Akselerasi
transformasi digital telah menciptakan ekosistem interaksi sosial baru yang
anonim, mengekspos anak sebagai subjek hukum berproteksi khusus pada risiko
viktimisasi siber.
Fenomena
destruktif online child grooming, yakni serangkaian actus reus
(perbuatan) manipulatif di mana pelaku membangun relasi dan kepercayaan emosional
semu dengan anak melalui internet untuk tujuan eksploitasi seksual, menjadi
ancaman laten.
Di
sinilah letak permasalahan yuridis fundamental: instrumen legislasi primer,
Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak, yang melarang "memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk... perbuatan cabul," dirumuskan tanpa menyebut ranah siber.
Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis
Permasalahan
muncul karena norma Pasal 76E dirumuskan pra-internet, tanpa menyebut
"media elektronik" atau "ruang siber". Kekosongan tekstual
(silent norm) ini menciptakan dilema yudisial serius. Hakim, terikat
asas legalitas formal (nullum crimen sine lege stricta), ragu-ragu (judicial
hesitation) antara tuntutan kepastian hukum tekstual dan keadilan
substantif bagi korban.
Artikel
ini berargumen bahwa kekosongan ini kevakuman hukum yang melahirkan impunitas.
Sebaliknya, Pasal 76E dapat melampaui positivisme legalistik melalui rechtsvinding
(penemuan hukum) progresif. Dengan penafsiran teleologis, sistematis, dan
prinsip netralitas teknologi, akan dibuktikan bahwa Pasal 76E relevan menjerat online
child grooming.
Problem
utama penerapan Pasal 76E pada online grooming adalah kekeliruan
memandang instrumen kejahatan (internet) sebagai unsur delik. Anatomi delik
Pasal 76E berfokus pada modus operandi manipulatif ("tipu muslihat,"
"serangkaian kebohongan," "membujuk"), bukan lokasi
perbuatan. Online grooming menciptakan persona palsu, membangun
kepercayaan, mengisolasi, dan menseksualisasi percakapan adalah definisi
presisi dari unsur-unsur tersebut.
Internet
hanyalah medium. Berdasarkan prinsip netralitas teknologi, penerapan norma
hukum tidak boleh didiskriminasi oleh teknologi yang merealisasikan actus
reus. "Bujukan" tetap bujukan, baik verbal maupun digital.
Menolak Pasal 76E karena ketiadaan kata "internet" adalah legisme
(paham legalitas sempit) yang membiarkan hukum tertinggal dari fakta sosial (het
recht hinkt achter de feiten aan).
Ketika
interpretasi gramatikal yang kaku menemui jalan buntu, hakim dilarang menolak
mengadili perkara (refus de juger). Di sinilah kewajiban melakukan rechtsvinding
menjadi imperatif. Metodologi penafsiran harus bergeser dari sekadar membaca
teks (grammatical interpretation) menjadi memahami jiwa atau maksud dari
teks tersebut (teleological/sociological interpretation).
Kita
harus menggali ratio legis (alasan filosofis) di balik perumusan Pasal
76E. Tujuannya (doelmatigheid) adalah memberikan proteksi absolut
terhadap integritas fisik, psikis, dan moral anak dari segala bentuk
eksploitasi seksual.
Apakah
bahaya yang dialami anak korban grooming secara online lebih
ringan daripada offline? Jelas tidak. Sifat anonimitas, jangkauan
global, dan keabadian jejak digital justru menciptakan trauma yang lebih
kompleks dan permanen.
Oleh
karena itu, seorang hakim yang progresif harus berani melakukan penafsiran
ekstensif (perluasan makna) terhadap unsur "membujuk" atau "tipu
muslihat" untuk mencakup segala aktivitas manipulatif, terlepas dari
mediumnya. Ini bukanlah judicial activism yang melanggar hukum,
melainkan hermeneutika hukum (ilmu tafsir hukum) yang memenuhi mandat
konstitusional untuk melindungi anak.
Argumentasi
tandingan yang paling sering diajukan untuk mementahkan Pasal 76E adalah
adagium lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan
hukum umum). Para penolak berdalih bahwa kehadiran Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(UU TPKS) telah menjadi lex specialis untuk kejahatan siber, sehingga
Pasal 76E UU PA menjadi lex generalis yang tidak dapat diterapkan.
Ini
adalah pemahaman yang keliru dan simplistis terhadap konsep lex specialis.
Pertama,
relasi dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE memiliki objectum delicti
yang berbeda. Pasal ini menghukum perbuatan "mendistribusikan" atau
"mentransmisikan" muatan (konten) yang melanggar kesusilaan.
Fokusnya adalah pada konten itu sendiri. Sementara online grooming
adalah sebuah proses. Proses grooming bisa berlangsung
berbulan-bulan (fase "membujuk" dan "tipu muslihat") sebelum
ada satu pun konten asusila yang tercipta atau ditransmisikan. Jika tujuan
akhir pelaku adalah pertemuan fisik (offline meeting), maka Pasal 27 UU
ITE tidak dapat menjerat fase grooming awal tersebut.
Kedua, relasi dengan UU TPKS. Kehadiran UU TPKS adalah terobosan, khususnya Pasal 14 mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik. Namun, delik-delik dalam UU TPKS seringkali menekankan pada aspek non konsensual (tanpa persetujuan), seperti perekaman atau distribusi konten tanpa izin.
Bagaimana
jika anak tersebut, akibat manipulasi psikologis yang intensif (grooming),
memberikan gambar atau video cabulnya secara sukarela? Tentu,
persetujuan (consent) anak secara hukum tidak diakui (invalid).
Namun, di sinilah letak keunikan Pasal 76E. Pasal 76E tidak mempersoalkan
konsen; ia secara spesifik menghukum proses "membujuk" atau
"tipu muslihat" yang menyebabkan anak itu "melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul". Pasal 76E adalah satu-satunya norma
yang secara eksplisit menyerang akar kejahatan, yakni manipulasi
psikologis yang mendahului eksploitasi.
Oleh
karena itu, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA), Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (UU TPKS) bersifat komplementer. Ketiga undang-undang tersebut tidak
saling meniadakan (substitusi), melainkan bersifat komplementer (saling
melengkapi).
Sangat
mungkin terjadi concursus idealis (satu perbuatan memenuhi beberapa
rumusan delik). Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 76E UU PA atas proses
grooming-nya, dan sekaligus dijerat dengan UU ITE atau UU TPKS atas
perbuatan distribusi konten-nya. Pasal 76E adalah entry point
yuridis yang paling krusial.
Implikasi yudisial dari penolakan Pasal 76E sangat fatal. Hakim yang terjebak dalam positivisme legalistik akan menciptakan impunitas bagi predator online yang cerdik, yang hanya melakukan manipulasi tanpa pernah mentransmisikan konten. Hal ini mencederai keadilan substantif korban. Tantangan memang ada pada bewijsvoering (pembuktian).
Membuktikan "serangkaian
kebohongan" di ruang siber memerlukan keahlian forensik digital untuk
mengautentikasi rekam jejak percakapan. Namun, kesulitan pembuktian tidak boleh
menjadi alasan untuk menyatakan sebuah norma hukum inapplicable (tidak
dapat diterapkan). Aparatus hukum harus beradaptasi, bukan menyerah.
Ketiadaan
rumusan eksplisit mengenai "ruang siber" atau "internet"
dalam Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak bukanlah sebuah rechtsvacuüm
(kekosongan hukum), melainkan sebuah tantangan bagi aparatus yudisial untuk
bertransformasi dari sekadar "corong undang-undang" (la bouche de
la loi) menjadi penegak keadilan yang melakukan rechtsvinding
(penemuan hukum).
Baca Juga: Gandeng Badan Siber, MA Gelar Bimtek Penanganan Insiden Web Defacement
Argumentasi
hukum yang paling tepat dan benar adalah bahwa Pasal 76E mutlak dan imperatif
untuk dapat diterapkan pada fenomena online child grooming. Kesimpulan
ini didasarkan pada tiga pilar argumentasi utama yang tak terbantahkan: prinsip
netralitas teknologi, di mana corpus delicti adalah perbuatan
manipulatifnya, bukan medium internetnya; penafsiran teleologis (sosiologis),
di mana ratio legis (perlindungan psikis anak) harus mengalahkan
kekakuan interpretasi gramatikal demi keadilan substantif; dan penafsiran
sistematis, yang membuktikan bahwa Pasal 76E bersifat komplementer dengan UU
ITE dan UU TPKS, secara spesifik mengisi celah hukum untuk menghukum proses
manipulasi (grooming) itu sendiri.
Menerapkan Pasal 76E pada online grooming adalah sebuah keniscayaan yuridis dan sebuah kewajiban moral. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa hukum tidak menjadi instrumen yang tumpul dan anakronistis, serta menjamin tidak ada satu pun predator anak yang lolos dari jerat keadilan hanya karena mereka berlindung di balik tabir anonimitas siber. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI