Cari Berita

Wakil Ketua MA: Kebebasan Berekspresi Dilindungi Konstitusi

Yura Pratama Yudhistira (PN Langsa) - Dandapala Contributor 2025-09-04 14:15:51
Dok. Ist.

Kebebasan berekspresi merupakan hak warga negara yang dilindungi oleh Konstitusi. Sebenarnya jika disebutkan ada delik kebebasan berekspresi, sesungguhnya hal tersebut tidak ada karena telah dilindungi oleh Konstitusi. Jika ada anggapan bahwa terdapat delik kebebasan berekspresi itu merupakan delik materiil dan hal ini merupakan hal yang beririsan.

Apakah yang ditonjolkan kebebasan ekspresinya ataukah perbuatan materiilnya yang dikualifikasi sebagai delik. Hal tersebut disampaikan Suharto, Wakil Ketua Bidang Yudisial Mahkamah Agung dalam acara peluncuran dan webinar “Putusan-Putusan Penting (Landmark Decision) terkait Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital” yang diadakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada 3 September 2025.

Dalam penanganan perkara terkait kebebasan ekspresi, Suharto, juga memandang bahwa hakim berdiri di antara dua tegangan, yakni kepentingan penyidikan dan kepentingan Terdakwa. Hakim seharusnya memilih jalan pro terhadap hukum.

Baca Juga: Mengguggah Kembali Kesadaran Berkonstitusi

Namun, hukum itu sendiri multi tafsir, sehingga pengetahuan dan pemahaman Hakim akan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia menjadi hal yang sangat penting.

Suharto, menganggap baik penelitian yang dilakukan oleh LeIP mengenai Putusan-Putusan Penting (Landmark Decision) terkait Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital yang dapat menjadi pijakan dan referensi dalam penanganan perkara. Menurutnya, meskipun Indonesia tidak menganut stare decisis sebagaimana negara-negara yang menganut doktrin hukum common law, tapi bukan berarti hakim tidak boleh mengikuti putusan hakim sebelumnya, apalagi putusan yang oleh beberapa kalangan dianggap memiliki pertimbangan yang baik mengenai penerapan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

LeIP sendiri melakukan penelitian ini dengan membaca 284 putusan dan menemukan 218 putusan yang relevan terkait Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital. LeIP kemudian menyimpulkan bahwa terdapat 25 putusan yang dapat dikategorikan sebagai landmark decision.

Dari putusan-putusan tersebut, LeIP melakukan klasifikasi kaidah hukum putusan-putusan penting terkait hak kebebasan berekspresi.

Klasifikasi pertama adalah seseorang tidak dapat dipidana atas dasar pernyataan yang sesuai dengan fakta atau hasil laporan yang dapat dibuktikan kebenarannya.

LeIP juga menemukan pertimbangan yang menyatakan bahwa kritik terhadap pejabat publik bukan merupakan perbuatan melawan hukum dan merupakan ekspresi yang sah dan bagian dari hak berpikir, berpendapat, atau memberikan pandangan terhadap kebijakan publik sepanjang kritik tersebut berkaitan dengan statusnya sebagai pejabat dan tidak menyerang secara personal.

Kaidah hukum lainnya adalah suatu perbuatan tidak termasuk sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik apabila dilakukan demi kepentingan umum. Selanjutnya unsur diketahui umum tidak terpenuhi apabila pernyataan yang dianggap bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak disebarkan untuk umum atau khalayak ramai.

Pertimbangan lain ditemukan yaitu suatu tuduhan tidak dapat disebut sebagai pencemaran nama baik apabila tidak diketahui secara jelas siapa individu yang dimaksud dalam suatu tuduhan.

Dalam acara yang sama, Nur Ansar dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan bahwa memang terdapat beberapa tindak pidana yang beririsan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Ia mencontohkan di Kasus Robandi dkk tindak pidana yang digunakan adalah pemalsuan surat/dokumen, sementara di kasus warga Maba Sangaji yang digunakan adalah Pasal 368 KUHP, tindak pidana membawa senjata tajam, dan Pasal 162 UU Minerba.

Nur Ansar memandang Hakim memiliki peran penting dalam upaya penikmatan dan pemajuan HAM. Dalam konteks pidana, pengadilan menjadi pintu terakhir untuk menentukan orang bersalah atau tidak. Jika seseorang dinyatakan bersalah padahal yang dilakukan adalah ekspresi yang sah, pada akhirnya berdampak pada hak dasar itu sendiri.

Sebenarnya, hakim bisa menggunakan penafsiran atau penerapan instrumen HAM baik yang sudah diratifikasi maupun yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Untuk yang belum diratifikasi, hakim tetap bisa menjadikan itu sebagai bahan penafsiran dengan konteks hukum nasional. Melalui putusannya hakim bisa memperbaiki penafsiran atau justru mengembangkan penafsiran hukum.

Hal senada disampaikan Eko Riyadi dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia menyampaikan terdapat beberapa metodologi penerapan hukum HAM dalam Perkara Pidana.

Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis

Alternatif pertama adalah deference yang merupakan metode menghindari untuk mengambil secara langsung instrumen Hak Asasi Manusia dalam menangani perkara karena sebenarnya prinsip hak asasi manusia telah menyatu dengan hukum pidana. Sedangkan alternatif kedua adalah melakukan penafsiran, saat (1) terdapat multi tafsir: menelusuri norma, merumuskan makna, dan mempelajari kasus-kasus (case law) yang relevan. (2) terdapat kontradiksi: memberikan penilaian, menyimpang, atau memilih menggunakan norma lain, atau (3) ketiadaan norma: menghadirkan norma hak asasi manusia. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI