Cari Berita

Urgensi Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber di Lingkungan Peradilan

I Kadek Apdila Wirawan - Dandapala Contributor 2025-10-13 13:35:45
Dok. Penulis.

Dalam beberapa tahun terakhir, arus informasi di media sosial berkembang begitu cepat, bahkan sering kali melampaui kemampuan lembaga negara untuk mengontrol narasi yang berkembang di ruang digital. Tidak terkecuali lembaga peradilan. Kabar bohong atau hoax yang menyasar institusi pengadilan, hakim, maupun proses peradilan telah menjadi ancaman serius terhadap kepercayaan publik dan wibawa lembaga peradilan.

Sering kali, potongan video persidangan disebarkan secara parsial tanpa konteks, berita hasil manipulasi digital (deepfake) beredar seolah autentik, hingga narasi fitnah terhadap hakim. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan seseorang berinisial ZR, namun dinarasikan di media sosial bahwa yang bersangkutan adalah seorang hakim lengkap dengan toga merah. Kabar semacam ini memperlihatkan bagaimana hoax menjadi alat untuk menggerus public trust.

Fenomena tersebut semakin berbahaya ketika dikaitkan dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam membuat manipulasi visual yang nyaris sempurna. Akibatnya, masyarakat sering kali tidak mampu membedakan antara fakta dan rekayasa. Dampaknya bukan hanya pada citra lembaga, melainkan juga pada keresahan psikologis aparatur peradilan yang merasa terancam dan diawasi secara digital. Dalam konteks inilah muncul pertanyaan penting: Apakah sudah saatnya Mahkamah Agung RI membentuk Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber?

Baca Juga: Belajar Keteguhan Hati Dari Spider-Man

Secara etimologis, hoax berarti berita bohong atau informasi palsu yang disebarkan dengan maksud menyesatkan. Dalam konteks hukum siber, hoax kerap bersinggungan dengan Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024, yang baru saja diuji di Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 105/PUU-XXII/2024.

Dalam putusan ini, MK menegaskan bahwa ketentuan pidana terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian melalui media elektronik masih diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap kehormatan serta keamanan publik.

MK menolak permohonan untuk membatalkan pasal-pasal tersebut, namun memberikan tafsir konstitusional bahwa pelaksanaannya harus hati-hati agar tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik. Mahkamah juga menegaskan bahwa penerapan Pasal 27A dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus ditafsirkan secara ketat, hanya terhadap perbuatan yang nyata-nyata menyerang kehormatan individu atau menimbulkan kebencian berbasis ras, agama, dan golongan, bukan kritik terhadap lembaga atau pejabat publik.

Pertimbangan MK ini penting, karena memperlihatkan bahwa pengendalian informasi palsu (hoax) di dunia maya tidak boleh mengorbankan hak warga untuk menyampaikan pendapat secara sah. Dengan demikian, unit pengendali hoax di lingkungan peradilan harus berjalan seimbang: melindungi lembaga tanpa mengebiri kebebasan publik.

Dalam sistem pertahanan dan keamanan, fungsi intelijen bukan sekadar pengumpulan data rahasia, tetapi juga analisis dini terhadap ancaman non-fisik, termasuk ancaman informasi dan persepsi publik. Di lingkungan peradilan, konsep intelijen hukum dapat diartikan sebagai kemampuan institusi yudisial untuk memetakan, menganalisis, dan mengantisipasi ancaman terhadap integritas peradilan, baik dari dalam maupun luar.

Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024 juga menyinggung fenomena stealth authoritarianism sebagai bentuk otoritarianisme terselubung yang menggunakan instrumen hukum untuk membatasi kritik dengan alasan menjaga ketertiban digital. Mahkamah mengingatkan agar hukum tidak digunakan sebagai alat represi terhadap partisipasi publik

Hal ini sejalan dengan semangat pembentukan Unit Pengendali Hoax, yang harus bersifat preventif dan edukatif, bukan represif. Unit ini berfungsi sebagai penjaga integritas narasi digital lembaga peradilan, bukan alat pembungkam masyarakat.

Dengan pendekatan intelijen digital, Mahkamah Agung dapat mengembangkan sistem early warning berbasis teknologi analitik, memantau percakapan daring (social listening), mendeteksi konten palsu, serta menganalisis motif penyebaran informasi berpotensi destruktif. Kolaborasi antara ahli hukum, ahli IT, dan ahli komunikasi publik menjadi keharusan:

  • Ahli hukum memastikan langkah penanganan sesuai prinsip due process of law;
  • Ahli IT bertugas mendeteksi pola siber, hingga rekayasa digital;
  • Ahli komunikasi publik menyusun narasi kontra-propaganda yang edukatif dan persuasif.

Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber dapat dibentuk di bawah Biro Hukum dan Humas MA RI, dengan tugas strategis sebagai berikut:

  1. Deteksi dini (early detection): memantau media sosial dan portal daring untuk menemukan indikasi hoax yang menyasar lembaga peradilan.
  2. Analisis intelijen digital: mengidentifikasi sumber, pola, serta tujuan penyebaran hoax guna menentukan langkah pencegahan.
  3. Respons cepat (rapid response): menerbitkan klarifikasi resmi dalam tempo singkat menggunakan bahasa publik yang mudah dipahami.
  4. Edukasi internal: melatih hakim dan aparatur agar cakap mengenali dan menanggapi hoax secara proporsional.
  5. Koordinasi lintas lembaga: bekerja sama dengan BSSN, Kemenkominfo, dan Polri untuk menindak pelaku penyebar disinformasi.

Model ini konsisten dengan pandangan MK dalam perkara UU ITE 2024 bahwa upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan informasi harus proporsional dan berbasis edukasi, bukan hanya sanksi pidana

Berdasarkan hal tersebut maka bisa disimpulkan bahwa hoax adalah senjata baru di era digital senjata yang tak kasat mata namun mampu menggoyahkan fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga hukum. Ketika berita palsu menyerang kehormatan hakim atau memelintir putusan pengadilan, yang terancam bukan hanya reputasi perorangan, tetapi kedaulatan hukum itu sendiri.

Baca Juga: Gandeng Badan Siber, MA Gelar Bimtek Penanganan Insiden Web Defacement

Melalui pembentukan Unit Pengendali Hoax dan Patroli Siber, Mahkamah Agung tidak hanya memperkuat sisi keamanan informasi, tetapi juga mengimplementasikan semangat Putusan MK No. 105/PUU-XXII/2024, yakni menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kehormatan hukum. Sebagaimana adagium klasik menyebutkan, “Justice must not only be done, but must also be seen to be done.” Maka di era digital, keadilan tidak cukup ditegakkan di ruang sidang tetapi ia juga harus dijaga di ruang siber.

Unit pengendali hoax yang profesional, transparan, dan berbasis data adalah kunci untuk memastikan bahwa narasi kebenaran hukum tidak dikalahkan oleh kebisingan digital. (asp/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI