Beberapa waktu lalu, sejumlah media nasional ramai
menyoroti putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Pangkalpinang terhadap Toni Tamsil alias Akhi. Reaksi dan
komentar publik menjadi cukup tajam karena Tamsil diwartakan hanya dijatuhi
pidana penjara selama tiga tahun dan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Oleh
masyarakat, jumlah “denda” ini jelas dianggap sangat tidak proporsional dengan
kerugian negara yang ditaksir mencapai angka hingga Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus triliun
rupiah).
Sebelum terjebak pada penilaian dan konklusi yang keliru,
sangat penting bagi seluruh pihak untuk memahami perbedaan antara pidana denda
dan biaya perkara. Keduanya sekilas memang tampak serupa, akan tetapi
sebenarnya memiliki dasar hukum dan implikasi yuridis yang jauh berbeda. Pidana
denda sendiri merupakan salah satu dari lima jenis pidana pokok yang tercantum
pada Pasal 10 KUHP, yakni: 1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana
kurungan; 4) pidana denda; dan 5) pidana tutupan. Jika terpidana tidak mampu
membayar pidana denda, maka ia harus menggantinya dengan pidana kurungan paling
lama hingga delapan bulan. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat
ketentuan khusus mengenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti.
Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka hukumannya
akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum pidana pokok.
Jika mencermati Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU TPK), perbuatan Tamsil diancam dengan pidana penjara selama 3
(tiga) tahun hingga paling lama 12 (dua belas) tahun
dan atau dengan pidana denda Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) hingga
paling banyak sejumlah Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah). Karena
rumusan pasal tersebut menggunakan konjungsi “dan atau”, maka hakim dapat
memilih di antara dua opsi pilihan. Opsi pertama adalah menjatuhkan hukuman di
antara pidana penjara atau denda secara alternatif. Selain itu, terdapat opsi kedua,
yakni hakim menjatuhkan pidana penjara dan denda secara sekaligus dalam bentuk
kumulatif.
Pada persidangan dengan register Nomor
6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp, Terdakwa Tamsil dinyatakan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perintangan penyidikan perkara
korupsi”. Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri Pangkalpinang lalu menjatuhkan
putusan “pidana penjara selama 3 (tiga) tahun”. Dengan kata lain, Tamsil telah
dihukum dengan pidana penjara tanpa disertai dengan pidana denda maupun uang
pengganti. Meskipun demikian, ia tetap dibebankan untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).
Diktum menyangkut biaya perkara inilah yang kemudian
memunculkan narasi seakan-akan Tamsil hanya dikenakan “denda” sejumlah lima
ribu rupiah. Padahal jika merujuk Pasal 197 KUHAP, suatu putusan pemidanaan
memang harus memuat mengenai “ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan”.
Berdasarkan angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember
1983, biaya perkara paling sedikit adalah sejumlah Rp500,00 (lima ratus rupiah) dan maksimal sejumlah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Perinciannya adalah maksimal Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) untuk beban biaya proses pengadilan di tingkat pertama
dan Rp2.500,00 (dua ribu lima
ratus rupiah) untuk pengadilan tingkat
banding. Artinya, pengadilan memang harus menjatuhkan biaya perkara jika
seseorang dinyatakan bersalah, terlepas dari apa pun kualifikasi pidananya. Ketentuan
ini bersifat imperatif, mulai dari perkara sepele seperti pelanggaran lalu
lintas atau penghinaan ringan, hingga perkara serius seperti pembunuhan,
terorisme, atau korupsi. Jika terdakwa tidak mampu membayar, maka biaya perkara
dapat ditanggung oleh negara setelah memperoleh persetujuan pengadilan.
Dalam konteks narasi mengenai Toni Tamsil, tajuk
pemberitaan media seakan-akan mencampuradukkan terminologi antara biaya perkara
dan pidana denda. Padahal, keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda.
Biaya perkara merupakan kewajiban administratif yang dibebankan kepada
terpidana untuk mengganti ongkos operasional persidangan, sedangkan pidana
denda adalah salah satu dari lima jenis pidana pokok yang dijatuhkan hakim
sebagai bentuk sanksi penghukuman. Nominal biaya perkara ini memang relatif
rendah karena belum pernah direvisi semenjak berlaku 40 tahun lalu, sementara
jumlah pidana denda dapat mencapai jumlah yang jauh lebih signifikan,
tergantung dari bentuk kejahatan dan akibat yang ditimbulkan terdakwa. Sebagai
contoh, Mahkamah Agung pernah menjatuhkan pidana denda hingga satu milyar
rupiah dalam perkara korupsi lahan sawit di Riau yang melibatkan Surya Darmadi,
founder dan chairman PT Darmex Agro Group.
Reaksi publik yang kuat menunjukkan bahwa masyarakat
sangat memperhatikan isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Meskipun
demikian, masyarakat awam yang asing dengan istilah hukum kemungkinan besar
akan keliru ketika menafsirkan putusan pengadilan, sehingga timbul keprihatinan
publik bahwa terdakwa korupsi seperti Toni Tamsil hanya dihukum dengan “denda”
sejumlah lima ribu rupiah. Padahal, Pengadilan Negeri Pangkalpinang sebenarnya
telah menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun, sedangkan perintah untuk
membayar sejumlah lima ribu rupiah merupakan biaya perkara yang memang harus
dibebankan kepada seluruh terpidana. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa
masyarakat sangat membutuhkan edukasi hukum yang memadai. Selain itu, media
juga memegang tanggung jawab krusial untuk menghindari titel pemberitaan yang
berpotensi misleading. Di lain pihak, penting bagi seluruh aparatur
untuk selalu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan
penegakan hukum, karena setiap pengambilan kebijakan akan selalu terpantau oleh
publik yang kritis. (LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum