Cari Berita

Kritik Ontologis & Epistemologis terhadap Fenomena 'Putusan Non-Existens' Akibat Pengabaian Bestanddeel

Diah Astuti Miftafiatun-Hakim PN Serang - Dandapala Contributor 2025-12-12 15:05:15
Dok. Penulis.

Dalam arsitektur yurisprudensi Indonesia, setiap putusan pengadilan tidak sekadar beroperasi sebagai instrumen koersif negara, melainkan dimanifestasikan sebagai sebuah "kontrak transendental".

Pencantuman irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" pada bagian kepala putusan bukanlah sekadar residu historis atau ornamen tipografi semata.

Secara filsafat hukum, frasa ini mentransformasi ruang sidang dari sekadar arena administratif birokratis menjadi sebuah altar metafisik di mana kebenaran (truth) dan keadilan (justice) diuji di hadapan otoritas tertinggi. Irah-irah ini menciptakan beban ontologis yang menuntut hakim untuk tidak hanya bertindak sebagai "mulut undang-undang", tetapi sebagai vicar of God yang memikul tanggung jawab eskatologis.

Baca Juga: Hukum, Hakim dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan

Terdapat kesenjangan yang menganga dalam praktik peradilan kontemporer. Di satu sisi, putusan hakim membungkus dirinya dengan aura sakralitas teologis yang maha agung. Namun, di sisi lain, secara epistemologis sering ditemukan cacat fundamental dalam logika hukumnya, khususnya saat hakim mengabaikan elemen vital atau bestanddeel dari delik yang didakwakan.

Kondisi ini melahirkan ketimpangan nyata antara klaim kebenaran ilahiah dengan realitas kekosongan argumentasi yuridis. Saat vonis dijatuhkan tanpa pembuktian tuntas namun tetap disegel atas nama Tuhan, kita tidak sedang menghadapi kesalahan teknis semata.

Kita justru sedang menyaksikan "simulakra keadilan": sebuah citra keadilan yang terlihat meyakinkan di permukaan, namun sejatinya hampa substansi. Fenomena ini sangat berbahaya karena berpotensi besar menyeret sistem hukum menuju nihilisme, di mana kebenaran hukum kehilangan maknanya.

Problematika yang diangkat dalam diskursus ini melampaui kritik normatif standar. Isu utamanya bukan hanya apakah hakim "salah" menerapkan pasal, melainkan menyentuh inti eksistensi dari putusan itu sendiri. Pokok permasalahannya terfokus pada pertanyaan: Bagaimana status ontologis dari sebuah putusan yang mengklaim legitimasi transendental (melalui irah-irah), namun secara faktual mengalami "kematian logika" akibat pengabaian bestanddeel? Apakah putusan semacam itu masih layak disebut sebagai produk hukum, ataukah ia telah terdegradasi menjadi apa yang dalam teori hukum disebut sebagai sententia non existens?

Lebih jauh, analisis akan menelusuri implikasi moral dan filosofis dari pengabaian tersebut. Apakah tindakan hakim yang mengabaikan elemen pasal namun berlindung di balik nama Tuhan dapat dikategorikan sebagai bentuk judicial heresy, sebuah pengkhianatan terhadap nalar (logos) yang notabene adalah sifat Tuhan itu sendiri?

Dalam tradisi hukum Civil Law, validitas sebuah putusan sangat bergantung pada ketatnya silogisme hukum. Norma hukum berfungsi sebagai premis mayor, fakta hukum sebagai premis minor, dan putusan sebagai konklusi. Dalam struktur ini, bestanddeel memegang peranan vital sebagai parameter validitas premis mayor. Bestanddeel merupakan unsur-unsur yang tertulis secara eksplisit dalam rumusan delik yang harus dibuktikan secara kumulatif. Berbeda dengan element yang mungkin bersifat teoretis implisit, bestanddeel adalah syarat mutlak.

Logika hukum menuntut konsistensi matematik: Jika sebuah tindak pidana didefinisikan sebagai himpunan unsur A, B, C, D, maka ketidakhadiran pembuktian pada unsur C (misalnya unsur "melawan hukum" atau wederrechtelijkheid) secara otomatis meruntuhkan dakwaan. Namun, realitas empiris peradilan sering kali mempertontonkan fenomena saltus logicus. Hakim, sering kali didorong oleh pragmatisme atau tekanan eksternal, melakukan simplifikasi pembuktian.

Misalnya, dalam kasus korupsi atau penipuan, unsur subjektif mens rea kerap kali "diasumsikan" ada hanya karena unsur objektif (kerugian) telah terjadi. Penggantian pembuktian faktual dengan asumsi atau "keyakinan hakim" yang tidak berdasar ini adalah sebuah cacat epistemologis.

Ketika hakim memutus perkara dengan mengabaikan satu atau lebih bestanddeel, putusan tersebut kehilangan landasan rasionalnya. Ia bukan lagi produk dari penalaran deduktif yang sehat, melainkan manifestasi dari kehendak kuasa yang arbitrer.

Dalam perspektif filsafat ilmu, ini adalah bentuk kegagalan verifikasi. Sebuah konklusi (vonis) ditarik dari premis yang tidak lengkap, menghasilkan sebuah proposisi yang secara logika bernilai "salah", namun dipaksakan menjadi "benar" melalui otoritas palu.

Hukum sebenarnya tidak pernah netral, hukum adalah politik yang dibekukan. Dalam konteks pengabaian bestanddeel, kita dapat melihat bekerjanya mekanisme kekuasaan yang mencoba memaksakan narasi tertentu di atas teks undang-undang. Putusan yang mengabaikan elemen pasal namun tetap menghukum terdakwa dapat dianalisis sebagai sebuah "simulakra": ia menyalin bentuk luar dari keadilan (ada hakim, ada palu, ada jubah, ada pasal yang dikutip), namun tidak memiliki referensi pada realitas keadilan yang sesungguhnya (karena melanggar logika pembuktian). Ia adalah copy without an original. Dalam simulakra ini, irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan" berfungsi sebagai alat mistifikasi.

Penggunaan nama Tuhan dalam konteks ini adalah bentuk "Kekerasan Simbolik". Irah-irah tersebut digunakan untuk membungkam kritik. Ia menciptakan ilusi bahwa putusan tersebut memiliki legitimasi sakral yang tidak boleh digugat.

Hakim seolah berkata, "Meskipun logika saya cacat, keputusan ini sah karena dibuat atas nama Tuhan." Ini adalah sebuah manipulasi teologis untuk menutupi inkompetensi yuridis. Dengan demikian, hukum menjadi alat dominasi, di mana warga negara dipaksa tunduk bukan pada aturan yang jelas, melainkan pada interpretasi subjektif hakim yang tak terduga.

Secara ontologis, apakah putusan yang cacat nalar ini "ada"? Dalam teori hukum acara yang lebih dalam, dikenal konsep sententia non existens, putusan yang dianggap tidak pernah ada karena mengandung cacat fundamental yang menghancurkan esensinya sebagai tindakan peradilan.

Sebuah putusan yang tidak memuat pertimbangan hukum yang logis atau yang secara nyata melanggar prinsip legalitas (mengabaikan elemen pasal) pada hakikatnya adalah null and void dalam arti filosofis terdalam.

Lebih jauh, dapat diajukan istilah judicial heresy. Jika kita menerima premis bahwa Tuhan adalah sumber dari segala logika dan kebenaran, maka setiap tindakan ajudikasi yang menihilkan logika dan kebenaran faktual adalah sebuah tindakan perlawanan terhadap sifat Tuhan itu sendiri. Hakim yang memutus "Demi Tuhan" namun dengan cara yang "melawan akal sehat" sesungguhnya sedang melakukan profanasi. Ia merendahkan martabat Tuhan menjadi sekadar stempel legitimasi bagi kesalahan manusia.

Pengabaian bestanddeel menciptakan ontological defect, pada putusan. Putusan tersebut kehilangan raison d'être-nya. Ia tidak lagi berfungsi sebagai resolusi konflik yang adil, melainkan menjadi instrumen oppression. Dalam kondisi ini, masyarakat tidak lagi melihat hukum sebagai pelindung, melainkan sebagai unpredictable threat, yang pada akhirnya menggerus kepercayaan publik terhadap institusi peradilan hingga ke titik nadir.

Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa fenomena pengabaian bestanddeel dalam putusan hakim merupakan sebuah patologi hukum yang serius. Disparitas antara agungnya irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan rapuhnya konstruksi logika pembuktian di dalam isi putusan menandakan adanya krisis rasionalitas dalam sistem peradilan.

Putusan semacam tersebut, yang secara filsafat dapat dikategorikan sebagai simulacrum of justice, tidak hanya mencederai prinsip kepastian hukum, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat transendental yang diemban oleh hakim. Secara teoretis, putusan yang dibangun di atas premis yang cacat (tanpa pembuktian elemen yang lengkap) selayaknya dianggap sebagai sententia non existens, putusan yang tidak memiliki kualitas ontologis sebagai hukum.

Baca Juga: Ajudikasi Keadilan Ekologis, Hermeneutika Konstitusional dan Restorasi Lingkungan

Oleh karena itu, hakim harus menyadari bahwa "Keadilan Berdasarkan Ketuhanan" tidak dapat dicapai melalui intuisi mistis atau diskresi tanpa batas, tetapi harus ditempuh melalui jalan sunyi disiplin intelektual: yaitu ketaatan mutlak pada logika hukum dan pembuktian elemen pasal secara presisi. Hanya dengan mengembalikan logos ke dalam ruang sidang, irah-irah tersebut dapat kembali menemukan makna sakralnya, dan hukum dapat kembali menjadi panglima yang membebaskan, bukan tiran yang membelenggu. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…