Tapaktuan – Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan, Aceh Selatan menjatuhkan vonis 4 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan kepada Sodri bin (Alm.) Silan dalam perkara penganiayaan terhadap Zainal Arifin.
Vonis ini dijatuhkan pada hari Kamis (112025 setelah majelis hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP (dakwaan subsidair). Adapun dakwaan primair Pasal 353 ayat (1) KUHP (penganiayaan berencana) dinyatakan tidak terbukti.
“Menyatakan Terdakwa tidak terbukti pada dakwaan primair, namun terbukti melakukan penganiayaan sebagaimana Pasal 351 ayat (1) KUHP. Menjatuhkan pidana penjara 4 bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika selama masa percobaan 6 bulan Terdakwa melakukan tindak pidana,” ucap Ketua Majelis Fauzan Prasetya, didampingi Muhammad Ricky Rivai dan Hadian Indrawan Putra di Ruang Sidang Cakra, Gedung PN Tapaktuan, Jalan Syech Abdurrauf No. 11 Tapaktuan, Aceh Selatan.
Baca Juga: IKAHI Tapaktuan Buka Bersama Anak Yatim dan Kampanye Anti Gratifikasi
Kasus ini bermula pada 12 Januari 2025 sekitar pukul 11.45 WIB di pinggir Sungai Blok A, Gampong Seuneubok Pusaka, Trumon Timur. Cekcok terkait tudingan pembakaran rakit berujung Terdakwa merebut parang milik korban dan mengayunkannya. Korban mengalami memar punggung kiri (±4×5 cm) serta luka robek pada jari kelingking (±3 cm, 4 jahitan) dan jari manis kanan (±4 cm, 6 jahitan) sebagaimana Visum et Repertum UPTD Puskesmas Krueng Luas (21/1/2025).
Jaksa sebelumnya menuntut pidana penjara 6 bulan. Namun majelis menilai unsur perencanaan tidak terbukti—aksi Terdakwa terjadi sebagai dorongan sesaat saat pertengkaran, sementara parang yang dibawa berkaitan dengan aktivitas berkebun. Di sisi lain, unsur penganiayaan terpenuhi karena ayunan parang menimbulkan rasa sakit dan luka pada korban.
“Pidana bersyarat dipandang tepat dengan memperhatikan perdamaian tertulis (14/6/2025), pemaafan korban, penyesalan Terdakwa, serta tujuan keadilan restoratif untuk memulihkan korban dan relasi sosial,” jelas majelis merujuk Perma No. 1 Tahun 2024 dan Pasal 14 huruf (a) KUHP.
Dalam pertimbangannya, majelis menekankan pentingnya nilai kearifan lokal Aceh dalam pemidanaan. “Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang mana sejalan dengan kearifan lokal Adat Aceh. Tujuan pemidanaan yaitu pembinaan terdakwa, perlindungan korban, dan menjaga peurukun gampong (kerukunan masyarakat) telah dapat dicapai dengan memperhatikan itikad baik terdakwa dan kondisi sosial masyarakat setempat,” tegas majelis.
Majelis juga menegaskan perdamaian antara kedua belah pihak telah sah secara hukum dan tanpa tekanan. “Antara Terdakwa dan Saksi Zainal Arifin Bin Alm. M. Kasim telah terjadi perdamaian melalui Surat Kesepakatan 14 Juni 2025. Perdamaian dilakukan secara musyawarah dan kekeluargaan, disertai permintaan maaf serta penyesalan Terdakwa, dan korban juga telah memaafkan perbuatan Terdakwa,” ujar hakim ketua.
Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan
Lebih lanjut, majelis menilai nilai adat Aceh tetap relevan meskipun tidak ada prosesi adat formal. “Meski kesepakatan perdamaian tidak dilakukan melalui musyawarah gampong atau prosesi peusijuek, majelis tetap mempertimbangkan nilai kearifan lokal Aceh adat bak mata, hukom bak ureueng (adat sebagai pengatur kehidupan, hukum sebagai pelindung keadilan) yang mengutamakan perdamaian dan pemulihan sebagai rujukan dalam putusan ini.” Ujar Fauzan Prasetya.
Atas putusan ini, Terdakwa menerima dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Jaksa menyatakan pikir-pikir. (al/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI