Cari Berita

Kasus Anak Usaha Charoen Pokphand: Analisis Kewenangan KPPU dan Implikasinya

Dharma Setiawan Negara - Dandapala Contributor 2025-10-29 08:00:22
Dok. Penulis.

Industri peternakan ayam di Indonesia merupakan sektor strategis yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, terutama dalam penyediaan protein hewani bagi masyarakat. Namun, praktik bisnis yang tidak sehat dapat mengganggu persaingan dan merugikan pelaku usaha kecil.

Salah satu kasus menonjol adalah investigasi terhadap Charoen Pokphand (CP) Indonesia, anak perusahaan agribisnis asal Thailand, yang dituduh melakukan monopoli di pasar ayam broiler. Kasus ini dimulai pada 2013 oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan menimbulkan perdebatan mengenai kewenangan lembaga tersebut, serta keterkaitannya dengan undang-undang lain seperti UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta UU No. Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 

Monopoli

Baca Juga: Kasus Google Didenda Rp 202 Miliar Bergulir ke PN Jakpus

Charoen Pokphand (CP) Group merupakan perusahaan multinasional yang mendominasi rantai pasok ayam broiler di Indonesia melalui integrasi vertikal, mulai dari produksi pakan, bibit ayam, hingga pemotongan dan penjualan. Pada 2013, KPPU menerima laporan dari peternak kecil dan asosiasi terkait bahwa CP menguasai sekitar 70-80% pangsa pasar, yang diduga melanggar Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 tentang monopoli.

Tuduhan utama meliputi penetapan harga yang tidak adil, pembatasan akses pesaing ke pasar, dan kontrak yang merugikan peternak kecil. Kasus ini mencapai puncaknya pada 2014 ketika KPPU menjatuhkan denda sebesar Rp 1,2 triliun kepada CP Indonesia. Melalui proses banding di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, denda tersebut dikurangi menjadi Rp 300 miliar, dengan alasan bahwa praktik integrasi vertikal CP dianggap sebagai efisiensi bisnis, bukan monopoli mutlak.

Kewenangan KPPU dan Analisis UU Terkait

Isu menarik dalam kasus ini adalah apakah KPPU memiliki kewenangan penuh untuk menangani masalah ini. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, KPPU secara eksplisit berwenang untuk menyelidiki, memutuskan, dan menjatuhkan sanksi atas praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Dalam kasus CP, KPPU berpendapat bahwa dominasi pasar oleh satu entitas dapat menghambat persaingan, sehingga putusan denda dikeluarkan.

Namun, kasus ini juga dikaji dari sudut pandang UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang menekankan kemitraan antara perusahaan besar dan pelaku usaha kecil. Aspek ini relevan karena banyak peternak kecil bergantung pada kontrak dengan CP, dan tuduhan monopoli bisa dianggap sebagai pelanggaran prinsip kemitraan yang adil. Meskipun UU UMKM lebih diatur oleh Kementerian Koperasi dan UKM, KPPU dapat mempertimbangkan dampaknya terhadap persaingan.

Selain itu, jika ada elemen lingkungan seperti dampak peternakan terhadap ekosistem (misalnya, limbah ayam), UU No. Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bisa menjadi pertimbangan tambahan, meskipun tidak menjadi fokus utama. Secara keseluruhan, kewenangan KPPU tidak terbantahkan karena kasus ini berpusat pada pelanggaran persaingan, bukan aspek kemitraan atau lingkungan secara eksklusif.

Implikasi Kasus

Putusan KPPU mendorong persaingan yang lebih sehat, meskipun CP tetap mendominasi pasar. Bagi peternak kecil, ini memberikan perlindungan dari eksploitasi, tetapi juga menimbulkan risiko ketidakstabilan harga. Secara hukum, kasus ini memperkuat peran KPPU sebagai penjaga persaingan, namun menunjukkan tantangan dalam membuktikan monopoli di industri dengan integrasi vertikal yang kompleks. Perdebatan tentang kewenangan juga menggarisbawahi perlunya koordinasi antarlembaga, seperti antara KPPU, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Koperasi, untuk menghindari tumpang tindih regulasi.

Kesimpulan

Kasus Charoen Pokphand dalam industri peternakan ayam menunjukkan kompleksitas persaingan usaha di Indonesia, di mana praktik integrasi vertikal oleh perusahaan besar dapat dianggap sebagai monopoli yang merugikan pesaing kecil. KPPU memiliki kewenangan penuh untuk menangani kasus ini berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, meskipun kajian tambahan terhadap UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

Putusan denda yang dikurangi menjadi Rp 300 miliar mencerminkan keseimbangan antara penegakan hukum dan efisiensi bisnis. Secara keseluruhan, kasus ini menegaskan pentingnya regulasi yang ketat untuk menjaga keseimbangan antara inovasi perusahaan dan perlindungan pelaku usaha kecil, serta mendorong industri yang lebih kompetitif dan berkelanjutan.

Baca Juga: PN Jakpus Kuatkan Putusan KPPU Soal Proyek Renovasi Sekolah di Riau

Saran

Perkuat kapasitas investigasi dengan teknologi data untuk mendeteksi monopoli lebih akurat, terutama di sektor agribisnis yang kompleks. Lakukan kajian mendalam terhadap integrasi vertikal untuk membedakan antara efisiensi dan praktik tidak sehat. Tingkatkan koordinasi antarlembaga melalui pembentukan forum bersama antara KPPU, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Koperasi untuk mengintegrasikan UU Persaingan Usaha dengan UU UMKM, guna mencegah konflik yurisdiksi dan mempromosikan kemitraan yang adil.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI