Tembilahan, Riau — Proses diversi di Pengadilan Negeri (PN) Tembilahan berujung damai. Dalam perkara Nomor X/Pid.Sus-Anak/2025/PN.Tbh yang merupakan perkara splitsing dengan perkara lainnya, seorang anak berusia 16 tahun berinisial M.H, berhasil difasilitasi oleh Hakim Melati Adventine C. Silitonga untuk mencapai kesepakatan damai dengan korban pada Kamis (20/11).
Kasus ini bermula dari hilangnya sepeda motor Supra warna hitam-merah milik korban, Darsani, pada 28 Oktober 2025 di Desa Gemilang, Kecamatan Batang Tuaka.
Anak MH. didakwa berdasarkan Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke-5 KUHP. Dalam forum diversi, MH. mengakui perbuatannya dan menyampaikan penyesalan mendalam.
Baca Juga: Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP
“Saya menyesal, Pak, Bu. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” ucap MH dengan suara pelan.
Orang tua MH turut menyampaikan permohonan maaf kepada korban.
Korban, Darsani, menerima permintaan maaf tersebut dan menyatakan kesediaannya menempuh jalur kekeluargaan.
“Saya ikhlas memaafkan. Yang penting anak ini bisa berubah dan tidak mengulangi perbuatannya,” ujarnya di hadapan peserta diversi.
Proses diversi berjalan lancar dan menghasilkan kesepakatan damai. MH kemudian dikembalikan kepada orang tuanya untuk mendapatkan pembinaan lanjutan. Sementara itu, barang bukti sepeda motor diserahkan kepada Penuntut Umum untuk kepentingan perkara lain atas nama M. Rian.
Hakim Melati, menegaskan pentingnya diversi sebagai instrumen perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana.
Baca Juga: Keselarasan KUHP dan KUHAP dalam Mendukung Pemaafan Hakim
“Diversi dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak dan menjaga hubungan baik antara pelaku dan korban,” tuturnya menutup proses diversi.
Kesepakatan ini kembali menunjukkan bahwa penerapan keadilan restoratif mampu menjadi solusi efektif dalam penanganan perkara anak, sekaligus membuka ruang pemulihan hubungan sosial di masyarakat. Kesepakatan ini kembali menunjukkan bahwa penerapan keadilan restoratif mampu menjadi solusi efektif dalam penanganan perkara anak, sekaligus membuka ruang pemulihan hubungan sosial di masyarakat. Kasus ini juga menegaskan bahwa proses hukum yang humanis tidak hanya menyelesaikan perkara, tetapi turut memulihkan relasi, memberikan kesempatan kedua bagi anak, serta memperkuat peran keluarga sebagai lingkungan utama pembinaan. (zm/fac)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI