Cari Berita

Dua Takdir Indonesia, Ketika Hakim dari 2095 Membawa Kabar Pahit dan Manis

article | Opini | 2025-09-22 08:30:04

Di ruang sidang Pengadilan Negeri pada suatu sore di tahun 2025, seorang hakim tengah memimpin sidang kasus pencemaran limbah yang telah meracuni tiga sungai. Ketika hendak menjatuhkan vonis, tiba-tiba cahaya terang memenuhi ruangan. Muncul dua sosok berpakaian toga hakim dengan desain yang sangat berbeda.Yang pertama mengenakan toga cenderung berwarna abu-abu kusam dengan banyak tambalan, wajah lelah, dan batuk-batuk. Yang kedua mengenakan toga hitam bersih berkilau, wajah bercahaya dengan aura kebijaksanaan."Kami adalah Hakim dari tahun 2095," kata mereka bersamaan. "Namun kami datang dari dua realitas Indonesia yang berbeda. Kami datang menunjukkan dua takdir yang menanti bangsa ini, tergantung keputusan yang akan Anda ambil hari ini."Skenario Pertama: Indonesia yang GagalHakim pertama melangkah maju dengan terseret. "Saya datang dari Indonesia 2095 yang gagal menjadi negara maju. Kami gagal bukan karena tidak memiliki sumber daya, tetapi karena gagal memahami arti keadilan sesungguhnya."Dengan suara parau, ia melanjutkan, "Di Indonesia saya, perayaan 150 tahun kemerdekaan adalah perayaan pahit. Jakarta tenggelam setengahnya, Kalimantan menjadi padang tandus, Sumatera kehilangan 80% hutannya. Yang paling menyakitkan, jutaan anak Indonesia menderita stunting permanen karena air dan tanah tercemar."Ia memproyeksikan hologram mengerikan: anak-anak Indonesia kurus mengantri air bersih, petani tak bisa bertani karena tanah rusak, nelayan pulang dengan perahu kosong karena laut mati."Tahu penyebabnya? Putusan-putusan hukum di era Anda yang selalu mengedepankan keuntungan jangka pendek. Setiap kasus lingkungan, hakim berpikir 'Yang penting perusahaan tidak bangkrut, ekonomi tetap jalan.' Tak pernah bertanya, 'Bagaimana dengan anak-cucu 20 tahun lagi?'""Di Indonesia saya, ada istilah 'Generasi Terusir'—jutaan anak muda terpaksa hijrah karena Indonesia tidak lagi layak huni. Sejak 50 tahun sebelumnya, yakni 2045, Indonesia Emas hanya slogan di museum berkarat. Kami punya gedung tinggi tapi tak ada air bersih, teknologi canggih tapi tak ada udara segar, kekayaan di kertas tapi anak-anak hidup dalam kemiskinan ekologis absolut."Skenario Kedua: Indonesia yang BerhasilHakim kedua melangkah dengan percaya diri, mata berbinar dan senyum hangat. "Saya datang dari Indonesia 2095 yang berhasil menjadi negara maju sejati. Kami tidak hanya maju ekonomi, tetapi menjadi mercusuar keadilan antar generasi bagi dunia."Ia memproyeksikan hologram memukau: hutan-hutan rimbun, sungai jernih mengalir deras, anak-anak sehat bermain di taman hijau, petani tersenyum karena panen melimpah di tanah subur."Di Indonesia saya, perayaan 150 tahun kemerdekaan luar biasa. Jakarta menjadi kota hijau terdepan dunia, Kalimantan pusat riset biodiversitas global, Sumatera contoh harmoni industri dan konservasi.""Tahu penyebabnya? Keputusan berani hakim-hakim di era Anda yang tidak hanya melihat dampak hari ini, tetapi 50 tahun ke depan. Mereka berani mengatakan 'tidak' pada keuntungan jangka pendek yang merugikan generasi masa depan.""Kami punya konsep 'Generasi Berkat'—anak-cucu yang hidup di Indonesia lebih indah dari bayangan nenek moyang. Indonesia Emas saat tahun 2045 lalu bukan slogan, tetapi kenyataan. Ekonomi kuat dibangun di atas fondasi berkelanjutan, teknologi canggih harmonis dengan alam, masyarakat sejahtera dalam lingkungan sehat."Titik PersimpanganKedua hakim berdiri berhadapan. "Perbedaan kedua realitas kami dimulai dari keputusan yang akan Anda ambil hari ini, dan ribuan keputusan serupa hakim-hakim lain dalam 20 tahun ke depan."Hakim pertama berkata putus asa, "Di realitas saya, Anda memilih vonis ringan karena takut mengganggu iklim investasi, berpikir lapangan kerja lebih penting dari melindungi sungai. Keputusan itu jadi preseden ribuan keputusan serupa. Sedikit demi sedikit, Indonesia dijual murah."Hakim kedua berkata penuh harapan, "Di realitas saya, Anda memberikan vonis tegas, mewajibkan restorasi penuh 20 tahun. Anda berani mengatakan tidak ada investasi layak jika dibayar dengan masa depan anak-cucu. Keputusan itu menginspirasi hakim-hakim lain."Pilihan yang Menentukan"Ingatlah," kata keduanya bersamaan, "setiap putusan hukum adalah suara untuk masa depan yang anda inginkan. Setiap kali memilih keuntungan jangka pendek atas keberlanjutan, Anda memilih realitas pertama. Setiap kali memilih keadilan antar generasi atas kemudahan sesaat, Anda memilih realitas kedua."Sebelum menghilang, mereka meninggalkan pesan: "Indonesia 2095 bukanlah takdir tertulis, tetapi hasil pilihan-pilihan hari ini. Setiap hakim, setiap putusan adalah batu bata membangun masa depan Indonesia.""Pertanyaannya sekarang, Indonesia mana yang akan Anda pilih untuk anak-cucu kita?"Hakim yang akan menjatuhkan vonis saat ini terdiam lama. Di hadapannya, kasus pencemaran yang tadinya rutinitas biasa, kini terasa ujian sejarah menentukan takdir bangsa.Dengan suara tegas, ia berkata, "Dalam putusan ini, saya tidak hanya menjatuhkan vonis untuk terdakwa, tetapi memilih masa depan Indonesia. Saya memilih keadilan antar generasi. Saya memilih Indonesia Emas yang sesungguhnya."Di ruang sidang sunyi itu, terdengar gema suara anak-anak Indonesia masa depan berterima kasih karena hak mereka hidup di negeri indah telah diperjuangkan generasi sebelumnya. (ldr)Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari Film “Sore: Istri dari Masa Depan”