BELUM lama ini, diskusi tentang eksistensi hukuman mati kembali hangat untuk diperbincangkan. Terlebih didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya kita sebut KUHPidana Nasional) masih mengakomodir pidana mati sebagai salah satu pidana yang dapat dijatuhkan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Akan tetapi, terdapat perbedaan formulasi terhadap pidana mati dalam KUHPidana yang lama dengan KUHPidana Nasional yang baru. Jika dalam KUHPidana yang lama, pidana mati termasuk dalam pidana pokok yang sifatnya mutlak, sementara dalam KUHPidana Nasional mengkualifikasikan pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat tentatif. Maksudnya ialah hukuman mati dapat dijatuhkan oleh hakim kepada seorang terdakwa dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Apabila dalam masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati itu dapat berubah menjadi pidana penjara seumur hidup berdasarkan Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.
Dibelahan dunia lainnya, beberapa negara masih memasukkan hukuman mati dalam pidana yang diancam pada kejahatan tertentu seperti di Amerika Serikat, Tiongkok, Arab Saudi dan lain-lain. Sementara negara-negara seperti Australia, Brazil, dan Portugal serta negara di Uni Eropa telah lama mengubur eksistensi hukuman mati dalam sistem hukum pidana mereka. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, hukuman mati masih menjadi pidana yang diancamkan pada sejumlah jenis kejahatan, baik yang diatur didalam KUHPidana maupun undang-undang hukum pidana khusus diluar KUHPidana. Semisal dalam KUHPidana, tindak pidana yang diancam hukuman mati diantaranya pembunuhan berencana, makar atau kudeta dan pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian. Sementara dalam undang-undang hukum pidana khusus diluar KUHPidana yang diancam hukuman mati diantaranya korupsi, narkotika dan terorisme.
Cukup menarik apabila masuk pada perdebatan akademis terkait relevankah hukuman mati diterapkan pada zaman sekarang? Secara garis besar, ada 2 (dua) kelompok, kelompok satu yang masih menginginkan adanya hukuman mati dan kelompok kedua yang menginginkan hukuman mati dihapus dalam hukum pidana manapun. Meskipun beberapa pendapat ahli menguraikan dari poin of view (POV) dan variabel tambahan tentang hukuman mati, akan tetapi secara konsep tetap akan bermuara pada 2 (dua) premis yaitu pro terhadap eksistensi hukuman mati dan yang kontra pada eksistensi hukuman mati.
Baca Juga: Prof Binsar Gultom Minta Segera Dibentuk UU Pelaksanaan Pidana Mati
Bila kita mengurai secara singkat, argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok yang pro terhadap hukuman mati misalnya: pertama, berangkat dari semangat hukum pidana harus memperhatikan dan melindungi hak-hak korban yang telah dirampas atau terancam nyawanya. Kedua, tujuan adanya sanksi pidana dalam bentuk apapun termasuk sanksi hukuman mati ialah memberikan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi serta memberi semacam warning kepada masyarakat agar jangan sekali-kali melakukan kejahatan yang sama jika tak ingin bernasib serupa dengan pelaku. Dalam suasana hukuman mati masih ada saja, angka kejahatan masih tetap tinggi dan membuat orang tidak jera, lantas bagaimana mungkin hukuman mati dihilangkan?
Sementara dari kubu yang kontra dengan hukuman mati juga mempunyai argumentasi yang tak kalah substantif dalam mengcounter pendapat dari kelompok yang pro dengan hukuman mati.
Pertama, hukuman mati dianggap bertentangan dengan nilai dasar hak asasi manusia. Kedua, dengan masih rentannya sistem penegakan hukum pidana khususnya di Indonesia, memunculkan kemungkinan-kemungkinan adanya human error dalam proses penegakan hukum yang berakibat hukuman mati yang telah dijalankan tak dapat dipulihkan lagi, sehingga terpidana yang telah di eksekusi mati tak dapat hidup kembali meskipun dikemudian hari ditemukan fakta yang menentukan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Perdebatan menyoal hukuman mati inipun dalam konteks religiusitas, belum tersimpul pada ujung yang sama, apakah diperbolehkan menghukum mati seseorang dari sudut pandang agama? Terkhusus dalam ajaran Islam yang penulis pahami. Kembali pada posisi pro kontra hukuman mati itu. Bagi yang pro akan hukuman mati tak jarang bersandar pada kisah perjalanan spiritual Nabi Khidir Alaihissalam yang membunuh seorang anak dengan alasan bahwa jika anak itu tidak dibunuh saat itu, maka dimasa depan anak tersebut akan membuat banyak kerusakan. Sehingga membunuhnya kala itu dianggap pilihan yang tepat. Tentu saja peristiwa itu bukan atas kemauan dari Nabi Khidir Alaihissalam sendiri, melainkan atas kehendak Yang Maha Esa. Kita sebagai hambanya hanya dapat menjalankan skenario yang telah ditetapkan dalam lauful mahfuz jauh sebelum kita dilahirkan.
Sementara ditempat yang berbeda, kelompok yang kontra dengan hukuman mati meyakini dengan sepenuh hati dan jiwanya bahwa mencabut nyawa seseorang bukanlah tugas dari manusia akan tetapi hak prerogatif dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkecuali dalam konteks perang, dimana sejak zaman dahulu pertumpahan darah merupakan konsekuensi nyata dari perang, akan tetapi bagi kelompok yang kontra dengan hukuman mati, sepenuhnya percaya tidak ada yang dapat melegitimasi manusia menghukum mati manusia lainnya. Bukankah setiap orang yang melakukan salah berhak atas second change dan menata ulang hidupnya? Tuhan Maha Pemaaf, lantas mengapa manusia tak mau merepresentasikan sedikit sifat pemaaf Tuhan dalam menghukum orang?
Sekali lagi, perdebatan tentang hukuman mati ini tiada akhir dan ujung yang nyata yang dapat kita jumpai hikmahnya. Mungkin sudah takdirnya bahwa diskusi tentang hukuman mati akan terus menerus tumbuh dan hidup. Sepanjang zaman, dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, niscaya akan terus bermunculan berbagai alasan, argumen dan hipotesa tentang perlukah hukuman mati ada atau tidak. Pun rasanya hal demikian tak akan mampu menutup rapat dialog soal relevansi hukuman mati dari masa ke masa.
Baca Juga: Oesin, Orang Pertama yang Dieksekusi Mati Pasca Indonesia Merdeka
Bercermin pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, kita perlu terima bahwa hukuman mati masih hidup dalam kerangka hukum pidana meski dengan variasi penerapan yang berbeda dari satu bentuk ke bentuk lain. Dari yang awalnya bersifat konstan hingga menjadi pilihan. Hendaknya, bagi kita, masyarakat yang hidup secara komunal dalam sistem hukum yang berlaku saat ini, ketika penegak hukum terkhusus hakim sebagai pengetuk palu keadilan menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang akibat perbuatan pidana yang dilakukan, jangan terburu-buru menyimpulkan dan berekspresi bersuka cita atau menghakimi sebagai kesalahan hakim-hakimnya. Beban menjatuhkan pidana mati tak akan sama dengan beban menjatuhkan pidana penjara, denda atau yang lainnya. Pergulatan batin itu akan terus menghantui hakim bukan saja pada saat menjatuhkan putusan menghukum mati seseorang, namun pergulatan itu bisa bersemayam sebulan, setahun, sepuluh tahun bahkan selama sisa hidup hakim itu.
Setelah hukuman mati itu dijatuhkan hingga pada akhirnya hukuman mati itu dilaksanakan, hakim itu akan terus bertanya-tanya didalam benaknya. “Apakah aku telah melawan takdir Tuhan ataukah menjalankan takdir Tuhan?” Yang pasti, sejak hari itu, mungkin saja hidupnya tak sama lagi. (LDR, AL)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum