Cari Berita

Pakai Hukum Adat Aceh, PN Bireuen Berhasil Damaikan Kasus Penghinaan

article | Berita | 2025-02-28 09:35:41

Bireuen- Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, Aceh berhasil mendamaikan kasus penghinaan menggunakan hukum adat Aceh yaitu prosesi adat Pesijeuk. Bagaimana kisahnya?Sidang itu dipimpin majelis ketua Rangga Lukita Desnata dengan anggota Fuady Primaharsa, dan M. Muchsin Alfahrasi Nur. Majelis menggelar prosesi adat Pesijeuk.“Sidang digelar pada hari Rabu tanggal 27 Februari 2025 di ruang sidang utama PN Bireuen,” demikian keterangan pers PN Bireuen yang diterima DANDAPALA, Jumat (28/2/2025).Pesijeuk dipimpin oleh seorang Tengku (ulama) dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. “Pesijeuk ini merupakan adat Aceh, salah satunya diselenggarakan sebagai pengukuhan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan Korban,” ujarnya.Terdakwa yang merupakan seorang Sekretaris Desa (Sekdes) memohon maaf kepada korban atas kesalahannya, dan berjanji akan melindungi Korban seperti orang tuanya sendiri. Sebaliknya Korban yang merupakan Pendamping Desa dari Kecamatan juga akan membimbing Terdakwa seperti anaknya sendiri. “Melalui Pesijeuk ini dendam antara kedua belah pihak menjadi sirna, jalinan persaudaraan yang sudah terputus tersambung kembali, dan memulihkan kerugian yang diderita korban dan masyarakat,” ucapnya.“Perdamaian ini dapat tercapai berkat pertolongan Allah SWT yang melembutkan hati kedua belah pihak,” sambungnya.Majelis Hakim dengan dibantu oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa hanya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak agar ke depannya dapat hidup dengan harmonis. Apalagi Terdakwa dan Korban merupakan unsur pemerintahan Gampong yang harus bahu membahu dalam melayani masyarakat setempat.“Pada persidangan sebelumnya Majelis Hakim meminta Terdakwa dan Korban untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginannya masing-masing, supaya permasalahan antara Terdakwa dengan Korban dapat selesai dengan tuntas tanpa menyisahkan dendam,” tuturnya.Terdakwa menyatakan dirinya sangat ingin berdamai dengan Korban, hanya saja persyaratan sangat berat. Korban meminta Terdakwa untuk memuat permintaan maaf dan pengakuan bersalahnya di dalam media masa berskala nasional. Menanggapi hal itu Korban menyatakan bahwa syarat tersebut diajukan karena Terdakwa sesumbar dapat memenuhi apa saja yang dimintakan korban. Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa permasalahan antara Korban dengan Terdakwa ini bukanlah permasalahan berskala nasional, melainkan hanya berskala lokal tepatnya di Desa Keude Alue Rheung, Kecamatan Peudada, sehingga apabila Korban tetap menginginkan permintaan maaf Terdakwa dimuat di media massa maka yang lebih pas adalah media massa lokal, bukan media massa nasional, berdasarkan rilis yang diterima Tim Dandapala. “Korban lalu mengganti persyaratannya dengan meminta seekor Lembu, sesuai dengan apa yang diucapkan Terdakwa di kantor Polisi sebelumnya,” kisahnya.Terhadap hal itu Terdakwa menyatakan tidak dapat menyanggupinya sembari menjelaskan bahwa ucapannya di kantor kepolisian tersebut hanyalah sesumbar belaka. Terdakwa kemudian menyatakan hanya sanggup untuk menebus kesalahannya dengan seekor Kambing atau uang sejumlah Rp 2 juta. “Hal mana tawaran Terdakwa tersebut ditolak oleh Korban,” jelasnya.Dalam persidangan  tersebut Majelis Hakim kemudian menanyakan kepada Korban mengenai hal apa saja selain permintaanya tersebut yang dapat memulihkan rasa sakit hati dan kerugian yang dideritanya. Korban lalu menjawab bahwa sebenarnya dirinya tidak menginginkan uang dari Terdakwa, melainkan hanya menginginkan permintaan maaf dengan tulus dan mengumumkannya di Facebook, sebab Terdakwa pernah memfitnah korban di Facebook. Selain itu Korban meminta Terdakwa memberikan uang yang disanggupinya untuk diberikan kepada Korban sejumlah Rp 2 juta tersebut untuk diberikan ke Masjid di Gampong setempat.Terhadap syarat yang dikemukan Terdakwa tersebut Majelis Hakim menanyakan kesediaan Terdakwa untuk melakukannya. Terdakwa menjawab bahwa dirinya bersedia untuk melakukannya. Selanjutnya Majelis Hakim menanyakan tentang kesediaan Terdakwa untuk mengumumkan permintaan maafnya di hadapan Jemaah Sholat, memajang permintaan maafnya secara tertulis kantor Keuchik dan Kantor Camat, serta memberi makan anak Yatim dengan alasan perbuatan Terdakwa bukan hanya merugikan Korban tetapi juga telah merusak keharmonisan di masyarakat. Atas pertanyaan Majelis Hakim tersebut Terdakwa mengatakan bahwa dirinya sanggup untuk melakukannya.“Terdakwa kemudian menunaikan apa yang telah disepakatinya dan memberikan bukti-buktinya kepada Hakim, sehingga prosesi adat pesijeuk ini dapat dilakukan,” katanya.Sebelum menutup persidangan Majelis Hakim menyampaikan bahwa perdamaian antara Terdakwa dengan Korban ini merupakan perwujudan dari restorative justice (keadilan restorasi) yang mengedepankan pemulihan dan keharmonisan di masyarakat ketimbang pembalasan sebagaimana tercantum pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.“Dan oleh sebab itu Majelis Hakim akan menjadikan perdamaian ini sebagai faktor yang sangat menentukan dalam menjatuhkan putusan,” pungkas rilis tersebut.

Kasus Kekerasan Anak, Terdakwa Beri Uang Damai ke Anak Yatim

article | Berita | 2025-02-13 11:55:39

Bireuen- Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, Aceh kembali menggelar kasus kekerasan terhadap anak. Terdakwa meminta damai tapi uang damai yang diminta tidak sesuai dengan yang diminta keluarga korban. Lalu bagaimana langkah selanjutnya?Sidang itu digelar pada Selasa (12/2/2025) dengan Agenda mendengarkan keterangan para saksi yang digelar di ruang sidang utama PN Bireuen. Perkara tersebut terdaftar dalam Register Perkara Nomor 211/Pid. Sus/2024/PN Bir. Sidang dipimpin oleh Rangga Lukita Desnata, sebagai hakim ketua dan Fuadi Primaharsa, Rahmi Warni, sebagai anggota.Persidangan yang dimulai sejak pagi hari tersebut berjalan lancar dengan telah diupayakannya perdamaian antara terdakwa Rusdi Muhammad dengan keluarga korban dalam perkara kekerasan  terhadap anak. “Upaya perdamaian ini bertujuan untuk menghilangkan dendam dan menyambung tali persaudaran antara kedua belah pihak yang terputus, serta memulihkan kehidupan sosial kemasyarakatan di Gampong setempat, sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” sebagaimana dikutip dari Juru Bicara PN Bireuen Muchsin Al Fahrasi Nur dalam rilis resminya, Kamis (13/2/2025).Dalam rangka mewujudkan perdamaian tersebut majelis hakim memanggil tokoh masyarakat sekaligus ulama kharismatik setempat. Yaitu Abi Sulaiman selaku pimpinan Dayah (Pondok Pesantren) di Gampong Meunasah Mesjid, Simpang Mamplam. Abi Sulaiman memberikan nasihat kepada kedua belah pihak agar mengutamakan perdamaian dan meninggalkan permusuhan sesuai dengan firman Allah di dalam Al Quran dan hadist Rasulullah. Selanjutnya Abi Sulaiman mengatakan memang sangat berat untuk memaafkan, dan oleh sebab itu Allah SWT memberikan ganjaran pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang bersedia membri maaf. Apabila perdamaian dapat tercapai, Abi Sulaiman bersedia memimpin langsung prosesi peusijeuk sebagaimana lazimnya adat yang berlaku di Aceh, ujar Rilis tersebut.Rilis tersebut juga menjelaskan Terdakwa menyatakan sangat ingin berdamai dan bahkan bersedia memberikan kompensasi kepada korban sejumlah Rp 10 juta sebagai tanda pengakuan bersalah dan permintaan maafnya. Keinginan Terdakwa tersebut diterima oleh korban, akan tetapi ditolak oleh keluarga korban yang hanya bersedia berdamai apabila Terdakwa membayar uang damai sejumlah Rp 78 juta sehingga perdamaian antara kedua belah pihak tidak dapat terwujud.“Majelis Hakim kemudian bertanya kepada terdakwa apakah bersedia mengganti uang kompensasi yang ditolak oleh keluarga korban tersebut dengan memberi makan anak-anak yatim dan santri-santri di Dayah. Terdakwa menyatakan bahwa dirinya bersedia melakukannya dalam rangka menebus kesalahannya. Terdakwa akan memotong 2 (dua) atau 3 (tiga) kambing untuk membuat kuah beulangong atau kari kambing untuk memberi makan Anak-anak Yatim, Santri-santri dan Jemaah Sholat Jumat di Gampong,” ujarnya.Setelah itu majelis hakim meminta terdakwa agar segera melakukannya. Dan kemudian memberitahukannya kepada Penuntut Umum supaya dapat dipertimbangkan dalam tuntutan. Sebelum menutup persidangan majelis hakim berharap di antara kedua belah pihak dapat tercapai perdamaian.“Dan Majelis Hakim akan mempertimbangkan secara adil dan berimbang atas segala usaha perdamaian dan permintaan maaf yang dilakukan Terdakwa dengan keengganan keluarga korban untuk menerimanya,” ujar majelis hakim sebagaimana dikutip melalui rilis.

PN Bireuen Berhasil Diversi 10 Anak yang Tawuran dan Diminta Jadi Marbot Masjid

article | Berita | 2025-01-24 19:25:59

Bireuen- Pengadilan Negeri (PN) Bireuen, Aceh berhasil mendorong tercapainya kesepakatan diversi terhadap 10 anak yang berhadapan dengan hukum. Kesepuluh anak itu terlibat kasus tawuran.Kasus itu terjadi saat 10 Anak tersebut akan melakukan tawuran antar geng pada 15 Desember 2024, pada pukul 03.00 WIB dini hari di sekitaran Bireuen. Namun tawuran tersebut urung terjadi karena geng lawan terlebih dahulu kabur karena ketakutan melihat senjata tajam yang dibawa dan digunakan oleh anak yang saat itu berjumlah kurang lebih 15 orang. Di mana 10 anak diproses dan sisanya masih dalam pencarian.Kesepuluh anak itu akhirnya diproses hingga pengadilan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa 10 anak tersebut dalam 4 perkara berbeda/splitsing dengan dakwaan alternatif. Yaitu Pertama melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1951 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau Kedua melanggar Pasal 169 ayat (1) KUHPidana jo UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Sesuai UU, dilakukanlah diversi dan hasilnya diversi berhasil.“Anak diwajibkan untuk melaksanakan pelayanan masyarakat berupa membersihkan dan melaksanakan sholat 5  waktu di Masjid Agung Sulthan Jeumpa Bireuen. Yaitu sejak ditandatanganinya kesepakatan ini yaitu pada Senin, 13 Januari 2025 sampai dengan tanggal 1 Syawal 1446 H/29 Maret 2025 atau saat Lebaran Idul Fitri tiba,” demikian hasil diversi tersebut yang dirangkum DANDAPALA, Jumat (24/1/2025).Diversi itu dipimpin hakim Muchsin Alfahrasi Nur dan Fuady Primaharsa, selaku fasilitator diversi. Diversi itu digelar pada Senin (13/1/2025) di Ruang Musyawarah Diversi PN Bireuen. Musyawarah viversi tersebut dihadiri oleh 10 anak dengan didampingi orang tua dan penasihat hukumnya. Kemudian dihadiri pula oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, serta 10  orang Pembimbing Kemasyarakatan Badan Pemasyarakatan (PK Bapas) Banda Aceh. “Tindakan anak dalam membawa senjata tajam dan hendak melakukan tawuran antar geng adalah perbuatan yang membahayakan nyawa diri sendiri dan orang lain,” kata hakim Muchsin.Hakim Muchsin memberi contoh tawuran antar pelajar yang terjadi di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya yang sering viral di media sosial. Di mana berujung kematian peserta tawuran. “Anak tidak ikut-ikutan pada kegiatan-kegiatan negatif tersebut, karena dapat dipastikan tidak membawa kebaikan bagi anak itu sendiri,” kata Muchsin.Di sisi lain, hakim Fuady juga menegaskan pentingnya orang tua dalam mendidik dan mengawasi anak dalam kegiatan sehari-hari. Hakim Fuady bahkan meminta orang tua untuk tidak memberikan kendaraan bermotor bagi anak apabila belum cukup umur atau memiliki SIM. Selain itu, ia juga meminta agar orang tua selalu mengecek handphone anak setiap waktu, agar orang tua tahu dengan siapa saja dan bagaimana pergaulan si anak sehari-hari.“Sehingga orang tua dapat mengantisipasi terjadinya kenakalan remaja (juvenile dilinquency) pada anak dan kejadian seperti ini tidak lagi terulang di masa mendatang,” kata  hakim Fuady.Atas penyampaian kedua hakim tersebut, kesepuluh anak berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Dan orang tua anak pun berjanji akan lebih memerhatikan pergaulan anak-anaknya. Terlihat kesepuluh anak tersebut berlinang air mata saat diminta oleh fasilitator diversi memohon maaf kepada orang tuanya.