Cari Berita

Hakim Dalam Perspektif Epistemologi Hukum: Klaim Kebenaran dalam Proses Peradilan

Ayu Cahyani Sirait-Hakim PN Kota Bumi - Dandapala Contributor 2025-12-22 10:35:54
Dok. Penulis.

Proses peradilan pada dasarnya merupakan mekanisme pencarian, penilaian dan penetapan kebenaran, di mana putusan hakim menjadi titik kulminatif yang secara resmi menetapkan suatu kebenaran hukum yang bersifat formal.

Namun, penetapan ini sekaligus menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Apakah kebenaran hukum yang dihasilkan di ruang sidang benar-benar identik dengan kebenaran faktual yang sesungguhnya terjadi? Pertanyaan ini membuka ruang bagi kajian epistemologi hukum, yakni bagaimana hukum mengetahui, menguji dan memproduksi kebenaran.

Sistem hukum modern beroperasi dengan membedakan secara tegas antara kebenaran prosedural dan kebenaran faktual. Putusan hakim yang dihasilkan melalui hukum acara, standar pembuktian dan alat bukti yang sah, menjadi kebenaran yang sifatnya resmi dan mengikat.

Baca Juga: Redefinisi Etika dan Kebenaran Era Digital: Implikasi Terhadap Kepercayaan Publik

Konsepsi ini dilembagakan melalui adagium res judicata pro veritate habetur, bahwa apa yang telah diputuskan harus dianggap benar. Dengan demikian, hukum tidak hanya menetapkan kebenaran tetapi juga mengkonstruksi kebenaran yang wajib diterima masyarakat, meskipun kebenaran tersebut tidak selalu sepenuhnya berkorespondensi dengan realitas faktual.

Kompleksitas ini semakin tampak jika mengingat bahwa kebenaran itu sendiri memiliki nuansa. Langdon dkk. (2024) menunjukkan perbedaan antara kebenaran detail literal (verbatim details) dan kebenaran inti (gist), di mana suatu pernyataan yang literalnya salah dapat tetap dianggap benar secara semangat (true in spirit).

Distingsi ini menjadi tantangan serius bagi ruang sidang yang secara normatif mengandaikan pencarian kebenaran literal dan menempatkan hakim sebagai pihak yang harus mengelola kesenjangan antara dua bentuk kebenaran tersebut.

Dimensi epistemologis semakin menajam dalam proses pembuktian. Hakim menghadapi beragam klaim pengetahuan dari bukti fisik, dokumen hingga keterangan saksi yang rentan terhadap bias persepsi dan distorsi memori. Tugas hakim bukan sekadar menilai alat bukti, tetapi menyusun sintesis epistemologis dari fragmen-fragmen informasi yang terpecah untuk membangun narasi faktual yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Proses ini diperberat oleh kerentanan kognitif manusia. Krahé (2025) mencatat fenomena truth effect, yakni kecenderungan menerima informasi salah sebagai benar jika sering diulang atau sering ditemui, yang dapat mempengaruhi persepsi hakim. Tidak mengherankan jika rekonstruksi kebenaran yang dilakukan hakim tidak pernah memiliki jaminan absolut terhadap realitas faktual, sebagaimana terlihat dalam berbagai miscarriages of justice yang dibahas oleh De Marsico dkk. (2024).

Selain aspek-aspek tersebut, muncul pula pertanyaan mengenai sejauh mana hakim benar-benar bekerja dalam kerangka nalar yang sepenuhnya rasional dan linear. Tradisi hukum klasik cenderung membayangkan hakim sebagai entitas yang bergerak dalam pola silogisme yang ketat, namun pemikiran Benjamin N. Cardozo dan sejumlah teoritisi lain menunjukkan bahwa intuisi, pengalaman personal, empati dan nilai-nilai internal sering kali tak terhindarkan dalam proses pengambilan putusan.

Dimensi non-rasional ini menantang gagasan hakim sebagai logical machine, dan menimbulkan perdebatan filosofis mengenai bagaimana unsur-unsur tersebut berinteraksi dengan rasionalitas formal dalam membentuk keyakinan hakim tentang kebenaran.

1.   Kebenaran Prosedural vs Kebenaran Absolut

Secara filosofis, kebenaran sering dipahami sebagai entitas tunggal yang mutlak (Absolute Truth) sebuah horizon ideal yang terus diidamkan namun tak pernah sepenuhnya dapat diraih. Kajian Alabdulkareem (2013), menunjukkan bahwa kebenaran pun tidak kebal terhadap revisi dan interpretasi ulang, ia bergerak mengikuti instrumen pengetahuan, evolusi metode serta konteks yang melingkupinya. Dengan demikian, kebenaran lebih menyerupai gelombang yang terus berubah alih-alih batu karang yang diam.

Ketegangan antara kebenaran absolut dan kebenaran yang fleksibel ini mewujud secara jelas dalam praktik peradilan. Hakim senantiasa berdiri di antara dua kutub, yakni idealitas sebagai kutub pertama yang menuntut pencapaian Kebenaran Materiil yaitu kebenaran yang substantif, menyeluruh dan sedapat mungkin mendekati apa yang sungguh terjadi.

Serta kutub kedua yakni realitas yang memaksa hakim bekerja hanya dengan Kebenaran Yudisial secara relatif, yaitu kebenaran yang dipersempit oleh prosedur, ketersediaan alat bukti, reliabilitas kesaksian dan batas waktu yang ditentukan undang-undang.

Jurang pemisah antara idealitas dan realitas inilah yang menciptakan kesulitan filosofis dalam setiap putusan, hakim bergerak dalam ruang epistemik yang sunyi, di mana kebenaran yang ingin dicapai tidak selalu identik dengan kebenaran yang dapat dibuktikan.

Di sisi lain, proses pembuktian di ruang sidang menambah kompleksitas melalui ketegangan antara verbatim dan gist, sebagaimana dijelaskan Langdon dkk (2024). Dalam kognisi manusia, kebenaran hadir dalam dua bentuk, verbatim details yaitu detail harfiah yang spesifik dan faktual serta gist yaitu makna inti dari suatu peristiwa.

Dalam persidangan, seorang saksi dapat keliru pada detail. Salah menyebut waktu, warna kendaraan atau posisi tertentu, tetapi inti kesaksiannya mengenai apa yang ia lihat tetap koheren dan konsisten. Dilema muncul ketika hakim harus menentukan apakah kesalahan pada detail formal harus menggugurkan keseluruhan kesaksian demi menjaga kemurnian prosedur atau justru mengakomodasi ketidaktepatan tersebut untuk menangkap substansi peristiwa demi mencapai keadilan materiil.

Dengan demikian, baik melalui dikotomi kebenaran absolut dan kebenaran relatif maupun melalui ketegangan antara verbatim dan gist, proses peradilan selalu menjadi arena pergulatan epistemologis. Hakim tak hanya menimbang bukti, tetapi juga menimbang batas-batas dari apa yang dapat disebut sebagai kebenaran. Antara yang presisi dan yang substantif, antara yang dapat dibuktikan dan yang benar-benar terjadi, antara kata-kata dan makna yang tersembunyi di balik kata-kata itu sendiri.

2.   Epistemologi Saksi dan Bukti

Upaya hakim untuk menemukan kebenaran di tengah ketegangan antara idealitas dan realitas tidak hanya dibatasi oleh kerangka prosedural hukum, tetapi juga oleh kerentanan manusiawi yang melekat pada diri hakim itu sendiri. Sebagai subjek yang menafsirkan bukti, hakim tak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari berbagai bias kognitif yang bekerja di bawah sadar dan berpotensi mengganggu objektivitas proses penilaian.

Kompleksitas epistemologis dalam peradilan, bukan hanya soal keterbatasan metode atau alat bukti tetapi juga soal bagaimana pikiran hakim memproses, menyaring dan membentuk keyakinan terhadap suatu narasi.

Salah satu bias yang paling signifikan adalah Illusory Truth Effect, sebagaimana dijelaskan dalam studi Krahé (2025) dan Vellani dkk. (2023). Fenomena ini menunjukkan bahwa kebenaran dapat terdistorsi hanya karena sebuah pernyataan sering diulang, repetisi menciptakan rasa familiar dan familiaritas memberi ilusi kebenaran.

Dalam konteks hukum, mekanisme ini menjadi ancaman serius terhadap objektivitas karena pengulangan narasi. Baik melalui kesaksian yang disampaikan berkali-kali, pemberitaan media yang tendensius maupun retorika salah satu pihak. Hal ini dapat memperkuat keyakinan hakim, meskipun fondasi bukti objektifnya lemah.

Dengan kata lain, repetisi dapat memanipulasi proses fact finding melalui jalur psikologis yang tidak disadari sehingga menuntut hakim untuk memiliki kewaspadaan kognitif dan kemampuan metacognition yang tinggi agar tidak terjerumus dalam jebakan kemudahan pemrosesan informasi.

Selain itu, hakim juga menghadapi kecenderungan bias negativitas, sebagaimana disinggung oleh Saki dan Hagen (2024). Bias ini menggambarkan kecenderungan manusia untuk lebih terpengaruh oleh informasi yang bersifat negatif dibanding yang positif atau netral.

Meskipun studi tersebut berangkat dari konteks yang tampak sederhana yakni estimasi durasi pencarian parkir namun intuisinya relevan di ruang sidang. Ketika hakim menilai kerugian, bahaya atau dampak suatu perbuatan, terdapat kecenderungan untuk melebih-lebihkan aspek negatif dari pengalaman korban.

Dalam perkara pidana, hal ini dapat mempengaruhi persepsi atas tingkat keseriusan kejahatan. Dalam perkara perdata, dapat mempengaruhi estimasi ganti rugi atas kerugian immateriil. Dampaknya bukan sekadar bias kecil, tetapi dapat bergeser menjadi keputusan yang tidak lagi sepenuhnya ditopang oleh obyektivitas hukum, melainkan oleh intensitas emosional dari narasi negatif.

Dengan demikian, tantangan epistemologis hakim tidak hanya muncul dari keterbatasan hukum positif, tetapi juga dari lanskap psikologis batinnya sendiri. Ilusi kebenaran yang diciptakan repetisi dan kecenderungan untuk menonjolkan hal negatif menunjukkan bahwa proses mengadili bukan hanya soal menimbang bukti, tetapi juga soal menavigasi bias-bias halus yang membentuk cara seseorang memaknai realitas. Di titik inilah integritas kognitif menjadi prasyarat etis, sebuah kesadaran mendalam bahwa kebenaran yudisial harus terus diperjuangkan di tengah mekanisme psikologis yang dapat membelokkannya tanpa suara secara perlahan, halus tetapi menentukan.

3.   Peran Intuisi dan Rasionalitas

Dimensi pencarian kebenaran dalam peradilan tidak berhenti pada soal teknis pembuktian atau pergulatan kognitif hakim semata, ia memasuki ruang yang lebih dalam yakni ruang normatif dan struktural, di mana negara memikul kewajiban fundamental untuk memastikan terpenuhinya hak atas kebenaran.

Dalam arsitektur Hak Asasi Manusia internasional, Right to the Truth diakui sebagai hak otonom yang berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan Ferrer Mac.Gregor (2016). Hak ini memberikan jaminan bagi individu dan masyarakat untuk mengetahui kebenaran peristiwa, terutama ketika menyangkut pelanggaran HAM berat atau peristiwa yang mengancam martabat manusia.

Pengakuan tersebut tidak hanya menciptakan kewajiban negara secara umum, tetapi juga menempatkan hakim dalam posisi normatif yang lebih tinggi. Hakim tidak sekadar berperan menentukan kesalahan individual, tetapi juga mengemban mandat moral dan hukum untuk memastikan bahwa kebenaran substantif diungkap sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar warga negara. Dengan demikian, fungsi hakim tidak lagi terbatas pada aplikasi doktrin, tetapi meluas menjadi peran penjaga integritas historis dan penjaga hak kolektif atas kebenaran.

Perspektif ini menemukan penguatan dalam gagasan Robins dkk. (2022) mengenai pentingnya mengungkap kebenaran dalam konteks keadilan struktural. Dalam studi mengenai Keadilan Transisional, menegaskan bahwa pencarian kebenaran tidak cukup berhenti pada identifikasi pelaku atau rekonstruksi faktual semata, ia harus berani menembus lapisan-lapisan marginalisasi sistemik yang memungkinkan pelanggaran terjadi.

Artinya, hakim perlu memperluas lensa penilaiannya dengan memasukkan faktor-faktor struktural, seperti kemiskinan, ketimpangan, diskriminasi bahkan relasi kuasa yang membentuk lanskap sosial dari sebuah peristiwa hukum. Dengan masuknya dimensi sosiologis ini, kebenaran tidak lagi dimaknai sebagai apa yang terjadi, tetapi juga mengapa hal itu mungkin terjadi dan bagaimana struktur yang tidak adil itu dapat diperbaiki.

Dalam kerangka inilah muncul gagasan tentang kebenaran transformatif, sebuah orientasi yang menuntut agar proses peradilan tidak hanya menyingkap fakta tetapi juga berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih adil. Kebenaran menjadi alat pencerahan yang membuka ruang bagi pemulihan, reformasi struktural dan pencegahan pelanggaran di masa depan.

Dengan demikian, pencarian kebenaran berubah menjadi tugas etis yang tidak hanya mempertanggungjawabkan masa lalu, tetapi juga mengarahkan masa depan menuju tatanan hukum yang lebih bermartabat dan manusiawi.

Penutup

Proses peradilan pada hakikatnya bukan sekadar arena penerapan norma, melainkan ruang epistemologis tempat kebenaran diproduksi, diuji dan dilembagakan.

Hakim berada pada posisi sentral sebagai subjek pengetahuan yang harus menavigasi ketegangan antara kebenaran absolut yang diidealkan dan kebenaran yudisial yang dibatasi oleh prosedur, alat bukti serta kerentanan kognitif manusiawi.

Distingsi antara kebenaran prosedural dan kebenaran materiil menunjukkan bahwa putusan pengadilan tidak pernah sepenuhnya bebas dari keterbatasan epistemik, sekalipun mengikat secara normatif melalui adagium res judicata pro veritate habetur.

Pencarian kebenaran dalam peradilan tidak hanya dipengaruhi oleh struktur hukum acara, tetapi juga oleh bias kognitif, distorsi memori saksi, pengaruh repetisi narasi serta peran intuisi dan nilai internal hakim. Hakim tidak dapat dipahami semata sebagai logical machine, melainkan sebagai aktor reflektif yang bekerja dalam persilangan rasionalitas, intuisi dan tanggung jawab etis.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, terutama melalui pengakuan Right to the Truth, fungsi hakim meluas dari penentu sengketa individual menjadi penjaga integritas kebenaran substantif dan martabat manusia. Oleh karena itu, kebenaran dalam peradilan idealnya tidak berhenti sebagai produk prosedural, tetapi diarahkan menjadi kebenaran transformatif yang mampu berkontribusi pada keadilan sosial dan pembaruan struktur hukum yang lebih manusiawi.

Langkah Konkrit

Diperlukan penguatan kesadaran epistemologis dalam praktik peradilan, khususnya melalui pendidikan dan pelatihan hakim yang tidak hanya menekankan aspek dogmatik hukum, tetapi juga literasi kognitif, psikologi pembuktian dan refleksi filosofis tentang kebenaran. Kesadaran ini penting agar hakim mampu mengenali dan mengendalikan bias-bias halus yang dapat memengaruhi penilaian terhadap bukti dan kesaksian.

Hukum acara dan praktik pembuktian perlu dibuka secara lebih reflektif untuk mengakomodasi pencarian kebenaran materiil tanpa mengorbankan kepastian hukum. Pendekatan yang lebih sensitif terhadap perbedaan antara detail literal dan makna substantif peristiwa dapat membantu hakim menyeimbangkan ketertiban prosedural dengan keadilan yang hidup dalam kenyataan sosial.

Membuat penelitian hukum untuk mengembangkan konsep kebenaran transformatif dalam konteks peradilan nasional, khususnya dengan mengaitkannya pada perlindungan HAM dan keadilan struktural. Peradilan tidak hanya menjadi tempat berakhirnya sengketa, tetapi juga menjadi ruang sunyi namun bermakna, tempat hukum belajar mendengarkan kenyataan dan kebenaran diperlakukan bukan sekadar sebagai hasil, melainkan sebagai tanggung jawab etis yang terus diperjuangkan. (ldr)

Daftar Pustaka:

Alabdulkareem, S. A (2013). Science, fact and absolute truth: Critical views of learning. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 93, 2100–2108.

Ferrer Mac-Gregor, E (2016). The Right to the Truth as an Autonomous Right under the Inter, American Human Rights System. Mexican Law Review, 9(1), 119–139.

Krahé, B (2025). Beware the truth effect, Why efforts to debunk rape myths may backfire. Journal of Criminal Justice, 98, 102409.

Langdon, J. A., Helgason, B. A., Qiu, J., & Effron, D. A (2024). It's Not Literally True, But You Get the Gist. How nuanced understandings of truth encourage people to condone and spread misinformation. Current Opinion in Psychology, 57, 101788.

Robins S., Gready, P.Aloui, A.Andrieu, K., Ben Hamza,H & Ferchichid W (2022). Transitional justice from the margins, Collective reparations and Tunisia's Truth and Dignity Commission. Political Geography, 94, 102565.

Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum

Vellani, V., Zheng, S., Ercelik, D., & Sharot, T (2023). The illusory truth effect leads to the spread of misinformation. Cognition, 236, 105421.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…