“The great tides and currents which engulf the rest of men do not
turn aside in their course and pass the judges by.”—
Benjamin N. Cardozo, The Nature of the Judicial Process (1921)
“Semua berawal dari menulis yang penting menjadi yang penting
menulis “. Ujar seorang rekan hakim dalam sebuah diskusi santai di suatu group
whatsapp. Celetukan itu tampak sederhana, namun sesungguhnya menggugah persoalan
mendasar tentang identitas profesi hakim.
Di satu sisi, tugas pokok hakim memang mengadili dan memutus
perkara. Namun di sisi lain, terdapat kebutuhan yang tak kalah penting:
membangun kesadaran intelektual dan refleksi yang menopang praktik peradilan.
Menulis di luar putusan bukanlah tambahan yang remeh, melainkan perpanjangan
dari tugas berpikir yang melekat pada profesi hakim itu sendiri.
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Kebijakan yang mendorong hakim untuk menulis sebagai bagian dari
unsur prestasi tentu bukan dimaksudkan untuk menambah beban administratif. Ia
justru merupakan upaya untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual di
lingkungan peradilan.
Hakim, pada hakikatnya, tidak hanya pelaksana hukum, tetapi juga
penjaga rasionalitas hukum. Dalam posisi itu, menulis bukanlah pekerjaan
sampingan, melainkan wujud tanggung jawab untuk menjaga agar hukum tetap
berpijak pada akal sehat, pengalaman, dan nurani.
Setiap hakim pada dasarnya telah menjadi penulis. Putusan adalah
karya tulis hukum yang paling konkret, hasil dari penalaran, dialektika, dan
pertimbangan moral. Namun menulis di luar putusan membuka ruang lain yang tak
kalah penting: ruang refleksi. Di sana, hakim tidak lagi sekadar menjawab
perkara konkret, tetapi juga menimbang arah perkembangan hukum, nilai keadilan,
dan kualitas lembaganya sendiri.
Menulis memungkinkan hakim menengok ulang cara berpikirnya,
mengkritisi bias-bias yang mungkin tak disadari, dan memperdalam kesadaran
profesinya. Melalui tulisan, hakim dapat menautkan pengalaman yudisial dengan
teori hukum, sosiologi, atau filsafat, sehingga hukum tidak berhenti pada teks,
tetapi terus berdenyut dalam kehidupan. Menulis adalah cara hakim menjaga daya
pikirnya agar tidak tumpul oleh rutinitas mengadili.
Skeptisisme terhadap kegiatan menulis sering lahir dari pandangan
sempit tentang kinerja. Ada yang khawatir bahwa dorongan menulis akan menggeser
fokus hakim dari tugas pokoknya, atau bahkan menjadi ajang formalitas baru.
Pandangan itu dapat dimengerti, tetapi justru di sanalah letak perlunya
reposisi makna: menulis bagi hakim tidak dimaksudkan untuk menambah tugas,
melainkan untuk memperdalam makna tugas itu sendiri.
Ketika hakim menulis, ia sesungguhnya sedang menata pikirannya. Ia
menguji asumsi-asumsi yang ia gunakan dalam menilai perkara, memperluas
cakrawala dalam memahami masyarakat, dan mengasah kepekaan nurani terhadap
realitas hukum.
Menulis tidak mengalihkan hakim dari tugas mengadili, justru
memperkaya cara ia mengadili. Dalam arti ini, menulis bukanlah kompetisi
prestasi, melainkan latihan intelektual dan moral yang menjamin kualitas
keadilan.
Kegiatan menulis di kalangan hakim juga memiliki nilai institusional
yang penting. Ia menciptakan ekosistem dialog antarhakim, sebuah community
of reasoning di mana gagasan saling bertemu, berdebat, dan memperkaya.
Ketika tulisan-tulisan hakim dikumpulkan, dibaca, dan didiskusikan, peradilan
tidak lagi tampak sebagai menara gading yang sunyi, tetapi sebagai lembaga yang
berpikir dan belajar. Dari sanalah tumbuh kesadaran bahwa lembaga peradilan
bukan sekadar tempat memutus, tetapi juga tempat memahami makna hukum dan
kemanusiaan.
Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung
Kebijakan yang menempatkan kegiatan menulis dalam unsur prestasi
seharusnya dipahami dalam kerangka itu: sebagai pengakuan atas pentingnya intellectual
cultivation di tubuh lembaga peradilan. Hakim yang menulis sedang
memperkuat legitimasi lembaganya, karena ia menunjukkan bahwa di balik setiap
putusan ada akal budi yang terus bekerja dan belajar.
Pada akhirnya, menulis bukanlah hiasan intelektual, melainkan cermin dari kesungguhan seorang hakim menjaga daya pikir dan integritas moralnya. Hakim yang menulis hanya karena kewajiban administratif akan menghasilkan laporan, tetapi hakim yang menulis karena panggilan intelektual akan meninggalkan warisan pemikiran. Dan dalam sejarah lembaga peradilan, warisan seperti itulah yang abadikarena ia bukan hanya memperkaya ilmu hukum, tetapi juga meneguhkan martabat keadilan. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI