Revolusi digital adalah gelombang transformasi
tak terelakkan, ditandai dengan meluasnya internet dan pesatnya media sosial.
Lebih dari sekadar inovasi teknologi yang mengubah struktur sosial dan cara
manusia berinteraksi, mengonsumsi informasi serta memahami kebenaran.
Di tengah arus data yang cepat, batas antara fakta, opini
dan disinformasi kian kabur, menandai lahirnya era post truth yang
mengguncang dasar rasionalitas dan demokrasi.
Ar Razy & Zakaria menilai bahwa pemahaman manusia
tentang kebenaran kini telah berubah. Memunculkan pertanyaan, siapa yang
menentukan kebenaran di tengah berbagai narasi yang bersaing dan bagaimana
publik menanggapinya ketika setiap orang dapat menjadi produsen sekaligus
konsumen informasi.
Baca Juga: Etika Profesi Hakim dan Semiotika Ketidak-adilan
Fenomena ini diperparah oleh munculnya kebenaran voting,
di mana validitas klaim ditentukan oleh jumlah like dan share
ketimbang fakta. Norma kesopanan pun bergeser, pada 2020 netizen
Indonesia dinilai paling tidak sopan se-Asia Pasifik.
Hal ini menunjukkan digitalisasi tak hanya memengaruhi arus
informasi, tetapi juga nilai sosial dan etika.
Selain persoalan epistemologis, memunculkan dilema
etis yang kompleks. Integritas informasi, tanggung jawab individu, kredibilitas
institusi dan keadilan sosial kini terancam.
Penyebaran
informasi palsu dapat membentuk persepsi publik dan mengikis nilai kejujuran,
keadilan dan kepercayaan. Ketika masyarakat kehilangan kemampuan membedakan
fakta dan fiksi, krisis etika pun tak terhindarkan, merusak kepercayaan sosial
dan berpotensi menimbulkan perpecahan.
Pergeseran Paradigma Kebenaran Dari Esensi Faktual Menuju Konsensus Digital
Konsep kebenaran yang menjadi dasar
epistemologi kini bergeser tajam di era digital, dahulu kebenaran bersifat
objektif dan dapat diverifikasi, kini justru ditentukan oleh opini yang viral
dan populer bukan bukti.
Fenomena bot, buzzer dan multi
akun melahirkan simulacra tiruan tanpa sumber asli. Dunia maya telah
menyatu dengan dunia nyata, menciptakan hiperrealitas yang mengaburkan
batas antara fakta dan ilusi. Kebenaran pun berubah menjadi performa, diukur
lewat popularitas menjadi kebenaran voting.
Rendahnya etika dan literasi digital menegaskan
lemahnya verifikasi informasi, algoritma media sosial menciptakan filter
bubble dan echo chamber yang mempersempit pandangan dan menumpulkan
nalar kritis, hingga yang paling viral dianggap benar.
Hal inilah yang melahirkan era post truth,
ketika emosi dan identitas kelompok mengalahkan fakta. Selain itu hoaks
mengikis kemampuan publik membedakan fakta dari kepalsuan, mengancam demokrasi.
Kebenaran kini menjadi komoditas
populer, sementara kejujuran dan integritas terpinggirkan. Demi sensasi, banyak
konten melanggar privasi dan memperparah misinformasi, merusak
kepercayaan sosial.
Karena itu, individu harus aktif
memverifikasi dan platform digital wajib menjamin keberagaman pandangan serta
kebenaran faktual, mengabaikannya berarti melanggar etika sosial.
Tanpa moralitas, hukum hanya menjadi
alat mekanik dan represif. Terlebih pergeseran kebenaran menjadi sekadar
hasil voting, mencerminkan krisis moral hukum itu sendiri.
Krisis Kepercayaan Publik dan
Delegitimasi Sumber Informasi Resmi
Pergeseran konstruksi kebenaran berjalan
seiring dengan krisis kepercayaan publik terhadap institusi yang selama ini
berperan sebagai penjaga kebenaran. Kepercayaan sebagai fondasi sosial dan
politik kian terkikis ketika informasi viral dari sumber tak
terverifikasi lebih dipercaya daripada pernyataan lembaga resmi.
Akibatnya, otoritas institusional
terhadap kebenaran mengalami delegitimasi di mata publik. Akar masalahnya
terletak pada kekuatan narasi digital yang tak terverifikasi dalam melemahkan
kredibilitas sumber resmi.
Secara etis, ini mencerminkan kegagalan
berlapis.
Pertama, etika informasi dilanggar ketika
tuduhan palsu disebar tanpa dasar, merusak kepercayaan publik dan stabilitas
sosial.
Kedua, krisis etika penerimaan muncul karena
banyak orang menelan informasi sesuai prasangka tanpa verifikasi, menunjukkan
lemahnya literasi digital dan tanggung jawab moral.
Ketiga, meski klarifikasi resmi disampaikan,
derasnya disinformasi membuat publik lebih percaya pada narasi yang sejalan
dengan keyakinannya. Kebenaran institusional kehilangan otoritasnya karena
batas antara sumber kredibel dan palsu kian kabur, bahkan kesepakatan atas
fakta makin rapuh. Kebenaran berubah menjadi arena perebutan, di mana kebenaran
voting sering mengalahkan kebenaran esensial, menandai kemunduran
etis yang serius.
Implikasi terhadap Sistem
Penegakan Hukum
Pergeseran makna kebenaran dan turunnya
kepercayaan publik tampak jelas dalam penegakan hukum yang seharusnya berpijak
pada keadilan, objektivitas dan fakta. Fenomena No Viral, No Justice
menunjukkan kenyataan baru, perkara yang viral di media sosial sering
mendapat perhatian cepat dan dukungan publik. Di satu sisi, viralitas
bisa menjadi katalis akuntabilitas dan memberi ruang bagi suara marjinal.
Butar-Butar menegaskan pentingnya hukum
yang lentur dan adaptif terhadap dinamika sosial serta nilai moral, namun
ketergantungan pada viralitas menimbulkan dilema etis.
Tekanan publik dapat mengaburkan proses
hukum dan menggiring putusan berdasarkan emosi, bukan bukti. Hal ini mengancam independensi
peradilan dan melahirkan trial by media, ketika popularitas menggantikan
kebenaran substantif.
Sejarah memperingatkan bahaya keadilan
yang tunduk pada opini publik, seperti kasus George Stinney Jr. (AS, 1944) seorang
anak berusia 14 tahun yang dieksekusi mati tanpa bukti, akibat prasangka rasial
dan baru direhabilitasi 70 tahun kemudian.
Kasus ini menunjukkan bagaimana opini
publik dapat menggantikan fakta. Fenomena serupa kini muncul ketika hukum
terjebak pada popularitas, kehilangan keseimbangan antara kepastian dan keadilan
substantif.
Penutup
Era digital menggeser makna kebenaran
dari fakta objektif menjadi konsensus digital yang ditentukan viralitas
dan algoritma. Pergeseran ini memicu krisis kepercayaan pada institusi
dan informasi resmi, diperburuk oleh rendahnya literasi serta etika digital. Hoaks
pun mudah menyebar, memecah masyarakat. Dalam ranah hukum, muncul dilema No
Viral, No Justice. Viralitas kadang mendorong akuntabilitas, namun
berisiko menukar bukti faktual dengan opini publik. Ketika due process
dikorbankan demi citra, integritas peradilan terancam.
Menghadapi redefinisi etika dan
kebenaran di era digital, diperlukan strategi terpadu yang mencakup peningkatan
literasi digital kritis agar masyarakat mampu membedakan fakta, opini dan
disinformasi melalui verifikasi sumber, serta pemahaman terhadap bias dan
algoritma media sosial. Kerangka etika informasi harus diperkuat, menuntut
tanggung jawab individu atas kebenaran informasi yang disebarkan. Memastikan platform
digital mendukung keberagaman serta diskusi sehat, bukan sekadar engagement.
Dalam konteks hukum, independensi peradilan wajib dijaga dari tekanan viralitas
dengan putusan berlandaskan bukti dan prinsip due process. Karena itu,
penguatan literasi dan etika digital menjadi kunci menjaga kebenaran, keadilan
dan kohesi sosial. (ldr)
Daftar Pustaka:
Ar Razy,M &
Zakaria,M.M. (2021). Truth & Post Truth.
Sosfilkom,15(02),1-35.
Butar-Butar,N.
(2022). Epistemologi Perspektif Barat dan Islam. Jurnal Ilmiah
Humantech,1(2),240-246.
Efendi,T.,Fatimah,S
& Fitrisia,A. (2024). Pemahaman Kebenaran Ilmiah: Definisi, Teori dan
Karakteristiknya. Jurnal Sosial Humaniora Sigli,7(1),411-422.
Keyes,R. (2004). The
Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St. Martin's
Press.
Kokodaka,S.
(2025). Hukum Transendental dan Implikasi Etika dalam Perkembangan Dunia
Digital. Jurnal Hukum Justisia,14(1),1-21.
Noviriska,N &
Tobing,C.I. (2022). Penyuluhan Hukum Etika Digital Penggunaan Media Sosial Bagi
Siswa SMA Negeri 19 Bekasi. Abdi Bhara:Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat,1(2),94-100.
Nugroho,S.V.,
Aryanto,A & Perdana,N.J. (2024). Analisis Dampak Pelanggaran Privasi Dan
Etika Digital Melalui Konten Tiktok: Studi Literatur. Jurnal Serina Sains.2(1),183-194.
Prasetyo,D.A. dkk
(2024). Pentingnya Etika Siber pada Era Digital. Nusantara Journal of
Multidisciplinary Science,2(5),1130-1137.
Sibuea,H.P &
Fitriana,D. (2022). Penyuluhan Hukum Etika Digital Bagi Pengguna Media Sosial
di SMK 1 Pelayaran Mundu, Cirebon. Empowerment: Jurnal Pengabdian
Masyarakat,5(3),248-257.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Surajiyo,S &
Dhika,H. (2023). Teori Kebenaran dalam Filsafat: Aplikasinya mengukur kebenaran
dalam Fenomena Penyebaran Hoax pada Media Sosial,167-176.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI