Jakarta –Mahkamah Agung RI melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) kembali menggelar sarasehan interaktif rutin bertajuk Perisai Badilum. Episode ketujuh ini dilaksanakan pada Jumat (20/6) secara hybrid: dipusatkan di Command Center Badilum dan diikuti secara daring oleh para hakim dan tenaga teknis dari seluruh satuan kerja peradilan umum di Indonesia.
Acara ini dibuka langsung oleh Dirjen Badilum, Bambang Myanto dan dihadiri pejabat utama seperti Sekretaris Badilum Kurnia Arry Soelaksono, Direktur Jenderal Teknis Hasanudin, serta Direktur Pembinaan Teknis Zahlisa Vitalita.
Sarasehan yang rutin digelar ini bertujuan memperkuat budaya diskusi ilmiah dan pemikiran kritis di kalangan aparatur peradilan umum. Tema yang diangkat kali ini sangat strategis, yakni: “Pemidanaan dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP Nasional”.
Baca Juga: Hukum, Hakim, dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan
Acara dipandu oleh Mustamin, Hakim Yustisial Ditjen Badilum, dengan narasumber utama Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia.
Dalam paparannya, Prof. Harkristuti menekankan bahwa KUHP Nasional membawa pembaruan besar dalam sistem pemidanaan Indonesia. Tak lagi berorientasi pada pembalasan (retributif), kini penghukuman diarahkan untuk mencapai pemulihan, keadilan, dan reintegrasi sosial.
“Penjara bukan satu-satunya tujuan pemidanaan. Bahkan, kapasitas lapas saat ini sudah sangat penuh dengan 276 ribu penghuni. KUHP Nasional justru mendorong hakim untuk menggali alternatif lain yang lebih mengutamakan pemulihan dan rehabilitatif,” ungkap Prof. Harkristuti.
KUHP Nasional mengamanatkan hakim untuk menimbang banyak hal sebelum menjatuhkan pidana. Di antaranya adalah motif, tingkat kesalahan, sikap batin pelaku, cara melakukan perbuatan, adanya pemaafan dari korban, hingga nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).
“Hakim harus memimpin penegak hukum lainnya untuk merubah paradigma pemidanaan di Indonesia,” ujarnya dikutip oleh DANDAPALA.
KUHP Nasional juga memuat ketentuan agar pemidanaan dihindari terhadap kelompok tertentu, seperti anak-anak, orang lanjut usia (di atas 75 tahun), pelaku yang baru pertama kali melakukan kejahatan, serta jika ada pengembalian kerugian atau perdamaian dengan korban.
Diskusi yang berlangsung interaktif ini melibatkan peserta dari berbagai wilayah, mulai dari Sabang hingga Merauke. Berbagai pertanyaan, masukan, dan pandangan disampaikan oleh para hakim pengadilan, yang dijawab langsung oleh Prof. Harkristuti dengan pendekatan aplikatif.
Baca Juga: Perubahan Data Paspor : Haruskah Dengan Penetapan Pengadilan?
Melalui forum ini, Mahkamah Agung berharap para hakim tidak hanya memahami secara normatif isi KUHP Nasional, tetapi juga mengimplementasikannya secara bijaksana dalam setiap putusan.
Pemahaman mendalam tentang pedoman pemidanaan bukan hanya penting bagi hakim, tapi juga bagi aparat penegak hukum lainnya. Tujuannya satu: mewujudkan keadilan substantif dan menghasilkan putusan yang dihargai masyarakat. Dengan kegiatan Perisai Badilum ini, Mahkamah Agung terus menunjukkan komitmennya untuk membangun sistem peradilan yang adil, bijak, dan sesuai dengan kebutuhan hingga perkembangan hukum di masyarakat. (Ikaw/wi)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI