Cari Berita

Menelusuri Akar Keadilan: Dialektika Sejarah dan Kausalitas dalam Sengketa Pajak

Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-12-24 16:35:15
Dok. Penulis. Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak

Dalam diskursus hukum kontemporer, sering kali terjadi reduksi makna hukum semata-mata sebagai produk logika formal atau kalkulasi teknis. Terutama di ranah hukum pajak, terdapat kecenderungan untuk memandang sengketa hanya sebagai pertarungan angka-angka numerik. Namun, pandangan ini melupakan esensi hukum yang dinamis. Sebagaimana dipelopori oleh Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) von Savigny, hukum bukanlah entitas statis yang lahir dari ruang hampa, melainkan organisme yang tumbuh seiring peradaban manusia.

Artikel ini akan membedah bagaimana pendekatan historis dan interaksi kausalitas menjadi instrumen vital bagi hakim Pengadilan Pajak untuk menemukan kebenaran materiil, serta bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berfungsi sebagai koreksi dialektis atas anomali kelembagaan yang selama ini terjadi.

A. Urgensi Kausalitas: Dari Kronik Menuju Sejarah Hukum

Baca Juga: Dialektika Pendulum dan Yudisialisme: Menelusuri Dinamika Sumber Hukum Peradilan Pajak

Memahami hukum memerlukan pemahaman terhadap akarnya. Terminologi sejarah sendiri berasal dari bahasa Arab sajaratun yang berarti "pohon". Untuk memahami pohon, tidak cukup hanya melihat ujung daunnya (keadaan masa kini); seorang yuris harus menelusuri ranting, cabang, hingga ke akarnya. Dalam konteks sengketa pajak, ini berarti hukum tidak boleh dibaca secara tekstual semata ("apa bunyi pasalnya"), tetapi harus digali secara kausal ("mengapa sengketa ini terjadi").

Sejarah hukum membedakan dirinya dari sekadar kronik. Jika kronik hanya mencatat urutan waktu, sejarah hukum menuntut penjelasan hubungan antar-fakta atau kausalitas. Seorang hakim yang "cerdas" mungkin tahu aturan hukumnya, tetapi hakim yang "bijak" mampu menelaah kejadian masa lalu (fakta sengketa) untuk mengambil solusi (putusan) yang menjawab persoalan masa kini.

Kebutuhan akan interaksi kausal ini menjadi mutlak dalam Pengadilan Pajak yang menganut prinsip pembuktian bebas demi mencari kebenaran materiil (Pasal 76 UU 14/2002). Hakim tidak sekadar menghitung pajak terutang, tetapi harus merangkai hubungan kausal antara alat bukti, fakta persidangan, dan keyakinan hakim. Tanpa kemampuan menelusuri kausalitas ini, seorang hakim hanya akan menjadi "tukang hukum" yang terjebak pada formalisme, bukan "yuris terdidik" yang mampu merelatifkan hukum dalam dimensi waktu.

B. Benturan Dialektika: Idealisme vs Realitas Prosedural

Namun, upaya menemukan kausalitas dan kebenaran materiil ini berhadapan dengan realitas prosedural dan struktural yang menantang. Dalam perspektif Hegelian, sejarah bergerak melalui mekanisme dialektika: tesis berhadapan dengan antitesis untuk menghasilkan sintesis.

Tesisnya adalah idealisme negara hukum yang menuntut peradilan yang merdeka, adil, dan menggali kebenaran materiil sedalam-dalamnya. Antitesisnya adalah batasan prosedural dan disabilitas struktural yang membelenggu Pengadilan Pajak.

Secara prosedural, hakim dihadapkan pada limitasi waktu yang ketat (jangak waktu penyelesaian perkara), serta prosedur "Acara Cepat" yang memangkas dokumen persidangan demi efisiensi. Padahal, penelusuran akar masalah (sajaratun) membutuhkan waktu dan ketenangan kontemplatif. Keterbatasan ini berpotensi mendegradasi kualitas putusan, di mana hakim dipaksa memutus sebelum tuntas merangkai seluruh kausalitas fakta.

Secara struktural, antitesis yang lebih besar adalah sistem "dua atap" yang berlaku sebelum adanya koreksi konstitusional. Sebagaimana didiskusikan dalam percakapan sebelumnya, pembinaan administrasi oleh eksekutif (Kementerian Keuangan) menciptakan konflik kepentingan, mengingat eksekutif adalah induk dari salah satu pihak yang bersengketa (fiskus). Kondisi ini mengganggu dialektika yang sehat karena adanya subordinasi, padahal mekanisme dialektika mensyaratkan kesederajatan manusia dan kebebasan berpikir (indeterminisme).

C. Putusan MK sebagai Sintesis Historis

Sejarah mengajarkan bahwa kehidupan manusia dan hukum adalah sebuah siklus; peristiwa masa kini memiliki pola yang serupa tetapi tidak sama dengan masa lalu. Kegagalan belajar dari sejarah menyebabkan pengulangan kesalahan—sebuah kegagalan menangkap pelajaran dari "pendulum" sejarah yang bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem lain.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023 hadir sebagai sintesis dari pertentangan dialektis tersebut. MK menyadari bahwa membiarkan pengadilan berada di bawah bayang-bayang eksekutif adalah pengulangan kesalahan sejarah yang mencederai independensi yudisial. Dengan memerintahkan penyatuan atap di bawah Mahkamah Agung, MK sedang memulihkan "kebebasan" hakim—syarat mutlak bagi manusia otonom untuk menjalankan dialektika keadilan.

Putusan ini bukan sekadar perubahan administrasi, melainkan upaya sistematis untuk mencegah "kesalahan yang berulang" dalam siklus kehidupan hukum nasional. Dengan independensi penuh, hakim diharapkan memiliki ruang lebih luas untuk menerapkan kebijaksanaan historisnya, menghubungkan fakta kausal tanpa intervensi eksternal, dan memastikan bahwa putusan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" benar-benar mencerminkan kebenaran, bukan sekadar prediksi sanksi atau keberpihakan institusional.

D. Kesimpulan

Pada akhirnya, peran sejarah hukum dalam penyelesaian sengketa pajak adalah untuk memastikan bahwa hukum tetap membumi pada akarnya dan tidak kehilangan orientasi keadilannya. Hakim Pengadilan Pajak memikul beban ganda: ia harus mengejar efisiensi waktu yang dituntut undang-undang, sekaligus menyelami kedalaman kausalitas fakta yang dituntut oleh kebenaran materiil.

Kegagalan dalam menyeimbangkan hal ini—kegagalan menemukan legal causality—bukan hanya akan menghasilkan putusan yang cacat hukum (sehingga dapat dibatalkan di tingkat Peninjauan Kembali), tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan pasca putusan MK harus dimaknai sebagai upaya memberikan "ruang napas" bagi hakim untuk menjalankan fungsi historisnya.

Sebagai penutup, tantangan yang dihadapi oleh seorang hakim pajak dalam menegakkan keadilan di tengah himpitan batasan waktu dan kompleksitas kasus dapat kita pahami melalui sebuah metafora:

"Hakim Pengadilan Pajak ibarat detektif forensik di tengah zona perang yang sedang dibombardir; ia dituntut untuk cermat menelusuri jejak kausalitas yang rumit—siapa penyebab, apa motif, dan bagaimana kejadiannya—guna mengungkap kebenaran materiil, namun ia dipaksa bekerja dengan stopwatch yang terus berdetak cepat di tangannya, di mana setiap detik keterlambatan bukan hanya soal administrasi, melainkan pertaruhan antara terungkapnya keadilan atau terkuburnya kebenaran di bawah reruntuhan prosedur." (ldr)

Daftar Pustaka

Atmadjaja, D. I. (2025). Sejarah hukum [Handout kuliah]. Universitas Widyagama Malang.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (2002).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2023). Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023.

Baca Juga: Memahami Sengketa Pajak: Ketika Kepentingan Negara Bertemu Hak Wajib Pajak

 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…