Cari Berita

Urgensi Penguatan Kapasitas Digital Forensik dalam Penanganan Perkara Perikanan

Urif Syarifudin - Dandapala Contributor 2025-09-17 15:00:44
Dok. Penulis.

Apa yang terjadi ketika praktik perikanan ilegal bertemu dengan era digital? Jawabannya adalah lahirnya bukti elektronik. Percakapan WhatsApp hingga video penangkapan kini menjadi jejak penting yang dikumpulkan oleh Penyidik POLRI, TNI AL, dan PPNS.

Hal ini krusial karena keabsahan bukti digital menentukan efektivitas penegakan hukum, sebagaimana diakui dalam UU ITE. Sepanjang 2023–2025, pendekatan ini mulai diterapkan dalam sembilan perkara perikanan, menandai babak baru penyidikan. Artikel ini mengulas penerapannya dalam Penanganan Perkara Nomor 4/Pid.Sus-PRK/2025/PN Ptk, dan tantangan, serta strategi penguatan pembuktian digital ke depan.

Pembahasan

Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi

Paradigma pembuktian pidana di Indonesia masih bertumpu pada lima alat bukti Pasal 184 KUHAP. Namun, kehadiran UU ITE memperluas cakrawala dengan mengakui informasi dan dokumen elektronik beserta hasil cetaknya sebagai alat bukti sah. Tantangannya, bukti elektronik bersifat rapuh, mudah rusak atau dimanipulasi, sehingga keaslian, keutuhan, dan rantai pengelolaannya (chain of custody) harus dijaga ketat.

Dalam praktik, penyidik kini semakin sering menghadirkan barang bukti elektronik di persidangan. Dari sembilan perkara tindak pidana perikanan 2023–2025, delapan berhasil menjadikan bukti elektronik sebagai penguat dakwaan.

Misalnya, pada kasus kapal asing di Batam (2024), foto dan video berhasil diakui hakim meski tanpa dokumentasi chain of custody. Sementara dalam kasus MV Run Zeng 03 di Tual, penyidik sudah menerapkan protokol Digital Evidence First Responder (DEFR) dan menggandeng ahli forensik untuk mengekstraksi ratusan file digital yang menjadi bukti kunci.

Contoh terbaru adalah kasus Mauliza Utari di PN Pontianak (2025), pelaku penyelundupan 5.400 butir telur penyu. Selain barang bukti fisik berupa telur penyu, penyidik menghadirkan rekaman CCTV kapal, handphone berisi percakapan WhatsApp, serta flashdisk berisi foto dan video aktivitas terdakwa di kapal.

Penggunaan bukti digital ini membantu membuktikan peran terdakwa sebagai pengendali distribusi, meski tetap menyisakan tantangan teknis terkait keabsahan forensik.

Meskipun capaian ini signifikan, masih ada tiga hambatan utama:

(1) kesenjangan kapasitas SDM penyidik,

(2) ketiadaan regulasi teknis yang baku mengenai DEFR dan CoC, dan

(3) keterbatasan laboratorium forensik digital bersertifikat ISO/IEC 17025.

Padahal, laboratorium forensik bukan sekadar fasilitas, tetapi juga jaminan akuntabilitas ilmiah atas hasil analisis yang dipakai di persidangan.

Konkretisasi dalam Putusan: Kasus Perdagangan Telur Penyu di Sambas

Putusan Pengadilan Perikanan Pontianak Nomor 4/Pid.Sus-PRK/2025/PN Ptk tanggal 5 September 2025 terhadap Terdakwa Mauliza Utari alias Liza merupakan contoh nyata dan mutakhir dari tantangan sekaligus kemajuan penerapan alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana perikanan.

Dalam perkara penyelundupan 5.400 butir telur penyu ini, barang bukti elektronik berupa 1 (satu) buah flashdisk merk Toshiba warna putih kapasitas 4 Gb berisikan 9 (sembilan) video dan 6 (enam) foto (screenshot) aktivitas Terdakwa di atas KMP Bahtera Nusantara 03 menjadi salah satu pilar utama pembuktian. Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan:

"Bahwa barang bukti elektronik berupa flashdisk merk Toshiba berkapasitas 4 GB yang berisi 9 (sembilan) video dan 6 (enam) foto aktivitas Terdakwa di atas kapal telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai alat bukti elektronik yang sah"; "Bahwa penanganan barang bukti elektronik tersebut telah mengikuti prinsip Digital Evidence First Responder (DEFR) dan chain of custody (CoC) yang menjamin keautentikan, keutuhan, dan ketersediaan bukti digital sesuai dengan standar pembuktian elektronik."; "Bahwa video dan foto dalam flashdisk tersebut secara jelas menunjukkan aktivitas Terdakwa dalam mengemas, memindahkan, dan menyembunyikan kemasan berisi telur penyu, yang merupakan alat bukti petunjuk yang relevan dengan tindak pidana yang didakwakan."

Putusan ini sangat progresif karena dengan tegas menyatakan bahwa meskipun terdapat kendala dalam kapasitas SDM dan fasilitas forensik digital, penanganan barang bukti elektronik telah dilakukan sesuai standar hukum yang berlaku.

Majelis Hakim berpendapat bahwa flashdisk beserta isinya merupakan alat bukti sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat, sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf b UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE yang memperluas cakupan alat bukti Pasal 184 KUHAP. Keabsahan barang bukti ini terpenuhi secara formil dan materil melalui penerapan prinsip DEFR dan CoC yang menjamin autentisitas, integritas, serta ketersediaan bukti digital.

Penerimaan majelis hakim terhadap alat bukti elektronik pada Perkara Nomor 4/Pid.Sus-PRK/2025/PN Ptk, menunjukkan bahwa paradigma pembuktian di peradilan Indonesia telah bergerak maju.

Bukti digital tidak lagi dipandang dengan skeptis, tetapi dinilai berdasarkan pemenuhan syarat formil dan materil serta prosedur penanganannya. Dalam perkara perikanan, barang bukti elektronik ini relevan membuktikan unsur kesengajaan serta modus operandi Terdakwa, sekaligus memperkuat alat bukti lain untuk membentuk keyakinan hakim atas terjadinya tindak pidana.

Rekomendasi dan Saran

Penguatan pembuktian digital dalam tindak pidana perikanan memerlukan tiga langkah strategis.

Pertama, peningkatan kapasitas SDM berkelanjutan. Pelatihan bersama Rekam Nusantara Foundation perlu diperluas dan diinstitusionalisasi melalui modul standar serta sertifikasi internal. Dengan demikian, penyidik mampu mengumpulkan, mengolah, dan menyusun bukti elektronik secara mandiri. Pembentukan satuan khusus DEFR bagi tim terlatih akan memperkuat kemampuan teknis.

Kedua, integrasi regulasi internal. Revisi Petunjuk Teknis Penyidikan Perikanan harus segera dilakukan untuk mengakomodir tahapan DEFR dan dokumentasi CoC secara rinci. Pedoman baku ini memastikan standar prosedur seragam sesuai prinsip forensik internasional, sekaligus meningkatkan admisibilitas bukti elektronik di pengadilan.

Ketiga, pembangunan laboratorium forensik digital bersertifikat SNI ISO/IEC 17025 sebagai investasi krusial jangka panjang. Keberadaan laboratorium akan menjamin keaslian bukti digital, mempercepat penyidikan, mengurangi ketergantungan pada pihak luar, dan memperkuat posisi penuntut umum. Seperti dalam perkara Mauliza Utari, keberadaan bukti digital dari flashdisk menegaskan pentingnya pembuktian berbasis forensik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Penutup

Baca Juga: Restorative Justice Pada Kasus Pidana Perikanan, Mungkinkah?

Penerapan bukti elektronik dalam perkara tindak pidana perikanan mencerminkan adaptasi progresif penegak hukum terhadap era digital. Dari kasus awal di Batam hingga kasus Mauliza Utari di Pontianak, terlihat peningkatan penerapan standar forensik yang menegaskan arah menuju presisi dan akuntabilitas pembuktian.

Putusan Mauliza menjadi preseden penting, menunjukkan kesiapan peradilan menerima bukti elektronik sepanjang prosedur penanganannya dipenuhi. Namun, tantangan tetap besar: kejahatan perikanan semakin kompleks dan terdigitalisasi. Karena itu, penguatan tiga pilar utama: kapasitas SDM, regulasi teknis, dan infrastruktur laboratorium forensik digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Dengan fondasi ini, penyidik dapat mengungkap tidak hanya pelaku lapangan, tetapi juga jaringan kejahatan hingga ke otak dan penerima manfaatnya. Komitmen memperkuat pembuktian digital berarti komitmen menjaga kedaulatan sekaligus kelestarian sumber daya kelautan Indonesia bagi generasi mendatang. (al/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI