Sistem
hukum pidana di Indonesia telah lama berlandaskan pada Wetboek van
Strafrecht (WvS) yang merupakan warisan kolonial Belanda. Setelah puluhan tahun,
dengan menyesuaikan perkembangan masyarakat modern, prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia, dan tujuan pemidanaan yang lebih progresif, maka dibentuk
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab-Kitab Undang
Hukum Pidana (KUHP Nasional) sebagai penanda babak baru dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
Salah
satu fokus utama dalam reformasi ini adalah pergeseran paradigma dalam
penjatuhan pidana. Jika pada KUHP Lama cenderung menitikberatkan pada aspek
retributif dan kebebasan hakim yang sangat luas dalam menentukan berat
ringannya pidana, maka KUHP Nasional menekankan pada upaya tercapainya tujuan
pemidanaan yang komprehensif (rehabilitasi, perlindungan masyarakat, dan
pencegahan).
Dalam praktik peradilan zaman KUHP Lama, sering kali muncul permasalahan inkonsistensi putusan. Kasus-kasus yang memiliki unsur-unsur material yang serupa, tetapi diputus berbeda oleh hakim yang berbeda. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa ketidakadilan dalam masyarakat.
Baca Juga: Antinomi Hukum Tujuan Pemidanaan dan Pidana Penjara Pengganti dalam KUHP Baru
Ketiadaan pedoman
tertulis yang mengikat tentunya menjadi celah bagi diskresi hakim yang
berlebihan. Menjawab kebutuhan tersebut, KUHP Nasional secara eksplisit
memperkenalkan pedoman pemidanaan sebagai salah satu elemen penting dalam
menentukan sanksi. Pengaturan ini diurai dalam Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional
yang menentukan “Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:
a.
Bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
b.
Motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
c.
Sikap batin pelaku Tindak Pidana;
d.
Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan
atau tidak direncanakan;
e.
Cara melakukan Tindak Pidana;
f.
Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak
Pidana;
g.
Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi
pelalu Tindak Pidana;
h.
Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak
Pidana;
i.
Pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga
Korban;
j.
Pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban; dan/atau
k.
Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Adanya
kata wajib dalam pasal ini menarik perhatian karena memberi dimensi
imperatif yang kuat terhadap pedoman pemidanaan. Hadirnya kewajiban ini pula menimbulkan
pertanyaan “seperti apa makna dan implikasi hukum dari kata wajib tersebut
dalam konteks diskresi hakim? Serta apa konsekuensi hukum yang timbul apabila
hakim tidak melaksanakan kewajiban untuk memedomani hal tersebut?
Sifat
Norma Hukum: Imperatif dan Fakultatif
Menurut
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto norma hukum dibagi menjadi 2 (dua)
sifat utama, yaitu Imperatif dan Fakultatif. Imperatif berarti perintah yang
secara apriori harus ditaati baik berupa suruhan maupun larangan, sedangkan
Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib dipatuhi. (1) Sifat
Imperatif dalam norma hukum biasa disebut dengan memaksa (dwingenrecht),
sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum mengatur (regelendrecht)
dan norma hukum yang menambah (aanvullendrecht). Terkadang, terdapat
pula norma hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus memaksa dan
mengatur.(2)
Pasal
54 ayat (1) KUHP Nasional yang menyatakan bahwa “dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan”
secara tegas menempatkan ketentuan ini sebagai norma hukum imperatif. Namun,
ketentuan yang termuat dalam pasal tersebut tidak bersifat limitatif, yang
berarti hakim dapat menambahkan pertimbangan lain selain yang tercantum pada
pasal tersebut. Meski demikian, satu hal yang pasti bahwa hakim wajib memuat
pertimbangan-pertimbangan yang berkenan dengan hal tersebut dalam putusannya.
Jika dilihat dari sudut pandang teori positivisme hukum, khususnya pendapat dari John Austin, John Austin memberikan gagasan tentang hukum adalah sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat (command of a sovereign). Menurut Austin, esensi hukum yang sesungguhnya adalah norma yang bersifat memaksa dan harus disertai dengan sanksi, dimana sanksi berfungsi sebagai pemaksa kepatuhan.
Dikaitkan dengan uraian Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional, terlihat bahwa Pasal
tersebut memuat perintah untuk memedomani pedoman pemidanaan, tetapi tidak
mencantumkan secara eksplisit sanksi atau implikasi hukum secara langsung,
misalnya putusan batal demi hukum atau sanksi administrasi spesifik bagi hakim
jika kewajiban tersebut diabaikan. Ketiadaan sanksi eksplisit ini menimbulkan
pertanyaan “apakah norma imperatif tanpa sanksi eksplisit dapat kehilangan daya
paksa atau legalitasnya?”.
Jika
membandingkan dengan beberapa ketentuan lainnya, khususnya pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), terlihat bahwa kedua beleid
tersebut secara tegas mengatur implikasi hukum atas ketidakpatuhan terhadap
norma wajib. Adapun perbandingannya dapat dilihat pada uraian berikut:
Peraturan |
Materi Muatan |
Implikasi Hukum |
Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman |
Semua
sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain (ayat 1). Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (ayat 2). |
Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum (ayat 3). |
Pasal 60 UU SPPA |
Hakim wajib mempertimbangkan laporan
penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan
putusan perkara. |
Dalam hal laporan penelitian
kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipertimbangkan dalam
putusan Hakim, putusan batal demi hukum.
|
Pasal 54 ayat 1 KUHP Nasional |
Dalam Pemidanaan wajib dipertimbangkan
(terinci dalam poin a hingga poin k yang sifatnya kumulatif alternatif) |
Tidak diuraikan secara eksplisit |
Berdasarkan perbandingan tersebut di atas, terlihat bahwa ketiadaan frasa “batal demi hukum” atau bentuk implikasi hukum lainnya pada Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda akan sifat mengikatnya kata wajib tersebut, mengingat tidak ada implikasi hukum yang menyertainya.
Jika
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar seperti persidangan terbuka untuk
umum dan penelitian kemasyarakatan sebagai unsur yang dianggap esensial dalam
materi muatan putusan hakim mengakibatkan putusan batal demi hukum, maka
penulis berpendapat pengabaian terhadap kewajiban memedomani pedoman pemidanaan
yang bertujuan untuk menjamin keadilan dan konsistensi juga seyogianya memiliki
implikasi hukum yang serius.
Sebagaimana pertanyaan terkait daya paksa dari ketentuan Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional, penulis berpendapat bahwa meskipun pasal a quo tidak mengatur sanksi atau implikasi hukum lainnya secara eksplisit, seperti putusan batal demi hukum seperti yang ditemukan dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU SPPA, ketiadaan hal tersebut tidak serta merta menghilangkan daya paksa norma tersebut.
Implikasi
hukumnya bersifat tidak langsung, diantaranya yaitu putusan rentan dibatalkan
atau diperbaiki melalui upaya hukum karena dianggap sebagai kekeliruan
penerapan hukum atau kurang pertimbangan (Onvoldoende gemotiveerd),
serta pelanggaran etik dan administrasi oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial karena dianggap sebagai pelanggaran kewajiban jabatan. (ypy/ldr)
Refrensi:
(1) Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, Perihal Kaidah Hukum,
Bandung: Alumni, hlm. 14.
Baca Juga: Pedoman Pemidanaan, Ikhtiar Penegakan Hukum Pidana Berkeadilan dan Humanis
(2) Jimmly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 1
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI