Cari Berita

Arsip Pengadilan Den Haag 1928: Gemuruh Pledoi Bung Hatta Indonesie Vrij

article | History Law | 2025-02-28 09:20:28

Jakarta- Sebentar lagi umat muslim di dunia akan memasuki bulan Ramadhan. Muslim memaknai Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan dan pengampunan dari sang pencipta. Namun Ramadhan bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai moment yang dirayakan umat Islam, akan tetapi banyak sejarah Indonesia lahir pada bulan tersebut,.Sebagai contoh Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tepat bersamaan dengan Ramadhan, 1364 Hijriah. Demikian juga upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda ke 1 di tahun 1947, tepat pada bulan Ramadhan 1366 Hijriah.Selain dua peristiwa tersebut, ada satu catatan sejarah nasional yang lahir bersamaan dengan bulan Ramadhan. Tinta sejarah bangsa Indonesia tersebut, berupa penyampaian cita-cita Indonesia Merdeka oleh cendikiawan muda Bumiputra di ruang sidang Pengadilan Den Haag, Belanda, tahun 1928. Bahkan cita-cita tentang tanah nusantara yang merdeka, menjadi sorotan dunia karena disampaikan pada persidangan yang terbuka oleh terpelajar yang didakwakan melakukan perbuatan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Intelektual muda yang lantang menyampaikan tanah Indonesia yang merdeka di ruang sidang Pengadilan Den Haag tersebut adalah Drs. Mohammad Hatta (kelak menjadi Wakil Presiden RI pertama) seorang pelajar Bumiputera yang saat itu menempuh pendidikan di negeri Kincir Angin. Aktivitasnya sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeeniging) di Belanda bersama dengan Mr. Ali Sastroamidjojo (kelak salah satu Perdana Menteri RI), Mr. Mohammad Nazir Pamoentjak (kelak duta besar Indonesia untuk beberapa negara asing), Sutan Sjahrir (kelak Perdana Menteri RI Pertama), Iwa Koesoema Soemantri (menteri era orde lama dan Rektor pertama Unpad)  dan beberapa tokoh nasional lainnya. Selain menyelesaikan pendidikannya, Mohammad Hatta aktif melakukan pergerakan dan penyuaraan kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan kritik terhadap kolonialisme di tanah Hindia Belanda serta menerangkan kondisi rakyat tanah jajahan yang menderita akibat perbuatan semena-mena penjajah Belanda, kritiknya disampaikan baik secara lisan dalam berbagai forum atau pertemuan yang dihadirinya maupun melalui tulisan di berbagai media kabar internasional dalam beberapa Bahasa, membuatnya berurusan dengan penegak hukum di negeri Belanda. Salah satu tulisannya, yang memberikan tamparan kepada penjajah dan membuka mata dunia terhadap kolonialisme di Belanda yakni mengenai ketidakadilan penetapan harga sewa tanah rakyat bumiputera yang digunakan untuk perkebunan milik orang Belanda. Tulisannya tersebut dimuat Majalah Hindia Poetra, tahun 1923.Puncaknya Mohammad Hatta menjadi orator dalam pertemuan Konfrensi Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan, di Kota Gland Swiss. Mohammad Hatta memaparkan orasi menggunakan bahasa Prancis dengan judul L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Problematika Kemerdekaan). Penyampaian orasi tersebut, berdampingan dengan Pandit Jawaharlal Nehru tokoh nasional India (kelak menjadi Perdana Menteri India) Tahun 1947. Tepat setelah pulang dari Konfrensi Wanita Internasional dimaksud, Mohammad Hatta ditangkap bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamoentjak dan Abdul Majid Djojodiningrah, selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Kerajaan Belanda.Mohammad Hatta dan rekan-rekannya, akhirnya dihadapkan pertama ke persidangan di Pengadilan Den Haag, Belanda tanggal 8 Maret 1928 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta didampingi oleh Mr. Duys seorang pengacara yang juga anggota DPR Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat Mr. Mobach dan Mr. Weber.Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta dituntut 3 tahun penjara oleh Penuntut Umum (opsir justisi). Terhadap tuntutan tersebut, di mana Mohammad Hatta menyampaikan nota pembelaan dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Pembelaan tersebut, bukan hanya berisikan kemarahan atas penjajahan Belanda, akan tetapi memaparkan perjuangan rakyat Hindia Belanda untuk menggapai kemerdekaannya. Demikian juga Mohammad Hatta, menyakini cepat atau lambat bangsa Indonesia yang terjajah akan merebut kemerdekaanya karena itulah hukum sejarah dunia. Selain itu, disampaikan bahwa yang dilakukan Mohammad Hatta bukanlah tindakan kriminal, melainkan untuk membela keyakinan dan cita-cita tentang negeri Indonesia yang merdeka dan diakhir pembelaannya Hatta menyampaikan kata-kata Rene de Clerq yang fenomenal “Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku”. Setelah menyampaikan pembelaannya, dimana Tim Penasihat Hukum menyampaikan kembali pembelaan dari segi hukumnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kerajaan Belanda.Persidangan dan pembelaan Mohammad Hatta tersebut, membukakan mata dunia akan cita-cita dan perjuangan suatu bangsa jajahan yang terletak di ujung Asia meraih kemerdekaan. Satu hari sebelum hari raya Idul Fitri tanggal 22 Maret 1928, Mohammad Hatta dan tiga orang sahabatnya divonis bebas dari dakwaan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Putusan bebas atas Mohammad Hatta tersebut, merupakan bentuk penghargaan atas kebebasan berpendapat dan beraktivitas atau berorganisasi secara bebas sebagaimana Konstitusi Kerajaan Belanda. Namun kebebasan berpendapat tersebut, tidak ada di negeri-negeri jajahan Belanda, seperti Indonesia. Contohnya 2 tahun setelah peristiwa persidangan Mohammad Hatta, dkk di Den Haag, Belanda, Ir Soekarno dihadapkan ke persidangan pada tahun 1930. Dalam persidangan tersebut, dikenal pembelaan Ir. Soekarno yang menggelegar, berjudul Indonesia Menggugat. Demikian juga, Mohammad Hatta setelah pulang dari Belanda ditangkap oleh Kepolisian Hindia Belanda, tahun 1934 dan menjalani pembuangan bersama Sutan Sjahrir di Boven Digul, Papua.

Arsip Pengadilan 1928: 7 Fakta Sadisnya Pembunuhan 7 Orang Sekeluarga di NTT

article | History Law | 2025-02-26 20:50:37

Larantuka- 97 tahun lalu, terjadi kasus pembunuhan sadis nan biadab pernah terjadi di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Satu keluarga yang berjumlah 5 orang dibunuh secara kejam oleh satu orang. Arsip pengadilan menceritakan secara detail.Berikut 5 fakta yang dikutip dari salinan putusan pengadilan sebagaimana dihimpun DANDAPALA, Rabu (26/2/2025):1. Raja di Flores Timur Jadi HakimSaat itu Larantuka masih dipimpin oleh seorang raja yang bernama A.B.de Rozari dan pengadilan di bawah pemerintahan Belanda baru saja terbentuk, setidaknya beberapa tahun sebelumnya. Kisah ini diambil dari arsip berkas perkara dari Pengadilan Negeri Larantuka yang bersampul “No. 23/1928  Raad Van Landshoofden te Larantoeka”.  Di beberapa buku sejarah tentang kota Larantuka salah satunya yang ditulis oleh Felix Fernandez (Bupati Flores Timur 2000-2005), pengadilan di Larantuka dikenal dengan nama pengadilan Swapradja. Sewaktu Belanda datang pengadilan ini diberi nama Raad Van Landshoofden atau RVL. Uniknya di tempat lain, contohnya di Kalimantan RVL ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikhususkan untuk mereka bangsa timur asing atau Tionghoa.Kenapa Felix menjelaskan bahwa pengadilan sebagai swapradja ? karena waktu itu hakim-hakim yang bertugas adalah para raja yang menguasi wilayah Kabupaten Flores Timur. Kita kembali kepada kasus No. 23/1928, duduk sebagai majelis hakim:Voorzitter: A.B.de Rozari radja van LarantoekaLeden: Kapitan Poera radja van TrongGorang Solang kapitan van Lewo ToloAdviseur: Bapa Ana kapitan van AdoenaraLeider: W.J.Houwing fd Controleur van Oost Flores2. Didakwa Membunuh 7 Orang SekeluargaBelang Tewololong dkk dituduh dengan Pasal 340 WvS. Yaitu pada suatu hari sekitar pukul 08.00 pagi dalam bulan Februari tahun 1927, tanggal pastinya sudah tidak diingat lagi, dengan sengaja dan direncanakan sebelumnya telah menghilangkan nyawa Doea Basa dan istrinya, Somi Nogo, serta tiga anaknya yang bernama Kasihan Doea, Dai Doea, dan Ola Does, yang berada di ladang milik Doea Basa di bagian Kampung Lemaniat, Gemeente, dan landschap Adonara. Selain itu, terdakwa juga membunuh dua anak lainnya, yakni Killa Doea dan Lesoe Doea, di dekat pohon-pohon nira milik Doea Basa di sekitar ladangnya, yang juga terletak di bagian Kampung Lamaniat, Gemeente, Adonara.3. Alasan Membunuh: Sihir (Soeanggi)Di muka persidangan diperiksa lima orang saksi yang bernama Saksi Waleng Boli, Saksi Bastian Dian, Saksi Mello Fernandez dan Saksi Kopong Barek. Dari pemeriksaan hakim menyimpulkan telah memperoleh fakta hukum:Terdakwa Belang Tewololong pada suatu pagi di bulan Februari 1927, pada tanggal yang tidak lagi diketahui, telah memanggil anggota keluarganya, yaitu Bala Tewololong, Hering Tewololong, Bela Sengadji, dan Kene Ola Laba, ke rumah kecilnya di luar kampung Lamaniat. Di sana, ia memberi tahu mereka bahwa Doca Basa beserta istri dan anak-anaknya pasti menjadi penyebab kematian istrinya. Hal ini karena pada pagi hari saat istrinya mengalami persalinan yang sangat sulit, Terdakwa Belang Tewololong telah menampar wajah Somi Nogo karena ia telah mencuri jagungnya. Dengan kata lain, Terdakwa percara bahwa istrinya telah disihir (Soeanggi) oleh keluarga Somi Nogo tersebut, sehingga istrinya meninggal dunia tiga hari setelah melahirkan.Setelah kejadian itu, Belang Tewololong membujuk para terdakwa lainnya untuk membunuh seluruh keluarga Soeanggi tersebut. Para terdakwa lainnya, yang percaya bahwa keluarga itu adalah penyebabnya, menerima usul tersebut dan bersama Belang Tewololong pergi ke rumah ladang Doca Basa, masing-masing membawa parang. 4. Pembunuhan yang Sadis Nan BiadabSesampainya di lokasi kejadian, Belang Tewololong dan Bala Sengadji memasuki rumah ladang Doca Basa, sementara Bala Tewololong, Hering Tewololong, dan Kene Ola Laba berjaga di luar rumah.Setelah masuk, Belang Tewololong langsung menebas leher Somi Nogo dengan parangnya hingga hampir putus, sehingga wanita tersebut langsung meninggal dunia. Pada saat yang bersamaan, Bala Sengadji menebas leher Doca Basa dengan parangnya hingga kepalanya terpenggal sepenuhnya.Sementara itu, tiga anak kecil yang juga berada di dalam rumah melarikan diri ke luar. Namun, Hering Tewololong mengejar dan langsung menebas punggung anak bernama Kasihan Doea, sehingga anak tersebut langsung tewas. Pada saat yang sama, Bala Tewololong menebas leher anak bernama Emi Doea, yang juga langsung meninggal dunia. Kene Ola Laba menebas leher anak bernama Ola Doea hingga kepalanya terpenggal.Terdakwa mengetahui bahwa Doca Basa memiliki lima orang anak, sehingga mereka mencari dua anak lainnya. Akhirnya, mereka menemukan kedua anak tersebut di dekat pohon-pohon milik Doca Basa. Hering Tewololong, yang paling cepat berlari untuk menangkap salah satu anak, menebas punggung anak bernama Kia Doea hingga anak itu langsung meninggal. Secara bersamaan, Bala Sengadji menebas pinggul kiri anak bernama Lesos Doen hingga mengenai tulang belakangnya, menyebabkan anak tersebut langsung tewas.5. Korban Dimakamkan PelakuLima hari kemudian, para terdakwa menguburkan mayat-mayat tersebut. Jasad Doca Basa, Somi Nogo, Kasihan Doea, Emi Doea, dan Ola Doea dikuburkan dalam satu lubang di dekat rumah ladang mereka, sedangkan Kia Doea dan Lesos Doea dikuburkan di lubang lain di dekat pohon-pohon milik Doca Basa.6. Pertimbangan HakimMenimbang bahwa dari pengakuan para terdakwa dapat dipastikan adanya unsur kesengajaan dan perencanaan, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pembunuhan. Namun, sebagai faktor yang meringankan, harus diperhitungkan keyakinan kuat para terdakwa terhadap keberadaan Soeanggi (sihir), sebagaimana diyakini oleh seluruh penduduk di pulau-pulau ini.7. Amar PutusanBerdasarkan adat yang berlaku, dalam kasus seperti ini, para terdakwa sebenarnya tidak akan dituntut atas pembunuhan terhadap Soeanggi (sihir), tetapi atas pelanggaran terhadap adat. Sebab, adat telah menetapkan bahwa Soeanggi (sihir) harus dipindahkan ke pulau lain dalam wilayah ini, bukan dibunuh. Oleh karena itu, para terdakwa dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup ke pulau lain dalam wilayah ini.

Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan

article | History Law | 2025-02-22 09:00:55

Rakyat Indonesia kembali dihentakan dengan pemberitaan dari ruang persidangan. Pemberitaan tersebut adalah ketika dua oknum advokat mencaci maki hakim dengan sebutan koruptor di depan persidangan dan ada oknum advokat yang naik keatas meja sidang sambil mencaci maki lawan sidangnya. Kemudian merespon hal tersebut Mahkamah Agung menyatakan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court.Jika kita menilik kembali ke dalam sejarah Bangsa Indonesia, bahwa pernah ada suatu sidang yang kemudian dicatat sejarah sebagai persidangan yang fenomenal. Persidangan tersebut yang akan merubah sejarah bangsa Indonesia selama beratus- ratus tahun setelah dijajah Belanda. Dengan tensi yang jauh lebih luar biasa, sidang ini ini menjadi perhatian seantero negeri, namun Soekarno dan pembelanya tidak pernah menunjukkan rasa tidak hormat kepada hakim atau bahkan naik ke atas meja persidangan. Persidangan ini menjadi momentum perjuangan bangsa Indonesia yang beralih dari perjuangan fisik yang sarat akan kekerasan menjadi perjuangan intelektual yang mengedepankan argumen hukum dan intelektualitas.Pada 02 Desember 1930, Ir. Soekarno membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat di hadapan pengadilan kolonial Belanda (Landraad te Bandung). Pidato ini merupakan bentuk perlawanan intelektual terhadap tuduhan pemerintah Hindia Belanda yang menudingnya berupaya menggulingkan pemerintahan kolonial. Sebelumnya, Soekarno telah ditahan selama delapan bulan di Penjara Banceuy, Bandung, sebelum akhirnya disidangkan di Gedung Landraad.Naskah pidato Indonesia Menggugat ditulis Soekarno selama dalam tahanan. Dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis bersama Cindy Adams, Soekarno mengisahkan bahwa ia menulis pidato tersebut di atas kertas dengan beralaskan kaleng tempat buang air kecil di dalam selnya. Pidato ini kemudian menjadi salah satu dokumen perjuangan yang menggambarkan ketidakadilan kolonialisme dan menyuarakan semangat nasionalisme.Persidangan dan Tuduhan Pemerintah KolonialGambar: Ruang sidang tempat Ir. Soekarno membacakan pledoinyaSoekarno diadili bersama tiga rekannya dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Supriadinata. Mereka dituduh menyebarkan kebencian serta mengancam stabilitas pemerintahan kolonial. Persidangan ini menarik perhatian luas, bahkan berita tentang rencana pengadilan terhadap Soekarno telah dimuat di berbagai surat kabar pada 16 Juni 1930.Dalam sidang tersebut, Soekarno dan rekan-rekannya didampingi oleh pengacara-pengacara terkemuka saat itu, di antaranya Mr. Sartono, Mr. Sastro Mulyono dari Tegal, Mr. Suyudi dari Yogyakarta, dan Idi Prawiradiputra dari Garut, yang juga anggota Volksraad. Pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan Soekarno mengguncang pemerintah Hindia Belanda karena mengungkap kebobrokan sistem kolonialisme yang menindas rakyat Indonesia.Belanda, yang diwakili oleh jaksa R. Soemadisoerja, menggunakan Pasal 169 bis dan Pasal 153 bis Wetboek van Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai artikelen (penyebaran kebencian terhadap penguasa) untuk menjerat Soekarno dan rekan-rekannya. Mereka dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan dan propaganda di Fikiran Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Setelah drama pengadilan Soekarno yang fenomenal, bisa dikatakan Landraad tidak lagi menyidangkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.Gambar: Potongan Koran Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad kasus penangkapan Ir. Soekarno diberitakan sampai ke negeri Belanda, 04 Desember 1930 Pada 22 Desember 1930, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Mr. R. Siegerbeek van Heukelom menjatuhkan hukuman: Soekarno: 4 tahun penjara, Gatot Mangkupraja: 2 tahun penjara, Maskun Sumadireja: 1 tahun 8 bulan penjara dan Supriadinata: 1 tahun 3 bulan penjara (dipotong masa tahanan). Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah kolonial berusaha membungkam gerakan nasionalisme yang semakin berkembang di Indonesia.Gambar: Masyarakat Bandung Memadati Gedung Landraad pada saat pembacaan putusan Ir. SoekarnoSebagai PengingatGedung Landraad, tempat persidangan Soekarno berlangsung, kini dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Bangunan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 5, Bandung, ini awalnya merupakan rumah tinggal warga Belanda yang dibangun pada 1907. Sejak 1917, bangunan ini dialihfungsikan sebagai pengadilan kolonial (Landraad) dan menjadi tempat persidangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Saat ini, Gedung Indonesia Menggugat telah menjadi tempat wisata sejarah yang terbuka untuk umum. Dengan arsitektur khas indis dan halaman yang luas serta pohon beringin rindang, gedung ini tetap terawat dan menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia.Gambar: Kondisi Terkini Gedung Indonesia Menggugat, Dok. Kelihat.com Pidato Indonesia Menggugat merupakan warisan intelektual dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Gedung Indonesia Menggugat menjadi saksi bisu keberanian Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur hukum.  Selain itu pula Bangsa Indonesia dapat mengingat kembali bahwa persidangan adalah suatu prosesi yang sakral. Dalam situasi yang sakral tersebut tentunya tindakan penghinaan terhadap persidangan (contempt of court) menjadi suatu yang sangat dilarang. Dalam persidangan tersebut Bangsa Indonesia dapat belajar tentang bagaimana menghormati nilai keadilan dan kepada Bangsa itu sendiri.Hingga kini, pledoi ini tetap relevan sebagai inspirasi bagi generasi penerus dalam memahami kesakralan ruang sidang, nilai-nilai nasionalisme dan keadilan.Berikut Isi pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesië Klaagt Aan” atau Indonesia Menggugat (1930):Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan, tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom?Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun.Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hak-hak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya secara peri kemanusiaan tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan.Satu-satunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada gedung-gedung pertemuan dan surat-surat kabar umum.Tidak pernah kami melanggar batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pernah kami mencoba membentuk pasukan serdadu-serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme.Kami punya modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara-cara yang legal.Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda daripada itu.Kami mengetahui, bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan napas saja. Akan tetapi, kami masih saja dituduh, dikatakan 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 30'.Jikalau ini memang benar, penggeledahan massal yang tuan-tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan membuktikan satu tempat persembunyian senjata-senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisau pun yang dapat diketemukan.Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada sendjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom, dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap.Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan, dan itulah jang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.Baiklah, tentu orang akan bertanya, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?'Saya akan mendjawab: Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai.Mungkin djuga kapitalisme Barat akan runtuh. Mungkin juga, seperti sudah sering saja ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih.Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan pulau-pulau di Lautan Pasifik.Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan sanggup menahannya.Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami.Jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa pemimpin-pemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban.Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata.Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha-Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum-semerbak di atas pangkuan persadanya.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar-debar saya bersama-sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim!Gambar: Ir. Soekarno Berfoto di Depan Landraad BandungReferensi:Soekarno dan Adams, Cindy. 2018. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/08/193919879/isi-pidato-indonesia-menggugat?page=all.https://marinews.mahkamahagung.go.id/berita/tegas-ma-kecam-kegaduhan-di-sidang-pn-jakarta-utara-0bbhttps://www.hukumonline.com/berita/a/jejak-pledoi-fenomenal-bung-karnohttps://www.detik.com/jabar/budaya/d-6972096/bung-karno-dan-sakralnya-perjuangan-di-gedungindonesia-menggugathttps://www.delpher.nl/nl/kranten/viewquery=landraad+bandung+soekarno&coll=ddd&identifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:p00010&resultsidentifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:a00111&rowid=4