Cari Berita

Kejamnya Ayah Kandung Siksa Arie Hanggara dan Lahirnya Aturan Perlindungan Anak

article | History Law | 2025-04-19 16:10:53

Jakarta- Pada 1984, Indonesia pernah digegerkan dengan kekejaman Machtino yang menyiksa anak kandungnya Arie Hanggara yang masih anak-anak hingga tewas. Ikut menyiksa juga si ibu tiri, Santi. Bagaimana kisah kelam itu bisa terjadi?Dikutip dari buku ‘Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak, Sabtu (19/4/2025), disebutkan Arie Hanggara adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Arie tewas setelah dipukuli Machtino dan Santi pada 8 November 1984, karena dituduh mencuri uang di sekolahnya.  Bocah kelas 1 SD itu dipukuli dengan tangan ayahnya dan gagang sapu. Tak sempat mendapatkan pertolongan, Arie meninggal dalam perjalanan saat akan dibawa ke RSCM. Kasus pun bergulir ke meja hijau. Kala itu UU Perlindungan Anak belum lahir. Yang ada hanyalah aturan yang termuat dalam  KUHP yaitu Pasal 290, 292, 293, 294, 297. “Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988 lahir Peraturan Pelaksana Nomor 2 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Anak,” ungkap buku itu.Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada tahun 1985 dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) JR Bangun. Dalam dakwaaanya, JPU menuntut si ayah dengan hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan, Santi, saat itu dituntut ancaman hukuman 15 tahun penjara. Setelah beberapa kali persidangan, majelis hakim yang diketuai Reni Reynowati menjatuhkan hukuman kepada Machtino Eddiwan selama 5 tahun penjara dan Santi selama 2 tahun penjara. “Santi dihukum lebih ringan dengan alasan sekadar membantu Machtino dengan membenturkan kepala Arie ke tembok yang berakibat mati kepada anak korban,” tulis M Rizal dengan judul ‘Mengapa Sekejam Itu kepada Arie Hanggara’.Kekejaman kasus itu akhirnya diangkat ke film layar lebar dengan judul ‘Arie Hanggara’ pada 1985. Selain itu, kasus ini juga mendorong Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak  Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara umum. Termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial. Sehingga sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak, lahirlah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya yaitu Pasal 81 ayat 1 yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Disusul dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (EES/asp)

PN Barru Periksa Saksi Korban Difabel dengan Duduk di Lantai

article | Berita | 2025-04-16 10:30:29

Barru- Pengadilan Negeri (PN) Barru, Sulawesi Selatan (Sulsel) menggelar sidang pemeriksaan perkara tindak kekerasan seksual terhadap seorang remaja perempuan penyandang disabilitas. Korban diketahui mengalami keterlambatan bicara (delayed speech), cerebral palsy, serta gangguan perkembangan intelektual. Ketika hadir di ruang sidang, Senin (15/4/2025) kemarin, korban menyapa dengan kata “Hai”, diiringi senyuman polos. Berdasarkan hasil asesmen psikiater, korban memiliki tingkat kematangan mental setara anak berumur 1 hingga 2 tahun, meskipun usia biologisnya telah mencapai 19 tahun. Maka dari itu, pemeriksaan korban dilaksanakan dengan metode yang tidak biasa.Pantauan DANDAPALA saat sidang, setelah melepas atribut sidang, majelis hakim mengajak penuntut umum dan penasihat hukum duduk di lantai agar lebih dekat dengan korban. Dengan demikian, suasana persidangan menjadi lebih hangat dan tidak mengintimidasi. Sementara itu, terdakwa sengaja dikeluarkan untuk sementara karena korban menunjukkan ketakutan ekstrem, bahkan ketika hanya melihat foto terdakwa. Supaya korban merasa semakin nyaman, majelis hakim menawarkan kudapan kue coklat sebelum pemeriksaan dimulai. Ketika korban mulai menunjukkan kegelisahan, hakim memberikan permen Yupi, camilan favorit korban. Karena keterbatasan komunikasi verbal, korban dibantu oleh ibunya untuk menunjukkan bagian tubuh yang menjadi sasaran pelecehan. Berdasarkan Pasal 25 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, keterangan penyandang disabilitas tetap kekuatan hukum yang setara dengan saksi non-disabilitas. Ketika majelis menawarkan kesempatan untuk mengajukan restitusi, ibu korban menolak sambil menangis. “Kami tidak mencari ganti rugi. Kami hanya ingin keadilan untuk anak kami,” ujar ibu korban terisak.  (rh/asp)