Cari Berita

Membedah Mitos Peninjauan Kembali Sebagai Jalan Mencari Hakim Yang Lebih Bijak

Gillang Pamungkas-Hakim PN Singkawang - Dandapala Contributor 2025-12-10 15:40:07
Dok. Ist.

Mahkamah Agung (MA) menghadapi beban perkara yang sangat besar dari tahun ke tahun. Dengan jumlah Hakim Agung yang terbatas, ribuan permohonan kasasi dan peninjauan kembali (PK) harus diselesaikan setiap tahun.

Berdasarkan data statistik perkara, beban perkara MA mengalami tren peningkatan pada tahun 2023 jumlahnya mencapai 27.512 perkara, dan pada tahun 2024 meningkat menjadi 30.908 perkara atau naik 13,18 persen. Angka ini menunjukkan tingginya arus perkara yang masuk ke tingkat kasasi dan PK.

Untuk menjawab tekanan tersebut, Kepaniteraan MA melakukan transformasi digital melalui penerapan sistem elektronik kasasi dan PK. Dibandingkan tahun sebelumnya, rasio pengajuan kasasi/PK elektronik pada 2025 hampir mencapai 100 persen. Digitalisasi ini terbukti meningkatkan efisiensi penyelesaian perkara sekaligus menghemat anggaran.

Baca Juga: Seluk Beluk Pengambilan Sumpah Novum Perkara PK Perdata, Haruskah Disidangkan?

Namun, efektivitas teknologi hanyalah salah satu sisi dari persoalan besar. Inti masalah yang perlu dipahami publik adalah akar penyebab membludaknya perkara kasasi dan PK: apakah ini benar-benar mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan di bawah MA, ataukah terdapat kekeliruan dalam pemahaman mengenai fungsi dan batasan upaya hukum?

Kasus Agus Difabel: Dari Kasasi ke Rencana PK

Pertanyaan tersebut relevan melihat kasus terbaru yang menjadi sorotan publik, yaitu perkara I Wayan Agus Suatarma. Dalam putusan kasasi Nomor 11858 K/Pid.Sus/2025, Mahkamah Agung memperberat pidana Agus dari 10 tahun menjadi 12 tahun penjara. Putusan ini sekaligus menutup seluruh upaya hukum biasa sehingga perkara telah berkekuatan hukum tetap dan eksekusi segera dijalankan.

Kasasi pada dasarnya berfungsi untuk mengoreksi kesalahan penerapan hukum (judex juris) pada tingkat peradilan di bawahnya, menciptakan keseragaman hukum (unified legal framework & opinion), serta memberikan kepastian hukum melalui pengujian terakhir oleh Hakim Agung. Dengan demikian, putusan kasasi seyogianya dipahami sebagai final.

Namun, dalam beberapa pemberitaan, penasihat hukum Agus, Ainuddin, menyatakan bahwa pihaknya masih mempertimbangkan pengajuan PK dengan harapan “mendapatkan hakim yang lebih bijak”. Pernyataan ini memunculkan implikasi serius seolah-olah tiga lapis peradilan sebelumnya yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Kasasi MA belum memberikan putusan yang bijaksana. Padahal, PK adalah upaya hukum luar biasa, bukan kelanjutan dari jenjang biasa setelah kasasi.

PK: Upaya Hukum Luar Biasa yang Sering Disalahpahami

Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, dalam program Perisai Badilum Edisi 12, mengingatkan bahwa sebagian advokat masih keliru memposisikan PK sebagai “tingkat peradilan keempat”. Padahal, PK hanya dapat diajukan dalam situasi yang sangat terbatas dan tidak boleh digunakan sebagai sarana “mencari hakim lain” atau menguji ulang penilaian pembuktian yang sudah final.

Ia menegaskan bahwa kebiasaan mengajukan PK tanpa dasar yang kuat dapat menjadi noda hitam bagi sistem peradilan. Bila PK diperlakukan sebagai upaya rutin, ini bukan hanya menyesatkan pola pikir masyarakat tentang kepastian hukum, tetapi juga menambah beban perkara di MA secara signifikan.

PK yang diajukan semata-mata karena ketidakpuasan atas putusan kasasi menunjukkan pola pikir yang keliru. Upaya hukum luar biasa seharusnya digunakan secara proporsional, bukan reaktif.

Penting bagi publik untuk memahami bahwa sistem peradilan Indonesia telah dirancang berlapis untuk menjamin keadilan. Pengadilan tingkat pertama menyusun putusan berdasarkan fakta persidangan yang paling lengkap dan paling dekat dengan peristiwa. Tingkat banding memberi pengawasan yudisial, sementara kasasi menilai penerapan hukumnya. Tiga tingkatan ini sudah mencerminkan prinsip kehati-hatian, kecermatan, dan akuntabilitas.

Oleh karena itu, asumsi bahwa keadilan baru dapat diperoleh di tingkat MA atau PK adalah keliru. Dengan memahami struktur peradilan dan membaca putusan sejak tingkat pertama, masyarakat dapat melihat bahwa proses peradilan sudah mengandung nilai keadilan yang komprehensif sejak awal.

Penutup

Pada akhirnya, publik perlu memahami bahwa putusan kasasi merupakan putusan akhir yang dijatuhkan oleh para Hakim Agung melalui pertimbangan hukum yang cermat. Keadilan harus dilihat secara menyeluruh tidak hanya dari perspektif terdakwa, tetapi juga dari sisi korban dan kemanfaatannya bagi masyarakat. Memahami batas-batas upaya hukum dan menghormati finalitas putusan kasasi merupakan langkah penting untuk membangun budaya hukum yang sehat dan sekaligus menekan beban perkara di Mahkamah Agung. (ldr)

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

 

Referensi:

  • M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua.
  • Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2024). Laporan Tahunan 2024. Kepaniteraan MA.https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/laporan_tahunan/laptah2024/buku_laptah_2024.pdf
  • Kompas Regional. “Kasasi Ditolak, Pengacara Agus Difabel Berencana Ajukan PK.” https://regional.kompas.com/read/2025/12/04/193851678/kasasi-ditolak-pengacara-agus-difabel-berencana-ajukan-pk (diakses 5 Desember 2025)
  • Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. “Panitera MA: Rasio Kasasi/PK Elektronik Tembus 96,63%.” https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/registry-news/2682-panitera-ma-rasio-kasasi-pk-elektronik-tembus-96-63 (4 Desember 2025).

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…