Cari Berita

Dekonstruksi Mitos Netralitas & Implementasi Keadilan Substantif Melalui Perma Nomor 3/2017

Galih Dewi Inanti Akhmad-Hakim PN Serang - Dandapala Contributor 2025-12-24 12:15:23
Dok. Web. PN Serang.

Tradisi hukum Indonesia yang mewarisi sistem Civil Law cenderung kaku dan mengagungkan netralitas hakim. Padahal, Teori Hukum Feminis mengungkap bahwa "netralitas" tersebut sering kali semu dan bias laki-laki. Akibatnya, perempuan kerap menjadi korban ketidakadilan substantif dan reviktimisasi saat berhadapan dengan hukum.

Untuk mengatasi krisis ini, MA menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2017. Aturan ini bukan sekadar panduan teknis, melainkan sebuah revolusi cara pandang. Hakim kini wajib menanggalkan netralitas pasif dan menggunakan perspektif gender untuk memahami ketimpangan relasi kuasa, sejalan dengan prinsip HAM internasional.

Langkah ini menandai pergeseran vital dari sekadar keadilan prosedural menuju keadilan yang nyata bagi perempuan. Opini ini akan mengupas bagaimana regulasi tersebut berupaya meruntuhkan mitos netralitas hukum di tengah tantangan budaya patriarki yang masih kuat.

Baca Juga: Ilusi Netralitas Hakim: Ketika Independensi Formal Tak Menjamin Kebebasan Psikologis

Implementasi Perma Nomor 3 Tahun 2017 menghadirkan dialektika filosofis serius dalam sistem hukum positivistik Indonesia.

Pertama, muncul ketegangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif, menuntut hakim menyeimbangkan imparsialitas dengan diskresi untuk memulihkan ketimpangan kuasa.

Kedua, tantangan epistemologi pembuktian, di mana peradilan harus mendekonstruksi testimonial injustice yang kerap menempatkan kesaksian perempuan dalam defisit kredibilitas.

Ketiga, urgensi pemahaman interseksionalitas agar hakim mampu membedah lapisan penindasan yang majemuk (kelas, ras, dsb) demi menghindari elitisme hukum.

Keempat, hambatan budaya hukum berupa resistensi internal hakim yang masih terikat nilai patriarkis, yang mengancam konsistensi putusan. Intinya, regulasi ini menuntut transformasi paradigma dari sekadar teknis yuridis menuju keadilan yang responsif gender.

Analisis mengenai epistemologi hukum baru yang berkeadilan gender dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2017 menandai upaya fundamental untuk mendekonstruksi mitos netralitas yang selama ini disakralkan dalam sistem peradilan modern.

Berpijak pada kritik Feminist Legal Theory, regulasi ini menolak anggapan bahwa hukum beroperasi di ruang hampa yang bebas nilai, melainkan mengakui bahwa objektivitas semu sering kali hanyalah standar laki-laki yang dipaksakan.

Sebagai solusinya, Perma ini mengadopsi pendekatan Standpoint Theory yang menegaskan bahwa objektivitas hukum yang kuat justru hanya dapat dicapai ketika Hakim berani menanggalkan posisi pasif dan secara aktif menyelami perspektif kelompok rentan.

Pergeseran ini menuntut Hakim untuk mempraktikkan empati yudisial, yakni sebuah kemampuan kognitif untuk memahami realitas ketimpangan tanpa terjebak pada simpati emosional, sekaligus berfungsi sebagai koreksi tegas terhadap praktik judicial stereotyping yang kerap menyudutkan perempuan berdasarkan asumsi budaya patriarki yang bias.

Pondasi filosofis tersebut diperkuat secara signifikan dengan pengadopsian konsep relasi kuasa yang membedah anatomi penindasan di ruang sidang. Hakim didorong untuk memiliki kepekaan sosiologis yang tajam dalam mengidentifikasi bagaimana ketimpangan status ekonomi, sosial, pendidikan, atau pengetahuan dapat menciptakan kondisi ketidakberdayaan yang nyata, meskipun tidak selalu disertai dengan kekerasan fisik.

Dalam tatanan praktis, pemahaman mendalam ini memungkinkan hakim untuk menilai ketiadaan perlawanan korban perkosaan, seperti kondisi kelumpuhan sementara atau freeze response, sebagai akibat logis dari dominasi pelaku, bukan sebagai bentuk persetujuan sukarela.

Lebih jauh lagi, regulasi ini berupaya memulihkan ketidakadilan epistemik dengan memberikan bobot kredibilitas yang layak pada kesaksian perempuan yang selama ini sering mengalami defisit kepercayaan atau testimonial injustice, serta menyediakan kosa kata hukum baru untuk menamai pengalaman diskriminasi yang sebelumnya tidak terakomodasi dalam bahasa hukum formal, sebuah langkah yang dikenal sebagai pemulihan hermeneutik.

Di sisi lain, penerapan prinsip negara yang responsif melalui lensa Vulnerability Theory menegaskan bahwa kenetralan negara tidak boleh lagi diartikan sebagai sikap pasif, melainkan sebuah kewajiban etis dan yuridis untuk hadir secara afirmatif.

Negara, melalui perpanjangan tangan hakim, harus secara aktif menyeimbangkan kerentanan yang terdistribusi tidak merata akibat struktur sosial yang timpang, memastikan bahwa mereka yang "terlempar" dalam posisi lemah mendapatkan pijakan yang setara di hadapan hukum.

Kendati demikian, analisis kritis yang lebih tajam menyingkap celah epistimologis dalam regulasi ini, terutama terkait kompleksitas irisan penindasan atau interseksionalitas. Definisi gender yang diadopsi hukum Indonesia masih cenderung terpaku pada binerisme biologis, sehingga gagal memotret realitas kelompok minoritas seksual atau perempuan adat miskin yang mengalami penindasan berlapis. Bagi mereka, perlindungan hukum sering kali menjadi elitis dan sulit dijangkau karena identitas mereka tidak sepenuhnya "terbaca" oleh teks regulasi yang kaku.

Tantangan yang lebih pragmatis namun krusial justru terletak pada realitas implementasi di lapangan yang memperlihatkan disparitas mencolok antara visi MA dengan praktik di pengadilan tingkat pertama.

Meskipun MA secara konsisten menunjukkan tren putusan yang progresif dan korektif di tingkat kasasi, sering kali membatalkan putusan yang bias gender, resistensi budaya hukum di level judex facti masih sangat tangguh.

Di tingkat akar rumput ini, banyak hakim yang belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari nilai-nilai konservatif dan patriarkis yang bersumber dari interpretasi tekstual agama atau adat, sehingga masih kerap menyalahkan korban atau meremehkan dampak psikologis kekerasan domestik.

Kondisi paradoksal ini menempatkan Indonesia pada posisi yang unik sekaligus dinamis dalam peta hukum global. Secara normatif, Indonesia telah sejajar dengan negara-negara progresif seperti Meksiko yang memiliki protokol peradilan canggih, namun secara sosiologis, peradilan Indonesia masih harus bertarung keras melawan inersia budaya internal demi memastikan bahwa keadilan substantif benar-benar mewujud dalam setiap palu yang diketuk, dan tidak berakhir sekadar sebagai retorika indah di atas kertas kebijakan.

Perma Nomor 3 Tahun 2017 adalah sebuah magnum opus dalam reformasi hukum di Indonesia. Ia merepresentasikan keberanian Mahkamah Agung untuk melakukan "pembangkangan" terhadap tradisi positivisme kaku demi mencapai keadilan substantif.

Melalui kacamata Feminist Legal Theory, Perma ini memvalidasi pandangan bahwa hukum harus berpihak pada yang lemah untuk menjadi adil. Konsep "Relasi Kuasa" dan larangan "Stereotip Gender" adalah instrumen epistemologis yang ampuh untuk membongkar bias yang selama ini tersembunyi di balik palu hakim.

Namun, revolusi ini belum selesai. Teks yang progresif tidak akan bermakna jika dibacakan oleh hakim yang masih berpikir konservatif. Kesimpulan utama dari analisis ini adalah bahwa perubahan hukum (legal reform) harus diikuti oleh perubahan budaya hukum (legal culture reform). Hakim Indonesia harus bertransformasi dari sekadar corong undang-undang menjadi social engineer yang sadar gender.

Ke depan, konsep Pemulihan Epistemik (Epistemic Reparation) harus menjadi tujuan akhir dari penerapan Perma ini. Putusan hakim tidak boleh hanya menghukum pelaku, tetapi juga harus memulihkan narasi kebenaran korban yang selama ini dirusak oleh stigma. Hakim harus menggunakan putusannya untuk menulis ulang sejarah penindasan perempuan, memberikan pengakuan resmi bahwa pengalaman mereka nyata, valid, dan bernilai di mata hukum.

Baca Juga: Membumikan Ratio Legis Pasal 76E UU Perlindungan Anak dalam Ekosistem Delik Siber

Rekomendasi strategis dalam opini ini meliputi: integrasi materi Feminist Jurisprudence dan Critical Legal Studies dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan Hakim, penguatan mekanisme eksaminasi publik terhadap putusan-putusan yang bias gender sebagai bentuk kontrol sosial, perluasan tafsir "Perempuan" dalam Perma untuk mencakup kerentanan interseksional yang lebih luas, dan institusionalisasi prinsip "Hakim Aktif" dalam hukum acara perdata nasional yang baru untuk memberikan landasan yang lebih kuat bagi intervensi yudisial demi keadilan substantif.

Perma Nomor 3 Tahun 2017 adalah pelita di lorong gelap peradilan. Sudah menjadi tugas bersama, akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil, untuk menjaga agar pelita ini tidak padam tertiup angin resistensi, melainkan semakin terang menyinari jalan menuju Indonesia yang berkeadilan gender. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…