Cari Berita

Penafsiran Eskstensif-Restriktif: Jalan Tengah atas Larangan Analogi

Albert Bintang Partogi-Hakim PN Singaraja - Dandapala Contributor 2025-09-12 08:05:28
Dok. Ist.

Penggunaan analogi secara tegas telah dilarang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya, KUHP Baru). Analogi yang berasal dari bahasa latin “analogia” yaitu “ana” (menurut) dan “logia” (proporsi atau perbandingan), merupakan salah satu penemuan hukum yang dilakukan dengan metode konstruksi hukum.

Konstruksi hukum dalam analogi dilakukan dengan cara merangkum unsur-unsur yang terdapat dalam teks undang-undang dan menggunakannya sebagai dasar logika untuk dianalisa dan dibandingkan dengan perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, dengan tujuan untuk menemukan persamaan diantara keduanya sehingga makna dalam teks undang-undang menjadi lebih luas.

Analogi sebenarnya dapat membantu penegak hukum ketika menghadapi kekosongan hukum, namun di sisi lain penerapannya dapat menyebabkan ketidakpastian hukum karena dapat memperluas ketentuan pidana terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak dilarang dalam undang-undang.

Baca Juga: Analogi Dalam Putusan Pidana, Apakah Terobosan Atau Kemunduran Hukum ?

Hal tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip hukum pidana nullum delictum, nulla poena, sine praevia, lege poenali (tiada delik, tiada pidana, tanpa adanya aturan hukum pidana), yang salah satu penerapannya mewajibkan penegak hukum untuk menafsirkan hukum pidana secara ketat (lex stricta). Asas inilah yang membuat analogi menjadi penemuan hukum yang dilarang dalam KUHP Baru.

Seiring berkembangnya teori penemuan hukum, terdapat penemuan hukum lain yang secara praktis sangat sulit dibedakan dengan analogi, yaitu: penafsiran ekstensif. Secara prinsip, penafsiran ekstensif berbeda dengan analogi karena metode penemuan hukum yang digunakan adalah metode interpretasi.

Dalam metode interpretasi, penafsiran dilakukan pada teks undang-undang dan hasil penafsirannya tidak boleh keluar dari norma yang diatur dalam teks undang-undang.

Meskipun secara prinsip berbeda, penafsiran ekstensif memiliki tujuan yang sama dengan analogi yaitu untuk memperluas cakupan ketentuan dalam undang-undang.  Adanya kesamaan tujuan ini yang kemudian dalam praktiknya sulit untuk membedakan analogi dengan penafsiran ekstensif.

Hal ini lah yang kemudian menjadi dasar alasan Scholten mendukung penerapan analogi dalam hukum pidana karena menurut Scholten, penafsiran ekstensif tidak memiliki perbedaan dengan analogi.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Jonkers yang mengkritisi penerapan penafsiran ekstensif dalam Putusan Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 dalam kasus tindak pidana pencurian listrik yang menyamakan perbuatan menghidupkan listrik dengan perbuatan mengambil barang atau Putusan Rechtbank Leeuwarden tanggal 10 Desember 1919 yang menyamakan perbuatan seseorang yang datang dan berdiri di dekat sapi yang telah melepaskan diri sebagai perbuatan mengambil ternak. Jonkers berpendapat bahwa sesungguhnya putusan-putusan tersebut tidak menerapkan interpretasi, melainkan analogi.  

Dalam menjelaskan penerapan larangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru, Eddy O. S. Hiariej dan Topo Santoso membedakan antara analogi yang diperbolehkan yang dan yang dilarang.

Menurutnya, rechts analogie atau analogi hukum tidak boleh diterapkan, sedangkan gesetze analogie atau analogi undang-undang masih boleh diterapkan sepanjang dimaksudkan untuk menjelaskan unsur pasal. Berangkat dari pendapat tersebut, beliau menilai bahwa Putusan Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 yang dikritisi Jonkers, sebenarnya masih menggunakan gesetze analogie, sehingga penafsiran terhadap perbuatan menghidupkan listrik sebagai tindak pidana pencurian adalah analogi yang masih dapat dilakukan.

Terhadap penjelasan tersebut, Penulis belum merasa cukup karena penjelasan tersebut hanya akan menambah kerancuan dalam pemberlakuan larangan analogi pada KUHP baru.

Di satu sisi Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru telah melarang penerapan analogi, namun di sisi lain terdapat pengecualian analogi yang lain. Hal ini akan menimbulkan standar ganda dalam penerapan Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru karena pada prinsipnya analogi bersandar pada metode konstruksi hukum.

Hal tersebut akan memicu pertanyaan-pertanyaan mendasar mengapa KUHP Baru melarang analogi jika terdapat bentuk analogi lain yang diperbolehkan? Oleh karenanya, menurut penulis, sebaiknya larangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru diterapkan secara ketat dimana larangan penggunaan rechts analogie berlaku pula bagi gesetze analogie.

Akan tetapi, hal tersebut belum secara tuntas menjawab permasalahan utama mengenai penerapan analogi yang sulit dibedakan dengan penafsiran ekstensif. Tentunya penegak hukum khususnya hakim membutuhkan penemuan hukum yang tujuannya memperluas cakupan ketentuan hukum manakala menghadapi kekosongan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih tidak ada hukumnya dan hakim harus mampu menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Oleh karenanya, penafsiran ekstensif adalah penemuan hukum yang tetap diperlukan jika KUHP Baru telah melarang secara tegas penggunaan analogi. Namun, jika analogi dan penafsiran ekstensif sulit untuk dibedakan, maka larangan analogi dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Baru dapat berimplikasi pula pada larangan penafsiran ekstensif.

Atau, sebaliknya, larangan analogi dalam KUHP Baru akan menjadi pasal yang dapat disalahgunakan karena analogi menjadi dapat secara bebas digunakan dengan dalih menggunakan penafsiran ekstensif.

Terhadap permasalahan tersebut, Penulis memandang penting adanya batasan yang tegas dalam penerapan penafsiran ekstensif. Dalam penerapannya, penafsiran ekstensif dapat digabungkan atau diterapkan secara bersamaan dengan penafsiran restriktif menjadi penafsiran ekstensif-restriktif.

Penafsiran restriktif adalah metode interpretasi yang bertujuan untuk membatasi makna ketentuan hukum dengan mempertimbangkan ruang lingkup undang-undangnya.

Dengan menggabungkan penafsiran ekstensif dan restriktif maka penafsirannya tetap dapat memperluas cakupan ketentuan undang-undang dengan adanya batasan yang tegas yang tidak dapat dilanggar sesuai dengan makna restriktif di dalamnya. Hal ini akan menjadi titik pembeda dengan analogi sehingga larangan analogi dalam KUHP Baru dapat diterapkan sepenuhnya.

Menurut penulis, unsur restriktif dalam penafsiran ekstensif-restriktif dapat berfungsi sebagai batasan agar penafsiran ekstensif tidak mengubah norma yang telah diatur dalam undang-undang.

Misalnya, dalam Undang-Undang Lalu Lintas Jalan yang belum memberikan definisi terhadap kendaraan listrik, penafsiran ekstensif-restriktif dapat diterapkan terhadapnya dengan memperluas frasa kendaraan bermotor mencakup pula kendaraan listrik.

Meskipun perluasan ini tidak sejalan dengan KBBI yang mendefinisikan mesin sebagai perkakas yang meggunakan bahan bakar minyak atau tenaga lama, sedangkan motor sebagai tenaga penggerak, namun tidak ada perubahan norma dalam undang-undang dalam mendefinisikan kendaraan bermotor sehingga ketentuan ketentuan kendaraan bermotor dalam undang-undang dapat diterapkan pula pada kendaraan listrik.

Baca Juga: Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis

Berbeda halnya jika mendefinisikan kendaraan listrik sebagai kendaraan tidak bermotor, maka makna restriktif dalam penafsiran ekstensif-restriktif akan melarangnya, mengingat kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

Penggabungan penafsiran ekstensif dan restriktif sejatinya memang tidak dikenal dalam teori penemuan hukum karena dalam teori penemuan hukum, keduanya adalah penafsiran yang berdiri sendiri, namun hal ini dapat menjadi solusi praktis agar penerapan larangan analogi dalam KUHP Baru dapat diterapkan secara tegas tanpa mengurangi hak penegak hukum khususnya hakim untuk melakukan penemuan hukum. Pada akhirnya, diperlukan pengaturan lebih lanjut agar hakim memiliki rambu yang jelas dalam membedakan analogi dan penafsiran ekstensif. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI