Cari Berita

Membumikan Ratio Legis Pasal 76E UU Perlindungan Anak dalam Ekosistem Delik Siber

Bony Daniel-Hakim PN Serang - Dandapala Contributor 2025-11-03 08:00:02
Dok. Penulis.

Akselerasi transformasi digital telah menciptakan ekosistem interaksi sosial baru yang anonim, mengekspos anak sebagai subjek hukum berproteksi khusus pada risiko viktimisasi siber.

Fenomena destruktif online child grooming, yakni serangkaian actus reus (perbuatan) manipulatif di mana pelaku membangun relasi dan kepercayaan emosional semu dengan anak melalui internet untuk tujuan eksploitasi seksual, menjadi ancaman laten.

Di sinilah letak permasalahan yuridis fundamental: instrumen legislasi primer, Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak, yang melarang "memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk... perbuatan cabul," dirumuskan tanpa menyebut ranah siber.

Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis

Permasalahan muncul karena norma Pasal 76E dirumuskan pra-internet, tanpa menyebut "media elektronik" atau "ruang siber". Kekosongan tekstual (silent norm) ini menciptakan dilema yudisial serius. Hakim, terikat asas legalitas formal (nullum crimen sine lege stricta), ragu-ragu (judicial hesitation) antara tuntutan kepastian hukum tekstual dan keadilan substantif bagi korban.

Artikel ini berargumen bahwa kekosongan ini kevakuman hukum yang melahirkan impunitas. Sebaliknya, Pasal 76E dapat melampaui positivisme legalistik melalui rechtsvinding (penemuan hukum) progresif. Dengan penafsiran teleologis, sistematis, dan prinsip netralitas teknologi, akan dibuktikan bahwa Pasal 76E relevan menjerat online child grooming.

Problem utama penerapan Pasal 76E pada online grooming adalah kekeliruan memandang instrumen kejahatan (internet) sebagai unsur delik. Anatomi delik Pasal 76E berfokus pada modus operandi manipulatif ("tipu muslihat," "serangkaian kebohongan," "membujuk"), bukan lokasi perbuatan. Online grooming menciptakan persona palsu, membangun kepercayaan, mengisolasi, dan menseksualisasi percakapan adalah definisi presisi dari unsur-unsur tersebut.

Internet hanyalah medium. Berdasarkan prinsip netralitas teknologi, penerapan norma hukum tidak boleh didiskriminasi oleh teknologi yang merealisasikan actus reus. "Bujukan" tetap bujukan, baik verbal maupun digital. Menolak Pasal 76E karena ketiadaan kata "internet" adalah legisme (paham legalitas sempit) yang membiarkan hukum tertinggal dari fakta sosial (het recht hinkt achter de feiten aan).

Ketika interpretasi gramatikal yang kaku menemui jalan buntu, hakim dilarang menolak mengadili perkara (refus de juger). Di sinilah kewajiban melakukan rechtsvinding menjadi imperatif. Metodologi penafsiran harus bergeser dari sekadar membaca teks (grammatical interpretation) menjadi memahami jiwa atau maksud dari teks tersebut (teleological/sociological interpretation).

Kita harus menggali ratio legis (alasan filosofis) di balik perumusan Pasal 76E. Tujuannya (doelmatigheid) adalah memberikan proteksi absolut terhadap integritas fisik, psikis, dan moral anak dari segala bentuk eksploitasi seksual.

Apakah bahaya yang dialami anak korban grooming secara online lebih ringan daripada offline? Jelas tidak. Sifat anonimitas, jangkauan global, dan keabadian jejak digital justru menciptakan trauma yang lebih kompleks dan permanen.

Oleh karena itu, seorang hakim yang progresif harus berani melakukan penafsiran ekstensif (perluasan makna) terhadap unsur "membujuk" atau "tipu muslihat" untuk mencakup segala aktivitas manipulatif, terlepas dari mediumnya. Ini bukanlah judicial activism yang melanggar hukum, melainkan hermeneutika hukum (ilmu tafsir hukum) yang memenuhi mandat konstitusional untuk melindungi anak.

Argumentasi tandingan yang paling sering diajukan untuk mementahkan Pasal 76E adalah adagium lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Para penolak berdalih bahwa kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah menjadi lex specialis untuk kejahatan siber, sehingga Pasal 76E UU PA menjadi lex generalis yang tidak dapat diterapkan.

Ini adalah pemahaman yang keliru dan simplistis terhadap konsep lex specialis.

Pertama, relasi dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE memiliki objectum delicti yang berbeda. Pasal ini menghukum perbuatan "mendistribusikan" atau "mentransmisikan" muatan (konten) yang melanggar kesusilaan. Fokusnya adalah pada konten itu sendiri. Sementara online grooming adalah sebuah proses. Proses grooming bisa berlangsung berbulan-bulan (fase "membujuk" dan "tipu muslihat") sebelum ada satu pun konten asusila yang tercipta atau ditransmisikan. Jika tujuan akhir pelaku adalah pertemuan fisik (offline meeting), maka Pasal 27 UU ITE tidak dapat menjerat fase grooming awal tersebut.

Kedua, relasi dengan UU TPKS. Kehadiran UU TPKS adalah terobosan, khususnya Pasal 14 mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik. Namun, delik-delik dalam UU TPKS seringkali menekankan pada aspek non konsensual (tanpa persetujuan), seperti perekaman atau distribusi konten tanpa izin.

Bagaimana jika anak tersebut, akibat manipulasi psikologis yang intensif (grooming), memberikan gambar atau video cabulnya secara sukarela? Tentu, persetujuan (consent) anak secara hukum tidak diakui (invalid). Namun, di sinilah letak keunikan Pasal 76E. Pasal 76E tidak mempersoalkan konsen; ia secara spesifik menghukum proses "membujuk" atau "tipu muslihat" yang menyebabkan anak itu "melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul". Pasal 76E adalah satu-satunya norma yang secara eksplisit menyerang akar kejahatan, yakni manipulasi psikologis yang mendahului eksploitasi.

Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bersifat komplementer. Ketiga undang-undang tersebut tidak saling meniadakan (substitusi), melainkan bersifat komplementer (saling melengkapi).

Sangat mungkin terjadi concursus idealis (satu perbuatan memenuhi beberapa rumusan delik). Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 76E UU PA atas proses grooming-nya, dan sekaligus dijerat dengan UU ITE atau UU TPKS atas perbuatan distribusi konten-nya. Pasal 76E adalah entry point yuridis yang paling krusial.

Implikasi yudisial dari penolakan Pasal 76E sangat fatal. Hakim yang terjebak dalam positivisme legalistik akan menciptakan impunitas bagi predator online yang cerdik, yang hanya melakukan manipulasi tanpa pernah mentransmisikan konten. Hal ini mencederai keadilan substantif korban. Tantangan memang ada pada bewijsvoering (pembuktian).

Membuktikan "serangkaian kebohongan" di ruang siber memerlukan keahlian forensik digital untuk mengautentikasi rekam jejak percakapan. Namun, kesulitan pembuktian tidak boleh menjadi alasan untuk menyatakan sebuah norma hukum inapplicable (tidak dapat diterapkan). Aparatus hukum harus beradaptasi, bukan menyerah.

Ketiadaan rumusan eksplisit mengenai "ruang siber" atau "internet" dalam Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak bukanlah sebuah rechtsvacuüm (kekosongan hukum), melainkan sebuah tantangan bagi aparatus yudisial untuk bertransformasi dari sekadar "corong undang-undang" (la bouche de la loi) menjadi penegak keadilan yang melakukan rechtsvinding (penemuan hukum).

Baca Juga: Gandeng Badan Siber, MA Gelar Bimtek Penanganan Insiden Web Defacement

Argumentasi hukum yang paling tepat dan benar adalah bahwa Pasal 76E mutlak dan imperatif untuk dapat diterapkan pada fenomena online child grooming. Kesimpulan ini didasarkan pada tiga pilar argumentasi utama yang tak terbantahkan: prinsip netralitas teknologi, di mana corpus delicti adalah perbuatan manipulatifnya, bukan medium internetnya; penafsiran teleologis (sosiologis), di mana ratio legis (perlindungan psikis anak) harus mengalahkan kekakuan interpretasi gramatikal demi keadilan substantif; dan penafsiran sistematis, yang membuktikan bahwa Pasal 76E bersifat komplementer dengan UU ITE dan UU TPKS, secara spesifik mengisi celah hukum untuk menghukum proses manipulasi (grooming) itu sendiri.

Menerapkan Pasal 76E pada online grooming adalah sebuah keniscayaan yuridis dan sebuah kewajiban moral. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa hukum tidak menjadi instrumen yang tumpul dan anakronistis, serta menjamin tidak ada satu pun predator anak yang lolos dari jerat keadilan hanya karena mereka berlindung di balik tabir anonimitas siber. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…