Kebebasan berekspresi merupakan hak warga negara yang dilindungi
oleh Konstitusi. Sebenarnya jika disebutkan ada delik kebebasan berekspresi,
sesungguhnya hal tersebut tidak ada karena telah dilindungi oleh Konstitusi.
Jika ada anggapan bahwa terdapat delik kebebasan berekspresi itu merupakan
delik materiil dan hal ini merupakan hal yang beririsan.
Apakah yang ditonjolkan kebebasan
ekspresinya ataukah perbuatan materiilnya yang dikualifikasi sebagai delik. Hal
tersebut disampaikan Suharto, Wakil Ketua Bidang Yudisial Mahkamah Agung dalam
acara peluncuran dan webinar “Putusan-Putusan Penting (Landmark Decision)
terkait Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital” yang diadakan oleh Lembaga
Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada 3 September 2025.
Dalam penanganan perkara terkait
kebebasan ekspresi, Suharto, juga memandang bahwa hakim berdiri di antara dua
tegangan, yakni kepentingan penyidikan dan kepentingan Terdakwa. Hakim
seharusnya memilih jalan pro terhadap hukum.
Baca Juga: Mengguggah Kembali Kesadaran Berkonstitusi
Namun, hukum itu sendiri multi tafsir,
sehingga pengetahuan dan pemahaman Hakim akan kebebasan berekspresi sebagai
bagian dari Hak Asasi Manusia menjadi hal yang sangat penting.
Suharto, menganggap baik penelitian
yang dilakukan oleh LeIP mengenai Putusan-Putusan Penting (Landmark Decision)
terkait Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital yang dapat menjadi pijakan
dan referensi dalam penanganan perkara. Menurutnya, meskipun Indonesia tidak
menganut stare decisis sebagaimana negara-negara yang menganut doktrin
hukum common law, tapi bukan berarti hakim tidak boleh mengikuti putusan
hakim sebelumnya, apalagi putusan yang oleh beberapa kalangan dianggap memiliki
pertimbangan yang baik mengenai penerapan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
LeIP sendiri melakukan penelitian ini
dengan membaca 284 putusan dan menemukan 218 putusan yang relevan terkait
Kebebasan Berekspresi dan Hak-Hak Digital. LeIP kemudian menyimpulkan bahwa
terdapat 25 putusan yang dapat dikategorikan sebagai landmark decision.
Dari putusan-putusan tersebut, LeIP
melakukan klasifikasi kaidah hukum putusan-putusan penting terkait hak
kebebasan berekspresi.
Klasifikasi pertama adalah seseorang
tidak dapat dipidana atas dasar pernyataan yang sesuai dengan fakta atau hasil
laporan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
LeIP juga menemukan pertimbangan yang
menyatakan bahwa kritik terhadap pejabat publik bukan merupakan perbuatan
melawan hukum dan merupakan ekspresi yang sah dan bagian dari hak berpikir,
berpendapat, atau memberikan pandangan terhadap kebijakan publik sepanjang
kritik tersebut berkaitan dengan statusnya sebagai pejabat dan tidak menyerang
secara personal.
Kaidah hukum lainnya adalah suatu
perbuatan tidak termasuk sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik apabila
dilakukan demi kepentingan umum. Selanjutnya unsur diketahui umum tidak
terpenuhi apabila pernyataan yang dianggap bermuatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik tidak disebarkan untuk umum atau khalayak ramai.
Pertimbangan lain ditemukan yaitu
suatu tuduhan tidak dapat disebut sebagai pencemaran nama baik apabila tidak
diketahui secara jelas siapa individu yang dimaksud dalam suatu tuduhan.
Dalam acara yang sama, Nur Ansar dari Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan bahwa memang terdapat
beberapa tindak pidana yang beririsan dengan kebebasan berekspresi dan
berpendapat.
Ia mencontohkan di Kasus Robandi dkk
tindak pidana yang digunakan adalah pemalsuan surat/dokumen, sementara di kasus
warga Maba Sangaji yang digunakan adalah Pasal 368 KUHP, tindak pidana membawa
senjata tajam, dan Pasal 162 UU Minerba.
Nur Ansar memandang Hakim memiliki
peran penting dalam upaya penikmatan dan pemajuan HAM. Dalam konteks pidana,
pengadilan menjadi pintu terakhir untuk menentukan orang bersalah atau tidak.
Jika seseorang dinyatakan bersalah padahal yang dilakukan adalah ekspresi yang
sah, pada akhirnya berdampak pada hak dasar itu sendiri.
Sebenarnya, hakim bisa menggunakan
penafsiran atau penerapan instrumen HAM baik yang sudah diratifikasi maupun
yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Untuk yang belum
diratifikasi, hakim tetap bisa menjadikan itu sebagai bahan penafsiran dengan
konteks hukum nasional. Melalui putusannya hakim bisa memperbaiki penafsiran
atau justru mengembangkan penafsiran hukum.
Hal senada disampaikan Eko Riyadi dari
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia menyampaikan terdapat beberapa
metodologi penerapan hukum HAM dalam Perkara Pidana.
Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis
Alternatif pertama adalah deference
yang merupakan metode menghindari untuk mengambil secara langsung instrumen Hak
Asasi Manusia dalam menangani perkara karena sebenarnya prinsip hak asasi
manusia telah menyatu dengan hukum pidana. Sedangkan alternatif kedua adalah melakukan
penafsiran, saat (1) terdapat multi tafsir: menelusuri norma, merumuskan makna,
dan mempelajari kasus-kasus (case law) yang relevan. (2) terdapat kontradiksi:
memberikan penilaian, menyimpang, atau memilih menggunakan norma lain, atau (3)
ketiadaan norma: menghadirkan norma hak asasi manusia. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI