Dalam arsitektur
yurisprudensi Indonesia, setiap putusan pengadilan tidak sekadar beroperasi
sebagai instrumen koersif negara, melainkan dimanifestasikan sebagai sebuah
"kontrak transendental".
Pencantuman irah-irah
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" pada bagian
kepala putusan bukanlah sekadar residu historis atau ornamen tipografi semata.
Secara filsafat hukum,
frasa ini mentransformasi ruang sidang dari sekadar arena administratif
birokratis menjadi sebuah altar metafisik di mana kebenaran (truth) dan
keadilan (justice) diuji di hadapan otoritas tertinggi. Irah-irah ini menciptakan
beban ontologis yang menuntut hakim untuk tidak hanya bertindak sebagai
"mulut undang-undang", tetapi sebagai vicar of God yang
memikul tanggung jawab eskatologis.
Baca Juga: Hukum, Hakim dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan
Terdapat kesenjangan yang menganga dalam
praktik peradilan kontemporer. Di satu sisi, putusan hakim membungkus dirinya
dengan aura sakralitas teologis yang maha agung. Namun, di sisi lain, secara
epistemologis sering ditemukan cacat fundamental dalam logika hukumnya,
khususnya saat hakim mengabaikan elemen vital atau bestanddeel dari delik
yang didakwakan.
Kondisi ini melahirkan ketimpangan nyata
antara klaim kebenaran ilahiah dengan realitas kekosongan argumentasi yuridis.
Saat vonis dijatuhkan tanpa pembuktian tuntas namun tetap disegel atas nama
Tuhan, kita tidak sedang menghadapi kesalahan teknis semata.
Kita justru sedang menyaksikan
"simulakra keadilan": sebuah citra keadilan yang terlihat meyakinkan
di permukaan, namun sejatinya hampa substansi. Fenomena ini sangat berbahaya
karena berpotensi besar menyeret sistem hukum menuju nihilisme, di mana
kebenaran hukum kehilangan maknanya.
Problematika yang diangkat dalam diskursus
ini melampaui kritik normatif standar. Isu utamanya bukan hanya apakah hakim
"salah" menerapkan pasal, melainkan menyentuh inti eksistensi dari
putusan itu sendiri. Pokok permasalahannya terfokus pada pertanyaan: Bagaimana
status ontologis dari sebuah putusan yang mengklaim legitimasi transendental
(melalui irah-irah), namun secara faktual mengalami "kematian logika"
akibat pengabaian bestanddeel? Apakah putusan semacam itu masih layak
disebut sebagai produk hukum, ataukah ia telah terdegradasi menjadi apa yang
dalam teori hukum disebut sebagai sententia non existens?
Lebih jauh, analisis akan menelusuri
implikasi moral dan filosofis dari pengabaian tersebut. Apakah tindakan hakim
yang mengabaikan elemen pasal namun berlindung di balik nama Tuhan dapat
dikategorikan sebagai bentuk judicial heresy, sebuah pengkhianatan
terhadap nalar (logos) yang notabene adalah sifat Tuhan itu sendiri?
Dalam tradisi hukum Civil Law, validitas
sebuah putusan sangat bergantung pada ketatnya silogisme hukum. Norma hukum berfungsi
sebagai premis mayor, fakta hukum sebagai premis minor, dan putusan sebagai
konklusi. Dalam struktur ini, bestanddeel memegang peranan vital sebagai
parameter validitas premis mayor. Bestanddeel merupakan unsur-unsur yang
tertulis secara eksplisit dalam rumusan delik yang harus dibuktikan secara
kumulatif. Berbeda dengan element yang mungkin bersifat teoretis
implisit, bestanddeel adalah syarat mutlak.
Logika hukum menuntut konsistensi
matematik: Jika sebuah tindak pidana didefinisikan sebagai himpunan unsur A, B, C, D, maka ketidakhadiran pembuktian pada
unsur C (misalnya unsur "melawan hukum"
atau wederrechtelijkheid) secara otomatis meruntuhkan dakwaan. Namun,
realitas empiris peradilan sering kali mempertontonkan fenomena saltus
logicus. Hakim, sering kali didorong oleh pragmatisme atau tekanan
eksternal, melakukan simplifikasi pembuktian.
Misalnya, dalam kasus korupsi atau
penipuan, unsur subjektif mens rea kerap kali "diasumsikan"
ada hanya karena unsur objektif (kerugian) telah terjadi. Penggantian
pembuktian faktual dengan asumsi atau "keyakinan hakim" yang tidak
berdasar ini adalah sebuah cacat epistemologis.
Ketika hakim memutus perkara dengan
mengabaikan satu atau lebih bestanddeel,
putusan tersebut kehilangan landasan rasionalnya. Ia bukan lagi produk dari
penalaran deduktif yang sehat, melainkan manifestasi dari kehendak kuasa yang
arbitrer.
Dalam perspektif filsafat ilmu, ini adalah
bentuk kegagalan verifikasi. Sebuah konklusi (vonis) ditarik dari premis yang
tidak lengkap, menghasilkan sebuah proposisi yang secara logika bernilai
"salah", namun dipaksakan menjadi "benar" melalui otoritas
palu.
Hukum sebenarnya tidak pernah netral, hukum
adalah politik yang dibekukan. Dalam konteks pengabaian bestanddeel,
kita dapat melihat bekerjanya mekanisme kekuasaan yang mencoba memaksakan
narasi tertentu di atas teks undang-undang. Putusan yang mengabaikan elemen
pasal namun tetap menghukum terdakwa dapat dianalisis sebagai sebuah
"simulakra": ia menyalin bentuk luar dari keadilan (ada hakim, ada
palu, ada jubah, ada pasal yang dikutip), namun tidak memiliki referensi pada
realitas keadilan yang sesungguhnya (karena melanggar logika pembuktian). Ia
adalah copy without an original. Dalam simulakra ini, irah-irah
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan" berfungsi sebagai alat
mistifikasi.
Penggunaan nama Tuhan dalam konteks ini
adalah bentuk "Kekerasan Simbolik". Irah-irah tersebut digunakan
untuk membungkam kritik. Ia menciptakan ilusi bahwa putusan tersebut memiliki
legitimasi sakral yang tidak boleh digugat.
Hakim seolah berkata, "Meskipun
logika saya cacat, keputusan ini sah karena dibuat atas nama Tuhan." Ini
adalah sebuah manipulasi teologis untuk menutupi inkompetensi yuridis. Dengan
demikian, hukum menjadi alat dominasi, di mana warga negara dipaksa tunduk
bukan pada aturan yang jelas, melainkan pada interpretasi subjektif hakim yang
tak terduga.
Secara ontologis, apakah putusan yang
cacat nalar ini "ada"? Dalam teori hukum acara yang lebih dalam,
dikenal konsep sententia non existens, putusan yang dianggap tidak
pernah ada karena mengandung cacat fundamental yang menghancurkan esensinya
sebagai tindakan peradilan.
Sebuah putusan yang tidak memuat pertimbangan
hukum yang logis atau yang secara nyata melanggar prinsip legalitas
(mengabaikan elemen pasal) pada hakikatnya adalah null and void dalam
arti filosofis terdalam.
Lebih jauh, dapat diajukan istilah judicial
heresy. Jika kita menerima premis bahwa Tuhan adalah sumber dari segala logika
dan kebenaran, maka setiap tindakan ajudikasi yang menihilkan logika dan
kebenaran faktual adalah sebuah tindakan perlawanan terhadap sifat Tuhan itu
sendiri. Hakim yang memutus "Demi Tuhan" namun dengan cara yang
"melawan akal sehat" sesungguhnya sedang melakukan profanasi. Ia
merendahkan martabat Tuhan menjadi sekadar stempel legitimasi bagi kesalahan
manusia.
Pengabaian bestanddeel menciptakan ontological defect, pada putusan.
Putusan tersebut kehilangan raison d'être-nya. Ia tidak lagi berfungsi
sebagai resolusi konflik yang adil, melainkan menjadi instrumen oppression.
Dalam kondisi ini, masyarakat tidak lagi melihat hukum sebagai pelindung,
melainkan sebagai unpredictable threat, yang pada akhirnya menggerus
kepercayaan publik terhadap institusi peradilan hingga ke titik nadir.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat
disimpulkan bahwa fenomena pengabaian bestanddeel dalam putusan hakim merupakan
sebuah patologi hukum yang serius. Disparitas antara agungnya irah-irah
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan rapuhnya
konstruksi logika pembuktian di dalam isi putusan menandakan adanya krisis
rasionalitas dalam sistem peradilan.
Putusan semacam tersebut, yang secara
filsafat dapat dikategorikan sebagai simulacrum of justice, tidak hanya
mencederai prinsip kepastian hukum, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap amanat transendental yang diemban oleh hakim. Secara teoretis, putusan
yang dibangun di atas premis yang cacat (tanpa pembuktian elemen yang lengkap)
selayaknya dianggap sebagai sententia non existens, putusan yang tidak
memiliki kualitas ontologis sebagai hukum.
Baca Juga: Ajudikasi Keadilan Ekologis, Hermeneutika Konstitusional dan Restorasi Lingkungan
Oleh karena itu, hakim harus menyadari
bahwa "Keadilan Berdasarkan Ketuhanan" tidak dapat dicapai melalui
intuisi mistis atau diskresi tanpa batas, tetapi harus ditempuh melalui jalan
sunyi disiplin intelektual: yaitu ketaatan mutlak pada logika hukum dan
pembuktian elemen pasal secara presisi. Hanya dengan mengembalikan logos
ke dalam ruang sidang, irah-irah tersebut dapat kembali menemukan makna
sakralnya, dan hukum dapat kembali menjadi panglima yang membebaskan, bukan
tiran yang membelenggu. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI