Pekanbaru – Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru memutus bebas seorang petugas ukur di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Terdakwa didakwa dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi.
“Menyatakan Terdakwa Abdul Karim Als Karim Bin Muslim Yance tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dalam dakwaan primair dan subsidair. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari seluruh Dakwaan Penuntut Umum tersebut” demikian bunyi putusan PN Pekanbaru yang dikutip DANDAPALA.
Putusan ini diketok oleh Majelis Hakim yang diketuai Jonson Parancis dengan anggota Aziz Muslim dan Yosi Astuty. Putusan itu dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum pada Senin (22/9).
Baca Juga: Ini Penjelasan MA Soal Eksekusi Rumah di Cikarang yang Viral
Perkara ini bermula ketika Terdakwa yang selaku Petugas Ukur mengetahui terdapat tanah Pemda di sekitar lokasi (tepatnya ditepi jalan) yang dimohonkan oleh Sdri. (Alm) Martinis tersebut berdasarkan informasi dari masyarakat, selain itu Terdakwa Abdul Karim juga mendapatkan informasi dari pihak kelurahan dan masyarakat yang pernah mengajukan permohonan sertifikat di sekitar bidang tanah a quo merupakan bidang tanah milik Pemda Inhu namun Terdakwa tidak memastikan keberadaan bidang tanah milik Pemda tersebut apakah bersempedan dengan bidang tanah Sdri. (Alm) Martinis dengan hanya melakukan pengecekan Peta Dasar Pendaftaran secara digital, sedangkan Terdakwa Abdul Karim mengetahui terjadi digitalisasi peta pendaftaran dengan sistem Geo KKP sehingga untuk Peta Pendaftaran terhadap sertifikat yang terbit dlibawah Tahun 2012 belum terintegrasi seluruhnya dalam Sistem Geo KKP milik Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN).
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidaritas, Primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan Subsidair pertama Pasal 3 Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan primair, Majelis Hakim menyatakan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak tepat diterapkan atas diri Terdakwa, oleh karena dari rangkaian perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan Sdri. (Alm) Martinis dan Sdr. Zaizul (berkas terpisah) melakukan hal-hal tersebut karena adanya kewenangan yang dimiliki Terdakwa selaku Petugas Ukur.
Kemudian dalam dakwaan subsidair, dalam pertimbangannya Majelis Hakim menerangkan bahwa dengan terbitnya SHM Nomor 05.0308.01.1 06919 seluas 23.073 M² milik Sdri. Darmiati yang dahulu nya atas nama Martinis tidak berakibat kepada batalnya atau tidak berlakunya SHM Nomor: 05.03.08.16.h 04211, tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman, SHM Nomor: 06.03.08.18.1.04212. tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman, dan SHM Nomor: 05.03.08.16.1.04213, tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman yang telah dibeli oleh Pemda Inhu;
Dalam putusan tersebut juga diterangkan bahwa yang terjadi adalah secara administrasi terdapat 2 (dua) Sertifikat tumpang tindih pada sebagian saja, dan hal tersebut karena tumpang tindih itu pun tidak berakibat kepada pembatalan SHM Nomor: 06.03.08.18.1.04212, tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman, dan SHM Nomor: 05.03.08.16.1.04213, tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman yang di tindih, hanya secara Perdata perlu diselesaikan, serta pada fakta persidangan berdasarkan keterangan Sdri. Darmiati dan Sdr. Rusli yang menyatakan para saksi bersedia menyerahkan tanahnya yang dianggap telah tumpang tindih dengan tanah Pemda Inhu tersebut dengan secara sukarela, dan para saksi juga telah membuat surat berita acara penyerahan tanah tersebut dan telah para saksi tanda tangani.
Lebih lanjut Majelis Hakim menilai dalam kasus Ini, kerugian belum nyata, dimana status hukum tanah masih belum jelas karena SHM Nomor 05.0308.01,1 06919 seluas 23.073 M² milik Sdri. Darmiati yang dahulunya atas nama Martinis dan SHM Nomor: 05.03.08.16.h 04211, tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman, SHM Nomor: 06.03.08.18.1.04212, tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman, dan SHM Nomor: 05.03.08.16.1.04213. tanggal 19 Februari 2004 atas nama Drs. H. Abdul Rivaie Rachman milik Pemda Inhu, masih sama-sama berlaku, maka kerugian negara yang diklaim oleh Inspektorat Inhu belum dapat dikatakan nyata dan pasti. Kerugian baru akan menjadi nyata jika ada putusan pengadilan yang membatalkan salah satu SHM dan menyatakan bahwa pihak yang kalah harus menyerahkan tanah tersebut;
Majelis Hakim menilai bahwa penghitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh Inspektorat Inhu tidak pasti, dikarenakan ditemukan fakta didalam persidangan luasan tanah yang tumpang tindih antara tanah sertifikat Sdri. (Alm) Martinis dengan tanah Pemda Inhu hanya seluas 8.588 M², dari luasan keseluruhan tanah Pemda Inhu seluas 56.000 M², maka dari itu menurut Majelis Hakim tindakan auditor yang menerapkan metode audit total loss tidak tepat.
Bahwa dari 3 (tiga) Sertifikat tanah Pemda Inhu, hanya 2 (dua) sertifikat milik Pemda inhu yang terindikasi tumpang tindih tanggal 26 Juni 2022. Menurut Majelis Hakim berdasarkan hal tersebut jelas tidak beralasan secara hukum bisa dilakukan Penghitungan Total Loss atas ketiga sertifikat Tanah Pemda Inhu, dan hal itu mengakibatkan kerugian Negara yang dihitung oleh Inspektorat Kabupaten Inhu menjadi tidak pasti, dan hasil audit tersebut tidak bisa diakui kebenarannya.
Baca Juga: PN Pekanbaru Kabulkan Praperadilan Eks Sekwan DPRD Riau, Penyitaan Aset Tidak Sah
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menerangkan Kerugian Negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian perkara Tindak Pidana Korupsi, yang artinya walaupun terjadi Perbuatan Melawan Hukum, namun jika ada tidak ada Kerugian Negara, maka tidak dapat dinyatakan sebagai suatu Tindak Pidana Korupsi.
Majelis Hakim berpendapat unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” tidak terpenuhi,maka oleh karena salah satu unsur dari Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana sebagaimana didakwaan dalam dakwaan primair maupun subsidair, sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari kedua dakwaan tersebut. (IKAW/FAC)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI