Dalam era globalisasi, perusahaan multinasional
sering kali memiliki aset dan kewajiban di lebih dari satu negara. Di satu
sisi, bisnis telah melintasi batas-batas negara, sehingga kejatuhan satu
Perusahaan apalagi konglomerat multinasional pasti akan memicu keterlibatan
banyak sistem hukum dari berbagai yurisdiksi.
Namun,
ironisnya, prinsip dasar dan substansi banyak sistem hukum tersebut masih
bersifat sangat domestik, yang pada akhirnya mempersulit proses pengumpulan dan
distribusi aset global perusahaan yang bangkrut secara tertib, efisien, dan
adil.
Ketika terjadi kepailitan (insolvency), koordinasi antar yurisdiksi menjadi krusial untuk
memastikan distribusi aset yang adil dan efisien. Inti permasalahannya adalah
fragmentasi hukum. Ketika sebuah perusahaan atau grup multinasional bangkrut,
realitas komersialnya yang tunggal terpecah menjadi beberapa proses hukum di
berbagai forum yang menerapkan undang-undang yang berbeda secara
independen.
Baca Juga: Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan
Kondisi ini jauh dari ideal untuk mengumpulkan,
mendistribusikan, dan memaksimalkan aset debitur secara tertib. Perpecahan
prosedural ini memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan hukum yang rumit,
misalnya mengenai pengakuan putusan asing atau bantuan yang harus diberikan
pengadilan kepada administrator asing.
Akibatnya, muncul
risiko keputusan yang saling bertentangan, praktik pemilihan forum
(mencari pengadilan yang paling menguntungkan), dan potensi
kesewenang-wenangan, karena hasil akhir bergantung pada lokasi aset dan pihak
terkait. Dampak akhirnya bagi perdagangan adalah biaya yang membengkak,
penundaan yang lama, dan ketidakpastian yang merusak.
Solusi ideal yang dipegang teguh oleh komunitas kepailitan
internasional adalah universalisme dan untuk itu perlu adanya satu pengadilan sentral yang menerapkan satu
set hukum tunggal untuk mengatur seluruh kepailitan multinasional. Adanya
konvensi internasional berdasarkan prinsip ini akan memberikan wewenang kepada
satu pengadilan untuk membekukan semua proses hukum terkait secara global
(penangguhan worldwide) guna melindungi aset secara efektif dan
memfasilitasi rehabilitasi.
Sebagai otoritas tunggal, pengadilan ini juga akan
menyelaraskan kepentingan semua pemangku kepentingan dalam skala global. Lebih
lanjut, hukum kepailitan yang terpadu akan menjamin keseragaman dalam prioritas
klaim dan distribusi, sehingga memastikan perlakuan yang sama bagi kreditur di
seluruh dunia.
Hukum kepailitan suatu negara pada dasarnya merupakan
produk dari kompromi sosial, ekonomi, dan politik yang unik. Setiap kerangka
hukum ini berfungsi sebagai respons langsung terhadap tuntutan politik dan
kebijakan domestik warganya.
Oleh karena itu, hukum kepailitan nasional menunjukkan
variasi yang signifikan di berbagai sistem di seluruh dunia.
Perbedaan-perbedaan ini bervariasi, mulai dari detail teknis seperti cara
memperlakukan kreditur dari luar negeri, hingga perbedaan filosofis mendasar
mengenai tujuan akhir kepailitan yakni memprioritaskan pembayaran kembali
kepada kreditur atau melestarikan pekerjaan;
Universalisme yang
dimodifikasi adalah suatu konsep kepailitan lintas batas, menurut Lord Hoffman,
di mana pengadilan domestik wajib berkolaborasi dengan pengadilan di yurisdiksi
likuidasi utama untuk menjamin distribusi seluruh aset perusahaan kepada
kreditur di bawah satu kerangka distribusi tunggal.
Kolaborasi ini harus tunduk pada klausul keadilan dan kebijakan
publik lokal. Secara praktis, pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan sistem
distribusi yang paling seragam yang dapat dicapai melalui kerja sama antar
pengadilan, dengan tetap mengakui dan menghormati masalah kebijakan publik
domestik di tengah adanya berbagai proses hukum yang saling bersaing.
Kerja sama antar-pengadilan
sangat krusial bagi pendekatan ini. Mengingat bahwa akar dari banyak masalah
kepailitan lintas batas adalah fragmentasi proses hukum (proses yang
terpisah-pisah), solusi yang logis adalah membangun rasa koherensi dan kesatuan
di antara pengadilan-pengadilan yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk
menciptakan kembali efek dari satu proses hukum yang terpadu, meskipun secara
teknis kasus tersebut ditangani oleh banyak pengadilan.
Indonesia sendiri sampai
saat ini belum mempunyai kerangka hukum
kepailitan lintas batas secara
komprehensip, UU Kepailitan yang ada sekarang yakni UU No 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, yakni mengenai Harta Pailit di Luar Negeri (Pasal
212): yang menyebutkan Kreditur yang, setelah pernyataan pailit, menggunakan
benda milik harta pailit yang berada di luar negeri (dan tidak dijaminkan
secara khusus) untuk melunasi seluruh atau sebagian piutangnya, wajib mengembalikan
semua yang telah diperolehnya kepada harta pailit dan aturan yang lain yakni
Mengenai Pemindahan Piutang: yang pada pokoknya Kreditur yang memindahkan
seluruh atau sebagian piutangnya kepada pihak ketiga dengan tujuan agar pihak
ketiga tersebut bisa mendapatkan pelunasan secara didahulukan dari aset pailit
yang ada di luar negeri, juga wajib mengganti apa pun yang diperolehnya.
Indonesia juga saat ini belum meratifikasi maupun
mengakomodir terkait prinsip prinsip yang ada di UNCITRAL Model Law. Seyogyanya
Indonesia juga dapat menerapkan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency
(1997), karena pedoman ini dirancang untuk membantu negara untuk melengkapi
undang-undang kepailitan mereka dengan kerangka kerja yang modern, harmonis,
dan adil agar dapat menangani secara lebih efektif kasus-kasus proses hukum
lintas batas.
Jika
seadainya nanti Indonesia meratifikasi atau mengakomodir ketentuan ketentuan
dalam UNCITRAL Model Law yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita masih relevan
menerapkan ketentuan yang ada sekarang
khususnya menganai Letter of Rogatory
yang digunakan sebagai mekanisme untuk melakukan bantuan teknis hukum pada
masalah perdata lintas batas negara atau kita dapat menggunakan mekanisme lainnya yakni Judiciary Insolvency Networking (JIN) Protocol sebagai pengganti
dari mekanisme Letter of Rogatory.
Pembahasan
Guna
menjawab pertanyaan diatas kita harus tahu apa itu Letter of Rogatory dan apa
itu JIN Protocol dan bagaimana mekanisme
dari kedua sistem tersebut dalam pelaksanaannya;
Letters
of Rogatori
Letter of Rogatory mencakup permintaan bantuan
teknis hukum dan penyampaian dokumen peradilan dalam masalah perdata. Ruang
lingkupnya mencakup surat permintaan dari negara lain atau juga sebaliknya
permintaan dari dalam negeri ke negara lain.
Bantuan teknis yang dimaksud tidak hanya terbatas pada bantuan mencari atau
mengidentifikasi orang, mencari atau mengidentifikasi aset-aset atau properti,
memperoleh keterangan saksi, memperoleh dokumen atau alat bukti lainnya, tetapi
termasuk juga pelaksanaan proses keperdataan.
Selain bantuan teknis maka rogatory juga mencakup bantuan
penyampaian dokumen termasuk surat gugatan pada kasus perdata, surat panggilan
sidang perkara perdata, surat pemeriksaan saksi, surat pernyataan upaya hukum,
surat pernyataan pemeriksaan berkas, putusan atau penetapan pengadilan,
surat-surat, akta-akta, dan dokumen keperdataan lainnya.
Mekanisme dari Letter
of Rogatory baik bantuan teknis mapun penyampaian dokumen apabila berasal
dari Indonesia maka pengadilan di Indonesia melalui Mahkamah Agung mengajukan
permintaan penyampaian dokumen peradilan dalam masalah perdata kepada negara
tujuan dengan ketentuan harus memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan oleh negara
tujuan.
Mahkamah Agung meneruskan permintaan penyampaian dokumen
peradilan dalam masalah perdata kepada negara tujuan melalui Kementerian Luar
Negeri yang ditangani oleh Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya,
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional.
Dalam hal dokumen peradilan ditujukan kepada warga negara asing
atau badan hukum asing dan Direktorat Konsuler/Direktorat Perlindungan Warga
Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI), Direktorat Jenderal
Protokol dan Konsuler, dalam hal dokumen peradilan ditujukan kepada warga negara
Indonesia yang berdomisili di luar negeri dan terakhir Kementerian Luar Negeri
melalui perwakilan RI di luar negeri meneruskan permintaan penyampaian dokumen
peradilan kepada otoritas berwenang atau pihak lainnya sesuai dengan ketentuan
hukum negara tujuan
Karakteristik dari Letter of Rogatory menggunakan proses diplomatik
dan melalui jalur resmi sehingga dapat memakan waktu lama serta sifatnya kepada
negara tujuan adalah sifatnya tidak mengikat dikarenakan negara penerima dapat
menolak jika bertentangan dengan hukum domestik atau kebijakan publik. Karakteristik lainnya Letter of Rogatory juga fokus pada tindakan spesifik: dan tidak
mencakup pengakuan otomatis prosedur kepailitan asing.
Kelebihan dari Letter
of Rogatory adalah sifatnya yang Fleksibel, sehingga dapat digunakan di
negara yang belum meratifikasi perjanjian insolvensi lintas batas. Kekurangan
dari Letter of Rogatory adalah
prosesnya lambat, birokrasi tinggi, dan
tidak ada jaminan kepastian hukum.
Judicial
Insolvency Networking Core Protocol
Definisi
dari "Judicial Insolvency Networking
Protocol" mengacu pada serangkaian pedoman, kesepakatan, atau kerangka
kerja yang dibuat oleh jaringan pengadilan (khususnya yang menangani masalah
kepailitan atau restrukturisasi) untuk memfasilitasi komunikasi dan kerja sama
antar-pengadilan dalam kasus kepailitan lintas batas negara (cross-border
insolvency).
Protokol
ini bertujuan untuk menciptakan proses yang lebih efisien dan efektif ketika
suatu perusahaan atau debitur menghadapi proses kepailitan atau penyesuaian
utang di lebih dari satu yurisdiksi.
Mekanisme
dari panduan JIN (JIN Guidelines)
mengatur prinsip komunikasi antar-pengadilan, sementara modalitas berfokus pada
mekanisme praktis pelaksanaannya (memulai, menerima, dan berinteraksi). Oleh
karena itu, Modalitas membahas detail penting seperti waktu, metode, bahasa,
sifat kasus (termasuk kerahasiaan), dan persetujuan pihak terkait.
Fitur
kunci dari Modalitas adalah pengenalan fasilitator (seorang hakim atau pejabat
administrasi) yang bertugas memulai atau menerima komunikasi atas nama
pengadilan. rincian fasilitator, serta bahasa dan teknologi komunikasi yang
tersedia, didorong untuk dipublikasikan di situs web pengadilan.
Karakteristik
utama dari Judicial Insolvency Networking
Protocol (seperti yang diwakili oleh JIN Guidelines dan Modalities of
Court-to-Court Communication dari Judicial
Insolvency Network) antara lain yakni dengan melihat tujuan, prinsip/ fokus,
dan mekanisme praktisnya dengan tujuan utama dari protokol ini adalah untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penanganan kasus kepailitan yang
melibatkan lebih dari satu negara (cross-border insolvency).
Peningkatan
efisiensi ini dicapai melalui koordinasi prosedur dan pertukaran informasi yang
cepat antar-pengadilan yang berbeda yurisdiksi dan pada akhirnya, koordinasi
tersebut bertujuan untuk mengurangi konflik prosedural, meminimalkan biaya
litigasi, dan memastikan resolusi yang lebih terpadu dan tepat waktu.
Kelebihan
mekanisme JIN Core Protocol yakni tentunya proses lebih cepat dan efisien,
mengurangi biaya dan waktu dan serta meningkatkan kepastian hukum dan
perlindungan aset secara holistik sedangkan kekurangan JIN
Core Protocol adalah memerlukan
adopsi undang-undang nasional serta konflik
hukum masih mungkin jika negara lain tidak meratifikasi model UNCITRAL.
Kesimpulan
Letter of Rogatory dan JIN Core Protocol memiliki fungsi yang berbeda dalam kerja sama
lintas batas, dan JIN Core Protocol
umumnya tidak dapat sepenuhnya menggantikan Letter
of Rogatory, melainkan berfungsi sebagai alternatif yang lebih modern,
efisien, dan khusus untuk jenis kerja sama tertentu. JIN Core Protocol tidak menggantikan Letter of Rogatory, tetapi menyediakan jalur komunikasi paralel
yang lebih cepat dan informal yang sangat penting untuk koordinasi kasus
kepailitan lintas batas.
Letter of Rogatory tetap menjadi mekanisme yang
diperlukan dan resmi untuk meminta bantuan hukum substantif yang melibatkan
yurisdiksi dan kedaulatan negara lain. Letter of Rogatory masih relevan sebagai
alat darurat atau untuk negara yang belum memiliki kerangka kerja lintas batas
yang maju.
Namun, untuk kasus kepailitan kompleks dengan aset tersebar
di banyak yurisdiksi, Judicial Insolvency
Protocol menawarkan efisiensi, kepastian hukum, dan perlindungan aset yang
lebih baik. Indonesia, dengan adopsi sebagian prinsip UNCITRAL, sudah bergerak
menuju sistem yang lebih modern, tetapi tantangan koordinasi dengan negara
non-UNCITRAL tetap ada.
Harapan ke depan
yakni adanya peningkatan kerja sama bilateral dan multilateral, serta
harmonisasi regulasi, akan semakin mengurangi ketergantungan pada surat rogasi
yang lambat dan sangat birokratis.
Reference
1. Chong, Steven. (2019). The
Judicial Insolvency Network: A Ready Response in an Imperfect World. Makalah
dipresentasikan pada World Enforcement Conference, Shanghai, 22 Januari
2019. Supreme Court of Singapore.
2. Direktorat Hukum dan
Perjanjian Sosial Budaya Kemenlu RI. (2021). Penanganan Bantuan Teknis Hukum
dalam Masalah Perdata Lintas Negara. Jakarta.
3. Gunawan, Ari, Budi Prayitno,
Wigati Pujiningrum, Rizkiansyah, dan Aria Suyudi. (2025). Naskah Urgensi
Tata Cara Pemberian Pengakuan dan Bantuan atas Permohonan Pengakuan Proses
Kepailitan Asing serta Kerja Sama Antar Pengadilan Lintas Negara. Jakarta:
Lintera bekerja sama dengan Pustrajak Kumdil MARI.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI