Cari Berita

PN Bintuhan “Pecah Telur”: Perdamaian Pertama lewat Keadilan Restoratif

PN Bintuhan - Dandapala Contributor 2025-10-31 18:25:41
Dok. Ist.

Bengkulu – Pengadilan Negeri (PN) Bintuhan mencatat sejarah baru. Untuk pertama kalinya, pengadilan ini menerapkan putusan berbasis restorative justice atau keadilan restoratif dalam perkara pidana penganiayaan yang melibatkan terdakwa Aris Darmawan bin Lamijo (alm). Putusan ini dibacakan pada Rabu, 30 Oktober 2025, di ruang sidang utama PN Bintuhan.

Perkara dengan nomor 52/Pid.B/2025/PN Bhn itu dipimpin oleh Majelis Hakim Andreane Hutagaol sebagai ketua, dengan hakim anggota Bismo Jiwo Agung dan Anita. Dalam putusannya, majelis menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana dakwaan tunggal jaksa. Namun, berkat adanya perdamaian dengan korban, hakim menjatuhkan pidana yang jauh lebih ringan dari ancaman maksimalnya.

Kasus ini bermula dari adu argumen antara terdakwa dan korban. Emosi yang memuncak membuat terdakwa mendekati korban, memegang bajunya, lalu menusuk leher korban dengan alat multifungsi. Beruntung, warga segera melerai dan korban hanya mengalami luka ringan di dagu dan leher bagian kiri.

Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis

Selama proses persidangan, majelis hakim tidak hanya berfokus pada aspek hukum formal, tetapi juga berupaya mendamaikan kedua pihak. Ketua majelis, Andreane Hutagaol, bahkan menasihati korban dengan kalimat menyentuh:

“Dalam ajaran agama yang korban anut, hukum kasih mengajarkan kita untuk memberi maaf dan menebar kebaikan. Tuhan menghendaki damai, bukan dendam.”

Kata-kata itu menggugah hati korban. Ia akhirnya memaafkan terdakwa dan menandatangani surat perdamaian tanpa meminta ganti rugi sepeser pun. Bahkan, korban secara tulus meminta agar terdakwa dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya.

Majelis hakim menilai bahwa perkara ini layak diselesaikan secara restorative justice sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024. Pertimbangannya: ancaman pidana di bawah lima tahun, adanya permintaan maaf, perdamaian sukarela, dan itikad baik dari terdakwa.

Atas dasar itu, hukuman penjara yang dijatuhkan hanya 5 bulan, dengan masa tahanan yang perlu dijalani sekitar 7 hari sejak putusan dibacakan. Hakim Andreane menyatakan:

“Adanya perdamaian menjadi alasan yang meringankan hukuman sebagaimana Pasal 19 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2024.”

Putusan ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi menjadi simbol perubahan paradigma hukum di PN Bintuhan: bahwa keadilan tidak selalu identik dengan pembalasan, melainkan juga pemulihan hubungan sosial.

Baca Juga: PN Pontianak Vonis 4 Bulan Penjara Penyelundup 5.400 Telur Penyu

Keadilan restoratif yang diupayakan PN Bintuhan menunjukkan bahwa hakim dapat menggali nilai-nilai moral dan ketuhanan yang hidup di masyarakat. Pendekatan ini menghadirkan wajah hukum yang humanis tidak kaku oleh pasal, tetapi berpihak pada kemanusiaan.

Dengan keberhasilan perdamaian ini, PN Bintuhan resmi “pecah telur” dalam penerapan keadilan restoratif. Langkah ini diharapkan menjadi inspirasi bagi pengadilan lain untuk menjadikan hukum sebagai jalan penyembuhan, bukan sekadar penghukuman. IKAW/LDR

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…