Cari Berita

Meretas Kabut Penghinaan Peradilan, Transformasi Hukum Perlindungan Hakim di Era Digital

Urif Syarifudin-Hakim PN Pontianak - Dandapala Contributor 2025-08-20 14:50:59
dok. pribadi.

Sepucuk gagasan upaya sistematis dekonstruksi dan rekonstruksi perlindungan hukum bagi “hakim” melalui pembaharuan regulasi, mekanisme penegakan, dan penguatan kelembagaan di era digital.

Di bawah lengkung khatulistiwa hukum yang seharusnya suci, bergema sebuah peristiwa yang mengoyak selubung kesakralan peradilan. Awal Februari 2025, Di sebuah lembaga peradilan, menjadi panggung pertarungan tak seimbang antara martabat hukum dan amuk emosi yang bercampur amarah. Insiden contempt of court ini bukan sekadar riak dalam samudera peradilan, melainkan gelombang besar yang menguak kedangkalan sistem perlindungan hakim kita.

Bagai dewi Themis yang matanya tertutup namun kini terancam dibalut kabut digital, peradilan kita menghadapi tantangan multidimensi. Siapa sangka, di era dimana keadilan seharusnya semakin terang benderang, justru muncul bayang-bayang baru berupa ancaman digital dan penyebaran data pribadi yang lebih licik, lebih membahayakan dan menyakitkan dari pedang Damokles. 

Baca Juga: FKDP Kupas Kontroversi Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Nasional

Anatomi Kasus: Dekonstruksi Peristiwa di Sebuah Lembaga Peradilan Tingkat Pertama

Tanggal 6 Februari 2025 akan tercatat sebagai momen kelam dalam sejarah peradilan kita, ketika tembok-tembok ruang sidang yang selama ini menjadi benteng martabat hukum, tak lagi mampu menahan gempuran zaman yang semakin tak terkendali. Pada hari itu, keputusan majelis hakim untuk menggelar persidangan tertutup tidak hanya menuai protokoler biasa, melainkan memicu letupan emosi yang mengancam fondasi keadilan itu sendiri.

Ruang sidang yang seharusnya menjadi tempat sakral penegakan hukum, berubah menjadi arena pertarungan yang mengoyak-ngoyak prinsip dasar peradilan yang independen dan berwibawa. Dalam drama hukum ini, setiap aktor memainkan peran layaknya tokoh-tokoh dalam tragedi Yunani kuno.

Segelintir orang sebagai terdakwa dan penasehat hukum muncul bagai Antigone yang membangkang, namun tanpa dibalut kesucian tujuan yang mulia. Majelis hakim, sebagai aktor pengambil keputusan, justru melihat kewenangannya dipertanyakan dengan cara-cara yang tak semestinya. Pihak lawan hadir sebagai penantang yang cerdik memanfaatkan momentum untuk tujuan tertentu. Sehingga Mahkamah nan Universal turun, berusaha memulihkan tatanan yang hampir runtuh. 

Ancaman yang muncul pun menunjukkan wajah ganda yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, ada amarah fisik yang meledak dalam ruang sidang, mengubah tempat yang sakral menjadi panggung opera perdebatan.

Di sisi lain, ancaman digital seperti doxing yang lebih berbahaya menyebar bak epidemi di dunia maya, berupa bisik-bisik beracun yang mampu merusak reputasi dan kredibilitas Sang Pengadil dalam sekejap mata. Respons hukum terhadap insiden ini pun hadir dengan dua wajah yang kontradiktif.

Di satu sisi, ada upaya penegakan hukum melalui pelaporan ke Bareskrim Polri dengan mengacu pada Pasal 335, 207, dan 217 KUHP, ketentuan yang sudah berkarat dimakan zaman dan kurang relevan dengan tantangan kontemporer. Di sisi lain, sanksi organisasi profesi yang dijatuhkan bagai pedang bermata dua; tegas namun menyisakan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam menciptakan efek jera yang nyata. Peristiwa ini menjadi cermin buram bagi sistem peradilan kita, menunjukkan betapa rapuhnya benteng pertahanan martabat hukum di era yang semakin kompleks ini.

Saat dinding ruang sidang tak lagi mampu membendung amuk zaman, kita diingatkan bahwa transformasi sistem perlindungan hakim bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Lubang Hitam Regulasi: Analisis Kekosongan Hukum

KUHP kita saat peristiwa itu terjadi ibarat ksatria tua yang masih bersenjatakan pedang usang di medan perang cyber. Pasal 217 KUHP yang hanya mengatur "pengacauan sidang" secara fisik, bagai menggaris air laut dengan tongkat saat ombak digital datang menggulung. Padahal di Inggris, Contempt of court Act 1981 telah secara khusus mengatur tindakan seperti publikasi online yang dapat mempengaruhi proses peradilan (section 2), dengan sanksi tegas termasuk denda tak terbatas dan pidana penjara hingga 2 tahun.

Sedangkan, Pasal 207 KUHP tentang "penghinaan terhadap penguasa" pun menjadi usang, seperti mencoba menangkap asap dengan jaring laba-laba. Sementara di Amerika Serikat, doktrin "clear and present danger" (Schenck v. US, 1919) dan perkembangan terakhir dalam kasus-kasus cyber contempt (seperti persidangan Alex Jones tahun 2022) menunjukkan bagaimana penghinaan digital terhadap peradilan bisa langsung ditindak tegas.

Konsep yang ada saat ini, tak lagi relevan ketika penghinaan bisa datang dari balik layar gadget, menyebar bak virus tanpa wajah. Yang paling memprihatinkan adalah absennya kewenangan inheren hakim kita.

Berbeda dengan sistem common law, seperti di Pengadilan Inggris yang dalam kasus Attorney General v. Times Newspapers Ltd (1974) menegaskan kewenangan hakim menjatuhkan sanksi contempt langsung untuk menjaga wibawa persidangan, atau di Australia dimana Uniform Contempt of court Act memberikan hakim wewenang luas menangani gangguan terhadap proses peradilan, sistem kita justru membelenggu hakim dengan birokrasi yang berbelit, mengharuskan pelaporan ke kepolisian padahal ancaman digital membutuhkan respons seketika.

Contoh nyata terjadi di Kanada tahun 2021 (R v. Karigar), dimana hakim langsung menjatuhkan sanksi contempt terhadap pihak yang menyebarkan informasi sidang secara online. Sementara kita masih berkutat dengan mekanisme pelaporan konvensional untuk menangani kasus yang secara teknologi sudah melesat jauh ke depan. 

Labirin Reformasi untuk Peradilan Modern: Lima Solusi Konkret

Peradilan di era digital menghadapi tantangan kompleks yang menuntut transformasi menyeluruh. Lima solusi konkret ini dirancang sebagai sistem perlindungan hakim yang komprehensif, menggabungkan prinsip hukum universal dengan konteks lokal. Seperti arsitek membangun struktur tahan gempa, kami merumuskan kerangka hukum yang kokoh menghadapi perubahan zaman.

Solusi ini disajikan sebagai bahan diskusi kritis untuk memperkuat peradilan Indonesia, bukan sebagai dogma mutlak. Solusi yang ditawarkan Penulis meliputi : Urgensi legislasi khusus; Pembaruan regulasi berbasis komparasi; Restrukturisasi kelembagaan; Transformasi teknologi; dan Model kolaborasi terpadu.

Pembangunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Wibawa Peradilan sebagai lex specialis menjadi kebutuhan mendesak dalam pembaharuan hukum pidana. Regulasi ini harus mencakup tiga pilar utama: perluasan definisi contempt of court yang mengakui dimensi digital, penerapan sanksi progresif mulai dari denda administratif hingga pemblokiran akun digital, serta mekanisme penyelesaian cepat (summary procedure) sesuai prinsip peradilan sederhana dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Pemutakhiran regulasi perlu mengadopsi konsep cyber contempt dari yurisdiksi Inggris, dengan mengintegrasikan kriminalisasi doxing terhadap penegak hukum dan pertanggungjawaban korporasi media sosial sebagai intermediary berdasarkan prinsip liability dalam UU ITE. Penguatan kelembagaan membutuhkan pembentukan Satgas Perlindungan Hakim di MA dan PN serta unit cyber crime kepolisian dengan kapabilitas investigasi digital mutakhir, mengacu pada model internasional.

Transformasi digital peradilan harus meliputi sistem AI untuk deteksi ancaman dan pelatihan cyber hygiene aparatur, dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan data pribadi. Kolaborasi tripartit antara MA, Kemenkominfo, dan organisasi profesi hukum perlu diwujudkan melalui forum koordinasi terstruktur dengan agenda kerja terukur dan evaluasi periodik, menciptakan sinergi holistik dalam menjaga martabat peradilan.

Epilog: Menuju Fajar Keadilan Digital

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Kasus ini harus menjadi titik balik, bagai meteor yang membentuk kawah kesadaran baru. Jangan biarkan hakim kita seperti gladiator yang bertarung tanpa perlindungan di koloseum digital. Transformasi hukum bukan lagi pilihan, melainkan takdir yang harus kita hadapi. Di era dimana ancaman bisa datang dari tetikus dan kibor, kita butuh tameng yang lebih canggih dari sekadar paragraf usang dalam KUHP.  

Seperti sungai Kapuas yang tak pernah berhenti mengalir, hukum pun harus terus bergerak mengikuti zaman. Bukan untuk mengejar, melainkan untuk selalu hadir sebelum keadilan itu sendiri terluka. Karena pada akhirnya, melindungi hakim sama dengan melindungi cita-cita keadilan yang menjadi jiwa bangsa ini. Di ujung horizon, fajar keadilan digital mulai menyingsing. Tinggal pilihan kita: menjadi bagian dari perubahan, atau tenggelam dalam kabut penghinaan yang semakin pekat. (ZM. LDR)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI