Cari Berita

Redefinisi Etika dan Kebenaran Era Digital: Implikasi Terhadap Kepercayaan Publik

Ayu Cahyani Sirait-Hakim PN Pangkalan Balai - Dandapala Contributor 2025-10-15 08:05:30
Dok. Penulis.

Revolusi digital adalah gelombang transformasi tak terelakkan, ditandai dengan meluasnya internet dan pesatnya media sosial. Lebih dari sekadar inovasi teknologi yang mengubah struktur sosial dan cara manusia berinteraksi, mengonsumsi informasi serta memahami kebenaran.

Di tengah arus data yang cepat, batas antara fakta, opini dan disinformasi kian kabur, menandai lahirnya era post truth yang mengguncang dasar rasionalitas dan demokrasi.

Ar Razy & Zakaria menilai bahwa pemahaman manusia tentang kebenaran kini telah berubah. Memunculkan pertanyaan, siapa yang menentukan kebenaran di tengah berbagai narasi yang bersaing dan bagaimana publik menanggapinya ketika setiap orang dapat menjadi produsen sekaligus konsumen informasi.

Baca Juga: Etika Profesi Hakim dan Semiotika Ketidak-adilan

Fenomena ini diperparah oleh munculnya kebenaran voting, di mana validitas klaim ditentukan oleh jumlah like dan share ketimbang fakta. Norma kesopanan pun bergeser, pada 2020 netizen Indonesia dinilai paling tidak sopan se-Asia Pasifik.

Hal ini menunjukkan digitalisasi tak hanya memengaruhi arus informasi, tetapi juga nilai sosial dan etika.

Selain persoalan epistemologis, memunculkan dilema etis yang kompleks. Integritas informasi, tanggung jawab individu, kredibilitas institusi dan keadilan sosial kini terancam.

Penyebaran informasi palsu dapat membentuk persepsi publik dan mengikis nilai kejujuran, keadilan dan kepercayaan. Ketika masyarakat kehilangan kemampuan membedakan fakta dan fiksi, krisis etika pun tak terhindarkan, merusak kepercayaan sosial dan berpotensi menimbulkan perpecahan.

Pergeseran Paradigma Kebenaran Dari Esensi Faktual Menuju Konsensus Digital

Konsep kebenaran yang menjadi dasar epistemologi kini bergeser tajam di era digital, dahulu kebenaran bersifat objektif dan dapat diverifikasi, kini justru ditentukan oleh opini yang viral dan populer bukan bukti.

Fenomena bot, buzzer dan multi akun melahirkan simulacra tiruan tanpa sumber asli. Dunia maya telah menyatu dengan dunia nyata, menciptakan hiperrealitas yang mengaburkan batas antara fakta dan ilusi. Kebenaran pun berubah menjadi performa, diukur lewat popularitas menjadi kebenaran voting.

Rendahnya etika dan literasi digital menegaskan lemahnya verifikasi informasi, algoritma media sosial menciptakan filter bubble dan echo chamber yang mempersempit pandangan dan menumpulkan nalar kritis, hingga yang paling viral dianggap benar.

Hal inilah yang melahirkan era post truth, ketika emosi dan identitas kelompok mengalahkan fakta. Selain itu hoaks mengikis kemampuan publik membedakan fakta dari kepalsuan, mengancam demokrasi.

Kebenaran kini menjadi komoditas populer, sementara kejujuran dan integritas terpinggirkan. Demi sensasi, banyak konten melanggar privasi dan memperparah misinformasi, merusak kepercayaan sosial.

Karena itu, individu harus aktif memverifikasi dan platform digital wajib menjamin keberagaman pandangan serta kebenaran faktual, mengabaikannya berarti melanggar etika sosial.

Tanpa moralitas, hukum hanya menjadi alat mekanik dan represif. Terlebih pergeseran kebenaran menjadi sekadar hasil voting, mencerminkan krisis moral hukum itu sendiri.

Krisis Kepercayaan Publik dan Delegitimasi Sumber Informasi Resmi

Pergeseran konstruksi kebenaran berjalan seiring dengan krisis kepercayaan publik terhadap institusi yang selama ini berperan sebagai penjaga kebenaran. Kepercayaan sebagai fondasi sosial dan politik kian terkikis ketika informasi viral dari sumber tak terverifikasi lebih dipercaya daripada pernyataan lembaga resmi.

Akibatnya, otoritas institusional terhadap kebenaran mengalami delegitimasi di mata publik. Akar masalahnya terletak pada kekuatan narasi digital yang tak terverifikasi dalam melemahkan kredibilitas sumber resmi.

Secara etis, ini mencerminkan kegagalan berlapis.

Pertama, etika informasi dilanggar ketika tuduhan palsu disebar tanpa dasar, merusak kepercayaan publik dan stabilitas sosial.

Kedua, krisis etika penerimaan muncul karena banyak orang menelan informasi sesuai prasangka tanpa verifikasi, menunjukkan lemahnya literasi digital dan tanggung jawab moral.

Ketiga, meski klarifikasi resmi disampaikan, derasnya disinformasi membuat publik lebih percaya pada narasi yang sejalan dengan keyakinannya. Kebenaran institusional kehilangan otoritasnya karena batas antara sumber kredibel dan palsu kian kabur, bahkan kesepakatan atas fakta makin rapuh. Kebenaran berubah menjadi arena perebutan, di mana kebenaran voting sering mengalahkan kebenaran esensial, menandai kemunduran etis yang serius.

Implikasi terhadap Sistem Penegakan Hukum

Pergeseran makna kebenaran dan turunnya kepercayaan publik tampak jelas dalam penegakan hukum yang seharusnya berpijak pada keadilan, objektivitas dan fakta. Fenomena No Viral, No Justice menunjukkan kenyataan baru, perkara yang viral di media sosial sering mendapat perhatian cepat dan dukungan publik. Di satu sisi, viralitas bisa menjadi katalis akuntabilitas dan memberi ruang bagi suara marjinal.

Butar-Butar menegaskan pentingnya hukum yang lentur dan adaptif terhadap dinamika sosial serta nilai moral, namun ketergantungan pada viralitas menimbulkan dilema etis.

Tekanan publik dapat mengaburkan proses hukum dan menggiring putusan berdasarkan emosi, bukan bukti. Hal ini mengancam independensi peradilan dan melahirkan trial by media, ketika popularitas menggantikan kebenaran substantif.

Sejarah memperingatkan bahaya keadilan yang tunduk pada opini publik, seperti kasus George Stinney Jr. (AS, 1944) seorang anak berusia 14 tahun yang dieksekusi mati tanpa bukti, akibat prasangka rasial dan baru direhabilitasi 70 tahun kemudian.

Kasus ini menunjukkan bagaimana opini publik dapat menggantikan fakta. Fenomena serupa kini muncul ketika hukum terjebak pada popularitas, kehilangan keseimbangan antara kepastian dan keadilan substantif.

Penutup

Era digital menggeser makna kebenaran dari fakta objektif menjadi konsensus digital yang ditentukan viralitas dan algoritma. Pergeseran ini memicu krisis kepercayaan pada institusi dan informasi resmi, diperburuk oleh rendahnya literasi serta etika digital. Hoaks pun mudah menyebar, memecah masyarakat. Dalam ranah hukum, muncul dilema No Viral, No Justice. Viralitas kadang mendorong akuntabilitas, namun berisiko menukar bukti faktual dengan opini publik. Ketika due process dikorbankan demi citra, integritas peradilan terancam.

Menghadapi redefinisi etika dan kebenaran di era digital, diperlukan strategi terpadu yang mencakup peningkatan literasi digital kritis agar masyarakat mampu membedakan fakta, opini dan disinformasi melalui verifikasi sumber, serta pemahaman terhadap bias dan algoritma media sosial. Kerangka etika informasi harus diperkuat, menuntut tanggung jawab individu atas kebenaran informasi yang disebarkan. Memastikan platform digital mendukung keberagaman serta diskusi sehat, bukan sekadar engagement. Dalam konteks hukum, independensi peradilan wajib dijaga dari tekanan viralitas dengan putusan berlandaskan bukti dan prinsip due process. Karena itu, penguatan literasi dan etika digital menjadi kunci menjaga kebenaran, keadilan dan kohesi sosial. (ldr)

 

Daftar Pustaka:

Ar Razy,M & Zakaria,M.M. (2021). Truth & Post Truth. Sosfilkom,15(02),1-35.

Butar-Butar,N. (2022). Epistemologi Perspektif Barat dan Islam. Jurnal Ilmiah Humantech,1(2),240-246.

Efendi,T.,Fatimah,S & Fitrisia,A. (2024). Pemahaman Kebenaran Ilmiah: Definisi, Teori dan Karakteristiknya. Jurnal Sosial Humaniora Sigli,7(1),411-422.

Keyes,R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St. Martin's Press.

Kokodaka,S. (2025). Hukum Transendental dan Implikasi Etika dalam Perkembangan Dunia Digital. Jurnal Hukum Justisia,14(1),1-21.

Noviriska,N & Tobing,C.I. (2022). Penyuluhan Hukum Etika Digital Penggunaan Media Sosial Bagi Siswa SMA Negeri 19 Bekasi. Abdi Bhara:Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat,1(2),94-100.

Nugroho,S.V., Aryanto,A & Perdana,N.J. (2024). Analisis Dampak Pelanggaran Privasi Dan Etika Digital Melalui Konten Tiktok: Studi Literatur. Jurnal Serina Sains.2(1),183-194.

Prasetyo,D.A. dkk (2024). Pentingnya Etika Siber pada Era Digital. Nusantara Journal of Multidisciplinary Science,2(5),1130-1137.

Sibuea,H.P & Fitriana,D. (2022). Penyuluhan Hukum Etika Digital Bagi Pengguna Media Sosial di SMK 1 Pelayaran Mundu, Cirebon. Empowerment: Jurnal Pengabdian Masyarakat,5(3),248-257.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Surajiyo,S & Dhika,H. (2023). Teori Kebenaran dalam Filsafat: Aplikasinya mengukur kebenaran dalam Fenomena Penyebaran Hoax pada Media Sosial,167-176.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI