Cari Berita

PN Tapaktuan Aceh Vonis Pidana Bersyarat, Hukum Adat Aceh Jadi Pertimbangan

article | Berita | 2025-09-18 14:05:27

Tapaktuan – Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan, Aceh Selatan menjatuhkan vonis 4 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan kepada Sodri bin (Alm.) Silan dalam perkara penganiayaan terhadap Zainal Arifin.Vonis ini dijatuhkan pada hari Kamis (112025 setelah majelis hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP (dakwaan subsidair). Adapun dakwaan primair Pasal 353 ayat (1) KUHP (penganiayaan berencana) dinyatakan tidak terbukti.“Menyatakan Terdakwa tidak terbukti pada dakwaan primair, namun terbukti melakukan penganiayaan sebagaimana Pasal 351 ayat (1) KUHP. Menjatuhkan pidana penjara 4 bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika selama masa percobaan 6 bulan Terdakwa melakukan tindak pidana,” ucap Ketua Majelis Fauzan Prasetya, didampingi Muhammad Ricky Rivai dan Hadian Indrawan Putra di Ruang Sidang Cakra, Gedung PN Tapaktuan, Jalan Syech Abdurrauf No. 11 Tapaktuan, Aceh Selatan.Kasus ini bermula pada 12 Januari 2025 sekitar pukul 11.45 WIB di pinggir Sungai Blok A, Gampong Seuneubok Pusaka, Trumon Timur. Cekcok terkait tudingan pembakaran rakit berujung Terdakwa merebut parang milik korban dan mengayunkannya. Korban mengalami memar punggung kiri (±4×5 cm) serta luka robek pada jari kelingking (±3 cm, 4 jahitan) dan jari manis kanan (±4 cm, 6 jahitan) sebagaimana Visum et Repertum UPTD Puskesmas Krueng Luas (21/1/2025).Jaksa sebelumnya menuntut pidana penjara 6 bulan. Namun majelis menilai unsur perencanaan tidak terbukti—aksi Terdakwa terjadi sebagai dorongan sesaat saat pertengkaran, sementara parang yang dibawa berkaitan dengan aktivitas berkebun. Di sisi lain, unsur penganiayaan terpenuhi karena ayunan parang menimbulkan rasa sakit dan luka pada korban.“Pidana bersyarat dipandang tepat dengan memperhatikan perdamaian tertulis (14/6/2025), pemaafan korban, penyesalan Terdakwa, serta tujuan keadilan restoratif untuk memulihkan korban dan relasi sosial,” jelas majelis merujuk Perma No. 1 Tahun 2024 dan Pasal 14 huruf (a) KUHP.Dalam pertimbangannya, majelis menekankan pentingnya nilai kearifan lokal Aceh dalam pemidanaan. “Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang mana sejalan dengan kearifan lokal Adat Aceh. Tujuan pemidanaan yaitu pembinaan terdakwa, perlindungan korban, dan menjaga peurukun gampong (kerukunan masyarakat) telah dapat dicapai dengan memperhatikan itikad baik terdakwa dan kondisi sosial masyarakat setempat,” tegas majelis.Majelis juga menegaskan perdamaian antara kedua belah pihak telah sah secara hukum dan tanpa tekanan. “Antara Terdakwa dan Saksi Zainal Arifin Bin Alm. M. Kasim telah terjadi perdamaian melalui Surat Kesepakatan 14 Juni 2025. Perdamaian dilakukan secara musyawarah dan kekeluargaan, disertai permintaan maaf serta penyesalan Terdakwa, dan korban juga telah memaafkan perbuatan Terdakwa,” ujar hakim ketua.Lebih lanjut, majelis menilai nilai adat Aceh tetap relevan meskipun tidak ada prosesi adat formal. “Meski kesepakatan perdamaian tidak dilakukan melalui musyawarah gampong atau prosesi peusijuek, majelis tetap mempertimbangkan nilai kearifan lokal Aceh adat bak mata, hukom bak ureueng (adat sebagai pengatur kehidupan, hukum sebagai pelindung keadilan) yang mengutamakan perdamaian dan pemulihan sebagai rujukan dalam putusan ini.” Ujar Fauzan Prasetya.Atas putusan ini, Terdakwa menerima dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Jaksa menyatakan pikir-pikir. (al/ldr)

Pakai Hukum Adat Aceh, PN Bireuen Berhasil Damaikan Kasus Penghinaan

article | Berita | 2025-02-28 09:35:41

Bireuen- Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, Aceh berhasil mendamaikan kasus penghinaan menggunakan hukum adat Aceh yaitu prosesi adat Pesijeuk. Bagaimana kisahnya?Sidang itu dipimpin majelis ketua Rangga Lukita Desnata dengan anggota Fuady Primaharsa, dan M. Muchsin Alfahrasi Nur. Majelis menggelar prosesi adat Pesijeuk.“Sidang digelar pada hari Rabu tanggal 27 Februari 2025 di ruang sidang utama PN Bireuen,” demikian keterangan pers PN Bireuen yang diterima DANDAPALA, Jumat (28/2/2025).Pesijeuk dipimpin oleh seorang Tengku (ulama) dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. “Pesijeuk ini merupakan adat Aceh, salah satunya diselenggarakan sebagai pengukuhan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan Korban,” ujarnya.Terdakwa yang merupakan seorang Sekretaris Desa (Sekdes) memohon maaf kepada korban atas kesalahannya, dan berjanji akan melindungi Korban seperti orang tuanya sendiri. Sebaliknya Korban yang merupakan Pendamping Desa dari Kecamatan juga akan membimbing Terdakwa seperti anaknya sendiri. “Melalui Pesijeuk ini dendam antara kedua belah pihak menjadi sirna, jalinan persaudaraan yang sudah terputus tersambung kembali, dan memulihkan kerugian yang diderita korban dan masyarakat,” ucapnya.“Perdamaian ini dapat tercapai berkat pertolongan Allah SWT yang melembutkan hati kedua belah pihak,” sambungnya.Majelis Hakim dengan dibantu oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa hanya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak agar ke depannya dapat hidup dengan harmonis. Apalagi Terdakwa dan Korban merupakan unsur pemerintahan Gampong yang harus bahu membahu dalam melayani masyarakat setempat.“Pada persidangan sebelumnya Majelis Hakim meminta Terdakwa dan Korban untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginannya masing-masing, supaya permasalahan antara Terdakwa dengan Korban dapat selesai dengan tuntas tanpa menyisahkan dendam,” tuturnya.Terdakwa menyatakan dirinya sangat ingin berdamai dengan Korban, hanya saja persyaratan sangat berat. Korban meminta Terdakwa untuk memuat permintaan maaf dan pengakuan bersalahnya di dalam media masa berskala nasional. Menanggapi hal itu Korban menyatakan bahwa syarat tersebut diajukan karena Terdakwa sesumbar dapat memenuhi apa saja yang dimintakan korban. Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa permasalahan antara Korban dengan Terdakwa ini bukanlah permasalahan berskala nasional, melainkan hanya berskala lokal tepatnya di Desa Keude Alue Rheung, Kecamatan Peudada, sehingga apabila Korban tetap menginginkan permintaan maaf Terdakwa dimuat di media massa maka yang lebih pas adalah media massa lokal, bukan media massa nasional, berdasarkan rilis yang diterima Tim Dandapala. “Korban lalu mengganti persyaratannya dengan meminta seekor Lembu, sesuai dengan apa yang diucapkan Terdakwa di kantor Polisi sebelumnya,” kisahnya.Terhadap hal itu Terdakwa menyatakan tidak dapat menyanggupinya sembari menjelaskan bahwa ucapannya di kantor kepolisian tersebut hanyalah sesumbar belaka. Terdakwa kemudian menyatakan hanya sanggup untuk menebus kesalahannya dengan seekor Kambing atau uang sejumlah Rp 2 juta. “Hal mana tawaran Terdakwa tersebut ditolak oleh Korban,” jelasnya.Dalam persidangan  tersebut Majelis Hakim kemudian menanyakan kepada Korban mengenai hal apa saja selain permintaanya tersebut yang dapat memulihkan rasa sakit hati dan kerugian yang dideritanya. Korban lalu menjawab bahwa sebenarnya dirinya tidak menginginkan uang dari Terdakwa, melainkan hanya menginginkan permintaan maaf dengan tulus dan mengumumkannya di Facebook, sebab Terdakwa pernah memfitnah korban di Facebook. Selain itu Korban meminta Terdakwa memberikan uang yang disanggupinya untuk diberikan kepada Korban sejumlah Rp 2 juta tersebut untuk diberikan ke Masjid di Gampong setempat.Terhadap syarat yang dikemukan Terdakwa tersebut Majelis Hakim menanyakan kesediaan Terdakwa untuk melakukannya. Terdakwa menjawab bahwa dirinya bersedia untuk melakukannya. Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan tentang kesediaan Terdakwa untuk mengumumkan permintaan maafnya di hadapan Jemaah Sholat, memajang permintaan maafnya secara tertulis kantor Keuchik dan Kantor Camat, serta memberi makan anak Yatim dengan alasan perbuatan Terdakwa bukan hanya merugikan Korban tetapi juga telah merusak keharmonisan di masyarakat. Atas pertanyaan Majelis Hakim tersebut Terdakwa mengatakan bahwa dirinya sanggup untuk melakukannya.“Terdakwa kemudian menunaikan apa yang telah disepakatinya dan memberikan bukti-buktinya kepada Hakim, sehingga prosesi adat pesijeuk ini dapat dilakukan,” katanya.Sebelum menutup persidangan Majelis Hakim menyampaikan bahwa perdamaian antara Terdakwa dengan Korban ini merupakan perwujudan dari restorative justice (keadilan restorasi) yang mengedepankan pemulihan dan keharmonisan di masyarakat ketimbang pembalasan sebagaimana tercantum pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.“Dan oleh sebab itu Majelis Hakim akan menjadikan perdamaian ini sebagai faktor yang sangat menentukan dalam menjatuhkan putusan,” pungkas rilis tersebut.