Pada zaman Hindia Belanda
pada tahun 1848, bahwa praktek penyelesaian
adat lebih dipercaya dan lebih efektif daripada hukum barat yang kala itu
diterapkan di kerajaan belanda yang dikenal dengan Undang-Undang baru (Nieuwe
Wetgeving), yang juga mencakup koloni-koloni kerajaan di seberang lautan
tak terkecuali Hindia Belanda.
Dikutip
dari buku R. Supomo dan
Djokosutono dalam Sedjarah Politik Hukum Adat jilid II (1954).
Istilah hukum adat didefinisikan sebagai
aturan-aturan adat tertentu yang mempunyai akibat hukum dan pranata-pranata
khusus yang dikenal dikalangan bumiputera sebutan rakyat indonesia saat itu dan
populernya baru dimulai pada saat Snouck
Hurgronje menerbitkan De Atjehers pada tahun 1893 yang
menyelidiki hukum islam dengan mempelajari aturan-aturan kerajaan dan komunitas
subak di Bali dan Lombok, serta menyelidiki adat masyarakat Aceh.
Namun, tahukah
Sobat Dandafelas tokoh yang berjasa memperjuangkan diberlakukannya
aturan-aturan adat untuk kalangan
bumiputera pada saat itu ? Dikutip Dandapala dari tulisan Supomo dan
Djokosutono (hlm. 5). Baru pada permulaan abad ke-20 (kedua puluh) barulah
konsep adat dengan beberapa peraturannya muncul ketika tokoh yang bernama Van
Vollenhoven memperjuangkan tentang konsep adat di Hindia belanda, ia adalah
sarjana yang lahir di Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874.Van Vollenhoven
memulai langkahnya mempelajari hukum adat sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun ketika
tercatat jadi mahasiswa hukum di Universitas Leiden.
Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda
“Selama
paruh pertama masa jabatan profesornya, Van Vollenhoven bekerja terutama untuk
menemukan hukum adat Hindia Belanda, dan merupakan arsitek studi hukum adat,” ungkap
tulis Van den Steenhoven.
Lalu pada tahun 1906, Van Vollenhoven menerbitkan jilid pertama Kitab
Kecil Hukum Adat untuk keseluruhan Hindia Belanda (Het adatrecht van
Nederlandsch-Indië). Melalui buku itu ia menjelaskan konsep dan skema hukum
adat di Hindia Belanda. Ia memperkenalkan 19 (sembilan belas) lingkungan hukum
adat yang berlaku di Hindia Belanda diantaranya Aceh,Tanah Atas, Tanah
Batak, Sumatera Selatan, Wilayah Melayu, Bangka
Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Wilayah Toraja, Sulawesi Selatan,Kepulauan
Ternate, Maluku Ambon, Irian, Kepulauan Timor, Bali dan Lombok, Jateng Jatim
dan Madura, Wilayah Kerajaan di Jawa, serta Jawa Barat.
Ia
menolak asumsi kolot bahwa masyarakat tradisional Hindia Belanda tak mengenal
hukum formal. Semangat untuk memperjuangakan eksistensi hukum
adat Hindia Belanda dipengaruhi oleh semangat etis yang sedang mekar di Belanda
pada awal abad ke-20 (dua puluh). Ia mengembangkan perspektif hukum
dari kacamata budaya bumiputra yang dikenal dengan Rechtskring dan Rechtsgouw.
“Van
Vollenhoven dengan lantang berjuang agar Pemerintah Belanda dapat melihat cara rakyat
pribumi hidup dalam hukumnya sendiri. Ia membantah keras pemberlakuaan hukum Barat
kepada rakyat pribumi yang dianggap hidup tanpa hukum,” ungkap buku Upik Djalins dan Noer Fauzi Rachman
dari Sajogyo Institute tersebut.
Dalam buku R. Soepomo dalam Bab-bab tentang Hukum Adat (1982, hlm. 12-13). Pada tahun 1927 Van Vollenhoven mengajukan usul perubahan haluan kebijakan hukum kepada Pemerintah Belanda, ia menganjurkan konsepsi dualisme progresif yang pada intinya ingin mempertahankan hukum adat sembari melakukan pencatatan dan penelitian sistematis.
Dengan begitu, hakim-hakim Hindia Belanda tak lagi gagap
mengadili perkara menurut hukum adat untuk saat itu hingga pada akhirnya konsep Van Vollenhoven diterima hingga sampai saat
pendudukan Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942 dengan tetap memberlakukan hukum
adat konsep Van Vollenhoven.
Atas
jasanya memperjuangkan adat sehingga Van Vollenhoven,
sangat berkontribusi saat itu untuk menggagalkan usaha Pemerintah Belanda
menghapus hukum adat di Hindia Belanda pada tahun 1914, ketika itu Pemerintah Belanda
meluncurkan proyek Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku untuk seluruh
penduduk Hindia Belanda karena menurutnya hukum adat itu adalah keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang mempunyai sanksi dikalangan komunitasnya cuma hanya
dalam keadaan tidak dikodifikasikan yang dikutip dari bukunya Van Vollenhoven sendiri
mengenai Penemuan Hukum Adat. Oleh karena pemikirannya itu sehingga Cornelis
Van Vollenhoven dikenal sebagai bapak hukum adat Hindia Belanda.(ees/fac/ldr)
Referensi:
· C.Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat,Penerbit Djambatan
· Supomo dan Djokosutono dalam Sedjarah Politik Hukum Adat jilid
II (1954).
Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan
· Soepomo
dalam Bab-bab tentang Hukum Adat (1982).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI