Cari Berita

Di Balik Sifat Manusia yang Suka Mengeluh dan Tidak Bersyukur

article | Opini | 2025-06-20 08:05:54

Assalamualaykum Warohmatullahi Wabarokatuhu,SAHABAT sekalian Secara naluriah, manusia pada dasarnya memang dipenuhi oleh sifat serakah, enggan bersyukur, berkeluh kesah, tidak perduli terhadap sesama. Dalam ranah science pada lingkup ilmu jiwa ada suatu teori fenomenal yang dikekukakan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan psikoanalisa. Teori tersebut memberikan suatu deskripsi bahwa manusia prinsip dasarnya adalah selalu mencari kesenangan atau kenikmatan dan menghindari ketidaknikmatan. Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya membagi jiwa manusia ke dalam tiga lapisan yakni ;-       Lapisan pertama, Das Es atau Id ; Bagian primitif dan tidak sadar yang didorong oleh dorongan insting dan keinginan. -       Lapisan kedua Das Ich atau Ego ; Bagian kepribadian yang beroperasi pada tingkat kesadaran dan bertindak sebagai perantara antara id dan dunia luar. -       Lapisan ketiga Das Ueber Ich atau Superego : Bagian kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dari masyarakat. Dalam menjalan kehidupan di dunia nyata, jika hanya lapisan paling dasar dari jiwa manusia atau Id ini yang mendominiasi dirinya, maka keperibadiannya manusia diprediksi berada pada derajat yang nyaris sama dengan binatang. Pada lapisan jiwa berikutnya, Ego, berdasarkan teori tersebut terdapat aspek psikis berupa kepribadian manusia yang berhubungan dengan realitas dunia luar, sehingga ketika dia berinteraksi manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dia mulai merasa malu melakukan suatu perbuatan yang bersifat tercela atau perbuatan-perbuatan dosa karena adanya lapisan psikis pada lapis ke dua dari jiwanya itu. Dalam konteks Ilahiah  yang dimaksud dosa berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim no 2553 Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam bersabda “dosa adalah apa yang mengganjal dalam dirimu dan kamu tidak ingin manusia mengetahuinya”. Lalu Pada lapisan jiwa terluar atau ketiga, Superego terdapat lagi aspek sosiologis dimana kepribadian yang terbentuk dari diri seseorang memiliki hubungan yang erat dengan nilai-nilai moral. Hal ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh pendidikan yang diberikan kepada manusia, baik pendidikan yang didapat dari lingkungan social hingga pendidikan agama. Pembahasan science yang dimunculkan oleh seorang psikolog pada abad ke 20 awal itu, jika kita renungkan dan dielaborasi,  kandungannya telah banyak diungkap oleh Al Qur’an, kitabullah yang merupakan sumber kebenaran dan tuntutan hidup bagi umat manusia. Sayangnya manusia jarang menyadari dan menggali kebenaran ilmiah yang tersirat di dalam Alqur’an. Disebutkan di dalam surat Al Ma’arij ayat 19 Allah berfirman : “Innal insaana khuliqa halu ‘aa..”, yang artinya,sungguh manusia diciptakan suka mengeluh..disambung ayat ke 20 hingga ke 22 idza massahu Syarru jazuu ‘aa” wa idza massahul khoyru manuu ‘aa.. illal mushollin…(apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah), dan apabila mendapat kebaikan dia (harta) jadi kikir, kecuali bagi orang-orang yang shalat.Lalu Allah melanjutkan firmannya pada ayat ke 23 hingga 30 : Alladziina huum ‘alaa sholatihiim daaaa’ imuun…walladzinaa fii amwalihim haqqum ma’luum…Lissaaaa ili na walmahruum… walladzîna yushaddiqûna biyaumid-dîn…walladzîna hum min ‘adzâbi rabbihim musyfiqûn…Inna ‘adzâba rabbihim ghairu ma'mûn… walladzîna hum lifurûjihim ḫâfidhûn.. Illâ ‘alâ azwâjihim au mâ malakat aimânuhum fa innahum ghairu malûmîn..Artinya “yang selalu setia mengerjakan salatnya…yang di dalam hartanya ada bagian tertentu…untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta-minta…yang memercayai hari Pembalasan…dan yang takut terhadap azab Tuhannya…sesungguhnya tidak ada orang yang merasa aman dari azab Tuhan mereka…. (Termasuk orang yang selamat dari azab adalah) orang-orang yang menjaga kemaluannya… kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).    Firman Allah di dalam surat Al Ma’arij “Illal Mushollin” (kecuali yang mengerjakan shalat) sepatutnya menjadi reminder dalam konteks beribadah dan menuntun hidup kita menjadi lebih berkualitas dan lebih bermakna  baik dalam hubungan kita kepada Allah maupun kepada sesama manusia (habblum minanas). Karena shalat adalah tiang agama dan menjadi instrumen yang menjadi kontrol atau pengendali guna terhindar dari perbuatan dosa. Di dalam surat al an kabut ayat 45 Allah berfirman Aqimisshalat Innashalata tanha anil fahsyaa I wal munkar (dirikanlah shalat, karena shalat mencegah perbuatan keji dan munkar). Dengan mendirikan shalat dan setia terhadap shalatnya sebagaimana firman-firman Allah di dalam Alqur’an sesungguhnya merupakan jaminan agar manusia tercegah dari perbuatan keji dan munkar, agar manusia tidak selalu berkeluh kesah, agar manusia mampu menahan hawa nafsunya dan agar manusia senantiasa menjaga kesucian dirinya sebagaimana firman Allah di dalam surat al ‘ala “Qad af lahaman ta zakka wa dzakarasma rabbihi fasholla”Sungguh beruntung orang yang menjaga kesucian dirinya dan senantiasa mengingat Tuhannya dengan shalat.Sahabat sekalianJika kita mencoba mengambil suatu benang merah yang menghubungkan aspek kejiwaan dengan berbagai penemuan ilmu-ilmu empiris secara objektif maka sesungguhnya tidak akan ada pertentangan antara science dengan kandungan-kandungan yang terdapat di dalam Alqur’an. Sebaliknya, justeru temuan-temuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang memiliki korelasi dengan kandungan-kandungan Alqur’an. Alqur’an jika ditadaburi sesungguhnya akan menjadi pemandu dalam pengembangan science termasuk menyangkut aspek-aspek kejiwaan yang akan menemukan kenormatifannya dengan menggali dan memahami lebih jauh tanda-tanda yang ditunjukkan di dalam Alqur’an. Konsep dasar jiwa manusia yang primitif dan dipenuhi oleh instinc untuk semata-mata mencari kenikmatan dan menghindari ketidaknimatan pada akhirnya menemukan jalannya dengan kita lebih jauh memahami mengenai diri kita dan untuk apa kita diciptakan dan kemana kita pada akhirnya akan kembali. Sahabat sekalian   Betapa seiringnya kita mendengar ungkapan nyinyir, sarkatis yang menyatakan sholat terus maksiat jalan. Betapa sering kita mendengar ungkapan yang mengatakan “Mereka shalat tetapi juga melakukan korupsi”. Adanya ungkapan tersebut sesungguhnya tidak perlu ditanggapi dengan penuh emosional, namun kembali lagi kita bertanya kepada diri kita apabila kita telah rajin mengerjakan shalat namun masih terjerumus dalam lembah maksiat dan dosa perlu dipertanyakan “ada apa gerangan dengan shalatku”. Apakah hanya sekedar semata-mata menggugurkan kewajiban tanpa memaknai arti shalat yang sebenarnya ? Marilah kita perbaiki shalat kita, komunikasi kita kepada Allah Tabaraka wa ta’ala, memahami makna shalat berikut bacaan-bacaan shalat seraya menghayati dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata kita sebagai seorang muslim  Fastabiqul Khoyrot IBNU MAZJAH(Hakim Ad Hoc Tipikor PN Manado)