Cari Berita

Pungli ke Napi, KPLP Lapas Cebongan Dihukum 7 Tahun Penjara

article | Sidang | 2025-04-25 15:25:13

Yogyakarta- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada mantan Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas (KPLP) Lapas Cebongan, Michael Radhitya Praya. Sebab terdakwa terbukti melakukan pungli terhadap para narapidana (napi).“Menyatakan Terdakwa tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana dalam pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” demikian bunyi putusan PN Yogyakarta yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Jumat (25/4/2025).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Vonny Trisaningsih dengan anggota Fitri Ramadhan dan Elias Hamonangan.“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun,” ucap majelis.Majelis juga menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa sebesar Rp 300 juta. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.“Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” ungkap majelis dalam putusan yang diketok pada Kamis (24/4) kemarin.Vonis tersebut sesuai tuntutan jaksa yaitu menuntut terdakwa 7 tahun penjara. Adapun tuntutan denda sebesar Rp 300 juta subsidair 4 bulan kurungan. Untuk diketahui, pungli itu dilakukan secara berulang yang dilakukan pada November-Desember 2023.

Tuty Budhi Utami ’Kartini Pengadilan’, Seimbangkan Keadilan dan Kelembutan Hati

article | Berita | 2025-04-21 08:30:20

Yogyakarta- Di balik palu keadilan yang tegas dan sikap bijak seorang pemimpin pengadilan, ada sosok perempuan tangguh bernama Tuty Budhi Utami. Di hari Kartini yang tepat jatuh hari ini, DANDAPALA memilih Tuty Budhi Utami sebagai salah satu ‘Kartini Pengadilan’.Akrab disapa Bu Tuty, ia mulai menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta sejak 3 Januari 2024. Perjalanan hidup dan kariernya tak hanya menggambarkan dedikasi seorang hakim dan ketua pengadilan, tetapi juga cerminan kekuatan seorang ibu dan perempuan Indonesia.Lahir di tengah keluarga sederhana yang berprofesi sebagai polisi dan guru, Ia sebenarnya telah terikat beasiswa ikatan dinas untuk menjadi dosen tetap di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Namun, panggilan nurani membawanya pada jalan yang lain yaitu menjadi hakim. Pilihan itu bukan tanpa sebab. Beliau bercerita saat berkunjung ke PN Boyolali di masa liburan, ia menyaksikan langsung seorang hakim membentak terdakwa di ruang sidang. Momen itulah yang membekas kuat dalam benaknya.“Seharusnya hakim tidak membentak. Hakim itu harus menggali kebenaran, menyelami batin terdakwa dan korban dengan kelembutan hati, bukan menghakimi dengan kemarahan,” kata Tuty Budhi Utami.saat berbincang dengan DANDAPALA, beberapa waktu lalu.Dari situlah muncul cita-cita untuk menjadi hakim yang mampu menegakkan hukum dengan keadilan dan empati. Namun, jalan menuju cita-cita itu penuh tantangan, terutama sebagai perempuan. Salah satu pengalaman paling mengesankan baginya adalah ketika ia pertama kali dimutasi sebagai hakim pertama ke PN Sumbawa Besar. Saat itu, anak pertamanya baru berusia satu tahun. Meninggalkan buah hati demi menjalankan tugas negara bukanlah hal mudah.“Berat rasanya, tapi saya harus menjalaninya sebagai bentuk amanah dan tanggung jawab,” ujar Tuty Budhi Utami.Perjuangan tersebut juga akhirnya terjawab tuntas. Anaknya saat ini berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik di sebuah badan auditor negara. Tanggung jawab negara tersebut tidak mengurangi sedikitpun rasa kasih dan perhatiannya kepada anak- anaknya. Baginya kodrat perempuan tak boleh dilupakan. Keluarga tetap menjadi prioritas.Di tengah tantangan sebagai perempuan dalam dunia peradilan yang sering kali dipenuhi stereotipe gender dan terbatasnya peluang, Ia tak pernah surut semangat. Ia meyakini bahwa ketekunan, keikhlasan, dan cara pandang bahwa pekerjaan adalah bentuk ibadah akan membawa hasil.Setelah itu, langkahnya terus berpindah dan karirnya terus menanjak mulai dari PN Sumbawa Besar, PN Rembang, PN Magetan, hingga PN Kepanjen kemudian jabatan struktural dari Wakil Ketua PN Martapura, Wakil Ketua PN Nganjuk, Ketua PN Boyolali, Wakil Ketua PN Klaten dan menjadi ketua disana, hingga kini memimpin PN Yogyakarta. Sentuhan sebagai seorang perempuan pula yang menjadikannya pemimpin yang peduli dan humanis.  Dalam menjalankan tugas, ia memegang prinsip keseimbangan antara tiga pilar penting dalam pengadilan yaitu loyalitas kepada kebijakan lembaga Mahkamah Agung (MA), kepedulian terhadap pelayanan kepada masyarakat, dan perhatian kepada kenyamanan pegawai pengadilan. “Tanpa ketiga pilar tersebut mustahil untuk memberikan yang terbaik” tutur Tuty Budhi Utami.Berbekal prinsip itu pulalah, PN Yogyakarta di bawah kepemimpinannya berhasil meraih berbagai penghargaan prestisius pada tahun 2024. Beberapa di antaranya adalah:Peringkat 3 penilaian keterbukaan informasi publik untuk pengadilan negeri kelas IA.Peringkat 1 pengadilan terbaik dalam keterbukaan informasi untuk kategori beban perkara 1001–2000.Peringkat 2 capaian nilai EIS (Evaluasi Implementasi Sistem) kategori PN kelas IA dengan beban perkara 1001–2000.Peringkat 5 dalam penilaian PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) PN kelas IA.Peringkat 2 dalam pelaksanaan mediasi untuk pengadilan dengan beban perkara 1001–2000.Peringkat 1 dalam Pengadilan Pelaksanaan Peradilan Elektronik untuk kategori beban perkara 1001–2000.Selain penghargaan organsisasi, Penghargaan pribadi pun tak luput dari prestasinya. Ia dinobatkan sebagai Ketua Pengadilan Negeri dengan disiplin kerja terbaik oleh PT Yogyakarta, serta meraih peringkat tiga terbaik dalam Bimbingan Teknis Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.Tak hanya dalam manajemen pengadilan, Ia juga dikenal aktif sebagai narasumber dalam berbagai forum, terutama yang membahas Restorative Justice dan perlindungan anak. Ia percaya bahwa perempuan memiliki keistimewaan empati alami yang jika digali dan dimanfaatkan dengan bijak, dapat memberikan warna bagi sistem peradilan saat ini.Di tengah kesibukannya, Ia tak pernah lupa berbagi pesan bagi perempuan Indonesia, khususnya bagi para hakim perempuan. “Berdikari dengan integritas. Jadilah mandiri. Tapi jangan lupa kodrat kita sebagai perempuan. Keluarga tetap nomor satu.”Sosoknya menjadi inspirasi bahwa menjadi hakim dan ketua pengadilan bukan sekadar tentang memutus perkara dan memimpin pengadilan, tetapi tentang juga menghadirkan rasa keadilan dengan tetap menjaga kelembutan sebagai seorang perempuan dan ibu. Baginya keadilan hadir bukan hanya lewat hukum, tapi juga lewat kelembutan dan hati nurani seorang perempuan. (NJ/asp)

Arsip Pengadilan 1953: Sengketa Rumah Tangga Berujung ke PN Yogyakarta

article | History Law | 2025-04-18 15:50:36

Yogyakarta- Seorang ibu dari delapan anak, Ny Siti Robiah menggugat dua pihak ke Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta pada taun 1953. Sebab, ia merasa haknya atas sebuah rumah dirampas tanpa persetujuannya. Bagaimana ceritanya?Berdasarkan arsip PN Yogyakarta yang didapat DANDAPALA, Jumat (18/4/2025), perkara ini terdaftar dengan nomor perkara 484/1953. Perkara ini berlatarbelakang konflik keluarga serta persoalan hukum keperdataan kala itu.Diceritakan Ny Siti Robiah menggugat Nj Jus Daud sebagai Tergugat I dan M Dawami Sjudja sebagai Tergugat II. Dalam gugatannya tertanggal 14 September 1953, Ny Siti Robiah menyatakan bahwa ia telah menempati rumah di Suronatan Ng IV/43 bersama anak-anaknya selama lebih dari satu dekade. “Namun, pada tahun 1951, saat ia sedang mengurus anaknya yang bersekolah di Bandung dan melakukan kegiatan perdagangan, ia mendapati bahwa rumah tersebut telah disewakan oleh suaminya sendiri yaitu Penggugat II yaitu M Dawami Sjudja, kepada seseorang bernama Djojoprawoto,” demikian bunyi keterangan dalam putusan itu, Setelah dijelaskan duduk perkaranya kepada Djojoprawoto, akhirnya Djojoprawoto bersedia untuk meninggalkan rumah tersebut. Namun setelah Ny Siti Robiah dan anak- anak ingin segera menempati, para terguggat menolak mereka untuk menempati rumah tersebut. Setelah peristiwa tersebut, Ny Siti Robiah sempat meminta bantuan Kepolisian.“Namun atas anjuran kepolisian, Ny Siti Robiah serta anak-anak meninggalkan rumah tersebut,” kisahnya.Akhirnya Ny Siti Robiah mengajukan gugatan yang pada intinya meminta pengadilan menyatakan perjanjian sewa-menyewa tidak sah. Dan memerintahkan para Tergugat mengosongkan rumah tersebut.Dalam petitum gugatannya Ny Siti Robiah memohon kepada PN Yogykarta untuk:1.Memecahkan dan diterangkan pecah perjanjian sewa menyewa di antara Tergugat I dan Tergugat II2.Menghukum Tergugat I dan juga semua yang turut menempatinya dengan izin Tergugat mengosongkan rumah tersebut dalam waktu yang telah ditentukan pengadilan pengosongan jika perlu supaya dijalankan dengan bantuan polisi; 3.Menghukum Tergugat II supaya mentaati keputusan dalam perkara ini;4.Menghukum Tergugat- Tergugat membayar biaya dalam perkara iniDalam persidangan, Tergugat I (Ny Djas A. Daud) mengaku tinggal di rumah tersebut karena telah menyewa rumah dari Tergugat II (M. Dawani Sjudja) berdasarkan perjanjian tertanggal 1 September 1953. Di sisi lain, Dawani Sjudja selaku Tergugat II dalam jawabannya mengklaim bahwa rumah tersebut membeli sendiri dengan istri yang kedua yaitu St Sundari.  “Di pengadilan juga Penggugat menyatakan bahwa rumah tersebut juga dalam proses pembagian gono gini,” bebernya.Setelah melalui proses persidangan dan pembuktian, majelis hakim mempertimbangkan bahwa status kepemilikan rumah masih menjadi sengketa antara Penggugat dan Tergugat II.“Sehingga dalam hakekatnya gugatan Penggugat tersebut tidak dapat diterima sebelum ada putusan pengadilan tentang pembagian harta gono gini yang termasuk pula rumah ini yang menjadi sengketa,” urai majelis.Pengadilan menyatakan gugatan Penggugat belum cukup dasar-dasarnya. Maka oleh karena tidak mungkin dapat diterima dan seharusnya ditolak. Pengadilan memutuskan bahwa biaya perkara dibebankan kepada Penggugat sebagai pihak yang kalah.“Menolak gugatan Penggugat,” demikian bunyi amar PN Yogyakarta yang diketok oleh hakim tunggal Raden Hadi Purnomo. Sidang tersebut dibantu oleh Panitera Pengganti MP Wirjodisastro.Majelis juga menghukum Penggugat membayar segala biaya dalam perkara ini sejumlah Rp 38 (tiga puluh delapan rupiah). Putusan tersebut diucapkan pada tanggal 12 Desember 1954.