Cari Berita

Prof Yanto: Hakim Itu Tetap Pejabat Negara Agar Lebih Independen

article | Berita | 2025-07-16 15:45:03

Jakarta – Prof. Yanto memberikan pandangan dalam Webinar Konsultasi Publik Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim pada hari ini, Rabu 16 Juli 2025. Baginya salah satu substansi yang penting di dalam RUU Jabatan Hakim adalah menegaskan kembali hakim adalah pejabat negara. Hal ini bertujuan agar hakim menjadi lebih independen. Lebih lanjut, menegaskan perihal rekrutmen hakim bahwa ada perbedaan yang mendasar rekrutmen hakim di dalam negara dengan sistem eropa kontinental dengan sistem common law. Di dalam sistem eropa kontinental rekrutmen hakim dilakukan dengan mekanisme khusus sementara itu di dalam sistem common law hakim direkrut dari pengacara atau jaksa karena untuk menjadi hakim dibutuhkan pengalaman sebelumnya sebagai praktisi hukum.“Indonesia adalah negara dengan sistem eropa kontinental sehingga di dalam RUU Jabatan Hakim calon hakim kedepannya dapat berasal dari: (a) CPNS khusus formasi hakim; (b) Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya; dan (c) Prajurit TNI untuk calon hakim dalam peradilan militer”, ucap Prof. Yanto.Selain itu, Prof. Yanto juga menegaskan terkait dengan Gaji pokok dan pensiunan hakim harus diatur secara terpisah dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini dikarenakan saat ini apabila hakim pensiun maka penghasilan pensiunannya disamakan dengan pensiunan ASN. Secara tidak langsung ini dapat menurunkan marwah seorang pejabat negara yang telah pensiun. “Penilaian kinerja dan pemberhentian hakim sebagai pejabat negara perlu ada pengaturan di dalam RUU Jabatan Hakim. Salah satu mekanisme yang perlu diatur, apabila hakim menjadi tersangka harus ada surat dari Ketua Mahkamah Agung ke Presiden agar hakim tersebut diberhentikan sementara. Apabila terbukti, maka baru dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat”, ucapnya. (CAS/FAC)

Prof Harkristuti: Hak Imunitas Penting Untuk Menguatkan Independensi Hakim

article | Berita | 2025-07-16 13:00:39

Jakarta - Pada prinsipnya RUU Jabatan Hakim diharapkan mampu meningkatkan kualitas sistem peradilan di Indonesia. Saat ini kondisinya ketentuan mengenai hakim masih tersebar dan sporadis di berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu ada undang-undang yang mengatur mengenai jabatan hakim yang menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan hakim.Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia) saat menjadi narsumber dalam kegiatan Webinar Konsultasi Publik dengan tema Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim yang diselenggarakan oleh Badan Keahlian DPR RI pada hari Rabu 16 Juli 2025. Turut hadir narasumber lain dalam webinar ini yaitu Prof. Yanto (Hakim Agung Mahkamah Agung RI), M. Taufiq HZ (Anggota Komisi Yudisial RI), dan Prof. Basuki Rekso Wibowo (Guru Besar Universitas Nasional). Dalam pandangannya, Prof Harkristuti menekankan perlunya RUU Jabatan Hakim yang komprehensif mengatur hal-hal yang berkenaan dengan jabatan dan kemuliaan profesi Hakim, terutama dalam konteks pengawasan Hakim. “Sistem pengawasan hakim yang nantinya harus diatur harus tetap mengacu pada prinsip: (1) Menjaga independensi hakim (judicial independence); (2) Menjamin akuntabilitas hakim (judicial accountability); (3) kriteria yang objektif; (4) penanganan yang transparan; (5) Due Process of Law; (6) Perlindungan Pelapor dan whistle blower; dan (7) Proporsionalitas sanksi,” ujarnya. Lebih lanjut, Prof. Harkristuti turut menyoroti perihal usulan perpanjangan usia pensiun Hakim dalam Draft RUU Jabatan Hakim. Baginya, perpanjangan usia pensiun Hakim akan membantu menguatkan pembinaan kepada Hakim-Hakim yang lebih muda. “Sisi positif dari perpanjangan usia hakim yaitu menjaga stabilitas pengadilan, menguatkan pembinaan hakim junior, dan rekrutmen hakim yang tidak terlalu sering. Namun, harus juga dilihat kemungkinan adanya potensi penurunan kinerja,” sambungnya. Hak imunitas Hakim juga turut disoroti dalam webinar kali ini. Menurut Prof. Harkristuti, Hak imunitas hakim berkaitan dengan perlindungan hakim itu sendiri. “Bahwa hak imunitas terhadap hakim tidak mutlak yaitu hanya terkait dengan putusan kecuali jika ada indikasi tindak pidana seperti korupsi dan suap, namun juga melindungi hakim dari berbagai tekanan dan intimidasi dan menguatkan independensi hakim,” tutur Prof. Harkristuti, yang juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana FHUI. (CAS, AAR, FAC)

Simak! Ini Urgensi RUU Jabatan Hakim

article | Berita | 2025-07-16 12:15:00

Jakarta - Badan Keahlian (BK) DPR RI menggelar Webinar Konsultasi Publik - Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim pada Rabu 16 Juli 2025. Dalam kesempatan tersebut, turut hadir sejumlah narasumber yaitu Prof. Dr. Yanto (Hakim Agung MA RI), M. Taufiq HZ (Anggota Komisi Yudisial RI), Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo (Guru Besar Universitas Nasional), dan Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia).Kepala Pusat PUU Polhukam Badan Keahlian DPR RI, Dr. Lidya Suryani Widayati, dalam sambutannya menyebutkan bahwa urgensi pengaturan jabatan Hakim kedalam suatu undang-undang adalah hal yang mendesak untuk dilakukan. Menurutnya, RUU JH semata-mata untuk menjamin hadirnya penegakan hukum yang berkeadilan. “Pengaturan jabatan Hakim adalah untuk menghadirkan Hakim yang Berani, Objektif, dan Berintegritas,” sebut Lidya.Dalam perspektif akademik kebutuhan akan RUU Jabatan Hakim sangat mendesak. “Kemerdekaan kekuasaan kehakiman menuntut adanya perlindungan hukum bagi Hakim dalam menjalankan tugasnya. Pengaturan jabatan Hakim harus memuat pengaturan yang jelas syarat pengangkatan, pola kinerja, penegakan disiplin, hingga kesejahteraan Hakim. Tanpa pengaturan yang baku, akan terjadi kerancuan dalam proses peradilan,” sebutnya. “Banyak negara di dunia sudah mengatur jabatan dan profesi Hakim dalam suatu undang-undang tersendiri. Misalnya, di Jerman, Singapura, dan Jepang. Negara-negara tersebut menempatkan profesi Hakim dalam profesi yang terhormat,” lanjutnya.Namun demikian, menurut Lidya, Badan Keahlian DPR juga mengharapkan adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap profesi Hakim. “Pemberian fasilitas dan tunjangan kepada Hakim harus diiringi dengan pengawasan yang lebih ketat agar tercipta peradilan yang bersih dan berintegritas, dengan tetap mengedepankan indepensi Hakim,” sebutnya.Webinar ini sebagai sarana bertemunya gagasan para akademisi, praktisi, dan elemen Masyarakat sipil untuk memberikan rekomendasi konkrit mengenai Rancangan UU Jabatan Hakim. “Kami harap mendapatkan masukan terhadap draft RUU JH yang sedang kami susun, semoga seminar hari ini bermanfaat untuk penguatan profesi Hakim dan lembaga peradilan,” tutup Lidya. (AAR/FAC)

Komisi Yudisial Mendukung Penuh Perpanjangan Usia Pensiun Hakim

article | Berita | 2025-07-16 10:00:11

Jakarta - Anggota Komisi Yudisial RI, M. Taufiq HZ dalam  Webinar Konsultasi Publik - Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim (16/7/25) menyampaikan, dukungan terhadap rencana Pemerintah dan DPR dalam merumuskan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim. Menurutnya, KY sebagai pengawas eksternal sangat berkepentingan dalam pengaturan jabatan Hakim agar pengawasan menjadi lebih optimal. “KY mendukung penuh RUU Jabatan Hakim segera diundangkan untuk memberikan jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan,” tutur M. Taufiq HZ.Lebih lanjut, KY juga memberikan dukungan terhadap terhadap pengaturan usia pensiun Hakim. Ia menyebutkan bahwa usia pensiun Hakim menjadi hal yang sangat krusial untuk diatur. “Komisi Yudisial mendukung penuh pengaturan usia pensiun Hakim sebagaimana draft RUU yang ada saat ini,” sebut M. Taufiq.Seperti diketahui, dalam Draft RUU Jabatan Hakim yang dipublikasikan oleh Badan Keahlian DPR RI disebutkan bahwa usia pensiun Hakim Agung diusulkan adalah 15 tahun masa jabatan dan dapat diperpanjang 5 tahun dengan syarat sehat jasmani dan Rohani, berintegritas tinggi, dan berkinerja baik, sementara usia pensiun hakim tingkat banding adalah 70 tahun, dan hakim tingkat pertama adalah 67 tahun.Hal yang sama disampaikan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo. Ia menyebutkan bahwa perpanjangan usia jabatan Hakim harus selaras dengan integritas Hakim. Kedepannya, kita berharap adanya evaluasi berkala atas kinerja Hakim yang dilakukan oleh tim yang independent,” sebut Harkristuti, yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Kegiatan Webinar Konsultasi Publik - Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim diselenggarakan secara luring maupun daring. Sejumlah pihak baik dari kalangan akademisi, Hakim, maupun elemen Masyarakat turut hadir menyampaikan aspirasi dan masukannya terhadap RUU Jabatan Hakim. (AAR/FAC)

Prof Basuki: Hakim Adalah Pejabat Negara, Bukan PNS

article | Berita | 2025-07-16 09:30:28

Jakarta – Badan Keahlian DPR RI menggelar Webinar Konsultasi Publik - Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim pada Rabu 16 Juli 2025. Dalam kesempatan tersebut, turut hadir sejumlah narasumber yaitu Prof. Yanto (Hakim Agung MA RI), M. Taufiq HZ (Anggota Komisi Yudisial RI), Prof. Basuki Rekso Wibowo (Guru Besar Universitas Nasional), dan Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia).Dalam paparannya mengenai konsep ideal pengaturan jabatan Hakim, Prof. Basuki Rekso Wibowo menyebutkan bahwa manajemen jabatan Hakim menjadi problematik, baik dari aspek yuridis maupun implementatif. Di satu sisi Hakim disebut sebagai Pejabat Negara, namun disisi lain, Hakim masih ditempatkan dalam kedudukan dan manajemen sebagai PNS (rekrutmen, kepangkatan, penggajian, pembinaan). “Dualisme status Hakim ini menjadikan Hakim saat ini kontraproduktif dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya,” sebut Prof. Basuki.“Hakim sebagai Pejabat Negara yang “bersifat khusus” merupakan konsekuesi dari eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka, sehingga perlu diatur secara khusus dalam Undang-Undang,” lanjutnya.Lebih lanjut, Prof Basuki berharap agar RUU Jabatan Hakim menjawab tantangan soal dualisme status Hakim. “Hakim adalah Pejabat Negara, bukan PNS. Karenanya, UU Jabatan Hakim kedepan harus menegaskan posisi dan kedudukan Hakim sebagai pejabat negara dengan seluruh konsekuensi yang mengikutinya,” harap Prof. Basuki.“RUU tentang Jabatan Hakim harus mengatur secara jelas tentang status kepegawaian, rekrutmen, jenjang karir/kepangkatan, hak keuangan, fasilitas, pembinaan, kode etik hakim, pengawasan hakim hingga pemberhentian hakim sebagai pejabat negara untuk membedakan dengan kedudukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil,” lanjutnya.M. Taufiq HZ, Komisioner Komisi Yudisial RI turut menyampaikan hal yang senada. Menurutnya, Hakim harus dikukuhkan statusnya sebagai pejabat negara karena hal tersebut merupakan amanat undang-undang. “Status PNS seorang Hakim yang berasal dari seleksi CPNS harus berakhir saat dilantik sebagai Hakim,” sebut Taufiq.Hal lain yang turut disoroti adalah tentang pemberian tunjangan pensiun bagi Hakim yang telah purnabakti. Hakim dengan status pejabat negara harus diberikan hak pensiun yang sesuai dengan bentuk pengabdiannya kepada negara. “Salah satu keluhan yang sering muncul dari Hakim yang purnabakti adalah ketika masa pensiun tiba, maka kedudukannya sebagai pejabat negara berakhir dan hak pensiun yang diterima mengikuti jumlah tunjangan ASN/PNS yang jumlahnya sangat minimalis,” sebut Prof. Basuki, yang juga merupakan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI periode 2009-2018.Kegiatan Webinar Konsultasi Publik - Urgensi dan Pokok-Pokok Pengaturan RUU Jabatan Hakim diselenggarakan secara luring maupun daring. Sejumlah pihak baik dari kalangan akademisi, Hakim, maupun elemen Masyarakat turut hadir menyampaikan aspirasi dan masukannya terhadap RUU Jabatan Hakim. (AAR/FAC)