Cari Berita

Mandat Langit & Cheng Ming: Reformasi Pengadilan Pajak Melalui Filsafat Tiongkok

Ari Julianto (Hakim Pengadilan Pajak) - Dandapala Contributor 2025-12-31 07:30:06
Dok. Ist.

Dunia hukum Indonesia baru saja diguncang oleh "gempa" konstitusional yang menyejukkan. Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023, akhirnya mengetuk palu untuk mengakhiri dualisme pengelolaan Pengadilan Pajak. Selambat-lambatnya pada 31 Desember 2026, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak harus beralih sepenuhnya dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung.

Bagi sebagian orang, ini hanyalah perpindahan birokrasi biasa. Namun, jika kita duduk sejenak dan menyeruput teh sembari membuka lembaran-lembaran tua filsafat Tiongkok, kita akan menemukan bahwa peristiwa ini bukan sekadar urusan administrasi. Ini adalah sebuah peristiwa filosofis yang mendalam. Tanpa disadari, reformasi hukum kita sedang "berdialog" dengan kebijaksanaan kuno Konfusius dan Mencius tentang bagaimana sebuah pemerintahan (dan pengadilan) seharusnya dijalankan.

Mari kita bedah fenomena hukum modern ini menggunakan pisau analisis filsafat timur.

Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak

Rektifikasi Nama: Ketika Label Tidak Sesuai Isi

Bayangkan Anda membeli sebuah toples bertuliskan "Gula", namun ketika dibuka, isinya adalah "Garam". Tentu akan terjadi kekacauan di dapur. Rasa masakan akan rusak, dan kepercayaan pada label itu akan hilang.

Dalam filsafat Konfusius, situasi ini disebut sebagai pelanggaran terhadap prinsip Cheng Ming atau "Rektifikasi Nama". Konfusius pernah ditanya, apa hal pertama yang akan ia lakukan jika diberi kekuasaan memerintah. Jawabannya tegas: "Satu hal yang dibutuhkan adalah rektifikasi nama". Ia mengajarkan, "Biarlah penguasa menjadi penguasa, menteri menjadi menteri, bapak menjadi bapak." Jika nama tidak sesuai dengan realitasnya, maka perkataan tidak akan logis, dan urusan tidak akan sukses.

Selama berpuluh-puluh tahun, Pengadilan Pajak kita mengalami krisis Cheng Ming ini. Secara "nama", ia disebut "Pengadilan" (Badan Yudikatif) yang seharusnya merdeka. Namun, dalam "realitas" administrasi dan keuangannya, ia berada di bawah ketiak Kementerian Keuangan (Badan Eksekutif).

Bagaimana mungkin sebuah institusi dinamakan "Pengadilan" yang independen, jika gaji, sarana, dan pembinaan pegawainya diatur oleh pihak yang sering menjadi tergugat dalam sengketa pajak (Pemerintah/Fiskus)? Ini ibarat wasit sepak bola yang gajinya dibayar oleh salah satu tim yang sedang bertanding. Labelnya "Wasit", tapi realitasnya "Karyawan Tim A".

Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya, bertindak layaknya seorang bijak Konfusian yang sedang melakukan rektifikasi nama. MK menegaskan bahwa kewenangan Kementerian Keuangan dalam membina Pengadilan Pajak telah "mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa".

Dengan memerintahkan penyatuan atap di bawah Mahkamah Agung, MK sedang mengembalikan "isi toples" agar sesuai dengan labelnya: Pengadilan haruslah murni yudikatif, bukan setengah eksekutif.

Mandat Langit: Mencabut Kuasa dari "Penguasa" yang Salah

Filsafat Tiongkok mengenal konsep T’ien Ming atau "Mandat Langit". Seorang penguasa atau institusi hanya berhak memegang kekuasaan selama ia memiliki kebajikan moral (Te) dan melayani rakyat. Mencius, penerus pemikiran Konfusius, bahkan memiliki pandangan radikal. Ia berkata bahwa jika seorang penguasa mengabaikan kebajikan dan merusak kemanusiaan, ia bukan lagi seorang penguasa, melainkan hanya "seorang sesama" (mere fellow) atau bahkan perampok, dan rakyat berhak menyingkirkannya.

Dalam konteks sengketa pajak, Kementerian Keuangan memegang dua peran sekaligus: sebagai pengumpul pajak (pemburu target penerimaan negara) dan sebagai pembina administrasi pengadilan (penyedia rumah bagi pencari keadilan). Ini adalah konflik kepentingan yang melanggar etika pemerintahan yang baik.

MK menilai bahwa peran ganda ini menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Dalam perspektif Mencius, ketika independensi hakim terancam oleh intervensi eksekutif (misalnya melalui rekrutmen atau anggaran), maka institusi tersebut kehilangan legitimasi moralnya untuk disebut sebagai tempat mencari keadilan.

Putusan MK yang mencabut wewenang Kementerian Keuangan dan memberikannya kepada Mahkamah Agung dapat diibaratkan sebagai perpindahan "Mandat Langit". Kementerian Keuangan dianggap tidak lagi memiliki legitimasi etis untuk mengelola "rumah keadilan" karena besarnya potensi konflik kepentingan yang dapat merugikan rakyat. Mandat itu kini diserahkan kepada Mahkamah Agung, sang pemegang kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya, agar kebajikan dan keadilan dapat kembali ditegakkan.

Rakyat adalah yang Terpenting: Mengubah "Jalan Raja"

Mencius memiliki ajaran terkenal: "Rakyat adalah unsur terpenting dalam sebuah negara; roh tanah dan gandum adalah yang kedua; dan penguasa adalah yang paling ringan". Filosofi ini menempatkan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan birokrasi negara.

Selama ini, sistem "Dua Atap" pada Pengadilan Pajak sering dicurigai lebih menguntungkan "Penguasa" (negara/fiskus) demi mengamankan target pajak, daripada melindungi hak "Rakyat" (Wajib Pajak). Ada ketakutan bahwa hakim mungkin enggan memenangkan Wajib Pajak karena khawatir menyinggung institusi yang mengurus administrasi dan keuangan mereka.

Transisi ke Mahkamah Agung adalah upaya menggeser paradigma dari "Jalan Penguasa" (mengamankan penerimaan) menuju "Jalan Kerajaan" (Wang Tao) yang sejati, yaitu pemerintahan yang berbasis pada kebajikan dan perlindungan rakyat. Sistem peradilan harus didesain untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan negara.

Dengan berada sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung, hakim pajak diharapkan dapat bekerja bak "detektif forensik" yang bebas rasa takut. Mereka dapat menggali kebenaran materiil tanpa bayang-bayang intervensi administratif dari eksekutif. Ini adalah wujud penghormatan bahwa hak asasi Wajib Pajak (Rakyat) lebih berat timbangannya daripada sekadar kenyamanan administratif kementerian (Penguasa).

Harmoni, Bukan Sekadar Sama

Dalam masa transisi menuju tahun 2026, kita juga perlu mengingat konsep Ho atau "Harmoni" dalam filsafat Tiongkok. Harmoni berbeda dengan kesamaan (T'ung). Jika Anda membuat sup hanya dengan air, itu adalah kesamaan, dan rasanya tawar. Tetapi jika Anda mencampur air, api, cuka, acar, garam, dan ikan, lalu memasaknya hingga seimbang, itulah harmoni.

Pemindahan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung tidak boleh dilakukan secara serampangan (hanya sekadar menyamakan seragam). Putusan MK memberikan tenggat waktu hingga 31 Desember 2026, sebuah jeda waktu yang bijaksana. Ini memberikan ruang untuk meracik "sup" kelembagaan yang pas.

Keahlian teknis perpajakan yang selama ini dimiliki oleh SDM di lingkungan Kementerian Keuangan adalah "bumbu" yang penting. Sementara itu, independensi dan integritas yudisial adalah "bumbu" utama dari Mahkamah Agung. Tantangan ke depan adalah menciptakan harmoni: bagaimana menjaga spesialisasi dan keahlian teknis perpajakan tetap tinggi (warisan positif lama) sambil menanamkan independensi mutlak (sistem baru). Jangan sampai perpindahan ini justru membuat Pengadilan Pajak kehilangan kompetensinya dalam memahami kasus-kasus pajak yang rumit. Seperti kata Yen Tzu, "Siapa yang bisa memakan sup yang tidak harmonis?". Demikian pula, siapa yang bisa mencari keadilan di pengadilan yang independen tapi tidak kompeten, atau kompeten tapi tidak independen?

 

Penutup: Menjaga Timbangan Langit

 

Perjalanan Pengadilan Pajak Indonesia menuju "Satu Atap" di bawah Mahkamah Agung adalah perjalanan mencari keseimbangan kosmis dalam hukum kita. Kita sedang bergerak meninggalkan anomali masa lalu di mana "nama" dan "bentuk" tidak sinkron.

Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 bukan sekadar dokumen hukum; ia adalah manifesto moral. Ia mengingatkan kita pada prinsip purba bahwa keadilan tidak bisa tumbuh di tanah yang bias. Ia menegaskan kembali bahwa dalam negara hukum, independensi pengadilan adalah harga mati—sebuah "Mandat Langit" yang tidak boleh dipermainkan oleh kepentingan administratif sesaat.

Menuju 2026, kita berharap Pengadilan Pajak benar-benar bertransformasi. Bukan hanya ganti logo di kop surat, tetapi ganti jiwa. Menjadi pengadilan di mana, meminjam istilah Konfusius, "Keadilan ditegakkan, dan rakyat mendapatkan tempatnya yang terhormat." Saat nama sudah sesuai dengan realitasnya, barulah kita bisa tidur nyenyak, mengetahui bahwa timbangan keadilan di negeri ini sedang dipegang oleh tangan yang benar-benar merdeka. (ldr)

Daftar Pustaka

Fung Yu-Lan, A History of Chinese Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin Ltd, 1952).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…