Sepucuk gagasan upaya sistematis dekonstruksi dan rekonstruksi perlindungan hukum bagi “hakim” melalui pembaharuan regulasi, mekanisme penegakan, dan penguatan kelembagaan di era digital.
Di bawah lengkung khatulistiwa hukum yang seharusnya
suci, bergema sebuah peristiwa yang mengoyak selubung kesakralan peradilan.
Awal Februari 2025, Di sebuah lembaga peradilan, menjadi panggung pertarungan
tak seimbang antara martabat hukum dan amuk emosi yang bercampur amarah.
Insiden contempt of court ini bukan
sekadar riak dalam samudera peradilan, melainkan gelombang besar yang menguak
kedangkalan sistem perlindungan hakim kita.
Bagai dewi Themis yang matanya tertutup namun kini terancam dibalut kabut digital, peradilan kita menghadapi tantangan multidimensi. Siapa sangka, di era dimana keadilan seharusnya semakin terang benderang, justru muncul bayang-bayang baru berupa ancaman digital dan penyebaran data pribadi yang lebih licik, lebih membahayakan dan menyakitkan dari pedang Damokles.
Baca Juga: FKDP Kupas Kontroversi Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Nasional
Anatomi
Kasus: Dekonstruksi Peristiwa di Sebuah Lembaga Peradilan Tingkat Pertama
Tanggal 6 Februari 2025 akan
tercatat sebagai momen kelam dalam sejarah peradilan kita, ketika tembok-tembok
ruang sidang yang selama ini menjadi benteng martabat hukum, tak lagi mampu menahan
gempuran zaman yang semakin tak terkendali. Pada hari itu, keputusan majelis
hakim untuk menggelar persidangan tertutup tidak hanya menuai protokoler biasa,
melainkan memicu letupan emosi yang mengancam fondasi keadilan itu sendiri.
Ruang sidang yang seharusnya
menjadi tempat sakral penegakan hukum, berubah menjadi arena pertarungan yang
mengoyak-ngoyak prinsip dasar peradilan yang independen dan berwibawa. Dalam
drama hukum ini, setiap aktor memainkan peran layaknya tokoh-tokoh dalam
tragedi Yunani kuno.
Segelintir orang sebagai
terdakwa dan penasehat hukum muncul bagai Antigone yang membangkang, namun
tanpa dibalut kesucian tujuan yang mulia. Majelis hakim, sebagai aktor pengambil keputusan, justru
melihat kewenangannya dipertanyakan dengan cara-cara yang tak semestinya. Pihak
lawan hadir sebagai penantang yang cerdik memanfaatkan momentum untuk tujuan
tertentu. Sehingga Mahkamah nan Universal turun, berusaha memulihkan tatanan
yang hampir runtuh.
Ancaman yang muncul pun
menunjukkan wajah ganda yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, ada amarah fisik
yang meledak dalam ruang sidang, mengubah tempat yang sakral menjadi panggung
opera perdebatan.
Di sisi lain, ancaman digital
seperti doxing yang lebih berbahaya menyebar bak epidemi di dunia maya, berupa
bisik-bisik beracun yang mampu merusak reputasi dan kredibilitas Sang Pengadil
dalam sekejap mata. Respons hukum terhadap insiden ini pun hadir dengan dua
wajah yang kontradiktif.
Di satu sisi, ada upaya
penegakan hukum melalui pelaporan ke Bareskrim Polri dengan mengacu pada Pasal
335, 207, dan 217 KUHP, ketentuan yang sudah berkarat dimakan zaman dan kurang
relevan dengan tantangan kontemporer. Di sisi lain, sanksi organisasi profesi
yang dijatuhkan bagai pedang bermata dua; tegas namun menyisakan pertanyaan
tentang efektivitasnya dalam menciptakan efek jera yang nyata. Peristiwa ini
menjadi cermin buram bagi sistem peradilan kita, menunjukkan betapa rapuhnya
benteng pertahanan martabat hukum di era yang semakin kompleks ini.
Saat dinding ruang sidang tak
lagi mampu membendung amuk zaman, kita diingatkan bahwa transformasi sistem
perlindungan hakim bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan yang tak bisa
ditawar-tawar lagi.
Lubang
Hitam Regulasi: Analisis Kekosongan Hukum
KUHP kita saat peristiwa itu
terjadi ibarat ksatria tua yang masih bersenjatakan pedang usang di medan
perang cyber. Pasal 217 KUHP yang hanya mengatur "pengacauan sidang"
secara fisik, bagai menggaris air laut dengan tongkat saat ombak digital datang
menggulung. Padahal di Inggris, Contempt
of court Act 1981 telah secara khusus mengatur tindakan seperti publikasi
online yang dapat mempengaruhi proses peradilan (section 2), dengan sanksi
tegas termasuk denda tak terbatas dan pidana penjara hingga 2 tahun.
Sedangkan, Pasal 207 KUHP
tentang "penghinaan terhadap penguasa" pun menjadi usang, seperti
mencoba menangkap asap dengan jaring laba-laba. Sementara di Amerika Serikat,
doktrin "clear and present danger" (Schenck v. US, 1919) dan
perkembangan terakhir dalam kasus-kasus cyber contempt (seperti persidangan
Alex Jones tahun 2022) menunjukkan bagaimana penghinaan digital terhadap
peradilan bisa langsung ditindak tegas.
Konsep yang ada saat ini, tak
lagi relevan ketika penghinaan bisa datang dari balik layar gadget, menyebar
bak virus tanpa wajah. Yang paling memprihatinkan adalah absennya kewenangan
inheren hakim kita.
Berbeda dengan sistem common
law, seperti di Pengadilan Inggris yang dalam kasus Attorney General v. Times
Newspapers Ltd (1974) menegaskan kewenangan hakim menjatuhkan sanksi contempt
langsung untuk menjaga wibawa persidangan, atau di Australia dimana Uniform Contempt of court Act memberikan hakim
wewenang luas menangani gangguan terhadap proses peradilan, sistem kita justru
membelenggu hakim dengan birokrasi yang berbelit, mengharuskan pelaporan ke
kepolisian padahal ancaman digital membutuhkan respons seketika.
Contoh nyata terjadi di
Kanada tahun 2021 (R v. Karigar), dimana hakim langsung menjatuhkan sanksi
contempt terhadap pihak yang menyebarkan informasi sidang secara online.
Sementara kita masih berkutat dengan mekanisme pelaporan konvensional untuk
menangani kasus yang secara teknologi sudah melesat jauh ke depan.
Labirin
Reformasi untuk Peradilan Modern: Lima Solusi Konkret
Peradilan di era digital
menghadapi tantangan kompleks yang menuntut transformasi menyeluruh. Lima
solusi konkret ini dirancang sebagai sistem perlindungan hakim yang
komprehensif, menggabungkan prinsip hukum universal dengan konteks lokal.
Seperti arsitek membangun struktur tahan gempa, kami merumuskan kerangka hukum
yang kokoh menghadapi perubahan zaman.
Solusi ini disajikan sebagai
bahan diskusi kritis untuk memperkuat peradilan Indonesia, bukan sebagai dogma
mutlak. Solusi yang ditawarkan Penulis meliputi : Urgensi legislasi khusus;
Pembaruan regulasi berbasis komparasi; Restrukturisasi kelembagaan;
Transformasi teknologi; dan Model kolaborasi terpadu.
Pembangunan Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Wibawa Peradilan sebagai lex specialis menjadi
kebutuhan mendesak dalam pembaharuan hukum pidana. Regulasi ini harus mencakup
tiga pilar utama: perluasan definisi contempt
of court yang mengakui dimensi digital, penerapan sanksi progresif mulai
dari denda administratif hingga pemblokiran akun digital, serta mekanisme
penyelesaian cepat (summary procedure) sesuai prinsip peradilan sederhana dalam
UU Kekuasaan Kehakiman.
Pemutakhiran regulasi perlu
mengadopsi konsep cyber contempt dari yurisdiksi Inggris, dengan mengintegrasikan
kriminalisasi doxing terhadap penegak hukum dan pertanggungjawaban korporasi
media sosial sebagai intermediary berdasarkan prinsip liability dalam UU ITE.
Penguatan kelembagaan membutuhkan pembentukan Satgas Perlindungan Hakim di MA
dan PN serta unit cyber crime kepolisian dengan kapabilitas investigasi digital
mutakhir, mengacu pada model internasional.
Transformasi digital
peradilan harus meliputi sistem AI untuk deteksi ancaman dan pelatihan cyber
hygiene aparatur, dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan data pribadi.
Kolaborasi tripartit antara MA, Kemenkominfo, dan organisasi profesi hukum
perlu diwujudkan melalui forum koordinasi terstruktur dengan agenda kerja
terukur dan evaluasi periodik, menciptakan sinergi holistik dalam menjaga
martabat peradilan.
Epilog:
Menuju Fajar Keadilan Digital
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Kasus ini harus menjadi titik
balik, bagai meteor yang membentuk kawah kesadaran baru. Jangan biarkan hakim
kita seperti gladiator yang bertarung tanpa perlindungan di koloseum digital.
Transformasi hukum bukan lagi pilihan, melainkan takdir yang harus kita hadapi.
Di era dimana ancaman bisa datang dari tetikus dan kibor, kita butuh tameng
yang lebih canggih dari sekadar paragraf usang dalam KUHP.
Seperti sungai Kapuas yang tak pernah berhenti mengalir, hukum pun harus terus bergerak mengikuti zaman. Bukan untuk mengejar, melainkan untuk selalu hadir sebelum keadilan itu sendiri terluka. Karena pada akhirnya, melindungi hakim sama dengan melindungi cita-cita keadilan yang menjadi jiwa bangsa ini. Di ujung horizon, fajar keadilan digital mulai menyingsing. Tinggal pilihan kita: menjadi bagian dari perubahan, atau tenggelam dalam kabut penghinaan yang semakin pekat. (ZM. LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI