Cari Berita

Menjawab Tantangan dalam Hukum Acara Pidana Baru

Amelia Devina Putri – Hakim PN Sungailiat - Dandapala Contributor 2025-11-20 07:30:05
Dok. Penulis.

Selasa, 18 November 2025 DPR telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang. Pada saat perancangan, RKUHAP banyak menerima kritik dari masyarakat.

Diantaranya, adalah keseimbangan kewenangan yudisial dalam proses pidana atau judicial scrutiny. Di sisi lain, pihak DPR mengklaim bahwa aturan ini telah memastikan setiap tersangka dan korban mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Mari kita lihat secara sekilas beberapa isu dalam KUHAP Baru ini.

Sekilas mengenai ketentuan dalam KUHAP Baru

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Pertama, mari kita telisik mengenai praperadilan. Salah satu permasalahan praperadilan saat ini adalah penerapan hukum acara yang digunakan, terutama mengenai pembuktian. Simpang siur penggunaan hukum acara yang digunakan menjadikan praperadilan kehilangan esensinya sebagai perwujudan judicial scrutiny. Hal ini mengakibatkan praperadilan yang menekankan kelengkapan administratif. Praperadilan dalam KUHP baru ini diatur dalam Pasal 158 – Pasal 164 (berdasarkan draf revisi terakhir yang didapatkan penulis), dan tidak menjawab permasalahan tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam ketentuan terbaru ini adalah bagian penjelasan yang menyatakan upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan tidak termasuk objek praperadilan. Apakah tepat ketika sudah terdapat izin maka tidak dapat diajukan praperadilan? Bagaimana dengan persetujuan upaya paksa?

Kedua, mengenai pembuktian. Pasal 235 pada huruf h menyebutkan bahwa segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum. Tidak seperti alat bukti lainnya, alat bukti huruf h ini tidak memiliki kriteria dan penjelasannya dalam undang-undang tersebut. Lalu, bagaimana hakim dalam persidangan dapat menilai syarat formil dan substansi dari alat bukti ini?

Ketiga, pengaturan restitusi yang masih belum lengkap. Pelaksanaan sita dalam restitusi belum tegas diatur apakah dilakukan Penyidik atau dapat dilakukan oleh Jaksa, kapan sita tersebut dilakukan, apakah hakim dapat memerintah Jaksa/Penyidik melakukan sita atas harta kekayaan tersebut? Undang-undang ini juga belum mengatur mengenai restitusi yang diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, Perma 1/2022 lebih progresif dan komprehensif dalam mengatur restitusi, meski belum mencakup restitusi dalam UU 12/2022.

Hal yang dapat diupayakan

Dalam hal hukum acara pidana yang demikian, peran hakim dalam memberikan keadilan prosedural menjadi semakin penting dan dibutuhkan. Hal ini agar terhindar dari menghasilkan putusan yang tidak memenuhi keadilan dan menghasilkan fruit from poisonous tree. Dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 5 UU 48/2009, maka hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Dalam konteks hukum pidana, pemenuhan HAM harus memberikan bobot paling besar dalam penggunaan Pasal 5 UU 48/2009. Mengingat HAM adalah pondasi utama dalam hukum pidana. Beberapa orang mungkin berpendapat penafsiran hukum acara sama sekali tidak boleh dilakukan.

Namun, menurut penulis hal ini dapat dilakukan sepanjang dilakukan dengan ketat yakni salah satunya adalah jika aturan tersebut multitafsir, dan terdapat hak-hak individu yang terkait dalam proses tindak pidana yang akan tereduksi.

Hal tersebut dilakukan dengan menuangkan pendapat hakim terhadap suatu isu hukum acara dalam putusan baik itu memiliki bobot besar dalam pemidanaan maupun tidak. Dalam struktur putusan dikenal yang disebut sebagai ratio decidendi dan obiter dictaRatio decidendi adalah pertimbangan hukum yang esensial dan mendasar dalam putusan hakim yang dalam konteks pidana adalah rasio hukum dalam menyatakan Terdakwa bersalah, dan penjatuhan pidana. Hakim tidak boleh ragu memberikan dasar putusan dengan melihat kesesuaian prinsip-prinsip hukum acara dalam perkara tersebut. Tercatat beberapa putusan hakim baik tingkat pertama, maupun tingkat Mahkamah Agung yang telah melakukan ini yakni Putusan PN Marabahan Nomor 142/Pid.Sus/2023/PN Mrh yang menggunakan menerapkan exclusionary rules; MA yang membebaskan terdakwa yang diperiksa polisi dalam kondisi teraniaya dan kelelahan dalam putusan Putusan Nomor 545 K/Pid.Sus/2011; dan Putusan Nomor 1085 K/PID.SUS/2016 yang menegaskan penggeledahan harus menunjukkan surat perintah penggeledahan, disaksikan oleh Kepala Desa atau Kepala Lingkungan setempat, dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Sementara itu, obiter dicta merupakan penilaian hakim terhadap suatu perkara berkaitan dengan aturan, prinsip, ataupun penerapan hukum, namun tidak bersifat esensial dalam penentuan suatu kasus. Dalam hal ini, hakim dapat memberikan pendapat hukum dan analisisnya dalam setiap aspek hukum acara yang dinilai tidak sesuai meski bukan alasan utama dalam penjatuhan pidana. Pada praktiknya di common law, obiter dicta perlahan-lahan menggeser paradigma suatu isu hukum karena yang terpenting adalah hal ini menunjukkan konstruksi berpikir hakim yang membuka jalan untuk diskusi suatu isu hukum yang dapat menjadi isu utama di perkara yang akan datang.

Pentingnya dukungan kelembagaan

Dalam penerapan Pasal 5 UU 48/2009 diperlukan kemampuan legal reasoning yang logis dan koheren. Hal ini perlu didukung secara kelembagaan oleh Mahkamah Agung.

Pertama, memfokuskan hakim kepada diskusi hukum yang substantif dan bermakna mengenai hukum acara pidana. Saat ini, Dirjen Badilum sudah memiliki acara Perisai yang kemudian diikuti dengan penulisan Arunika, dan podcast. Kedepan diperlukan diskusi yang lebih interaktif, dan untuk mewujudkan partisipasi yang lebih aktif diperlukan pengurangan beban kerja hakim yang bersifat administratif. Hakim juga harus didorong untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan hukumnya, salah satunya menggunakan tugas belajar sesuai dengan pedoman dari Sekretaris MA. Di sisi lain, PT sebagai pengadilan tingkat banding, dan MA sebagai judex jusrist juga harus mampu menjawab dan konsisten dalam putusan-putusannya agar dapat menjadi acuan yang diandalkan oleh pengadilan tingkat satu.

 Kedua, hakim-hakim tersebut memerlukan jaminan perlindungan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung atas putusan yang beralasan hukum, dan tidak transaksional. Jaminan keamanan hakim secara nasional masih menjadi hambatan besar, dalam hal ini Mahkamah Agung harus mampu setidaknya memberikan jaminan keamanan secara internal.

Ketiga, praktik dan putusan baik dalam penerapan hukum acara pidana tidak dapat dibiarkan sporadik. Dengan demikian diperlukan pengumpulan, dan penyusunan dari putusan dan praktik baik dan membaginya ke dalam beberapa kategori untuk menarik benang merahnya. Hal ini dapat mencontoh Indonesian Landmark Environmental Decisions Portal (https://i-lead.icel.or.id/). Namun perbedaannya adalah tidak perlu dilengkapi dengan pendapat atau komentar, dan hanya dapat diakses secara internal. Hal ini sangat diperlukan mengingat dalam Pasal 2 RKUHAP disebutkan acara pidana dilaksanakan hanya berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang. Jika ditafsirkan secara harafiah, maka Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan dalam membentuk aturan atau ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara pidana. Kondisi ini dapat diakali dengan pengumpulan putusan hakim, yang kemudian dapat diikuti  dengan beralasan oleh hakim-hakim lainnya. Hal ini berbeda dengan stare decisis dalam common law. Namun, yang dimaksud disini adalah reasoning with previous decisions yang dikenal dalam civil law (Jan Komarek, 2013).

Keempat, kita harus mempersiapkan dri dengan segera karena undang-undang ini akan berlaku pada Januari 2026. Percepatan persiapan pemberlakuan KUHAP baru dapat dilakukan dengan pembentukkan tim yang fokus pada pembedahan pasal-pasal dengan pembagian kategori isu. Misalnya mana yang bersifat segera dan penting dalam proses persidangan dan administratif, pasal-pasal multitafsir dan membuka celah masalah hukum baru, dan ketentuan yang berpotensi melahirkan benturan kepentingan. Kedepan tim ini perlu mengumpulkan masalah-masalah dalam penerapan KUHAP baru, dan mengevaluasinya secara berkala.

Penegakkan hukum acara yang baik dan adil dapat meningkatkan wibawa pengadilan, serta menunjukkan integritas dan komitmen pengadilan yang terus berbenah. Banyak pihak akan segera menyoroti penerapan KUHAP baru di persidangan dan menjadikannya acuan. Pada masa-masa ini sangat penting bagi kita untuk dengan sungguh-sungguh dan berintegritas menjalankan amanat konstitusi pada kekuasaan yudikatif yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. (ldr)


Penulis: Amelia Devina Putri, S.H., LL.M – Hakim PN Sungailiat Kelas IB

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat lembaga.

 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…