Desember 1981. Namun demikian, Institute for Criminal Justice Reform dalam bukunya AUDIT KUHAP: Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia memberikan catatan bahwa KUHAP 1981 dianggap membuka pula ruang korupsi yang sangat besar dalam sistem peradilan pidana. Otonomi fungsi penegakan hukum yang diusung melalui diferensiasi fungsional tersebut semakin mempertegas sektoral kelembagaan dan berdampak negatif pada profesionalitas aparat penegak hukum. (LDR)