Dalam
praktik peradilan, pembantaran (stuiting) bagi Terdakwa sering menjadi diskursus sendiri, sehingga
dalam praktik penanganan pembantaran (stuiting)
juga tidak seragam.
Sedikitnya permasalahan pembantaran
terjadi mulai dari penetapan mengeluarkan dan mengembalikan Terdakwa dari dan
ke rumah tahanan, pengawalan, penghitungan masa pembantaran (stuiting), sampai biaya pengobatan, atau
bahkan Terdakwa melarikan diri atau sakit berkepanjangan pada saat pembantaran
sehingga tidak dapat dihadirkan dipersidangan.
Terminologi pembantaran
sendiri tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pembantaran dalam regulasi dan praktik peradilan baru ditemukan dalam beberapa
ketentuan sebagai berikut:
- Peraturan
Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.Um.01.06 tahun 1983 tentang Tata Cara
Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah tahanan Negara;
- Surat
Edaran Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang
Dirawat-Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi
yang Berwenang Menahan (SEMA No. 1/1989).
- Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (PP 58/1999);
- Surat Keputusan KMA Nomor KMA/032/SK/IV/2007 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Pengadilan (Buku II MA halaman 252).
Regulasi di atas tidak memberikan defisini tentang pembantaran. Pembantaran
menurut KBBI (Versi daring/ https://kbbi.kemdikbud.go.id/)
merupakan penangguhan masa penahanan: masa
penahanannya (masa penahanan yang tidak dihitung) selama dirawat di rumah
sakit.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Namun, dari keempat regulasi di atas setidaknya pembantaran dapat
dimaksudkan sebagai proses perawatan Terdakwa di rumah sakit (termasuk rumah
sakit jiwa) untuk mendapatkan rawat inap di rumah sakit di luar rumah tahanan
negara dan tenggang waktu penahanannya dibantar (gestuit). Masa pembantaran ini tidak dihitung sebagai waktu
penahanan.
Pembantaran dalam pembahasan
ini terbatas pada pembantaran Terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan
di pengadilan.
Perlukah
penetapan tersendiri untuk membantarkan Terdakwa.
Dalam praktik peradilan, pandangan
pertama berpandapat tidak perlu menggunakan penetapan tersendiri dengan dasar
argumentasi SEMA No. 1/1989.
Angka 5 SEMA No. 1/1989
menyebutkan pembatantaran (suiting)
sebagaimana dimaksud dalam butir 5 tidak perlu memakai penetapan tersendiri
dari Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi berlaku dengan sendirinya dan akan
berakhir begitu terdakwa berada kembali dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Proses pembantaran dalam
praktik pertama ini dilakukan hanya sebatas koordinasi dan pemberitahuan dari
Rutan tempat Terdakwa di tahan kepada pengadilan. Dalam praktiknya Rutan
melaporkan riwayat penyakit Terdakwa dengan melampirkan surat rekomendasi
dokter tahanan. Begitupun ketika Terdakwa telah selesai menjalani masa
pembantaran, Rutan akan memberitahukannya kembali kepada pengadilan.
Pendapat kedua, pembantaran
harus dilakukan berdasarkan penetapan, dalam hal ini Majelis Hakim yang menahan
sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Pandangan kedua ini berpendapat,
tanggungjawab yuridis status penahanan Terdakwa merupakan tahanan dari
pengadilan, maka untuk mengeluarkan dan memasukan Terdakwa dari dan ke dalam
Rutan setelah menjadi tahanan pengadilan harus mendapat izin dari instansi yang
menahan yaitu pengadilan.
Argumentasi yang kedua ini juga
sejalan dengan Buku II MA (halaman 252) Poin 17.2 menyatakan pembantaran
dilakukan menggunakan penetapan Majelis Hakim. Selain itu, berdasarkan Pasal 24
ayat (1) dan (2) PP 58/1999 pada pokoknya menjelaskan dalam hal tahanan yang
sakit memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter atau tenaga kesehatan
memberikan rekomendasi kepada Kepala Rutan agar pelayanan kesehatan dilakukan
di rumah sakit di luar Rutan dan harus mendapat izin dari instansi yang
menahan dan kepala Rutan.
Meskipun PP 58/1999 tidak menyebutkan
secara tegas tentang pembantaran, namun PP 58/1999 mensyaratkan adanya izin
dari instansi yang menahan untuk merujuk tahanan yang sakit dari Rutan. Produk
pengadilan dari izin tersebut berbentuk penetapan dari Majelis Hakim yang
menahan Terdakwa.
Sejalan dengan dua regulasi
tersebut, SK KMA Nomor 365/KMA/SK/XII/2022
tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di
Pengadilan Secara Elektronik, Angka VII. B.3. menyatakan setelah permohonan
pembantaran dinyatakan lengkap dan di daftarkan dalam SIP, maka selanjutnya
Hakim menerbitkan penetapan pembantaran.
Penulis cenderung sepakat
dengan pandangan yang kedua, yaitu proses pembantaran harus mendapatkan
penetapan dari pengadilan sebagai instansi yang bertanggungjawab secara yuridis
menahan Terdakwa.
Prinsipnya, proses
administrasi pembantaran jangan sampai menghilangkan atau mengurangi hak asasi
manusia Terdakwa dalam hal sesegera mungkin untuk mendapatkan perawatan dan
pengobatan. Namun, proses administrasi diperlukan dalam rangka tertib
administrasi, penetapan tersebut nantinya akan dipergunakan oleh hakim dalam
menghitung masa penahanan dan masa pembantaran.
Begitupun ketika putusan telah
berkekuatan hukum tetap, masa penahanan dan pembantaran yang telah dijalani
Terdakwa sebagai dasar perhitungan menjalani sisa masa hukuman penjara yang
dijatuhkan.
Perlukah
penetapan kembali ketika Terdakwa selesai manjalani pembantaran.
Praktik pertama perpandangan
setelah Terdakwa menjalani pembantaran perlu dibuatkan penetapan tersendiri untuk
menahan kembali. Hal ini berangkat dari pemikiran, ketika Terdakwa dibantarkan
dan penahanan terhenti melalui penetapan sehingga untuk mengaktifkan (menahan)
kembali Terdakwa juga menggunakan penetapan.
Selain itu, tanggal penetapan
penahan kembali yang dibuat tersendiri juga dijadikan dasar penghitungan masa
penahanan lanjutan, yaitu dimulai sejak kapan ditahan (sejak ditetapkan
kembali) dan sampai kapan penahanan berakhir. Hal ini diperlukan agar tidak
terjadi kekeliruan penghitungan sisa masa penahanan.
Praktik kedua, penetapan dan
pembantaran dibuat dalam satu penetapan. Majelis Hakim pada saat mengeluarkan
penetapan pembantaran juga sekaligus dapat mencantumkan amar penetapan yang
setidaknya berbunyi “menetapkan agar segera setelah kondisi kesehatan Terdakwa
membaik dan memungkinkan mengikuti persidangan untuk kembali dilakukan
penahanan di Rutan…”
Amar ini sekaligus mempertegas
agar Terdakwa dikembalikan ke Rutan setelah selesai menjalani pembantaran.
Sehingga Majelis Hakim tidak perlu mengeluarkan penetapan tersendiri.
Hal yang terpenting perlu
diperhatikan adalah pencatatan pembantaran melalui SIPP dengan memilih menu
status penahanan-pembantaran (stuitting)
dan selanjutnya menginput tanggal pembantaran maka secara otomatis proses penahanan
melalui SIPP akan terhenti. Hal ini penting dilakukan agar data
penahanan-pembantaran di SIPP sesuai dengan penetapan Hakim.
Kapan
pembantaran mulai di hitung?
Pembantaran mulai dihitung
sejak tanggal Terdakwa secara nyata dirawat (inap) di rumah sakit. Apabila
setelah Terdakwa di bawa berobat ke rumah sakit, dan tidak perlu di rawat inap
dan cukup rawat jalan, maka proses pengobatan ini tidak masuk ke dalam
pembantaran.
Untuk membuktikan Terdakwa dirawat inap maka harus dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Kepala Rumah Sakit di tempat mana Terdakwa di rawat (Sema 1/1989). Dalam praktiknya, surat keterangan tersebut tidak harus selalu di tandatangani oleh kepala rumah sakit, dapat juga di tandatangani oleh dokter atau unit yang bertanggungjawab terhadap pasien.
Lantas
bagaimana jika hakim lupa atau tidak mencatat masa pembantaran dalam
putusannya?
Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan dst,
pencatuman masa pembantaran terakomodir dalam template putusan pidana dengan menyediakan
format masa pembantaran jika ada.
Dalam praktik peradilan juga
ditemukan putusan pidana yang mencantumkan masa
pembantaran di dalam amar putusan. Meskipun hal ini bukan merupakan
kewajiban dan tidak terakomodir dalam template
putusan pidana.
Salah satu
contohnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
34/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt. Pst, dengan salah satu amar putusan sebagai
berikut:
“Menetapkan
masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; Kecuali masa pembantaran tidak ikut
diperhitungkan (Rawat inap di Rumah Sakit Medistra Jakarta); atau Menetapkan
masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, kecuali waktu selama dia dirawat inap
di rumah sakit …;”
Pencantuman masa pembantaran
dalam putusan sebagai informasi yang dapat dijadikan dasar penghitungan pengurangan/penghentian
penghitungan masa penahanan Terdakwa. Dengan tidak dicantumkan masa pembantaran
dalam putusan, maka Terdakwa dapat dianggap tidak pernah dibantarkan.
Tidak dicantumkannya masa
pembantaran dalam putusan, justru menguntungkan Terdakwa. Karena seharusnya
selama Terdakwa menjalani masa pembantaran proses penahanan secara otomatis
terhenti.
Secara hukum, apabila Hakim
lupa atau tidak mencantumkan masa pembantaran di dalam putusannya maka tidak
memiliki konsekuensi apapun terhadap putusan. Namun, informasi penahanan
Terdakwa menjadi tidak utuh. Meskipun tidak dicantumkan dalam amar putusan, minimal
masa pembantaran tersebut tergambar di bagian awal putusan sesuai template.
Bagaimana
pengamanan pembantaran Terhadap Terdakwa?
Selama Terdakwa menjalani
pembantaran di rumah sakit, maka wajib dijaga agar Terdakwa tidak melarikan
diri. Bukankah ketika Terdakwa dibantarkan, statusnya bukan sebagai tahanan,
kenapa harus dijaga? Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar Terdakwa tidak
melarikan diri pada saat pembantaran.
Dalam praktik siapa yang
bertanggungjawab menyediakan pengawalan terhadap Terdakwa yang sedang
dibantarkan sering menjadi diskursus sendiri. Khususnya untuk pelaku tindak
pidana tertentu yang harus mendapatkan pengawalan khusus.
Pembantaran ini berkaitan
dengan hak asasi manusia, sehingga proses pengawalan Terdakwa untuk dibantarkan
tidak dapat mengurangi hak Terdakwa untuk segera mendapatkan perobatan.
Pengadilan dapat menggunakan
landasan yuridis PP 58/1999. Pasal 24 ayat (5) PP 58/1999 tersebut mensyaratkan
Terdakwa yang akan mendapatkan pelayanan ke rumah sakit mewajibkan untuk
dikawal oleh petugas kepolisian.
Untuk itu, Majelis Hakim dalam
penetapan pembantaran selain memerintahkan agar Terdakwa di rawat inap juga
diperintahkan agar dilakukan pengawalan dan penjagaan oleh petugas kepolisian.
Selanjutnya penetapan itu dieksekusi oleh penunut umum sesuai dengan
kewenangannya (Pasal 13 KUHAP).
Biaya
pengobatan dibebankan ke siapa?
Dalam praktik peradilan,
ketiadaan identitas, tidak masuknya Terdakwa dalam program jaminan kesehatan
pemerintah, tidak dicovernya penyakit
Terdakwa dalam jaminan kesehatan, sehingga menimbulkan tagihan biaya pengobatan
dan harus dibayarkan.
Dalam persidangan perkara mantan
Gubernur Papua Lukas Enembe biaya pembantaran juga menjadi perdebatan antara
penuntut umum dan penasihat hukum Terdakwa. (https://nasional.kompas.com/read/2023/07/17/15145811/saat-jaksa-kpk-pertanyakan-biaya-perawatan-lukas-enembe).
Dalam kasus tertentu,
dikarenakan Terdakwa tidak masuk ke dalam asuransi kesehatan pemerintah,
sehingga harus menjadi pasien umum. Setelah Terdakwa selesai menjalani
pengobatan di rumah sakit, rumah sakit tidak membolehkan Terdakwa keluar karena
harus membayar biaya pengobatan terlebih dahulu. Perdebatan kembali muncul,
pengadilan, penuntut umum atau Rutan yang bertanggungjawab?
Untuk menjawab hal tersebut,
Pasal 24 ayat (6) PP 58/1999 juga telah menegaskan biaya perawatan kesehatan di
rumah sakit dibebankan kepada Negara. Sehingga tidak patut jika pengadilan
dibebankan untuk membayar pengobatan.
Sehingga Majelis Hakim dalam
penetapan pembantarkan dapat juga memasukan perintah agar biaya pengobatan
Terdakwa selama pembantaran dibebankan kepada negara.
Praktik
pengadilan terhadap Terdakwa yang meninggal atau melarikan diri pada saat
pembantaran
Beberapa kasus pembantaran –khusus
perkara yang pemeriksaannya tidak in
absesnia- ditemui Terdakwa melarikan diri pada saat proses pembantaran,
Terdakwa meninggal atau sakit yang berkepanjangan sehingga memakan waktu
perawatan yang lebih lama dan perkaranya menjadi tunggakan di pengadilan.
Dalam
hal terdakwa meninggal selama proses pembantaran, baik itu proses
pemeriksaannya sudah selesai atau belum, maka sikap yang diambil oleh pengadilan
sesuai dengan Pasal 77 KUHAP sehingga perkara tersebut dinyatakan gugur.
Dalam kasus Terdakwa melarikan
diri selama proses persidangan atau Terdakwa sakit berkepanjangan dan tidak
bisa dihadirkan lagi, maka sikap yang dapat diambil sebagai berikut:
Pertama, apabila proses
pemeriksaannya (pembuktian) telah dinyatakan selesai (Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP), maka proses
persidangan sampai pembacaan putusan dapat dilanjutkan tanpa dihadiri terdakwa.
Kedua, proses
pemeriksaannya (pembuktian) belum dimulai atau belum selesai, maka dalam
praktik peradilan pengadilan menyatakan penuntutan tidak dapat diterima.
Konsekuensi logisnya, terhadap keputusan tersebut sekaligus menghentikan masa
pembantaran.
Contoh kasus Terdakwa
melarikan diri pada saat pembantaran dapat dilihat dari perkara Pengadilan
Negeri Pinrang Nomor 104/Pid.B/2022/PN Pin. Dalam perkara tersebut Penuntut
Umum tidak dapat menghadirkan Terdakwa sejak sidang pertama sampai dengan
sidang kelima (pembacaan surat dakwaan).
Awalnya Terdakwa tidak dapat
dihadirkan karena sedang menjalani masa pembantaran. Namun, pada saat proses
pembantaran Terdakwa telah melarikan diri dan tidak diketahui keberadaannya
serta tidak ada jaminan Penuntut Umum dapat menghadirkan Terdakwa ke
persidangan. Pada persidangan keenam sikap Majelis Hakim dalam perkara tersebut
adalah menyatakan penuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima.
Contoh kasus lain Terdakwa
tidak dapat dihadirkan dalam persidangan pertama dan kedua karena sedang
dibantarkan dapat dilihat dari perkara Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 382/Pid.Sus/2016/PN Sim. Dalam perkara tersebut Penuntut Umum pada
persidangan pertama dan kedua tidak dapat menghadirkan Terdakwa karena sedang
dibantarkan di rumah sakit.
Majelis Hakim dalam perkara
tersebut berpendapat “dengan
dasar suatu perkara mempunyai jangka waktu untuk penyelesaiannya dan demi
tercapainya suatu kepastian atas penanganan perkara tersebut sementara kondisi
terdakwa tidak diketahui kapan bisa pulih kesehatannya maka berdasarkan
pertimbangan tersebut majelis Hakim menetapkan menyatakan Penuntutan Penuntut
Umum terhadap terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima…”
Dalam
hal Terdakwa dinyatakan sakit oleh dokter Rutan, maka pengadilan “berkewajiban”
untuk memberikan kesempatan kepada Terdakwa mendapatkan pengobatan yang lebih
intensif di rumah sakit. Namun, apabila secara terus menerus Terdakwa secara
berulang harus dibantarkan dan ditahan kembali, proses ini dapat mengganggu
jalannya persidangan.
Alternatif
lain yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim adalah dengan mengalihkan penahanan
menjadi tahanan kota atau menangguhkan penahanan. Dalam hal penahanan dialihkan
juga dapat ditetapkan syarat untuk melaporkan diri
setiap 1 (satu) minggu sekali setiap hari tertentu atau
setiap hari persidangan dilangsungkan.
Begitupun dalam penangguhan, diperintahkan juga kepada Penuntut Umum untuk tetap melakukan pengawasan dan
menghadirkan Terdakwa pada setiap persidangan.
Dengan
dialihkan atau ditangguhkan, Terdakwa dapat melakukan pengobatan secara
intensif sekaligus dapat menghadiri proses persidangan. Kelebihan lainnya,
melalui pengalihan tahanan kota, masa penahanan Terdakwa tidak hilang dan tetap
dihitung, sehingga Terdakwa tidak dirugikan. Kedua alternatif ini juga
mempunyai potensi Terdakwa akan melarikan diri.
Pembantaran
tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mempunyai dimensi yang erat
dengan hak asasi manusia Terdakwa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Disatu
sisi juga, terdapat permasalahan yang mengikutinya, maka diperlukan
sikap kehati-hatian dan kebijaksanaan dari Majelis Hakim dalam mempertimbangkan
setiap permohonan dan keputusan yang akan dikeluarkan sehubungan dengan
permasalahan yang muncul dalam proses pembantaran. (asn/wi/fac)
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Penulis: Dr. M. Luthfan HD
Darus, S.H., M.H., M.KN merupakan Hakim Pengadilan Negeri Sei Rampah.
Refrensi.
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999
tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung
Jawab Perawatan Tahanan.
- Surat Edaran Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat-Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan.
- Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2007 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
- Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang
Template dan Pedoman Penulisan Putusan dst.
- Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Nomor 365/KMA/SK/XII/2022
tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di
Pengadilan Secara Elektronik
- Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M.04.Um.01.06 tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata
Tertib Rumah tahanan Negara.
- Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2018/PN Jkt. Pst.
- Putusan Pengadilan Negeri Pinrang Nomor
104/Pid.B/2022/PN Pin.
- Putusan
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 382/Pid.Sus/2016/PN Sim.
- https://nasional.kompas.com/read/2023/07/17/15145811/saat-jaksa-kpk-pertanyakan-biaya-perawatan-lukas-enembe
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI