Cari Berita

Mewujudkan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Peradilan Indonesia

Agus Suharsono-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-10-08 10:05:21
Dok. Ist.

Dalam sistem hukum Indonesia, Hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi negara. Salah satu nilai utama yang harus dijunjung tinggi adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan sila pertama Pancasila dan sumber dari segala sumber hukum.

Hakim memiliki tanggung jawab konstitusional dan spiritual untuk menegakkan hukum dengan menjunjung keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bukan sekadar prosedural atau legalistik, melainkan keadilan substantif, yang mencerminkan nilai-nilai moral, spiritual, dan ilahiah.

Tulisan ini akan membahas pengaturan dan implementasi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia.

Pembahasan

Bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa diatur secara eksplisit maupun implisit dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut: Pembukaan UUD 1945, Alinea Ketiga menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, menandakan bahwa dasar spiritual menjadi fondasi pembentukan negara.

Baca Juga: Indonesia Pernah Ubah Irah-Irah Putusan, Ini Sejarahnya!

Alinea Keempat kemudian menetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip pertama dalam susunan negara, diikuti oleh nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, yang menunjukkan keterkaitan erat antara keadilan dan nilai-nilai ketuhanan.

Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadikannya sebagai landasan konstitusional utama dalam sistem hukum nasional. Pasal 29 ayat (2) menjamin kebebasan beragama dan beribadah, sebagai bentuk keadilan dalam hak spiritual warga negara.

Pasal 28E ayat (1) dan (2) dalam Bab Hak Asasi Manusia menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan, dan menyatakan sikap sesuai hati nurani, memperkuat prinsip keadilan yang bersumber dari Ketuhanan. Pasal 28J ayat (2) juga mengaitkan keadilan dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, yang merupakan manifestasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu, Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan keHakiman bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Meskipun tidak menyebut Ketuhanan secara langsung, pasal ini menjadi dasar bagi penerapan keadilan substantif yang dalam konteks Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai ilahiah. Dengan demikian, konstitusi Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber nilai dalam menegakkan keadilan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa kekuasaan keHakiman di Indonesia harus dijalankan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1). Penjelasan atas pasal ini menyatakan bahwa asas tersebut sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945, yang menetapkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kebebasan beragama serta beribadah.

Ketentuan ini diperkuat oleh Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, di mana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Asas keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa diatur secara eksplisit dalam berbagai undang-undang yang mengatur sistem peradilan di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 57 ayat (1) menyatakan bahwa Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lebih lanjut, ayat (2) mengatur bahwa tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan atas ayat ini menegaskan bahwa ketentuan tersebut berlaku untuk seluruh tingkatan peradilan agama, termasuk Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, asas ini juga ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (2) yang menyatakan bahwa Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Penjelasan umum undang-undang ini menyebutkan bahwa Oditurat bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan hukum. Lebih lanjut, Pasal 194 ayat (1) huruf a mengatur bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat kepala putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) menyatakan bahwa jika ketentuan ini tidak dipenuhi, maka putusan dinyatakan batal demi hukum.

Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 320 ayat (1) huruf a, yang mewajibkan kepala putusan memuat asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.

Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 109 ayat (1) menetapkan bahwa kepala putusan pengadilan harus memuat asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) menyatakan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan tersebut dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan sekadar prinsip filosofis, melainkan telah menjadi norma hukum positif yang diatur dalam undang-undang sistem peradilan di Indonesia. Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya menjadi pembuka putusan, tetapi juga menjadi syarat sahnya putusan pengadilan.

Namun, belum ada keseragaman pengaturan penerapan asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Undang-Undang Peradilan Agama tidak diatur bahwa tanpa asas tersebut dapat membatalkan putusan. Dalam Undang-Undang Pengadilan Umum tidak diatur secara khusus bahwa putusan harus dengan memuat asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang jika tidak dimuat dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.

Penuntutan di peradilan militer diatur bahwa Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini menunjukkan bahwa asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan tugas Hakim semata, tetapi juga oditur yang melakukan penuntutan.

Baca Juga: Menjaga Marwah Persidangan dan Etika Seorang Hakim dalam Memutus Perkara

Untuk itu disarankan, agar semua undang-undang tentang peradilan di Indonesia mengatur bahwa putusan pengadilan harus memuat asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan jika tidak dipenuhi menyebabkan putusannya batal.

Selain itu penerapan asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan kewajiban Hakim semata, tetapi semua pihak yang berpekara. Maka asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya ada pada putusan pengadilan tapi juga harus dimuat dalam kepala surat tuntutan oditur dan jaksa, surat gugatan, surat banding, surat kasasi, maupun surat peninjauan Kembali, yang dibuat oleh para pihak. (aar, ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI