Digitalisasi administrasi kependudukan
melalui Tanda Tangan Elektronik (TTE) merupakan sebuah lompatan modernisasi
yang patut diapresiasi. Kini, masyarakat dapat dengan mudah menerima dan
mencetak dokumen krusial seperti Akta Perkawinan, Kartu Keluarga (KK), dan Akta
Kelahiran secara mandiri pada kertas HVS biasa.
Dokumen-dokumen ini juga adalah alat
bukti surat yang fundamental dalam berbagai perkara di pengadilan, mulai dari
gugatan (contentiosa) hingga permohonan (voluntair).
Secara hukum, keabsahan dokumen-dokumen
ini dan hasil cetaknya dijamin oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Namun, di balik kemudahan ini, muncul sebuah tantangan
praktis yang signifikan bagi para hakim di ruang sidang.
Baca Juga: Menyederhanakan Gugatan Sederhana
Proses verifikasi untuk memastikan kesesuaian
antara bukti fisik (hasil cetak) dengan data digital asli ternyata tidak
sesederhana yang dibayangkan, disebabkan oleh keterbatasan informasi pada
sistem verifikasi yang ada.
Pergeseran Praktik Pengajuan Bukti: Dari
Tanda Tangan Basah ke Pindaian Kode QR
Dahulu, proses pengajuan bukti terutama
bukti surat dilakukan dengan mencocokkan fotokopi bukti surat dengan dokumen
asli yang memiliki ciri fisik yang khas. Dalam persidangan, Hakim akan
memeriksa kesesuaian keduanya sebelum menyatakan bukti tersebut "telah
dicocokkan dengan aslinya ternyata sesuai dengan aslinya" dan dapat
diterima sebagai alat bukti surat.
Kini, praktiknya sedikit bergeser. Para
pihak menyerahkan hasil cetak dokumen ber-TTE (ditandatangani secara
elektronik). Untuk membuktikan keasliannya, Hakim secara proaktif melakukan
pemindaian pada kode QR yang tertera di dokumen.
Pindaian ini mengarahkan Hakim ke laman
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Terpusat milik Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil).
Keterbatasan Informasi: Kendala Utama
dalam Verifikasi
Di sinilah letak inti permasalahannya.
Informasi yang ditampilkan oleh laman verifikasi SIAK Terpusat seringkali tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pembuktian materil di persidangan. Adapun
kendala yang dapat ditemukan antara lain:
1. Data yang Tidak Lengkap
Hasil pindaian pada beberapa
dokumen surat terutama dokumen akta kependudukan, antara lain Akta Perkawinan,
informasi yang muncul hanya berupa status "AKTIF", nama suami-istri,
tanggal kawin, dan nomor akta yang sebagian disamarkan. Laman tersebut tidak
menampilkan detail krusial yang tercantum dalam gugatan, misalnya terkait
perkawinan dilangsungkan secara agama apa, atau detail lain yang perlu
diverifikasi secara menyeluruh oleh hakim seperti nomor akta tersebut secara
utuh. Hal yang sama terjadi pada Kartu Keluarga yang tidak menampilkan daftar
lengkap anggota keluarga, atau Akta Kelahiran yang tidak menampilkan nama orang
tua secara lengkap.
2. Status "Tidak
Aktif" yang Ambigu.
Kendala lain muncul ketika
hasil pindaian menunjukkan status "TIDAK AKTIF". Sistem tidak
memberikan penjelasan mengapa dokumen tersebut tidak aktif, apakah karena sudah
ada pembaruan, pencabutan, atau alasan lain. Ketiadaan informasi lanjutan ini
menciptakan keraguan dan menghambat Hakim dalam memastikan status hukum terkini
dari dokumen yang dijadikan bukti.
Akibatnya, Hakim menghadapi dilema.
Untuk menyatakan sebuah bukti "sesuai dengan aslinya", hakim
memerlukan data pembanding yang identik dan lengkap.
Dengan informasi yang terbatas, hakim
terpaksa mengandalkan asumsi atau meminta para pihak untuk menunjukkan soft
file asli sebuah langkah yang tidak selalu praktis, terutama di daerah yang
belum familiar dengan perkembangan teknologi.
Usulan Solusi: Penyempurnaan Laman
Verifikasi SIAK Terpusat
Untuk menjembatani kesenjangan ini dan
mendukung proses peradilan yang akurat dan efisien, diperlukan sebuah
penyempurnaan pada sistem verifikasi SIAK Terpusat. Usulan konkretnya adalah:
Saat kode QR pada dokumen kependudukan
dipindai, laman verifikasi SIAK Terpusat seharusnya menampilkan pratinjau
(preview) dokumen digital yang utuh dan identik dengan aslinya, atau setidaknya
menyajikan seluruh data tekstual yang tercantum dalam dokumen tersebut secara
lengkap.
Dengan menampilkan data yang lengkap,
Hakim dapat secara langsung dan meyakinkan melakukan perbandingan satu per satu
antara bukti fisik yang dipegang dengan data digital otentik yang ditampilkan
di layar. Hal ini akan menghilangkan keraguan dan memperkuat dasar pertimbangan
hukum dalam putusan.
Menjawab Tantangan Privasi Data
Kekhawatiran mengenai potensi
penyalahgunaan data pribadi jika informasi ditampilkan secara penuh tentu
valid. Namun, perlu ditegaskan bahwa akses terhadap data ini tidak bersifat
terbuka untuk publik.
Akses hanya dapat dilakukan melalui
pemindaian kode QR yang unik dan spesifik, yang hanya terdapat pada dokumen
yang bersangkutan. Artinya, hanya pihak yang memegang dokumen fisik (dalam hal
ini, para pihak dan Hakim di persidangan) yang dapat mengakses data tersebut.
Ini adalah mekanisme verifikasi yang aman dan berbasis persetujuan (consent-based),
bukan pembukaan data secara massal. Keamanan data tetap terjaga karena tidak
ada cara untuk mengakses informasi spesifik tersebut tanpa memiliki dokumen
aslinya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Transformasi digital Dukcapil adalah
sebuah langkah maju. Kini, saatnya sistem pendukungnya disempurnakan untuk
memenuhi kebutuhan lembaga lain, khususnya lembaga peradilan.
Dengan ini, kami menyampaikan usulan
dari ruang sidang kepada Kementerian
Dalam Negeri, khususnya Ditjen Dukcapil, untuk dapat mempertimbangkan
penyempurnaan laman verifikasi SIAK Terpusat.
Baca Juga: Perubahan Data Paspor : Haruskah Dengan Penetapan Pengadilan?
Kolaborasi antara Ditjen Dukcapil dan
Mahkamah Agung RI dapat menghasilkan sebuah sistem verifikasi bukti digital
yang tidak hanya canggih, tetapi juga fungsional dan mampu menjawab kebutuhan
praktis di ruang sidang. Langkah ini akan menjadi pilar penting dalam
mewujudkan peradilan yang modern, cepat, dan berbiaya ringan serta berintegritas
di Indonesia. (IKAW/LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI