Proses peradilan pada dasarnya merupakan
mekanisme pencarian, penilaian dan penetapan kebenaran, di mana putusan hakim
menjadi titik kulminatif yang secara resmi menetapkan suatu kebenaran hukum
yang bersifat formal.
Namun, penetapan ini sekaligus menimbulkan
pertanyaan yang mendasar. Apakah kebenaran hukum yang dihasilkan di ruang
sidang benar-benar identik dengan kebenaran faktual yang sesungguhnya terjadi?
Pertanyaan ini membuka ruang bagi kajian epistemologi hukum, yakni bagaimana
hukum mengetahui, menguji dan memproduksi kebenaran.
Sistem hukum modern beroperasi dengan
membedakan secara tegas antara kebenaran prosedural dan kebenaran faktual.
Putusan hakim yang dihasilkan melalui hukum acara, standar pembuktian dan alat
bukti yang sah, menjadi kebenaran yang sifatnya resmi dan mengikat.
Baca Juga: Redefinisi Etika dan Kebenaran Era Digital: Implikasi Terhadap Kepercayaan Publik
Konsepsi ini dilembagakan melalui
adagium res judicata pro veritate habetur, bahwa apa yang telah
diputuskan harus dianggap benar. Dengan demikian, hukum tidak hanya menetapkan
kebenaran tetapi juga mengkonstruksi
kebenaran yang wajib diterima masyarakat, meskipun kebenaran tersebut tidak
selalu sepenuhnya berkorespondensi dengan realitas faktual.
Kompleksitas ini semakin tampak jika
mengingat bahwa kebenaran itu sendiri memiliki nuansa. Langdon dkk. (2024)
menunjukkan perbedaan antara kebenaran detail literal (verbatim details)
dan kebenaran inti (gist), di mana suatu pernyataan yang literalnya
salah dapat tetap dianggap benar secara semangat (true in spirit).
Distingsi ini menjadi tantangan serius bagi
ruang sidang yang secara normatif mengandaikan pencarian kebenaran literal dan
menempatkan hakim sebagai pihak yang harus mengelola kesenjangan antara dua
bentuk kebenaran tersebut.
Dimensi epistemologis semakin menajam
dalam proses pembuktian. Hakim menghadapi beragam klaim pengetahuan dari bukti
fisik, dokumen hingga keterangan saksi yang rentan terhadap bias persepsi dan
distorsi memori. Tugas hakim bukan sekadar menilai alat bukti, tetapi menyusun
sintesis epistemologis dari fragmen-fragmen informasi yang terpecah untuk
membangun narasi faktual yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Proses ini diperberat oleh kerentanan
kognitif manusia. Krahé (2025) mencatat fenomena truth effect, yakni
kecenderungan menerima informasi salah sebagai benar jika sering diulang atau
sering ditemui, yang dapat mempengaruhi
persepsi hakim. Tidak mengherankan jika rekonstruksi kebenaran yang dilakukan
hakim tidak pernah memiliki jaminan absolut terhadap realitas faktual,
sebagaimana terlihat dalam berbagai miscarriages of justice yang dibahas
oleh De Marsico dkk. (2024).
Selain aspek-aspek tersebut, muncul pula
pertanyaan mengenai sejauh mana hakim benar-benar bekerja dalam kerangka nalar
yang sepenuhnya rasional dan linear. Tradisi hukum klasik cenderung membayangkan
hakim sebagai entitas yang bergerak dalam pola silogisme yang ketat, namun
pemikiran Benjamin N. Cardozo dan sejumlah teoritisi lain menunjukkan bahwa
intuisi, pengalaman personal, empati dan nilai-nilai internal sering kali tak
terhindarkan dalam proses pengambilan putusan.
Dimensi non-rasional ini
menantang gagasan hakim sebagai logical machine, dan menimbulkan
perdebatan filosofis mengenai bagaimana unsur-unsur tersebut berinteraksi
dengan rasionalitas formal dalam membentuk keyakinan hakim tentang kebenaran.
1.
Kebenaran
Prosedural vs Kebenaran Absolut
Secara filosofis, kebenaran sering
dipahami sebagai entitas tunggal yang mutlak (Absolute Truth) sebuah
horizon ideal yang terus diidamkan namun tak pernah sepenuhnya dapat diraih. Kajian
Alabdulkareem (2013), menunjukkan bahwa kebenaran pun tidak kebal terhadap
revisi dan interpretasi ulang, ia bergerak mengikuti instrumen pengetahuan,
evolusi metode serta konteks yang melingkupinya. Dengan demikian, kebenaran
lebih menyerupai gelombang yang terus berubah alih-alih batu karang yang diam.
Ketegangan antara kebenaran absolut dan
kebenaran yang fleksibel ini mewujud secara jelas dalam praktik peradilan.
Hakim senantiasa berdiri di antara dua kutub, yakni idealitas sebagai kutub
pertama yang menuntut pencapaian Kebenaran Materiil yaitu kebenaran yang
substantif, menyeluruh dan sedapat mungkin mendekati apa yang sungguh terjadi.
Serta kutub kedua yakni realitas yang
memaksa hakim bekerja hanya dengan Kebenaran Yudisial secara relatif, yaitu
kebenaran yang dipersempit oleh prosedur, ketersediaan alat bukti, reliabilitas
kesaksian dan batas waktu yang ditentukan undang-undang.
Jurang pemisah antara idealitas dan
realitas inilah yang menciptakan kesulitan filosofis dalam setiap putusan,
hakim bergerak dalam ruang epistemik yang sunyi, di mana kebenaran yang ingin
dicapai tidak selalu identik dengan kebenaran yang dapat dibuktikan.
Di sisi lain, proses pembuktian di ruang
sidang menambah kompleksitas melalui ketegangan antara verbatim dan gist,
sebagaimana dijelaskan Langdon dkk (2024). Dalam kognisi manusia, kebenaran
hadir dalam dua bentuk, verbatim details yaitu detail harfiah yang
spesifik dan faktual serta gist yaitu makna inti dari suatu peristiwa.
Dalam persidangan, seorang saksi dapat keliru
pada detail. Salah menyebut waktu, warna kendaraan atau posisi tertentu, tetapi
inti kesaksiannya mengenai apa yang ia lihat tetap koheren dan konsisten.
Dilema muncul ketika hakim harus menentukan apakah kesalahan pada detail formal
harus menggugurkan keseluruhan kesaksian demi menjaga kemurnian prosedur atau
justru mengakomodasi ketidaktepatan tersebut untuk menangkap substansi
peristiwa demi mencapai keadilan materiil.
Dengan demikian, baik melalui dikotomi kebenaran absolut dan kebenaran relatif maupun melalui ketegangan antara verbatim dan gist, proses peradilan selalu menjadi arena pergulatan epistemologis. Hakim tak hanya menimbang bukti, tetapi juga menimbang batas-batas dari apa yang dapat disebut sebagai kebenaran. Antara yang presisi dan yang substantif, antara yang dapat dibuktikan dan yang benar-benar terjadi, antara kata-kata dan makna yang tersembunyi di balik kata-kata itu sendiri.
2.
Epistemologi
Saksi dan Bukti
Upaya hakim untuk menemukan kebenaran di
tengah ketegangan antara idealitas dan realitas tidak hanya dibatasi oleh
kerangka prosedural hukum, tetapi juga oleh kerentanan manusiawi yang melekat
pada diri hakim itu sendiri. Sebagai subjek yang menafsirkan bukti, hakim tak
dapat sepenuhnya melepaskan diri dari berbagai bias kognitif yang bekerja di
bawah sadar dan berpotensi mengganggu objektivitas proses penilaian.
Kompleksitas epistemologis dalam
peradilan, bukan hanya soal keterbatasan metode atau alat bukti tetapi juga
soal bagaimana pikiran hakim memproses, menyaring dan membentuk keyakinan
terhadap suatu narasi.
Salah satu bias yang paling signifikan
adalah Illusory Truth Effect, sebagaimana dijelaskan dalam studi Krahé
(2025) dan Vellani dkk. (2023). Fenomena ini menunjukkan bahwa kebenaran dapat
terdistorsi hanya karena sebuah pernyataan sering diulang, repetisi menciptakan
rasa familiar dan familiaritas memberi ilusi kebenaran.
Dalam konteks hukum, mekanisme ini
menjadi ancaman serius terhadap objektivitas karena pengulangan narasi. Baik
melalui kesaksian yang disampaikan berkali-kali, pemberitaan media yang
tendensius maupun retorika salah satu pihak. Hal ini dapat memperkuat keyakinan
hakim, meskipun fondasi bukti objektifnya lemah.
Dengan kata lain, repetisi dapat
memanipulasi proses fact finding melalui jalur psikologis yang tidak
disadari sehingga menuntut hakim untuk memiliki kewaspadaan kognitif dan
kemampuan metacognition yang tinggi agar tidak terjerumus dalam jebakan
kemudahan pemrosesan informasi.
Selain itu, hakim juga menghadapi
kecenderungan bias negativitas, sebagaimana disinggung oleh Saki dan Hagen
(2024). Bias ini menggambarkan kecenderungan manusia untuk lebih terpengaruh
oleh informasi yang bersifat negatif dibanding yang positif atau netral.
Meskipun studi tersebut berangkat dari
konteks yang tampak sederhana yakni estimasi durasi pencarian parkir namun intuisinya
relevan di ruang sidang. Ketika hakim menilai kerugian, bahaya atau dampak
suatu perbuatan, terdapat kecenderungan untuk melebih-lebihkan aspek negatif
dari pengalaman korban.
Dalam perkara pidana, hal ini dapat
mempengaruhi persepsi atas tingkat keseriusan kejahatan. Dalam perkara perdata,
dapat mempengaruhi estimasi ganti rugi atas kerugian immateriil. Dampaknya
bukan sekadar bias kecil, tetapi dapat bergeser menjadi keputusan yang tidak
lagi sepenuhnya ditopang oleh obyektivitas hukum, melainkan oleh intensitas
emosional dari narasi negatif.
Dengan demikian, tantangan epistemologis hakim tidak hanya muncul dari keterbatasan hukum positif, tetapi juga dari lanskap psikologis batinnya sendiri. Ilusi kebenaran yang diciptakan repetisi dan kecenderungan untuk menonjolkan hal negatif menunjukkan bahwa proses mengadili bukan hanya soal menimbang bukti, tetapi juga soal menavigasi bias-bias halus yang membentuk cara seseorang memaknai realitas. Di titik inilah integritas kognitif menjadi prasyarat etis, sebuah kesadaran mendalam bahwa kebenaran yudisial harus terus diperjuangkan di tengah mekanisme psikologis yang dapat membelokkannya tanpa suara secara perlahan, halus tetapi menentukan.
3.
Peran
Intuisi dan Rasionalitas
Dimensi pencarian kebenaran dalam
peradilan tidak berhenti pada soal teknis pembuktian atau pergulatan kognitif
hakim semata, ia memasuki ruang yang lebih dalam yakni ruang normatif dan struktural,
di mana negara memikul kewajiban fundamental untuk memastikan terpenuhinya hak
atas kebenaran.
Dalam arsitektur Hak Asasi Manusia
internasional, Right to the Truth diakui sebagai hak otonom yang berdiri
sendiri sebagaimana ditegaskan Ferrer Mac.Gregor (2016). Hak ini memberikan
jaminan bagi individu dan masyarakat untuk mengetahui kebenaran peristiwa,
terutama ketika menyangkut pelanggaran HAM berat atau peristiwa yang mengancam
martabat manusia.
Pengakuan tersebut tidak hanya
menciptakan kewajiban negara secara umum, tetapi juga menempatkan hakim dalam
posisi normatif yang lebih tinggi. Hakim tidak sekadar berperan menentukan
kesalahan individual, tetapi juga mengemban mandat moral dan hukum untuk
memastikan bahwa kebenaran substantif diungkap sebagai bagian dari pemenuhan
hak dasar warga negara. Dengan demikian, fungsi hakim tidak lagi terbatas pada
aplikasi doktrin, tetapi meluas menjadi peran penjaga integritas historis dan
penjaga hak kolektif atas kebenaran.
Perspektif ini menemukan penguatan dalam
gagasan Robins dkk. (2022) mengenai pentingnya mengungkap kebenaran dalam
konteks keadilan struktural. Dalam studi mengenai Keadilan Transisional,
menegaskan bahwa pencarian kebenaran tidak cukup berhenti pada identifikasi
pelaku atau rekonstruksi faktual semata, ia harus berani menembus
lapisan-lapisan marginalisasi sistemik yang memungkinkan pelanggaran terjadi.
Artinya, hakim perlu memperluas lensa
penilaiannya dengan memasukkan faktor-faktor struktural, seperti kemiskinan,
ketimpangan, diskriminasi bahkan relasi kuasa yang membentuk lanskap sosial
dari sebuah peristiwa hukum. Dengan masuknya dimensi sosiologis ini, kebenaran
tidak lagi dimaknai sebagai apa yang terjadi, tetapi juga mengapa hal itu
mungkin terjadi dan bagaimana struktur yang tidak adil itu dapat diperbaiki.
Dalam kerangka inilah muncul gagasan
tentang kebenaran transformatif, sebuah orientasi yang menuntut agar proses
peradilan tidak hanya menyingkap fakta tetapi juga berkontribusi pada perubahan
sosial yang lebih adil. Kebenaran menjadi alat pencerahan yang membuka ruang
bagi pemulihan, reformasi struktural dan pencegahan pelanggaran di masa depan.
Dengan demikian, pencarian kebenaran berubah menjadi tugas etis yang tidak hanya mempertanggungjawabkan masa lalu, tetapi juga mengarahkan masa depan menuju tatanan hukum yang lebih bermartabat dan manusiawi.
Penutup
Proses
peradilan pada hakikatnya bukan sekadar arena penerapan norma, melainkan ruang
epistemologis tempat kebenaran diproduksi, diuji dan dilembagakan.
Hakim
berada pada posisi sentral sebagai subjek pengetahuan yang harus menavigasi
ketegangan antara kebenaran absolut yang diidealkan dan kebenaran yudisial yang
dibatasi oleh prosedur, alat bukti serta kerentanan kognitif manusiawi.
Distingsi
antara kebenaran prosedural dan kebenaran materiil menunjukkan bahwa putusan
pengadilan tidak pernah sepenuhnya bebas dari keterbatasan epistemik, sekalipun
mengikat secara normatif melalui adagium res judicata pro veritate habetur.
Pencarian
kebenaran dalam peradilan tidak hanya dipengaruhi oleh struktur hukum acara,
tetapi juga oleh bias kognitif, distorsi memori saksi, pengaruh repetisi narasi
serta peran intuisi dan nilai internal hakim. Hakim tidak dapat dipahami semata
sebagai logical machine, melainkan sebagai aktor reflektif yang bekerja
dalam persilangan rasionalitas, intuisi dan tanggung jawab etis.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, terutama melalui pengakuan Right to the Truth, fungsi hakim meluas dari penentu sengketa individual menjadi penjaga integritas kebenaran substantif dan martabat manusia. Oleh karena itu, kebenaran dalam peradilan idealnya tidak berhenti sebagai produk prosedural, tetapi diarahkan menjadi kebenaran transformatif yang mampu berkontribusi pada keadilan sosial dan pembaruan struktur hukum yang lebih manusiawi.
Langkah Konkrit
Diperlukan penguatan kesadaran epistemologis dalam praktik
peradilan, khususnya melalui pendidikan dan pelatihan hakim yang tidak hanya
menekankan aspek dogmatik hukum, tetapi juga literasi kognitif, psikologi
pembuktian dan refleksi filosofis tentang kebenaran. Kesadaran ini penting agar
hakim mampu mengenali dan mengendalikan bias-bias halus yang dapat memengaruhi
penilaian terhadap bukti dan kesaksian.
Hukum acara dan praktik pembuktian perlu dibuka secara
lebih reflektif untuk mengakomodasi pencarian kebenaran materiil tanpa
mengorbankan kepastian hukum. Pendekatan yang lebih sensitif terhadap perbedaan
antara detail literal dan makna substantif peristiwa dapat membantu hakim
menyeimbangkan ketertiban prosedural dengan keadilan yang hidup dalam kenyataan
sosial.
Membuat penelitian hukum untuk mengembangkan konsep kebenaran transformatif dalam konteks peradilan nasional, khususnya dengan mengaitkannya pada perlindungan HAM dan keadilan struktural. Peradilan tidak hanya menjadi tempat berakhirnya sengketa, tetapi juga menjadi ruang sunyi namun bermakna, tempat hukum belajar mendengarkan kenyataan dan kebenaran diperlakukan bukan sekadar sebagai hasil, melainkan sebagai tanggung jawab etis yang terus diperjuangkan. (ldr)
Daftar Pustaka:
Alabdulkareem, S. A (2013). Science, fact and absolute truth: Critical views of learning. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 93, 2100–2108.
Ferrer Mac-Gregor, E (2016). The Right to the Truth as an Autonomous Right under the Inter, American Human Rights System. Mexican Law Review, 9(1), 119–139.
Krahé, B (2025). Beware the truth effect, Why efforts to debunk rape myths may backfire. Journal of Criminal Justice, 98, 102409.
Langdon, J. A., Helgason, B. A., Qiu, J., & Effron, D. A (2024). It's Not Literally True, But You Get the Gist. How nuanced understandings of truth encourage people to condone and spread misinformation. Current Opinion in Psychology, 57, 101788.
Robins S., Gready, P.Aloui, A.Andrieu, K., Ben Hamza,H & Ferchichid W (2022). Transitional justice from the margins, Collective reparations and Tunisia's Truth and Dignity Commission. Political Geography, 94, 102565.
Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum
Vellani,
V., Zheng, S., Ercelik, D., & Sharot, T (2023). The illusory truth
effect leads to the spread of misinformation. Cognition, 236, 105421.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI