Mahkamah Agung (MA)
menghadapi beban perkara yang sangat besar dari tahun ke tahun. Dengan jumlah
Hakim Agung yang terbatas, ribuan permohonan kasasi dan peninjauan kembali (PK)
harus diselesaikan setiap tahun.
Berdasarkan data
statistik perkara, beban perkara MA mengalami tren peningkatan pada tahun 2023
jumlahnya mencapai 27.512 perkara, dan pada tahun 2024 meningkat menjadi 30.908
perkara atau naik 13,18 persen. Angka ini menunjukkan tingginya arus perkara
yang masuk ke tingkat kasasi dan PK.
Untuk menjawab
tekanan tersebut, Kepaniteraan MA melakukan transformasi digital melalui
penerapan sistem elektronik kasasi dan PK. Dibandingkan tahun sebelumnya, rasio
pengajuan kasasi/PK elektronik pada 2025 hampir mencapai 100 persen.
Digitalisasi ini terbukti meningkatkan efisiensi penyelesaian perkara sekaligus
menghemat anggaran.
Baca Juga: Seluk Beluk Pengambilan Sumpah Novum Perkara PK Perdata, Haruskah Disidangkan?
Namun,
efektivitas teknologi hanyalah salah satu sisi dari persoalan besar. Inti
masalah yang perlu dipahami publik adalah akar
penyebab membludaknya perkara kasasi dan PK: apakah ini benar-benar mencerminkan
ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan di bawah MA, ataukah
terdapat kekeliruan dalam pemahaman mengenai fungsi dan batasan upaya hukum?
Kasus Agus
Difabel: Dari Kasasi ke Rencana PK
Pertanyaan
tersebut relevan melihat kasus terbaru yang menjadi sorotan publik, yaitu
perkara I Wayan Agus Suatarma. Dalam putusan kasasi Nomor 11858 K/Pid.Sus/2025,
Mahkamah Agung memperberat pidana Agus dari 10 tahun menjadi 12 tahun penjara.
Putusan ini sekaligus menutup seluruh upaya hukum biasa sehingga perkara telah
berkekuatan hukum tetap dan eksekusi segera dijalankan.
Kasasi pada
dasarnya berfungsi untuk mengoreksi kesalahan penerapan hukum (judex juris)
pada tingkat peradilan di bawahnya, menciptakan keseragaman hukum (unified
legal framework & opinion), serta memberikan kepastian hukum melalui
pengujian terakhir oleh Hakim Agung. Dengan demikian, putusan kasasi seyogianya
dipahami sebagai final.
Namun, dalam
beberapa pemberitaan, penasihat hukum Agus, Ainuddin, menyatakan bahwa pihaknya
masih mempertimbangkan pengajuan PK dengan harapan “mendapatkan hakim yang
lebih bijak”. Pernyataan ini memunculkan implikasi serius seolah-olah tiga
lapis peradilan sebelumnya yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Kasasi MA belum memberikan putusan yang bijaksana. Padahal, PK adalah upaya hukum luar biasa, bukan
kelanjutan dari jenjang biasa setelah kasasi.
PK: Upaya
Hukum Luar Biasa yang Sering Disalahpahami
Wakil Menteri
Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, dalam program Perisai Badilum Edisi
12, mengingatkan bahwa sebagian advokat masih keliru memposisikan PK sebagai
“tingkat peradilan keempat”. Padahal, PK hanya dapat diajukan dalam situasi
yang sangat terbatas dan tidak boleh digunakan sebagai sarana “mencari hakim
lain” atau menguji ulang penilaian pembuktian yang sudah final.
Ia menegaskan
bahwa kebiasaan mengajukan PK tanpa dasar yang kuat dapat menjadi noda hitam
bagi sistem peradilan. Bila PK diperlakukan sebagai upaya rutin, ini bukan
hanya menyesatkan pola pikir masyarakat tentang kepastian hukum, tetapi juga
menambah beban perkara di MA secara signifikan.
PK yang diajukan
semata-mata karena ketidakpuasan atas putusan kasasi menunjukkan pola pikir
yang keliru. Upaya hukum luar biasa seharusnya digunakan secara proporsional,
bukan reaktif.
Penting bagi
publik untuk memahami bahwa sistem peradilan Indonesia telah dirancang berlapis
untuk menjamin keadilan. Pengadilan tingkat pertama menyusun putusan
berdasarkan fakta persidangan yang paling lengkap dan paling dekat dengan
peristiwa. Tingkat banding memberi pengawasan yudisial, sementara kasasi
menilai penerapan hukumnya. Tiga tingkatan ini sudah mencerminkan prinsip
kehati-hatian, kecermatan, dan akuntabilitas.
Oleh karena itu,
asumsi bahwa keadilan baru dapat diperoleh di tingkat MA atau PK adalah keliru.
Dengan memahami struktur peradilan dan membaca putusan sejak tingkat pertama,
masyarakat dapat melihat bahwa proses peradilan sudah mengandung nilai keadilan
yang komprehensif sejak awal.
Penutup
Pada akhirnya,
publik perlu memahami bahwa putusan kasasi merupakan putusan akhir yang
dijatuhkan oleh para Hakim Agung melalui pertimbangan hukum yang cermat.
Keadilan harus dilihat secara menyeluruh tidak hanya dari perspektif terdakwa,
tetapi juga dari sisi korban dan kemanfaatannya bagi masyarakat. Memahami
batas-batas upaya hukum dan menghormati finalitas putusan kasasi merupakan
langkah penting untuk membangun budaya hukum yang sehat dan sekaligus menekan
beban perkara di Mahkamah Agung. (ldr)
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Referensi:
- M. Yahya Harahap. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua.
- Mahkamah Agung Republik
Indonesia. (2024). Laporan Tahunan 2024. Kepaniteraan MA.https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/laporan_tahunan/laptah2024/buku_laptah_2024.pdf
- Kompas Regional. “Kasasi
Ditolak, Pengacara Agus Difabel Berencana Ajukan PK.” https://regional.kompas.com/read/2025/12/04/193851678/kasasi-ditolak-pengacara-agus-difabel-berencana-ajukan-pk
(diakses 5 Desember 2025)
- Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. “Panitera MA: Rasio Kasasi/PK Elektronik Tembus 96,63%.” https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/registry-news/2682-panitera-ma-rasio-kasasi-pk-elektronik-tembus-96-63 (4 Desember 2025).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI