Cari Berita

Menulis yang Penting atau yang Penting Menulis? Menimbang Makna Menulis bagi Hakim

Muamar Azmar Mahmud Farig - Dandapala Contributor 2025-10-31 07:05:20
Dok. Penulis.

The great tides and currents which engulf the rest of men do not turn aside in their course and pass the judges by.”Benjamin N. Cardozo, The Nature of the Judicial Process (1921)

“Semua berawal dari menulis yang penting menjadi yang penting menulis “. Ujar seorang rekan hakim dalam sebuah diskusi santai di suatu group whatsapp. Celetukan itu tampak sederhana, namun sesungguhnya menggugah persoalan mendasar tentang identitas profesi hakim.

Di satu sisi, tugas pokok hakim memang mengadili dan memutus perkara. Namun di sisi lain, terdapat kebutuhan yang tak kalah penting: membangun kesadaran intelektual dan refleksi yang menopang praktik peradilan. Menulis di luar putusan bukanlah tambahan yang remeh, melainkan perpanjangan dari tugas berpikir yang melekat pada profesi hakim itu sendiri.

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Kebijakan yang mendorong hakim untuk menulis sebagai bagian dari unsur prestasi tentu bukan dimaksudkan untuk menambah beban administratif. Ia justru merupakan upaya untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual di lingkungan peradilan.

Hakim, pada hakikatnya, tidak hanya pelaksana hukum, tetapi juga penjaga rasionalitas hukum. Dalam posisi itu, menulis bukanlah pekerjaan sampingan, melainkan wujud tanggung jawab untuk menjaga agar hukum tetap berpijak pada akal sehat, pengalaman, dan nurani.

Setiap hakim pada dasarnya telah menjadi penulis. Putusan adalah karya tulis hukum yang paling konkret, hasil dari penalaran, dialektika, dan pertimbangan moral. Namun menulis di luar putusan membuka ruang lain yang tak kalah penting: ruang refleksi. Di sana, hakim tidak lagi sekadar menjawab perkara konkret, tetapi juga menimbang arah perkembangan hukum, nilai keadilan, dan kualitas lembaganya sendiri.

Menulis memungkinkan hakim menengok ulang cara berpikirnya, mengkritisi bias-bias yang mungkin tak disadari, dan memperdalam kesadaran profesinya. Melalui tulisan, hakim dapat menautkan pengalaman yudisial dengan teori hukum, sosiologi, atau filsafat, sehingga hukum tidak berhenti pada teks, tetapi terus berdenyut dalam kehidupan. Menulis adalah cara hakim menjaga daya pikirnya agar tidak tumpul oleh rutinitas mengadili.

Skeptisisme terhadap kegiatan menulis sering lahir dari pandangan sempit tentang kinerja. Ada yang khawatir bahwa dorongan menulis akan menggeser fokus hakim dari tugas pokoknya, atau bahkan menjadi ajang formalitas baru. Pandangan itu dapat dimengerti, tetapi justru di sanalah letak perlunya reposisi makna: menulis bagi hakim tidak dimaksudkan untuk menambah tugas, melainkan untuk memperdalam makna tugas itu sendiri.

Ketika hakim menulis, ia sesungguhnya sedang menata pikirannya. Ia menguji asumsi-asumsi yang ia gunakan dalam menilai perkara, memperluas cakrawala dalam memahami masyarakat, dan mengasah kepekaan nurani terhadap realitas hukum.

Menulis tidak mengalihkan hakim dari tugas mengadili, justru memperkaya cara ia mengadili. Dalam arti ini, menulis bukanlah kompetisi prestasi, melainkan latihan intelektual dan moral yang menjamin kualitas keadilan.

Kegiatan menulis di kalangan hakim juga memiliki nilai institusional yang penting. Ia menciptakan ekosistem dialog antarhakim, sebuah community of reasoning di mana gagasan saling bertemu, berdebat, dan memperkaya. Ketika tulisan-tulisan hakim dikumpulkan, dibaca, dan didiskusikan, peradilan tidak lagi tampak sebagai menara gading yang sunyi, tetapi sebagai lembaga yang berpikir dan belajar. Dari sanalah tumbuh kesadaran bahwa lembaga peradilan bukan sekadar tempat memutus, tetapi juga tempat memahami makna hukum dan kemanusiaan.

Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung

Kebijakan yang menempatkan kegiatan menulis dalam unsur prestasi seharusnya dipahami dalam kerangka itu: sebagai pengakuan atas pentingnya intellectual cultivation di tubuh lembaga peradilan. Hakim yang menulis sedang memperkuat legitimasi lembaganya, karena ia menunjukkan bahwa di balik setiap putusan ada akal budi yang terus bekerja dan belajar.

Pada akhirnya, menulis bukanlah hiasan intelektual, melainkan cermin dari kesungguhan seorang hakim menjaga daya pikir dan integritas moralnya. Hakim yang menulis hanya karena kewajiban administratif akan menghasilkan laporan, tetapi hakim yang menulis karena panggilan intelektual akan meninggalkan warisan pemikiran. Dan dalam sejarah lembaga peradilan, warisan seperti itulah yang abadikarena ia bukan hanya memperkaya ilmu hukum, tetapi juga meneguhkan martabat keadilan. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…