Dalam beberapa tahun terakhir, arus informasi di media
sosial berkembang begitu cepat, bahkan sering kali melampaui kemampuan lembaga
negara untuk mengontrol narasi yang berkembang di ruang digital. Tidak
terkecuali lembaga peradilan. Kabar bohong atau hoax yang menyasar institusi
pengadilan, hakim, maupun proses peradilan telah menjadi ancaman serius
terhadap kepercayaan publik dan wibawa lembaga peradilan.
Sering kali, potongan video persidangan disebarkan secara
parsial tanpa konteks, berita hasil manipulasi digital (deepfake)
beredar seolah autentik, hingga narasi fitnah terhadap hakim. Sebut saja kasus
korupsi yang melibatkan seseorang berinisial ZR, namun dinarasikan di media
sosial bahwa yang bersangkutan adalah seorang hakim lengkap dengan toga merah.
Kabar semacam ini memperlihatkan bagaimana hoax menjadi alat untuk menggerus public
trust.
Fenomena tersebut semakin berbahaya ketika dikaitkan dengan
penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam membuat manipulasi visual yang nyaris
sempurna. Akibatnya, masyarakat sering kali tidak mampu membedakan antara fakta
dan rekayasa. Dampaknya bukan hanya pada citra lembaga, melainkan juga pada
keresahan psikologis aparatur peradilan yang merasa terancam dan diawasi secara
digital. Dalam konteks inilah muncul pertanyaan penting: Apakah sudah saatnya
Mahkamah Agung RI membentuk Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber?
Baca Juga: Belajar Keteguhan Hati Dari Spider-Man
Secara etimologis, hoax berarti berita bohong atau informasi palsu yang disebarkan dengan maksud menyesatkan. Dalam konteks hukum siber, hoax kerap bersinggungan dengan Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024, yang baru saja diuji di Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 105/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan ini, MK menegaskan bahwa ketentuan pidana
terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian melalui media elektronik masih
diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan
perlindungan terhadap kehormatan serta keamanan publik.
MK menolak permohonan untuk membatalkan pasal-pasal
tersebut, namun memberikan tafsir konstitusional bahwa pelaksanaannya harus hati-hati
agar tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik. Mahkamah juga menegaskan
bahwa penerapan Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus ditafsirkan secara
ketat, hanya terhadap perbuatan yang nyata-nyata menyerang kehormatan individu
atau menimbulkan kebencian berbasis ras, agama, dan golongan, bukan kritik
terhadap lembaga atau pejabat publik.
Pertimbangan MK ini penting, karena memperlihatkan bahwa
pengendalian informasi palsu (hoax) di dunia maya tidak boleh mengorbankan hak
warga untuk menyampaikan pendapat secara sah. Dengan demikian, unit pengendali
hoax di lingkungan peradilan harus berjalan seimbang: melindungi lembaga tanpa
mengebiri kebebasan publik.
Dalam sistem pertahanan dan keamanan, fungsi intelijen
bukan sekadar pengumpulan data rahasia, tetapi juga analisis dini terhadap
ancaman non-fisik, termasuk ancaman informasi dan persepsi publik. Di
lingkungan peradilan, konsep intelijen hukum dapat diartikan sebagai kemampuan
institusi yudisial untuk memetakan, menganalisis, dan mengantisipasi ancaman
terhadap integritas peradilan, baik dari dalam maupun luar.
Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024 juga menyinggung fenomena stealth
authoritarianism sebagai bentuk otoritarianisme terselubung yang
menggunakan instrumen hukum untuk membatasi kritik dengan alasan menjaga
ketertiban digital. Mahkamah mengingatkan agar hukum tidak digunakan sebagai
alat represi terhadap partisipasi publik
Hal ini sejalan dengan semangat pembentukan Unit Pengendali
Hoax, yang harus bersifat preventif dan edukatif, bukan represif. Unit ini
berfungsi sebagai penjaga integritas narasi digital lembaga peradilan, bukan
alat pembungkam masyarakat.
Dengan pendekatan intelijen digital, Mahkamah Agung dapat
mengembangkan sistem early warning berbasis teknologi analitik, memantau
percakapan daring (social listening), mendeteksi konten palsu, serta
menganalisis motif penyebaran informasi berpotensi destruktif. Kolaborasi
antara ahli hukum, ahli IT, dan ahli komunikasi publik menjadi keharusan:
- Ahli
hukum memastikan langkah penanganan sesuai prinsip due process of law;
- Ahli
IT bertugas mendeteksi pola siber, hingga rekayasa digital;
- Ahli
komunikasi publik menyusun narasi kontra-propaganda yang edukatif dan
persuasif.
Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber dapat dibentuk di
bawah Biro Hukum dan Humas MA RI, dengan tugas strategis sebagai berikut:
- Deteksi
dini (early detection): memantau media sosial dan portal daring untuk
menemukan indikasi hoax yang menyasar lembaga peradilan.
- Analisis
intelijen digital: mengidentifikasi sumber, pola, serta tujuan penyebaran
hoax guna menentukan langkah pencegahan.
- Respons
cepat (rapid response): menerbitkan klarifikasi resmi dalam tempo singkat
menggunakan bahasa publik yang mudah dipahami.
- Edukasi
internal: melatih hakim dan aparatur agar cakap mengenali dan menanggapi
hoax secara proporsional.
- Koordinasi
lintas lembaga: bekerja sama dengan BSSN, Kemenkominfo, dan Polri untuk
menindak pelaku penyebar disinformasi.
Model ini konsisten dengan pandangan MK dalam perkara UU
ITE 2024 bahwa upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan informasi harus
proporsional dan berbasis edukasi, bukan hanya sanksi pidana
Berdasarkan hal tersebut maka bisa disimpulkan bahwa hoax
adalah senjata baru di era digital senjata yang tak kasat mata namun mampu
menggoyahkan fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Ketika berita
palsu menyerang kehormatan hakim atau memelintir putusan pengadilan, yang
terancam bukan hanya reputasi perorangan, tetapi kedaulatan hukum itu sendiri.
Baca Juga: Gandeng Badan Siber, MA Gelar Bimtek Penanganan Insiden Web Defacement
Melalui pembentukan Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber,
Mahkamah Agung tidak hanya memperkuat sisi keamanan informasi, tetapi juga
mengimplementasikan semangat Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024, yakni menjaga
keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kehormatan hukum. Sebagaimana
adagium klasik menyebutkan, “Justice must not only be done, but must also be
seen to be done.” Maka di era digital, keadilan tidak cukup ditegakkan di
ruang sidang tetapi ia juga harus dijaga di ruang siber.
Unit pengendali hoax yang profesional, transparan, dan berbasis data adalah kunci untuk memastikan bahwa narasi kebenaran hukum tidak dikalahkan oleh kebisingan digital. (asp/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI