Lilik Mulyadi adalah salah satu hakim yang haus akan pengetahuan. Ia yang kerap dipanggil Profesor oleh sebagian orang, namun yang jelas beliau telah menyandang gelar tertinggi bidang akademik doktor ilmu hukum. Meskipun demikian, Lilik memiliki sisi yang berbeda, romantis dan senantiasa menggunakan pendekatan humanis.
Satu kisah menarik pernah terjadi pada dirinya, suatu ketika pernah dikejar massa terkait perkara para buruh yang menuntut pembayaran uang pesangon PHK dan perkaranya disidangkan di PHI Jakarta Pusat, sementara para buruh tersebut ada yang bekerja di Jakarta, Bogor, dan Tangerang. Tentunya saja Lilik tidak bisa mengeluarkan putusan seperti itu. Pasalnya, Bogor dan Tengerang bukan lagi wilayah yuridiksi PHI Jakarta Pusat.
Saat itu, Lilik sampai dikejar massa, tidak ada yang dapat dilakukannya saat itu selain melarikan diri dan bersembunyi. Akhirnya Lilik memutuskan bersembunyi di atas genteng salah satu ruangan kantor pengadilan. Dalam persembunyiannya, dia merayap diatas atap ruang demi ruang di pengadilan itu.
Baca Juga: In Memoriam Lilik Mulyadi: Penulis, Akademisi, dan Sang Pengadil
Lilik merenungi nasibnya, dan mengira, garis tangan menyiratkan sebagai akhir hidupnya. Tidak kurang satu jam dia merenung di bubungan kantor pengadilan. Beruntunglah, ada seorang petugas kebersihan membantunya untuk melarikan diri, loncat dari atap gedung dan mendapati taksi yang mengantarkannya ke Jakarta Pusat.
Belum lagi pernah bertugas di PN Kandangan, Kalimantan Selatan, ia pernah mengabulkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum dari Tukang Becak lawan Pemerintah Daerah, sehingga dimusuhi para penguasa dan birokrat daerah itu.
Ia menyadari, menjalankan profesi sebagai hakim tidaklah mudah. Tuntutan dan nilai kebenaran berbagai pihak selalu berbeda. Bukan hanya perkara perampasan harta hingga miliaran rupiah, pencurian sandal saja bisa diperkarakan hingga ke pengadilan. Dari pengalaman dan atas dorongan nuraninya, dia belajar. Selain positivistik, seorang hakim juga harus progresif karena bagaimanapun hukum itu mengabdi kepada manusia dan bukan sebaliknya manusia mengabdi kepada hukum. Kepada hakimlah, masyarakat menaruh harapan adanya putusan yang menghadirkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Cinta Literasi dan Hakim 25 Buku
Kebiasaan Lilik dalam menyisipkan untaian puisi dalam beberapa putusannya, sebagaimana dalam alunan puisi pada putusan perkara tindak pidana terorisme sewaktu bertugas di PN Denpasar, Bali, berikut alunan puisinya:
Sang Pencipta
andai dalam kehidupan abadi
hanya mengizinkan sekali janji surgawi
aku akan memohon setulus hati
“Aku dalam pelukan ibu
ibu dalam biduk kecil
biduk dalam lautan penuh cahaya rembulan”
Perihal buku, tidak tangung-tanggung ada 25 buku tentang hukum sudah ditulis Lilik selama periode 1997 hingga 2012. Sebut saja di antaranya, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya. Buku ini diterbitkan pada 2010 oleh salah satu penerbit di Bandung, Jawa Barat. Tuntutan Provisionil dan Uang Paksa, Dwangsom, Dalam Hukum Acara Perdata, diterbitkan bulan Agustus 2012 yang lalu. Begitu berartinya puisi, dalam halaman depan setiap bukunya, Lilik selalu menyisipkan puisinya.
Hidup Tak Seindah Puisi
Karier dan kehidupan ekonomi Lilik tidak seindah puisi- puisinya. Meski demikian, ia percaya akan takdir yang sudah disuratkan Sang Pencipta untuknya seperti yang tergores di garis tangannya. Dia meyakini setiap orang telah memiliki jalan hidupnya sendiri. Masalah lain yang muncul kemudian hanya soal kerelaan seseorang untuk menjalaninya. "Saya percaya pada garis tangan. Orang pintar tidak akan hidup susah," demikian keyakinannya.
Dia tidak mungkin akan lupa, pada 1970-an, ia harus perabot rumah tangga (kelontong), Hidup begitu keras pada Lilik berkeliling kampung pada pukul dua dini hari untuk berjualan kecil, hingga air bersih pun dia tidak punya.
Setelah berjualan di pagi buta, dia bersiap menata dan mengejar mimpinya di sekolah. Pagi pukul tujuh, dia harus tiba di sekolah. Sepulang sekolah, dia kembali menjajakan dagangannya berkeliling kampung. Perjuangan itu harus dilewatinya selama masa sekolahnya di tingkat SD, SMP, hingga SMU.
Lulus dari SMP, 1977, peraih juara catur ini memutuskan untuk berhenti sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Ia tahu betul, sang ayah pasti akan mengalami kesulitan untuk membiayai sekolahnya. Karena itulah, Lilik memohon izin pada sang ayah berhenti sekolah untuk menjalankan bisnis dan bermain catur saja.
Ternyata, niat itu bukan gagasan yang baik di mata ayahnya. Lilik dimarahi. Maka, Lilik pun masih dapat melenggang ke pendidikan menengah atas. Tapi, nasib baik tidak menyertainya setelah lulus SMA. Pada 1980 Lilik lulus dan diterima di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Namun, sang bapak tidak punya uang untuk membayar biaya kuliah yang saat itu sebesar Rp 30 ribu. Uang sebesar itu baru tersedia enam bulan setelah perkuliahan berjalan.
Kemudian, seiring dengan berjalannya waktu, setelah lulus S1, dia melanjutkan studi di program pascasarjana (S2). Dia menyelesaikan program ini lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Tak puas sebagai sarjana S2, dia mengambil program doktor (S3) di Universitas Padjadjaran, Bandung dan diselesaikan dalam waktu dua tahun dengan predikat cumlaude. Indeks prestasinya 3,97.
Semangat Menularkan Ilmu dan Widyaiswara
Lilik pun mengeraskan hati dari pandangan orang yang menilai bahwa kesederhanaannya hanya pura-pura. Banyak pihak tidak percaya bahwa hakim itu bisa hidup sederhana, bahkan faktanya banyak yang miskin. Apalagi setelah tahu bahwa hakim adalah jabatan negara. Karena itu seorang semestinya tidak hidup miskin dan pas-pasan sebagaimana yang dialami Lilik.
Lilik berpendapat, seorang hakim memang harus disejahterakan. Baginya, hakim harus selalu menjaga integritas, berani memutuskan perkara yang ditangani sesuai hati nuraninya. Gaji hakim yang pas-pasan, menurut Lilik, sangat rawan dimanfaatkan oleh penyuap untuk memenangkan perkara. Hakim yang miskin (relatif) lebih mudah digoda dan diiming- imingi sejumlah uang untuk memainkan hukum.
Oleh sebab itu, menurut Lilik, akan lebih baik jika gaji hakim disesuaikan dengan gaji pejabat negara. Tunjangan hakim juga harus disesuaikan dengan wilayah tugas, senioritas dan perkara yang ditanganinya. Untuk mengurangi ketergantungan pada keluarganya, Lilik pun mengajar di beberapa perguruan tinggi. Selain dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga, dengan mengajar, Lilik bisa berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman. Inilah panggilan hidup Lilik.
Ia tercatat sebagai pengajar di Universitas Jayabaya Jakarta, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Universitas Merdeka dan Universitas Muhammadiyah Malang dan menjadi dosen, penguji tamu dan co-promotor pada program magister (S2) maupun program doktor (S3) di beberapa universitas lain.
Jabatan terakhir yang beliau emban, selain menjadi Hakim Yustisial pada Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, beliau menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu. Namun, belum sampai selesai menuntaskan tugasnya, beliau telah dipanggil oleh Sang Pencipta.
Semuanya telah ditulis langit
Hari lahir, hidup dan cinta manusia
Garis tangan yang tertulis di telapak
Adalah keterbatasan manusia
Dalam hidup dan kehidupan
Tapi mengapa manusia enggan merenung
Mungkin akan bisa sampai di batas cakrawala:
"Baru merasa mendapatkan tanpa perlu meminta
Baru tersadar ketika semuanya telah berlalu.."
Mempermainkan garis tangan manusia
(Semuanya Terserah Langit, Lilik Mulyadi)
Terimakasih YM Bapak Lilik Mulyadi, atas dedikasi dan teladannya, jasadmu mungkin tiada di dunia, tapi namamu kan terkenang sepanjang masa. (snr/ldr)
Baca Juga: Ketua PT Bengkulu Sebut KUHP Belanda Bertumpu Balas Dendam, Tepat Diganti
Daftar Pustaka:
Komisi Yudisial, 2012, Hakim Menjaga Kehormatan di tengah Cercaan: Kisah-Kisah Hakim Inspiratif, Penerbit Komisi Yudisial, Jakarta Pusat. (SNR/LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI