Cari Berita

Chan Ting Chong, Eksekusi Mati Pertama Kasus Narkotika di Indonesia

Anandy Satrio P. - Dandapala Contributor 2025-09-20 16:00:41
Dok. Ilustrasi Hukuman Mati Elsam.or.id

Dalam sejarah hukum Indonesia, nama Chan Ting Chong alias Steven Chan, seorang warga negara Malaysia, tercatat sebagai pelaku tindak pidana narkotika pertama yang dijatuhi dan menjalani hukuman mati. Eksekusinya pada 13 Januari 1995 di Cibubur, Jakarta Timur, bukan hanya merupakan hukuman terhadap seorang individu, melainkan juga sebuah titik balik yang menandai dimulainya era penerapan hukuman mati untuk kejahatan narkotika di Tanah Air.

Sebelum tahun 1997, terhadap pelaku tindak pidana narkotika diadili dengan UU 9/1967 tentang Narkotika, terhadap pelaku yang didapati memiliki, membawa, menyimpan, mengekspor, memperjual belikan narkotika selain kokain dan ganja dapat dikenai hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup meskipun undang-undang tentang Narkotika tersebut telah memberikan ancaman hukuman mati, namun tidak ada satupun terpidana kasus narkoba yang benar-benar dieksekusi.  Oleh karena itu, eksekusi Chan Ting Chong menjadi peristiwa hukum yang sangat signifikan dan mengguncang, baik di dalam maupun luar negeri. 

Chan Ting Chong ditangkap pada tahun 1985 setelah kedapatan membawa 420 gram heroin. Ia mengaku hanya sebagai kurir yang disuruh menyimpan heroin dalam mesin kompresor oleh seorang kolega asal Hong Kong bernama Ahong. Namun, pengakuannya tidak diterima oleh aparat penegak hukum, dan ia pun ditetapkan sebagai tersangka utama. Chan Ting Chong sendiri merupakan nama atas pengembangan kasus Maniam Manusami, seorang Warga Negara Malaysia, yang sebelumnya ditangkap di di Hotel City kamar nomor 509 tempatnya menginap, setelah dilakukan penggeledahan tidak ditemukan apa-apa namun Polda Jakarta akhirnya menemukan heroin di selangkangannya, Manusami sempat lolos dari pemeriksaan petugas Bandara Udara Soekarno-Hatta Jakarta karena menyelundupkan narkoba. Kepada polisi ia menerangkan bahwa ia dibayar seorang warga negara Malaysia lain bernama Chan Tin Chong untuk melakukan penyelundupan heroin.

Baca Juga: Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis

Pada Januari 1986, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis hukuman mati kepadanya. Chan tidak menyerah begitu saja. Ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun ditolak pada tahun 1986. Upayanya dilanjutkan ke Mahkamah Agung, yang juga menolak permohonannya pada tahun 1990. Langkah hukum terakhirnya adalah mengajukan grasi kepada Presiden Soeharto, yang akhirnya ditolak pada tanggal 31 Januari 1991.

Setelah menunggu selama sembilan tahun sejak vonis pertama, ia menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Cibubur, Jakarta Timur. Chan Ting Chong akhirnya dieksekusi oleh regu tembak pada 13 Januari 1995. Eksekusi ini bersamaan dengan eksekusi Kacong Laranu (seorang pensiunan sersan yang dihukum karena pembunuhan), dan Karta Cahyadi sehingga peristiwa ini tercatat sebagai eksekusi mati pertama terhadap terpidana kasus narkotika di Indonesia setelah berlakunya UU 9/1967.

Sejatinya pidana mati pernah dijatuhkan di Pengadilan Negeri Langsa, Aceh Timur dengan terpidana Lee Wah Ceng dan Chang Show Ven, kedua WNA dari Taiwan yang menjadi awak kapal M.V. AN Hsing itu kedapatan menyelundupkan 9,5 kg heroin, namun putusannya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh sehingga keduanya hanya dijatuhi hukuman 17 tahun penjara.

Selain itu pidana mati pernah dijatuhkan bagi Husni Alias Yono yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada bulan Desember 1984 karena kedapatan memperjualbelikan 700 gram heroin murni bersama dua orang pelaku lainnya, namun Husni yang dijatuhi hukuman mati tersebut sempat kabur dan ia termasuk salah satu dari 32 narapidana di LP Salemba dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.

Eksekusi Chan Ting Chong memiliki aspek historis yang mendalam. Ia membuka pintu bagi gelombang eksekusi mati terpidana narkoba berikutnya, baik WNI maupun WNA, seperti yang terjadi pada era 2000-an dan 2010-an. Sejarah mencatat beberapa pelaku tindak pidana narkotika yang berasal dari WNA diadili dengan hukuman mati setelah berlakunya UU 22/1997 dilakukan oleh pengadilan-pengadilan yang ada di Indonesia diantaranya yaitu Pengadilan Negeri Kupang yang menjatuhkan putusan terhadap terpidana Frederich Soru, Gerson Pandie, Pengadilan Negeri Medan terhadap terpidana Ayodya Prasad Chaubey, Pengadilan Negeri Tangerang terhadap terpidana (Rodrigo Gulard, Michael Titus Igweh, Hillari K. Chimezie, Marco Archer Cardoso Moreira, Samuel Iwachekwu Okoye, Hansen Nwaolisa). Kasusnya menjadi preseden yuridis yang menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia bersedia dan mampu menjalankan hukuman mati untuk kejahatan narkotika, terlepas dari tekanan internasional atau pertimbangan HAM, sejak tahun 1999-2006, tercatat terpidana kasus narkotika yang dijatuhi hukuman mati sebanyak 63 orang, terdiri dari 59 orang laki-laki dan 4 orang wanita dari berbagai kebangsaan.

Baca Juga: KUHP Baru, Masalah Lama: Pasal (Keranjang Sampah) Narkotika Kembali Menghantui

Dengan demikian, kisah tragis Chan Ting Chong bukan hanya tentang nasib seorang kurir narkotika, tetapi juga tentang momen ketika hukum Indonesia memilih jalan yang keras dan mematikan, sebuah keputusan yang terus membentuk wajah penegakan hukum narkotika di negeri ini hingga kini.

Referensi

  1. Clemen Dions Yusila Timur, “Sebuah Apresiasi Terhadap Perubahan Pasal Hukuman Mati”, DISKURSUS, Vol. 19, No. 2, 2023, hlm. 252.

  2. https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/012/1995/en/.

  3. https://www.historia.id/article/eksekusi-mati-pertama-terpidana-kasus-narkoba-di-indonesia-vybgn

  4. https://www.tempo.co/hukum/yang-keempat-jangan-lolos-1067652.

  5. https://www.kontras.org/backup/data/hukuman%20mati.pdf

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI