Cari Berita

Kaidah Hukum – Klausul Baku Tak Selalu Mengikat: Pelajaran dari Putusan Mahkamah Agung

William Edward Sibarani - Dandapala Contributor 2025-11-06 11:25:35
Dok. Ist.

Membeli kendaraan dengan fasilitas kredit sering kali disertai dengan perlindungan asuransi jiwa bagi debitur. Harapannya sederhana: bila musibah datang, keluarga tidak terbebani utang. Namun, bagaimana bila perusahaan asuransi justru menolak klaim dengan alasan riwayat penyakit yang disebut tidak dilaporkan?

Dalam sistem hukum Indonesia, polis asuransi merupakan perjanjian yang bersifat konsensual dan timbal balik antara penanggung dan tertanggung. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung akibat suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Kasus Posisi

Baca Juga: Klausul Non-Kompetisi Dalam Perjanjian Kerja: Apakah Sah Secara Hukum?

Penggugat asal atau termohon kasasi dalam hal ini adalah Siti Chotimah selaku istri dari Alm. Sarengat, pemegang asuransi jiwa atas kendaraan truk Mitsubishi FE 75 Super HDX PS 136 yang dibelinya melalui fasilitas kredit dari PT JACCS Mitra Pinasthika Mustika Finance Indonesia (JACCS MPMFI) Cabang Muaro Bungo dengan perjanjian pembiayaan tertanggal 6 Januari 2020 senilai Rp457.500.000,00 dengan tenor empat tahun. Sebagai syarat kredit, almarhum diwajibkan menjadi peserta asuransi jiwa di PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika, yang masih satu grup dengan perusahaan pembiayaan tersebut dengan masa berlaku selama empat tahun sejak 6 Januari 2020 hingga 6 Januari 2024.

Selama masa perjanjian, almarhum Sarengat menjalankan kewajiban pembayaran angsuran dan premi secara tertib. Namun pada 29 Maret 2021, ia meninggal dunia, yang kemudian dibuktikan dengan akta kematian resmi. Penggugat selaku istri sekaligus ahli waris segera mengajukan klaim asuransi ke PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika dengan melampirkan seluruh dokumen yang diperlukan, dan pengajuan itu diterima pada 5 April 2021. Alih-alih diproses, pihak perusahaan pembiayaan dan penanggung justru mengirimkan surat tertanggal 3 Mei 2021 yang menyatakan klaim tidak dapat ditindaklanjuti, dengan alasan almarhum memiliki riwayat penyakit diabetes yang tidak dilaporkan dalam formulir permohonan asuransi.

Menanggapi penolakan tersebut, Penggugat melalui kuasa hukumnya mengirimkan somasi pada 15 Juni 2021 agar pihak asuransi dan pembiayaan segera melaksanakan kewajiban pembayaran klaim dan menyerahkan BPKB kendaraan yang masih dikuasai Tergugat II. Namun, kedua pihak tetap bersikukuh menolak klaim dan bahkan menagih kembali sisa angsuran kredit yang belum lunas. Bagi Penggugat, tindakan tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menunjukkan kelalaian dan wanprestasi dari kedua tergugat yang seharusnya memberikan perlindungan finansial setelah meninggalnya debitur.

Atas dasar itu, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Muara Bungo dengan register perkara Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Mrb, menuntut agar kedua tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi dan diwajibkan membayar klaim asuransi jiwa sesuai polis, sekaligus menyerahkan BPKB kendaraan dalam keadaan tanpa beban.

Pertimbangan hukum

Pengadilan Tinggi Jambi dalam putusan Nomor 129/PDT/2022/PT JMB tanggal 14 November 2022 membatalkan putusan tingkat pertama dan menyatakan bahwa gugatan tidak prematur. Menurut majelis, Penggugat telah melakukan upaya perdamaian melalui surat-surat somasi yang tidak direspons oleh Tergugat. Selain itu, alasan penolakan klaim karena penyakit diabetes tidak beralasan, karena tertanggung telah melunasi premi dan tidak terbukti menyembunyikan penyakit secara sengaja.

Perkara ini berlanjut hingga tingkat kasasi, dimana Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 727 K/Pdt/2025 yang diputuskan tanggal 14 April 2025 menegaskan bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, karena penolakan klaim oleh pihak asuransi tidak dapat dibenarkan. Penyebab kematian tertanggung yang didasarkan pada keterangan keluarga maupun dokter tidak cukup untuk meniadakan kewajiban penanggung, selama tertanggung telah melaksanakan kewajiban membayar premi dan tidak terdapat indikasi penipuan.

Mahkamah juga menilai bahwa ketentuan dalam polis yang mengharuskan mediasi atau perdamaian sebelum menggugat tidak boleh menghalangi hak hukum tertanggung atau ahli waris untuk mengajukan gugatan, terutama bila telah terbukti dilakukan upaya penyelesaian sebelumnya. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Tinggi Jambi dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum maupun undang-undang, dan permohonan kasasi ditolak.

Implikasi Hukum

Putusan ini menegaskan prinsip perlindungan terhadap tertanggung sebagai pihak yang lemah dalam perjanjian asuransi.

Mahkamah Agung mempertegas bahwa:

  1. Kewajiban pembayaran premi adalah bukti pelaksanaan kewajiban utama tertanggung;
  2. Penolakan klaim tidak dapat dilakukan semata-mata karena adanya riwayat penyakit tanpa bukti bahwa tertanggung sengaja menutupi informasi tersebut;
  3. Klausul perdamaian atau mediasi dalam polis tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak gugatan atau menghalangi hak hukum tertanggung.

Dengan demikian, kaidah ini memperkuat asas keseimbangan dan good faith dalam hubungan hukum perasuransian serta memberikan pedoman bagi peradilan umum dalam menangani sengketa serupa di masa mendatang. (asn/snr/ldr)

Baca Juga: Klausul Arbitrase Jadi Penentu, PN Surabaya Nyatakan Tidak Berwenangan Mengadili

 

Sumber bacaan:

  • Putusan Mahkamah Agung Nomor 727 K/Pdt/2025 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 129/PDT/2022/PT JMB jo. Putusan Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Mrb;
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  • Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
  • Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1996;
  • Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…