Cari Berita

Dilema Tindakan Konferensi Pers dalam Tingkatan Penyidikan Tindak Pidana

Agung D. Syahputra-Hakim PN Buol - Dandapala Contributor 2025-06-13 17:00:43
Dok. Pribadi.

Investigation is a silent mission. Kalimat singkat itu, nampaknya cukup untuk melukiskan bagaimana idealnya suatu proses penyidikan itu dijalankan oleh Tim Penyidik. Berbagai kepustakaan asing tentang Criminal Procedure, menyebut konsep Penyidikan dengan kata: Investigation dan memberikan penjelasan bahwa In criminal procedure, investigation refers to the systematic process of gathering evidence and information to determine if a crime has been committed and if so, to identify the perpetrator.

Berdasarkan penjelasan itu, akan dapat diterima pemikiran bahwa investigation itu seharusnya diklasifikasikan sebagai sebuah misi/operasi yang senyap dan harus sangat dibatasi peredaran informasinya dari publik. Pada suatu masa tatkala menjadi narasumber dalam seminar yang diselenggarakan oleh organisasi Asosiasi Advokat Indonesia, Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. bahkan tegas menyatakan: “Di KUHP Perancis, barangsiapa membeberkan perkembangan penyidikan, itu tindak pidana”.

Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum

Di Indonesia, aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan, justru acapkali menggelar konferensi pers untuk membeberkan sendiri hasil dari penyidikannya. Materi konferensi pers biasanya juga mengungkapkan siapa Tersangka yang telah ditetapkan. Hasil temuan barang bukti yang disita dan siapa saja saksi-saksinya juga terkadang turut diungkap ke publik.

Beberapa dampak negatif yang dapat terjadi jika proses penyidikan itu sengaja dijadikan konsumsi publik, diantaranya:

1.       Dapat memberikan kesempatan kepada orang lain memusnahkan barang bukti dan/atau melarikan diri

Suatu tindak pidana bisa saja dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku. Di sisi lain, Penyidikan itu haruslah dipandang belum selesai sepanjang belum dinyatakan P-21 oleh pemegang dominus litis Penuntutan. Artinya, meskipun sudah menetapkan Tersangka, pendalaman/pengembangan perkara yang sedang disidik itu masih terus bisa dilakukan oleh penyidik.

Dalam keadaan demikian, konferensi pers pengungkapan suatu Tindak Pidana oleh penyidik dapat menjadi blunder besar bagi penyidik itu sendiri. Mereka di luar sana yang masih terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik, namun masih bebas berkeliaran dan dalam penguasaanya masih ada barang bukti yang terkait, akan dengan mudah memusnahkan barang bukti sekaligus melarikan diri tak lama setelah mengetahui konferensi pers dari Penyidik. Keadaan ini tentunya akan menyulitkan penyidik sendiri.

2.       Dapat mengganggu kejernihan nurani dan objektivitas hakim dalam memutus perkara

Pemberitaan secara masif tentang suatu hal akan dapat mempengaruhi opini publik. Bahkan dalam teori “post truth” dikatakan bahwa suatu hal yang tidak benar sekalipun, jika dikemukakan secara masif dan terus-menerus, pada suatu titik akan dapat diterima sebagai suatu kebenaran oleh khalayak umum. Di sisi lain, Hakim yang dalam mata rantai integrated criminal justice system memiliki tugas untuk menguji kebenaran dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum dengan hati yang jernih, hanya boleh memutus perkara sesuai fakta persidangan, sehingganya harus senantiasa dijaga objektifitasnya dari bayang-bayang opini publik.

Dalam suatu perkara pidana, bisa saja ada Permohonan Praperadilan untuk menguji Profesionalitas Penyidik. Betapapun pemberitaan telah disebarluaskan oleh Penyidik bahwa Si Tersangka itu salah dan menunjukkan temuan barang bukti yang disita. Tidaklah menghilangkan haknya untuk melakukan pengujian kepada lembaga praperadilan guna menilai tepat atau tidaknya Tindakan penyidik. Misalnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penetepan tersangka dan materi praperadilan lainnya.

Dalam keadaan demikian, jika ternyata ada tahapan penyidikan yang secara formalitas hukum acara terbukti tidak tepat atau terbukti adanya Tindakan pencarian alat bukti  yang dilakukan dengan melawan hukum oleh penyidik yang berimplikasi pada keabsahan alat bukti untuk menetapkan Tersangka, sedangkan tekanan opini publik telah terlanjur terbentuk dengan deras bahwa si Pemohon Praperadilan adalah orang yang “wajib” dihukum, bisa saja akan menjadi dilema yang berat bagi Hakim yang akan mempengaruhi bathin dan alam pikirnya untuk memutus dengan jernih dan memenangkan Pemohon karena terbukti ada kinerja penyidik yang cacat prosedur. Padahal prinsipnya, tidaklah boleh mengorbankan keadilan prosedural secara begitu saja hanya untuk menggapai keadilan substantif.

Begitu pula persidangan pokok perkaranya, jika perkara itu sudah menjadi konsumsi publik dan putusan akhirnya tidak sesuai dengan “selera publik” yang terlanjur terbentuk, tak jarang Hakim yang memeriksa perkara itu atau bahkan lembaga peradilan akan menuai berbagai macam cacian dan hujatan. Padahal, pembuktian yang lemah di persidangan, tidaklah mungkin menjadi dasar menjatuhkan pemidanaan. Keadaan seperti demikian, dapat berakibat pada adanya rasa keadilan yang harus terkorbankan dan tentu tidaklah ideal dalam suatu negara yang menjunjung supremasi hukum

3.       Bisa jadi akan bertentangan dengan azas “Presumption of innocence

Dalam Hukum Acara Pidana, betapapun jauhnya tahapan penyidikan sudah berjalan, tetap terbuka kemungkinan perkara itu tidak lanjut disidangkan ke Pengadilan. Meninggalnya Tersangka, tidak cukup alat bukti, telah lewat masa daluwarsa, perbuatannya ternyata bukan perbuatan pidana atau terdapat keadaan ne bis in idem, akan membuat penyidikan perkara pidana itu harus terhenti. Di titik inilah menjadi sangat beralasan, penetapan seorang Tersangka itu tidak sepatutnya diumbar menjadi konsumsi publik.

Dapat dibayangkan, jika penyidik telah mengumumkan Si A sebagai tersangka dan ternyata kemudian ia meninggal dunia atau bahkan sampai ia meninggal dunia perkaranya belum pernah disidangkan, padahal bentuk kejahatannya versi penyidik telah diumbar dan diketahui jutaan Masyarakat, maka tidak ada jalan hukum untuk membersihkan namanya yang terlanjur cacat.

Berbeda halnya, jika sampai ke tahap Persidangan di Pengadilan. Jika Terdakwa ternyata tidak terbukti bersalah melakukan kejahatan, masih bisa dipulihkan nama baik dan harkat martabatnya melalui Putusan Hakim. Penting untuk ditekankan, proses Hukum Acara Pidana tidak boleh mengorbankan nama baik, harkat dan martabat manusia. Jika ditautkan pada amanat Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”, maka konferensi pers yang mendahului tahap persidangan sungguhpun merupakan suatu ironi.

Sejalan dengan pemikiran membatasai konferensi pers di tingkat penyidikan, karena salah satu dampaknya dapat membuat orang melarikan diri ataupun menghilangkan barang bukti yang dengan sendirinya dapat menghambat proses penyidikan.

Penulis kemudian mentautkan hal ini dengan masalah keterbukaan informasi Publik. Haruslah dipahami ketentuan Pasal 17 huruf a angka 1 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), menjelaskan informasi yang apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penegakan hukum penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, merupakan suatu informasi yang sifatnya dikecualikan. Di titik ini menjadi lebih jelas, bahwa materi penyidikan sejatinya tidak boleh diumbar sembarangan menjadi konsumsi publik. Masyarakat umum juga perlu menyadari bahwa tidak setiap permohonan informasi tentang proses penyidikan harus dikabulkan. Pembatasan penyebarluasan infromasi di Tingkat penyidikan, bukanlah merupakan sesuatu pelanggaran hukum terhadap hak mengakses keterbukaan informasi publik

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Pada akhirnya, dari amanat Pasal 18 ayat (3) UU KIP menjadi semakin jelas mensiratkan bahwa ruang publik yang paling tepat untuk mentransparansikan profesionalitas kinerja penyidik sejatinya adalah di forum persidangan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan. Pasal tersebut terang menekankan bahwa terhadap informasi yang sifatnya dikecualikan sekalipun, jika itu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, maka penegak hukum dapat membuka informasi yang dikecualikan itu. Salah satu prinsip Umum Hukum Acara Pidana, megaskan bahwa Persidangan itu dinyatakan terbuka untuk umum. Walaupun berlaku pengecualian terhadap perkara tertentu yang sidangnya harus dinyatakan tertutup untuk umum, namun mayoritas perkara pidana akan disidangkan secara terbuka untuk umum.

Jika semua alat bukti penuntut umum yang bersumber dari penyidikan itu dibuka di persidangan dan diterima oleh Hakim lalu dipandang dapat membentuk keyakinan hakim bahwa Terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pemidanaan, maka secara filosofis, itu telah menunjukkan bahwa kinerja penyidik dan penuntut umum telah professional, sehingganya harus diapresiasi. (LDR/AAR)


Selain sebagai Hakim, Penulis juga merupakan Tim Pengajar Hukum Acara Pidana UNAIR tahun 2013 s/d 2017.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI