Cari Berita

Pembantaran (Stuiting): Permasalahan dan Solusi Praktis

M. Luthfan HD Darus - Dandapala Contributor 2025-10-26 10:25:01
Dok. Penulis.

Dalam praktik peradilan, pembantaran (stuiting) bagi Terdakwa sering menjadi diskursus sendiri, sehingga dalam praktik penanganan pembantaran (stuiting) juga tidak seragam.

Sedikitnya permasalahan pembantaran terjadi mulai dari penetapan mengeluarkan dan mengembalikan Terdakwa dari dan ke rumah tahanan, pengawalan, penghitungan masa pembantaran (stuiting), sampai biaya pengobatan, atau bahkan Terdakwa melarikan diri atau sakit berkepanjangan pada saat pembantaran sehingga tidak dapat dihadirkan dipersidangan.

Terminologi pembantaran sendiri tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembantaran dalam regulasi dan praktik peradilan baru ditemukan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:

  1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.Um.01.06 tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah tahanan Negara;
  2. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat-Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan (SEMA No. 1/1989).
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (PP 58/1999);
  4. Surat Keputusan KMA Nomor KMA/032/SK/IV/2007 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II MA halaman 252).

Regulasi di atas tidak memberikan defisini tentang pembantaran. Pembantaran menurut KBBI (Versi daring/ https://kbbi.kemdikbud.go.id/) merupakan penangguhan masa penahanan: masa penahanannya (masa penahanan yang tidak dihitung) selama dirawat di rumah sakit.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Namun, dari keempat regulasi di atas setidaknya pembantaran dapat dimaksudkan sebagai proses perawatan Terdakwa di rumah sakit (termasuk rumah sakit jiwa) untuk mendapatkan rawat inap di rumah sakit di luar rumah tahanan negara dan tenggang waktu penahanannya dibantar (gestuit). Masa pembantaran ini tidak dihitung sebagai waktu penahanan.

Pembantaran dalam pembahasan ini terbatas pada pembantaran Terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan di pengadilan.

Perlukah penetapan tersendiri untuk membantarkan Terdakwa.

Dalam praktik peradilan, pandangan pertama berpandapat tidak perlu menggunakan penetapan tersendiri dengan dasar argumentasi SEMA No. 1/1989.

Angka 5 SEMA No. 1/1989 menyebutkan pembatantaran (suiting) sebagaimana dimaksud dalam butir 5 tidak perlu memakai penetapan tersendiri dari Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi berlaku dengan sendirinya dan akan berakhir begitu terdakwa berada kembali dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan).

Proses pembantaran dalam praktik pertama ini dilakukan hanya sebatas koordinasi dan pemberitahuan dari Rutan tempat Terdakwa di tahan kepada pengadilan. Dalam praktiknya Rutan melaporkan riwayat penyakit Terdakwa dengan melampirkan surat rekomendasi dokter tahanan. Begitupun ketika Terdakwa telah selesai menjalani masa pembantaran, Rutan akan memberitahukannya kembali kepada pengadilan.

Pendapat kedua, pembantaran harus dilakukan berdasarkan penetapan, dalam hal ini Majelis Hakim yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Pandangan kedua ini berpendapat, tanggungjawab yuridis status penahanan Terdakwa merupakan tahanan dari pengadilan, maka untuk mengeluarkan dan memasukan Terdakwa dari dan ke dalam Rutan setelah menjadi tahanan pengadilan harus mendapat izin dari instansi yang menahan yaitu pengadilan.

Argumentasi yang kedua ini juga sejalan dengan Buku II MA (halaman 252) Poin 17.2 menyatakan pembantaran dilakukan menggunakan penetapan Majelis Hakim. Selain itu, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) PP 58/1999 pada pokoknya menjelaskan dalam hal tahanan yang sakit memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter atau tenaga kesehatan memberikan rekomendasi kepada Kepala Rutan agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit di luar Rutan dan harus mendapat izin dari instansi yang menahan dan kepala Rutan.

Meskipun PP 58/1999 tidak menyebutkan secara tegas tentang pembantaran, namun PP 58/1999 mensyaratkan adanya izin dari instansi yang menahan untuk merujuk tahanan yang sakit dari Rutan. Produk pengadilan dari izin tersebut berbentuk penetapan dari Majelis Hakim yang menahan Terdakwa.

Sejalan dengan dua regulasi tersebut, SK KMA Nomor 365/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik, Angka VII. B.3. menyatakan setelah permohonan pembantaran dinyatakan lengkap dan di daftarkan dalam SIP, maka selanjutnya Hakim menerbitkan penetapan pembantaran.

Penulis cenderung sepakat dengan pandangan yang kedua, yaitu proses pembantaran harus mendapatkan penetapan dari pengadilan sebagai instansi yang bertanggungjawab secara yuridis menahan Terdakwa.

Prinsipnya, proses administrasi pembantaran jangan sampai menghilangkan atau mengurangi hak asasi manusia Terdakwa dalam hal sesegera mungkin untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan. Namun, proses administrasi diperlukan dalam rangka tertib administrasi, penetapan tersebut nantinya akan dipergunakan oleh hakim dalam menghitung masa penahanan dan masa pembantaran.

Begitupun ketika putusan telah berkekuatan hukum tetap, masa penahanan dan pembantaran yang telah dijalani Terdakwa sebagai dasar perhitungan menjalani sisa masa hukuman penjara yang dijatuhkan.

Perlukah penetapan kembali ketika Terdakwa selesai manjalani pembantaran.

Praktik pertama perpandangan setelah Terdakwa menjalani pembantaran perlu dibuatkan penetapan tersendiri untuk menahan kembali. Hal ini berangkat dari pemikiran, ketika Terdakwa dibantarkan dan penahanan terhenti melalui penetapan sehingga untuk mengaktifkan (menahan) kembali Terdakwa juga menggunakan penetapan.

Selain itu, tanggal penetapan penahan kembali yang dibuat tersendiri juga dijadikan dasar penghitungan masa penahanan lanjutan, yaitu dimulai sejak kapan ditahan (sejak ditetapkan kembali) dan sampai kapan penahanan berakhir. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan penghitungan sisa masa penahanan.

Praktik kedua, penetapan dan pembantaran dibuat dalam satu penetapan. Majelis Hakim pada saat mengeluarkan penetapan pembantaran juga sekaligus dapat mencantumkan amar penetapan yang setidaknya berbunyi “menetapkan agar segera setelah kondisi kesehatan Terdakwa membaik dan memungkinkan mengikuti persidangan untuk kembali dilakukan penahanan di Rutan…”

Amar ini sekaligus mempertegas agar Terdakwa dikembalikan ke Rutan setelah selesai menjalani pembantaran. Sehingga Majelis Hakim tidak perlu mengeluarkan penetapan tersendiri.

Hal yang terpenting perlu diperhatikan adalah pencatatan pembantaran melalui SIPP dengan memilih menu status penahanan-pembantaran (stuitting) dan selanjutnya menginput tanggal pembantaran maka secara otomatis proses penahanan melalui SIPP akan terhenti. Hal ini penting dilakukan agar data penahanan-pembantaran di SIPP sesuai dengan penetapan Hakim.

Kapan pembantaran mulai di hitung?

Pembantaran mulai dihitung sejak tanggal Terdakwa secara nyata dirawat (inap) di rumah sakit. Apabila setelah Terdakwa di bawa berobat ke rumah sakit, dan tidak perlu di rawat inap dan cukup rawat jalan, maka proses pengobatan ini tidak masuk ke dalam pembantaran.

Untuk membuktikan Terdakwa dirawat inap maka harus dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Kepala Rumah Sakit di tempat mana Terdakwa di rawat (Sema 1/1989). Dalam praktiknya, surat keterangan tersebut tidak harus selalu di tandatangani oleh kepala rumah sakit, dapat juga di tandatangani oleh dokter atau unit yang bertanggungjawab terhadap pasien.

Lantas bagaimana jika hakim lupa atau tidak mencatat masa pembantaran dalam putusannya?

Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan dst, pencatuman masa pembantaran terakomodir dalam template putusan pidana dengan menyediakan format masa pembantaran jika ada.

Dalam praktik peradilan juga ditemukan putusan pidana yang mencantumkan masa pembantaran di dalam amar putusan. Meskipun hal ini bukan merupakan kewajiban dan tidak terakomodir dalam template putusan pidana.

Salah satu contohnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt. Pst, dengan salah satu amar putusan sebagai berikut:

“Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Kecuali masa pembantaran tidak ikut diperhitungkan (Rawat inap di Rumah Sakit Medistra Jakarta); atau Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, kecuali waktu selama dia dirawat inap di rumah sakit …;”

Pencantuman masa pembantaran dalam putusan sebagai informasi yang dapat dijadikan dasar penghitungan pengurangan/penghentian penghitungan masa penahanan Terdakwa. Dengan tidak dicantumkan masa pembantaran dalam putusan, maka Terdakwa dapat dianggap tidak pernah dibantarkan.

Tidak dicantumkannya masa pembantaran dalam putusan, justru menguntungkan Terdakwa. Karena seharusnya selama Terdakwa menjalani masa pembantaran proses penahanan secara otomatis terhenti.

Secara hukum, apabila Hakim lupa atau tidak mencantumkan masa pembantaran di dalam putusannya maka tidak memiliki konsekuensi apapun terhadap putusan. Namun, informasi penahanan Terdakwa menjadi tidak utuh. Meskipun tidak dicantumkan dalam amar putusan, minimal masa pembantaran tersebut tergambar di bagian awal putusan sesuai template.

Bagaimana pengamanan pembantaran Terhadap Terdakwa?

Selama Terdakwa menjalani pembantaran di rumah sakit, maka wajib dijaga agar Terdakwa tidak melarikan diri. Bukankah ketika Terdakwa dibantarkan, statusnya bukan sebagai tahanan, kenapa harus dijaga? Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar Terdakwa tidak melarikan diri pada saat pembantaran.

Dalam praktik siapa yang bertanggungjawab menyediakan pengawalan terhadap Terdakwa yang sedang dibantarkan sering menjadi diskursus sendiri. Khususnya untuk pelaku tindak pidana tertentu yang harus mendapatkan pengawalan khusus.

Pembantaran ini berkaitan dengan hak asasi manusia, sehingga proses pengawalan Terdakwa untuk dibantarkan tidak dapat mengurangi hak Terdakwa untuk segera mendapatkan perobatan.

Pengadilan dapat menggunakan landasan yuridis PP 58/1999. Pasal 24 ayat (5) PP 58/1999 tersebut mensyaratkan Terdakwa yang akan mendapatkan pelayanan ke rumah sakit mewajibkan untuk dikawal oleh petugas kepolisian.

Untuk itu, Majelis Hakim dalam penetapan pembantaran selain memerintahkan agar Terdakwa di rawat inap juga diperintahkan agar dilakukan pengawalan dan penjagaan oleh petugas kepolisian. Selanjutnya penetapan itu dieksekusi oleh penunut umum sesuai dengan kewenangannya (Pasal 13 KUHAP). 

Biaya pengobatan dibebankan ke siapa?

Dalam praktik peradilan, ketiadaan identitas, tidak masuknya Terdakwa dalam program jaminan kesehatan pemerintah, tidak dicovernya penyakit Terdakwa dalam jaminan kesehatan, sehingga menimbulkan tagihan biaya pengobatan dan harus dibayarkan.

Dalam persidangan perkara mantan Gubernur Papua Lukas Enembe biaya pembantaran juga menjadi perdebatan antara penuntut umum dan penasihat hukum Terdakwa. (https://nasional.kompas.com/read/2023/07/17/15145811/saat-jaksa-kpk-pertanyakan-biaya-perawatan-lukas-enembe).

Dalam kasus tertentu, dikarenakan Terdakwa tidak masuk ke dalam asuransi kesehatan pemerintah, sehingga harus menjadi pasien umum. Setelah Terdakwa selesai menjalani pengobatan di rumah sakit, rumah sakit tidak membolehkan Terdakwa keluar karena harus membayar biaya pengobatan terlebih dahulu. Perdebatan kembali muncul, pengadilan, penuntut umum atau Rutan yang bertanggungjawab?

Untuk menjawab hal tersebut, Pasal 24 ayat (6) PP 58/1999 juga telah menegaskan biaya perawatan kesehatan di rumah sakit dibebankan kepada Negara. Sehingga tidak patut jika pengadilan dibebankan untuk membayar pengobatan.

Sehingga Majelis Hakim dalam penetapan pembantarkan dapat juga memasukan perintah agar biaya pengobatan Terdakwa selama pembantaran dibebankan kepada negara.

Praktik pengadilan terhadap Terdakwa yang meninggal atau melarikan diri pada saat pembantaran

Beberapa kasus pembantaran –khusus perkara yang pemeriksaannya tidak in absesnia- ditemui Terdakwa melarikan diri pada saat proses pembantaran, Terdakwa meninggal atau sakit yang berkepanjangan sehingga memakan waktu perawatan yang lebih lama dan perkaranya menjadi tunggakan di pengadilan.

Dalam hal terdakwa meninggal selama proses pembantaran, baik itu proses pemeriksaannya sudah selesai atau belum, maka sikap yang diambil oleh pengadilan sesuai dengan Pasal 77 KUHAP sehingga perkara tersebut dinyatakan gugur.

Dalam kasus Terdakwa melarikan diri selama proses persidangan atau Terdakwa sakit berkepanjangan dan tidak bisa dihadirkan lagi, maka sikap yang dapat diambil sebagai berikut:

Pertama, apabila proses pemeriksaannya (pembuktian) telah dinyatakan selesai (Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP), maka proses persidangan sampai pembacaan putusan dapat dilanjutkan tanpa dihadiri terdakwa.

Kedua, proses pemeriksaannya (pembuktian) belum dimulai atau belum selesai, maka dalam praktik peradilan pengadilan menyatakan penuntutan tidak dapat diterima. Konsekuensi logisnya, terhadap keputusan tersebut sekaligus menghentikan masa pembantaran.

Contoh kasus Terdakwa melarikan diri pada saat pembantaran dapat dilihat dari perkara Pengadilan Negeri Pinrang Nomor 104/Pid.B/2022/PN Pin. Dalam perkara tersebut Penuntut Umum tidak dapat menghadirkan Terdakwa sejak sidang pertama sampai dengan sidang kelima (pembacaan surat dakwaan).

Awalnya Terdakwa tidak dapat dihadirkan karena sedang menjalani masa pembantaran. Namun, pada saat proses pembantaran Terdakwa telah melarikan diri dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak ada jaminan Penuntut Umum dapat menghadirkan Terdakwa ke persidangan. Pada persidangan keenam sikap Majelis Hakim dalam perkara tersebut adalah menyatakan penuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima.

Contoh kasus lain Terdakwa tidak dapat dihadirkan dalam persidangan pertama dan kedua karena sedang dibantarkan dapat dilihat dari perkara Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 382/Pid.Sus/2016/PN Sim. Dalam perkara tersebut Penuntut Umum pada persidangan pertama dan kedua tidak dapat menghadirkan Terdakwa karena sedang dibantarkan di rumah sakit.

Majelis Hakim dalam perkara tersebut berpendapat “dengan dasar suatu perkara mempunyai jangka waktu untuk penyelesaiannya dan demi tercapainya suatu kepastian atas penanganan perkara tersebut sementara kondisi terdakwa tidak diketahui kapan bisa pulih kesehatannya maka berdasarkan pertimbangan tersebut majelis Hakim menetapkan menyatakan Penuntutan Penuntut Umum terhadap terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima…”

Dalam hal Terdakwa dinyatakan sakit oleh dokter Rutan, maka pengadilan “berkewajiban” untuk memberikan kesempatan kepada Terdakwa mendapatkan pengobatan yang lebih intensif di rumah sakit. Namun, apabila secara terus menerus Terdakwa secara berulang harus dibantarkan dan ditahan kembali, proses ini dapat mengganggu jalannya persidangan.

Alternatif lain yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim adalah dengan mengalihkan penahanan menjadi tahanan kota atau menangguhkan penahanan. Dalam hal penahanan dialihkan juga dapat ditetapkan syarat untuk melaporkan diri setiap 1 (satu) minggu sekali setiap hari tertentu atau setiap hari persidangan dilangsungkan. Begitupun dalam penangguhan, diperintahkan juga kepada Penuntut Umum untuk tetap melakukan pengawasan dan menghadirkan Terdakwa pada setiap persidangan.

Dengan dialihkan atau ditangguhkan, Terdakwa dapat melakukan pengobatan secara intensif sekaligus dapat menghadiri proses persidangan. Kelebihan lainnya, melalui pengalihan tahanan kota, masa penahanan Terdakwa tidak hilang dan tetap dihitung, sehingga Terdakwa tidak dirugikan. Kedua alternatif ini juga mempunyai potensi Terdakwa akan melarikan diri.

Pembantaran tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mempunyai dimensi yang erat dengan hak asasi manusia Terdakwa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Disatu sisi juga, terdapat permasalahan yang mengikutinya, maka diperlukan sikap kehati-hatian dan kebijaksanaan dari Majelis Hakim dalam mempertimbangkan setiap permohonan dan keputusan yang akan dikeluarkan sehubungan dengan permasalahan yang muncul dalam proses pembantaran. (asn/wi/fac)

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Penulis: Dr. M. Luthfan HD Darus, S.H., M.H., M.KN merupakan Hakim Pengadilan Negeri Sei Rampah.

Refrensi.

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.
  3. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat-Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan.
  4. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
  5. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan dst.
  6. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 365/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik
  7. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.Um.01.06 tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah tahanan Negara.
  8. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt. Pst.
  9. Putusan Pengadilan Negeri Pinrang Nomor 104/Pid.B/2022/PN Pin.
  10. Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 382/Pid.Sus/2016/PN Sim.
  11. https://nasional.kompas.com/read/2023/07/17/15145811/saat-jaksa-kpk-pertanyakan-biaya-perawatan-lukas-enembe

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI